Yoana menangis sambil memaki Eleanor. Dia yang sudah berada di dalam mobil pun mendesak sopir untuk cepat.Di sisi lain, setelah mencium Eleanor hingga sesak napas, Jeremy baru melepaskannya. Wajah Eleanor memerah. Selagi Jeremy tidak memperhatikannya, dia buru-buru bangkit untuk membalikkan posisi mereka.Saat berikutnya, Eleanor mengambil pisau buah di meja samping dan menodongkannya ke leher Jeremy. "Jeremy, dasar berengsek!"Jeremy merasakan sesuatu yang dingin di lehernya. Dia tidak marah, melainkan tertawa. Kemudian, dia menarik Eleanor supaya lebih dekat dengannya. "Nyalimu makin besar saja.""Jangan sentuh aku. Kamu kira aku nggak berani membunuhmu?""Heh." Jeremy menyunggingkan senyuman tipis. Suaranya terdengar serak saat berujar, "Dicoba saja."Eleanor sungguh murka. Matanya memerah. Tangannya yang memegang pisau pun gemetaran.Jeremy mengangkat tangannya dan menahan pergelangan tangan Eleanor. Dia yang berbaring di sofa menahan Eleanor supaya tubuh keduanya saling menempel.
"Keluar, Jeremy. Aku sudah cukup benci sama kamu. Jangan buat aku semakin benci." Kata-kata Eleanor yang dingin hampir membuat Jeremy meledak lagi.Bibirnya sedikit terbuka, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tak sepatah kata pun keluar. Dengan kemarahan yang membara, Jeremy mengangkat tangannya dan memukul keras cermin di sebelahnya.Cermin itu pecah berkeping-keping dan tangannya terluka parah. Darah segar mengalir deras dari luka tersebut. Dia berbalik dan langsung pergi dengan langkah berat.Di luar, suara Vivi tiba-tiba terdengar, "Hei, kalian ngapain ngumpul di sini?" Saat Vivi sampai di lantai itu, dia melihat sekelompok orang berdiri di depan pintu rumah Eleanor.Karena mengira ada situasi serius yang terjadi, Vivi langsung masuk ke rumah. Begitu di ruang tamu, dia melihat Yoana berdiri di sana. Vivi berjalan mendekat dengan alis berkerut, "Yoana? Kenapa kamu bisa masuk ke sini? Mana Eleanor?"Kedua mata Yoana tampak memerah karena marah. Ekspresinya tampak ber
Eleanor dipaksa Jeremy untuk pergi ke rumah sakit. Setelah melalui pemeriksaan, untungnya cederanya tidak terlalu serius. Dokter di ruang periksa segera menangani pergelangan kakinya yang terkilir.Jeremy mungkin sadar bahwa Eleanor tidak ingin melihatnya. Jadi, dia memilih untuk pergi setelah mengantarkan Eleanor. Ketika Eleanor selesai dirawat, dia melihat bahwa yang menunggunya di luar adalah asisten Jeremy, Andy.Andy menyapanya dengan sopan, "Bu Eleanor, Bos menyuruhku untuk antar Anda pulang.""Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri," jawab Eleanor dengan dingin sambil berjalan perlahan.Andy tetap bersikeras mengikuti dari belakang. "Bu Eleanor, jam segini sulit dapat taksi. Sebaiknya kuantarkan saja.""Aku bilang nggak perlu," ulang Eleanor tegas.Namun, ketika sampai di pintu keluar rumah sakit, Eleanor baru sadar bahwa dia tidak membawa ponsel ataupun uang. Dia mematung di tempat dengan canggung.Andy segera maju dan menawarkan, "Bu Eleanor, silakan."Pada saat itu, terlihat se
Ternyata dia masih belum pergi!Hembusan angin dingin terus masuk ke dalam mobil, membuat Eleanor sedikit menggigil dan menyelubungi bahunya. Di balik kabut hujan yang samar, muncul sebuah sosok yang tinggi dan tegap turun dari mobil. Matanya yang hitam pekat menatap ke arah mereka dengan mengintimidasi.Saat Jeremy mulai melangkah mendekat, Charlie memperlihatkan ekspresi yang semakin dingin dan tajam. Dia mengangkat tangan, lalu memutar bahu Eleanor dan mencondongkan tubuhnya ke arahnya.Wajahnya yang dingin dan tampan tiba-tiba membesar di hadapan Eleanor. Karena kaget, mata Eleanor terbelalak dan bulu matanya yang lentik bergetar halus. Dia mengangkat tangan untuk mendorong Charlie."Kamu ngapain?" tanyanya dengan nada bingung.Charlie menahan tangannya dan membuat gerakan seolah akan menciumnya. Eleanor mengernyit, tidak memahami apa yang sedang dia lakukan. Jarak mereka yang sangat dekat dari sudut pandang Jeremy terlihat seperti mereka berciuman dengan penuh gairah.Langkah Jere
