Pov AthorSementara itu di sebuah mes rumah sakit ternama di Jogjakarta, Dita meringkuk memeluk lutut di sudut tempat tidur, tatap matanya kosong. Sudah dua hari sejak dia datang, dia terus saja seperti itu, membuat sang adik bingung sendiri. Untungnya wajah mereka berdua bakal pinang dibelah dua, jadi, meski tanpa dijelaskan teman-teman sejawatnya paham kalau mereka kakak beradik. Kalau tidak, bisa dianggap melanggar kode etik dia, membawa perempuan tanpa ikatan menginap. "Mbak, ngomong dong ada apa? Aku mana bisa bantu kalau kamu terus seperti itu?" Dito sudah hampir frustasi, karena belum berhasil membujuk kakak satu-satunya untuk buka mulut. "Meski aku nggak banyak membantu, setidaknya hati Mbak bisa sedikit lega." Dita bergeming, masih tetap pada posisinya. "Ini masalah perusahaan?" Dita menggeleng, padahal Dito berjanji akan menemui papanya, membuang egonya untuk menemui laki-laki yang telah menganggapnya anak durhaka. Demi kakak tercinta, agar masalahnya segera teratasi. Di
Setelah memastikan keadaan aman, pelan kudekati Mas Agus yang sedang berjongkok memberi makan ayam itu. "Mas!" kutepuk pelan bahu laki-laki yang umurnya selisih lima tahun denganku itu. "Apa? Mau minta duit?" ucapnya pura-pura ketus. Laki-laki ini biar sudah punya anak istri kelakuannya masih kayak anak kecil, susah diajak serius, becanda aja kerjanya. "Dih, nggak doyan duitmu aku, Mas!" Aku ikut berjongkok di samping Mas Agus. "Heleh, sombong amat! Mentang-mentang suaminya banyak duit!" cibirnya. "Boleh minta tolong, nggak?" ucapku pelan, takut kalau tiba-tiba Mbak Santi menyusul Mas Agus. Maklum, rumah Mas Agus dan orang tuaku bersebelahan. Jangan lupa dengan keberadaan Mas Elman di rumah ini, dia bisa saja muncul tanpa sepengatahuanku. "Mau ngutang?" Plak! Tanganku mendarat keras di pundak laki-laki yang berwajah mirip denganku itu. "Sudah dibilang nggak doyan duitmu!" "Terus mau minta tolong apa? Biasanya orang kalau ngomong minta tolong itu, nggak jauh-jauh dari soal utang
"Ra, kangen," bisik Mas Elman lembut di telingaku, membuat bulu kudukku meremang seketika Meski hati ingin menolak sentuhannya, tapi tubuhku berhianat, justru merasa nyaman dan menikmatinya. "Jangan Mas, nanti Zila lihat." Aku berusaha melepas tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, tapi gagal. Lelaki itu justru mengeratkan pelukannya. "Nggak pa-pa sayang, Zila main ke rumah Mas Agus, kan?" ucap Mas Elman tanpa merubah posisinya. "Iya, tapi kalau dia tiba-tiba masuk gimana?""Ayolah, Ra. Beberapa hari ini kita nggak melakukannya, kan? Aku nggak tahan Ra." Ada yang aneh dengan pernyataan Mas Elman, dia bilang tak tahan beberapa hari tak menyentuhku, lalu apa kabar yang setahun kemarin puasa? Tangan Mas Elman gerilya kemana-mana, membuat tubuhku merespon sentuhannya. Pikiranku seperti ditarik ke alam sadar, ketika bayangan Mbak Dita bergelayut manja di lengan Mas Elman melintas. Aku mendorong tubuh kekar itu sekuat tenaga, tak rela disentuh laki-laki yang pernah meniduri pere
Pertama kali membuka mata, yang kulihat adalah wajah Mas Elman yang tersenyum lega. "Alhamdulillah .... Akhirnya kamu sadar juga, Ra," ucapnya lembut. Berkali-kali dia mencium telapak tanganku, kemudian meletakkan di pipinya. "Kamu tahu? Aku hampir gila saat melihatmu pucat tak berdaya, aku nggak sanggup kehilangan kamu, sayang," lirih Mas Elman, matanya berkaca-kaca. Bisa kulihat, ketulusan di sana. "Ini di mana Mas? Kayak bukan kamar kita?" ucapku setelah menyadari berada di kamar asing. Seperti di rumah sakit, karena ruangannya serba putih. Aku berusaha bangkit dari posisiku bermaksud untuk duduk, tapi Mas Elman buru-buru menahannya. "Jangan bergerak dulu, sayang. Sebentar aku ambilkan minum ya? Kamu haus pasti." Sebotol air mineral yang sudah dipasang sedotan disodorkan Mas Elman padaku. "Sudah Mas, terimakasih. Mas belum jawab pertanyaanku tadi. Ini dimana?" ucapku setelah menyesap hampir setengah air mineral itu. "Kamu di rumah sakit sayang," . Di rumah sakit? Terakhir yan
