Bagaimanapun, kekuatan Grup Pratama memang nyata. Jika dibandingkan dengan mereka, siapa pun pasti akan menjadikan Grup Pratama sebagai pilihan utama.Eleanor memperhatikan ekspresi menyerah di wajah semua orang. Dia bertepuk tangan ringan untuk menarik perhatian semua orang, lalu berkata, "Semuanya, ayo semangat! Memang benar bersaing sama Grup Pratama bukan hal mudah, tapi kita juga nggak kalah hebat. Nggak ada hal yang nggak mungkin."Vivi juga menambahkan, "Iya nih. Dalam beberapa tahun terakhir, reputasi merek kita sangat bagus. Kualitas produk dan angka penjualan juga nggak perlu diragukan lagi. Duta merek memang penting, dan ini adalah kesempatan kita."Namun, beberapa peserta rapat mengungkapkan kekhawatiran. "Tapi, Bu Eleanor, Bu Vivi, Keysha itu pilihan Grup Pratama. Apa kita benar-benar bisa bersaing?""Keysha baru saja memenangkan penghargaan aktris terbaik. Dari semua sudut pandang, dia memang pilihan yang paling cocok. Tapi Bu, kita hampir nggak punya peluang bisa menang
Yoana mendengar obrolan semalam dengan jelas. Eleanor dan Jeremy belum mengurus akta cerai. Itu artinya, mereka masih suami istri di mata hukum.Selama mereka belum sah bercerai, Yoana tidak bisa menikah dengan Jeremy. Itu sebabnya, Yoana ingin mereka segera mengambil akta cerai dan mengusir Daniel. Bukankah dia akan untung besar?Asalkan anak itu kembali ke sisi Eleanor, Jeremy tidak akan mengurusnya lagi dan Yoana punya kesempatan. Baik itu Eleanor ataupun Daniel, keduanya sama-sama ancaman besar baginya.Yoana tidak akan membiarkan mereka hidup dengan baik di dunia ini. Lagi pula, Eleanor dan Daniel bukan siapa-siapa. Yoana bisa menghabisi mereka dengan mudah.Eleanor menatap Yoana dengan dingin. Dia tidak melewatkan kekejaman yang tebersit pada tatapan Yoana. Eleanor tidak bodoh. Yoana tidak mungkin berbaik hati menolongnya. Bekerja sama? Yoana hanya akan mengkhianatinya pada akhirnya."Gimana? Mau kerja sama denganku nggak? Kamu mau anak, aku mau Jeremy. Kita bakal mendapat yang k
Di bawah sinar lampu, tampak Jeremy yang duduk di sudut sofa dengan elegan. Tangannya yang ramping diletakkan di sandaran sofa. Ekspresinya tampak datar. Matanya yang hitam tampak dingin. Auranya yang kuat pun membuat orang tidak berani mendekat."Siapa yang suruh dia kemari?" tanya Jeremy dengan suara rendah. Suasana menjadi sunyi senyap. Semua orang bertatapan dan tidak berani bersuara.Sesaat kemudian ...."Kak Jeremy, Danuar yang menyuruhnya kemari. Ini bukan salahku ya," jawab Bastian dengan jujur.Kelopak mata Danuar langsung berkedut. Dia hampir bangkit dari kursinya dan melayangkan tinju. "Dasar kamu ini ....""Aku yang menyuruhnya memberitahuku lokasimu. Aku sendiri yang mau kemari," ujar Eleanor."Kamu mencariku?" tanya Jeremy sambil memicingkan mata."Ya, ada yang ingin kubicarakan." Suara Eleanor mengandung amarah yang ditahan.Jeremy seketika berminat. Dia mengaitkan jarinya. "Kemari."Eleanor hanya berdiri diam di tempatnya. Suasana hati Jeremy sedang baik. Dia bertanya,
Tangan Eleanor yang memegang tas sontak mengerat. Dia menatap Jeremy yang bertingkah seolah-olah tidak mengenalnya, lalu berkata dengan dingin, "Aku mencarimu memang karena ada urusan penting. Harus gimana supaya kita bisa bicara berdua?"Jeremy mengangkat alisnya dan menunjuk ke arah meja. Dia menyunggingkan senyuman. "Kalau kamu sanggup minum habis itu, kita bisa ngobrol."Alis Eleanor berkerut. Dia menatap vodka yang baru dibuka itu. Kadar alkoholnya sekitar 40 persen.Eleanor mengenyit dengan makin kuat. Dia tidak bisa minum.Bastian ingin membantu Eleanor, tetapi ditahan oleh Danuar. Danuar tersenyum sambil berbisik, "Ini pertengkaran suami istri. Kita nggak bisa apa-apa.""Kak Jeremy nggak takut istrinya kenapa-napa?"Danuar merangkul bahu Bastian, lalu terkekeh. "Itu urusan Kak Jeremy. Kalau kenapa-napa, dia sendiri yang bakal nyesal. Kita nonton saja.""Danuar, kamu jahat sekali."....Jeremy yang duduk di sofa tampak mengangkat alisnya dan menatap Eleanor dengan penuh minat. D
Sudah tiga tahun sejak Eleanor pergi ke kasino di Leroria untuk pertama kalinya. Dia memang sudah lupa cara mainnya.Danuar mengumpat dengan tidak berdaya. Bukankah ini berarti mereka menindas wanita? Pemenangnya sudah dipastikan adalah mereka.Danuar tak kuasa menyunggingkan bibirnya sambil menoleh melirik Jeremy yang bersikap seolah-olah dia tidak punya urusan di sini. Jeremy benaran tidak ingin mengurus istrinya?Asap rokok membuat wajah Jeremy terlihat kabur. Dia juga tidak menyangka Eleanor tidak bisa bermain kartu. Wanita ini malah berani menantang mereka. Dari mana datangnya kepercayaan dirinya?Meskipun merasa agak tidak enak hati karena menindas seorang wanita, usul ini diberikan oleh Eleanor sendiri. Namun, Danuar tidak ingin mengalah."Tadi aku sudah membujukmu. Sekarang kamu kalah. Gimana kamu akan membayar 20 miliar? Gimana kalau kamu suruh Kak Jeremy yang bayar?" Danuar terkekeh-kekeh."Ya, minta tolong Kak Jeremy saja. Kalau kamu memohon padanya, dia pasti bakal membantu
Kedua bos yang menemani Eleanor bermain pun hanya bisa menggeleng dengan pasrah. Menurut mereka, Eleanor ini benar-benar tidak ada takutnya. Namun, kenapa mereka harus menolak jika ada orang yang ingin memberi mereka uang?Ronde kedua dimulai. Beberapa orang itu mengambil kartu. Jari ramping Eleanor mengambil sebuah kartu, lalu meletakkannya di atas meja dengan santai.Awalnya, beberapa orang itu menantikan kekonyolan Eleanor. Namun, setelah Eleanor meletakkan kartu terakhirnya, orang-orang itu seketika tidak bisa tertawa.Danuar menatap kartu di depan dengan tidak percaya. Dia mendongak menatap Eleanor. "Kamu menang?"Eleanor mengangguk. "Aku menang."Danuar mengejapkan matanya dengan heran. "Bukannya kamu nggak bisa main?""Nggak bisa, aku cuma beruntung."Danuar menatap Eleanor seperti menatap alien. Cuma beruntung? Lelucon macam apa ini?Di ronde pertama, Eleanor bahkan tidak tahu aturan main dan kalah telak. Di ronde kedua, Eleanor malah mengalahkan mereka!Jika Eleanor bukan hany
Semua orang menatap Eleanor dan menunggu reaksinya. Jika itu wanita lain, mereka pasti sudah memohon sejak tadi.Eleanor mengembuskan napas. Tatapannya memperlihatkan emosi yang sulit untuk dipahami.Sebelum dia berbicara, Jeremy sudah tahu apa yang ingin dikatakannya. Dengan ekspresi suram, dia merobek kartu di depannya dan tersenyum mencela. "Eleanor, apa kamu bisa mati kalau mengalah sedikit padaku?"Eleanor selalu seperti ini. Lima tahun lalu, dia juga seperti ini. Wanita bodoh ini lebih memilih kehujanan di luar daripada pulang dan mengakui kesalahannya serta meminta maaf kepada Yoana.Memangnya apa sulitnya meminta maaf?Semua orang menatap Jeremy dengan tercengang. Jadi, sekalipun wanita ini tidak memohon, Jeremy tetap akan mengalah kepadanya. Sebenarnya apa hubungan wanita ini dengan Jeremy?Eleanor lagi-lagi dikejutkan dengan tindakan Jeremy. Jeremy menatap wajah Eleanor, lalu tiba-tiba teringat pada sesuatu. Tatapannya tertuju pada bibir Eleanor.Semalam, Eleanor dan Charlie
"Apa maumu?"Tatapan Jeremy yang dingin tertuju pada bibir Eleanor lekat-lekat. "Cium aku."Malam ini, Jeremy minum cukup banyak. Napasnya pun bau alkohol.Eleanor mendorong Jeremy lagi. "Kamu minum kebanyakan. Sepertinya kamu mabuk.""Masa? Aku nggak rasa begitu." Tiba-tiba, Jeremy menunduk dan perlahan-lahan mendekat.Jarak di antara mereka menjadi makin dekat. Jeremy berbisik di samping telinga Eleanor, "Beri tahu aku, di mana Charlie menciummu?"Eleanor terbelalak. Dia bukan terkejut dengan pertanyaan Jeremy, melainkan terkejut bagaimana Jeremy tahu tentang Charlie.Sekalipun Jeremy melihatnya semalam, ruang di dalam mobil sangat gelap. Jeremy berdiri di luar, di tambah lagi semalam turun hujan. Paling-paling, dia hanya bisa mengetahui ada orang di dalam mobil.Sekalipun Jeremy melihat wajah Charlie, bagaimana bisa dia mengenal Charlie? Bukankah identitas Charlie sangat misterius? Kecuali ...."Aku sudah menyelidikinya." Jeremy menjawab pertanyaan di dalam hati Eleanor.Wajah Elean
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in