"Kamu nggak marah lagi?"Eleanor menjawab dengan nada datar, "Aku nggak setemperamen kalian. Sudah malam, aku naik duluan. Kamu juga cepat istirahat.""Ya.""Oh ya, kenapa kamu datang ke ibu kota?""Ada urusan yang mau kuselesaikan," jawab Charlie."Oh, baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu. Di jalan nanti jangan ngebut, ingat, hidup cuma sekali. Jangan lupa, ya?""Hm."Charlie mengikuti Eleanor keluar dari mobil dan dengan cepat menopang tubuhnya. "Biar kuantar ke atas.""Nggak usah." Eleanor mencoba menggerakkan pergelangan kakinya. "Ini cuma luka kecil, nggak masalah buat jalan. Hujan lagi. Cepat pulang saja."Charlie memandang Eleanor yang perlahan masuk ke gedung. Saat gadis itu menghilang dari pandangannya, seberkas kilatan dingin di matanya kembali muncul bagaikan bara api yang menyala.Charlie tidak langsung pergi. Dia berdiri di bawah gedung selama beberapa saat, hingga lampu kuning yang redup menerangi sisi wajahnya yang tampan. Meski mengenakan pakaian serba hitam, kesan aro
Alis Jeremy langsung berkerut. Nama itu tidak asing baginya. Konon, pria ini adalah orang yang memiliki temperamen aneh dan tidak bisa ditebak. Seberapa anehnya temperamen pria itu? Dia mungkin bisa tersenyum padamu saat ini, tapi bisa membunuhmu di detik berikutnya.Di bawah kendalinya, ada sebuah organisasi pembunuh bayaran yang besar dan tidak ada yang tahu seberapa luas jangkauan kekuasaannya. Dia adalah orang yang benar-benar berbahaya.Jeremy pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namun, dia sendiri belum pernah melihat sosoknya, apalagi membayangkan bahwa Eleanor ternyata punya hubungan dengan orang seperti itu."Yakin?""Yakin!" Danuar mengangguk dengan mantap. "Jadi, Kak Jeremy, semua masalah yang berhubungan sama Eleanor ditutupi sama orang ini. Bukan aku yang nggak mau selidiki, tapi banyak sekali halangannya. Aku juga nggak berdaya."Bagaimanapun, Jeremy tahu bahwa tingkat kesulitannya lumayan tinggi jika ingin menyelidiki suatu hal di Negara Leroria. Jika masih di dalam neg
Pada saat ini, pintu kamarnya diketuk oleh Yoana. Yoana berdiri di luar dengan gugup sambil membawakan semangkuk mie yang masih hangat.Danuar meliriknya sekilas, lalu tersenyum. "Lho, Bu Yoana, kenapa kamu ke sini?""Kulihat Jeremy sepertinya belum makan malam. Jangan minum anggur dalam keadaan perut kosong. Aku sudah masakkan mie untuknya."Yoana yang matanya masih merah karena menangis, berbicara dengan suara serak yang diselingi sedikit isak. Saat ini, dia mengenakan gaun putih dengan rambut panjangnya yang tertata anggun. Wajahnya yang berpura-pura tegar terlihat sangat mengundang rasa iba.Dia membawa mangkuk itu ke depan Jeremy dan meletakkannya di meja dengan hati-hati. Saat menurunkan mangkuk tersebut, tangannya sengaja dibiarkan terbuka sehingga memperlihatkan telapak tangannya yang memerah karena terkena panas.Jeremy memperhatikan dengan sekilas. Alisnya sedikit terangkat, tapi tidak mengatakan apa pun.Yoana pun tidak menyinggung peristiwa yang terjadi malam ini. Setelah m
Keesokan harinya.Eleanor membangunkan Harry untuk berangkat sekolah seperti biasanya."Mama, semalam kamu nggak tidur nyenyak ya?" Melihat wajah Eleanor yang tampak kelelahan, jelas sekali dia tidak bisa terlelap semalaman.Eleanor terus membolak-balikkan diri di ranjang karena tidak bisa tidur semalaman. Begitu memejamkan mata, wajah Jeremy terus terbayang di hadapannya. Eleanor benar-benar merasa dirinya hampir gila."Mama nggak bisa tidur semalam.""Karena Jeremy?" Harry menatap Eleanor dengan matanya yang bunda. "Dia ganggu Mama lagi? Aku mau kasih pelajaran ke dia.""Nggak, dia nggak ganggu aku. Harry, ini urusan orang dewasa. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah sekolah dengan baik. Yang lainnya serahkan sama Mama saja.""Huh." Harry mencibir. "Aku tahu, Mama. Harry sudah bosan dengar perkataan ini."Melihat wajah gemas Harry, Eleanor mendadak teringat pada Daniel yang masih di rumah sakit. Pikirannya mulai terusik. Entah bagaimana kondisi Daniel hari ini.Setelah mengantar H
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in