Pov AuthorTut .... Tut .... Panggilan tersambung, tapi diabaikan. Pun dengan panggilan kedua, begitu panggilan ketiga, panggilan ditolak. Apa maksudnya? Apa Elman benar-benar ingin lari dari tanggung jawab? Atau Elman hanya sedang kalut, tak ingin diganggu sama seperti Dita? Dito resah, Elman tak kunjung mengangkat panggilan dari dia. Bahkan terakhir kali dia mencoba, nomornya langsung diblokir. "Nggak bener ini." desis Dito gusar. "Nggak diangkat, kan? Aku bilang juga apa? Elman itu memang sengaja mau lari dari tanggung jawab. Dia cuma mau enaknya aja!" sahut Dita yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik adiknya. "Terus gimana ini?""Ya kamu temuin dia, dong! Suruh dia tanggung jawab! Kalau perlu kamu seret dia! Enak aja, habis manis sepah dia buang!" sahut Dita ketus. Dia marah pada Elman, tapi Dito yang jadi sasaran. "Masalahnya aku ini bukan bos kayak Mbak Dita, yang bisa seenaknya meninggalkan pekerjaan karena sudah ada yang meng-handle. Aku ini residen Mbak, bisa nggak lul
"Dengar Dita, meskipun itu benihku. Aku tidak akan menikahimu," desis Elman. "Kamu!" Hampir saja Dita menampar Elman untuk kedua kalinya, tapi tangan kekar itu berhasil menepisnya. "Mas Elman bisa bersikap jentel nggak? Badan aja gede, mulut kayak perempuan," sarkas Dito. Tentu saja dia tidak terima kakaknya direndahkan oleh Elman. "Lalu kamu mau apa?" tantang Elman. "Kita di sini untuk mencari penyelesaian masalah kalian, bukan adu mulut kayak di pasar." Dito masih berusaha menahan emosinya. Mereka di sini untuk mencari jalan keluar, bukan memperkeruh keadaan dengan pertengkaran. "Masalah apalagi? Sudah jelas aku tidak akan mengakui janin Dita sebagai anakku, sekalipun nanti hasil tes DNA membuktikan aku ayah biologisnya," tegas Elman tanpa ragu. "Kalau Mas Elman tidak mau bertanggung jawab terhadap, maka kami akan menempuh jalur hukum!" ancam Dito. Menurut Dito lelaki lucknut macam Elman harus diberi pelajaran. Tawa Elman pecah seketika mendengar ancaman Dito. "Oh ya? Silahk
"Lah, katanya mau cerai? Kok mau dihamili?" seloroh Mas Agus, saat kukabarkan tentang kehamilanku. "Ish, opo sih? Ini buatnya sebelum dia ketahuan selingkuh Mas!" ketusku, kakakku itu agak sulit diajak bicara serius. "Iyo, iyo, ngono ae nesu. Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kamu cerai, to? Orang lagi hamil.""Ya makanya itu, aku nelfon Mas Agus. Belum ngomong sama ibu to? Tentang rencanaku kemarin?" Jujur aku jadi ragu untuk bercerai dengan Mas Elman. Ada benihnya di rahimku, dia yang akan menjadi korban bila orang tuanya bercerai. "Yo belum, wong Bapak masih sakit. Kan kemarin kamu ngomong nunggu bapak sehat, to?" sahut Mas Agus dengan logat medoknya. "Syukur kalau begitu. Jangan bilang ibu kalau aku juga dirawat ya? Nanti Ibu tambah kepiran." "Iyo," sahut Mas Agus cepat."Mas, kayaknya cerainya dipending dulu," ucapku pelan, takut tiba-tiba Mas Elman masuk dan mendengar obrolanku."Yo harus, kalau perlu nggak usah cerai. Kasihan anakmu, nanti Elman biar aku tatar, biar ng
Pov ElmanKepalaku rasanya mau pecah, mendapat kenyataan bahwa Dita hamil. Gila perempuan itu, bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya hamil? Bukankah selama ini kita main rapi? Pasti dia sengaja menjebakku agar punya alasan untuk memaksaku menikahinya. Sialan memang. "Kamu nggak lagi subur kan, Ta?" Dia menggeleng sambil menyunggingkan senyum menggoda. Itu yang selalu ku tanyakan sebelum kami bercinta. "Memang kalau aku lagi subur kenapa? Kamu takut aku hamil ya?" bisiknya manja. "Aku hanya kasihan anaknya, kalau harus lahir dari hubungan terlarang," ucapku jujur. Aku tak mau melibatkan anak dalam upaya balas dendamku. Dita justru terkekeh mendengar jawabanku. "Kamu kayak ABG labil aja, takut banget kalau pacarnya hamil.""Kamu jangan bercanda, Ta. Aku punya istri.""Tenang aja, aman kok." Itu terakhir kali aku menyentuhnya, dan sekarang dia mengaku hamil? Wajar kan kalau aku tidak percaya, bahwa janin Dita itu anakku. Sebejat-bejatnya aku, aku tak kan tega menelantarkan darah d
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha