Harry menyeka air matanya sambil menggerutu pelan, "Bibi cuma bilang yang sebenarnya. Dia orang paling baik yang pernah aku temui. Mana mungkin dia jahat? Aku yang salah. Aku harus introspeksi diri. Kenapa aku cuma jadi pengganggu setelah bertahun-tahun di rumah ini?"Ekspresi Jeremy menjadi makin muram. Dia bertanya pada Yoana, "Kamu yang bilang semua itu padanya?""Aku ... aku nggak ...." Yoana menatap Jeremy dengan cemas. Dia tahu sudah dijebak oleh anak itu dan sekarang tidak ada cara untuk membela diri.Yoana pun melirik ke arah Rina untuk meminta bantuan dengan ekspresi penuh kecemasan. Rina yang tanggap langsung berbicara, "Tuan Jeremy, kali ini memang Tuan Daniel yang salah duluan. Nona Yoana sudah sangat bersabar terhadapnya."Tatapan dingin Jeremy menyapu Rina, lalu dia berujar, "Kamu jago sekali membelanya."Rina terdiam. Suaranya mulai bergetar ketika membalas, "Tuan Jeremy ... aku cuma menyampaikan apa yang kulihat dengan jujur."Jeremy menoleh ke arah Yoana. Wanita itu me
Malam itu, sebenarnya Jeremy ingin menyelidiki siapa pria yang pernah berhubungan dengan Eleanor, tetapi ternyata dia tidak menemukan apa-apa. Tatapan Jeremy menjadi gelap dan raut wajahnya sangat kesal."Kalau Papa sudah tahu, kenapa tetap membantuku?" tanya Harry.Jeremy mengangkat alisnya yang tajam sambil menjawab, "Karena menurutku, kamu nggak sepenuhnya salah."Kalau bukan orang dewasa yang memberi tahu, mana mungkin anak kecil bisa tahu kata-kata kejam seperti itu?Di rumah ini, Jeremy sudah tegas melarang siapa pun untuk membicarakan masalah itu. Satu-satunya yang berani adalah Yoana.Sejak Jeremy memutuskan untuk mengadopsi Daniel, itu artinya Daniel adalah anaknya. Jeremy tidak akan membiarkan siapa pun menindas anaknya.Jeremy memberi tahu, "Ingat. Kalau ada yang bicara begitu lagi, jangan dengarkan. Kamu adalah anakku selamanya. Rumah ini juga akan selamanya menjadi rumahmu."Harry menatap mata Jeremy dalam-dalam. Meski ayahnya biasanya terlihat galak, tatapan matanya kali
Setelah pengobatan setengah jalan, tiba-tiba ingin berhenti. Apa maksud Jeremy? Main-main dengan kesehatannya?"Um ... Ini ...." Andy juga tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran Jeremy. Andy memang labil, terutama sejak kabar kematian Eleanor bertahun-tahun yang lalu.Andy sudah terbiasa dengan perubahan ini. Dia memberi tahu, "Nona Eleanor, aku juga nggak tahu pasti. Mungkin hari ini suasana hati Bos lagi buruk. Mungkin kalau suasana hatinya membaik, dia akan membiarkan kamu melanjutkan pengobatannya."Eleanor tersenyum sinis. Membiarkan dia melanjutkan pengobatan? Bukankah sebelumnya Jeremy yang memintanya untuk mengobatinya?Kenapa sekarang jadi seolah-olah Eleanor yang memaksakan diri untuk mengobatinya? Eleanor kehabisan kata-kata. Dia hanya ingin bertemu dengan anak itu, kenapa harus sesulit ini?"Nona Eleanor, silakan kembali," ucap Andy sebelum berbalik dan pergi.Eleanor menatap jendela besar di depan rumah itu, lalu melepaskan beberapa pukulan kombinasi ke arah jendela se
"Bos, Dokter Bastian sudah datang," ucap Andy sambil membawa Bastian masuk.Melihat Jeremy sedang sarapan, Bastian langsung duduk di sebelahnya tanpa bersikap sungkan. Dia mengambil mangkuk dan mulai makan juga."Kak Jeremy, ada apa mencariku?" tanya Bastian sambil melihat wajah Jeremy yang jelas kurang tidur. Kemudian, dia langsung paham. Kemungkinan besar dia diminta kemari untuk memeriksa kesehatannya. Bastian pun menoleh ke arah Jeremy seraya berujar, "Ini nggak masuk akal. Aku dengar, dokter itu sudah mulai mengobatimu. Tapi, kenapa kamu masih terlihat seperti belum tidur nyenyak? Apa dokter itu cuma punya reputasi hebat, tapi sebenarnya nggak ada keahlian?"Bastian mulai menganalisis sendiri dengan penasaran. Harry yang sedang menyeruput buburnya menimpali, "Bukan begitu. Papa yang nggak mau diobati dokter itu."Bastian menatap anak itu, lalu bertanya, "Papamu sendiri yang nggak mau diobati?""Ya, Papa benar-benar banyak tingkah," jawab Harry.Mendengar itu, Jeremy terdiam. Bast
Mungkin Eleanor memang ingin membawa pergi anaknya. Akan tetapi, Jeremy sudah merawatnya dengan penuh dedikasi selama lima tahun. Tidak mungkin Eleanor bisa semudah itu membawanya pergi. Namun ...."Kak Jeremy, bagaimanapun juga jangan sampai kesehatanmu jadi korban," ujar Bastian dengan nada perhatian. Jeremy memandang jauh ke arah punggung Harry. Tatapannya sulit diterka.Pada saat itu, guru piano mendekat dan memberi tahu, "Pak Jeremy, Daniel sudah berlatih piano dengan baik akhir-akhir ini. Kamu bisa datang mendengarnya kalau ada waktu."Jeremy melihat jam tangannya. Kebetulan dia tidak terburu-buru, jadi dia bangkit dan berjalan ke ruang latihan.Sementara itu, Harry duduk di kursi piano. Dia berpikir keras bagaimana caranya keluar dari situasi ini.Tak disangka, Jeremy datang dan duduk di sofa sebelah seolah-olah siap untuk mendengarkan dia bermain. Harry langsung tertegun. Dia membelalak ketika bertanya, "Pa, kenapa duduk di sana?""Aku mau dengar kamu main piano," balas Jeremy.
Otot di wajah Jeremy sedikit berkedut. Bastian menahan tangan Jeremy, lalu tertawa sebelum meledek, "Kak Jeremy, minat anak-anak harus didorong. Jangan sampai kita merusak kepercayaan diri mereka di saat seperti ini."Jeremy menarik napas panjang. Dia memejamkan matanya, lalu berucap dengan susah payah, "Oke ... teruslah berlatih."Harry merasa lega di dalam hatinya. Apakah ini berarti dia berhasil lolos? Dia membalas sambil mengangguk dengan patuh, "Pa, aku akan berlatih dengan sungguh-sungguh."Guru piano di samping terlihat tidak percaya saat menatap Harry. Dia berkomentar, "Padahal ... latihan sebelumnya sudah berjalan dengan baik .... Kenapa sekarang jadi seperti ini?"Harry hanya tersenyum untuk meminta maaf kepada gurunya, lalu buru-buru kabur.....Di Grup Stelea.Eleanor berjalan menuju resepsionis dengan langkah cepat. Wanita di sana memandangnya dan bertanya, "Nona, ada yang bisa kami bantu?"Eleanor menjawab, "Aku mau cari Bu Vivi. Namaku Eleanor."Wanita itu berujar, "Oh,
"Jeremy! Teganya kamu membunuh anakmu sendiri!" ratap Eleanor Haningrat sambil meringkuk. Rasa sakit yang mengerikan di perutnya hampir membuatnya tidak sadarkan diri. Cairan hangat terus mengalir ke kakinya.Jeremy Adrian baru saja meminumkan obat aborsi pada Eleanor. Kini, sang suami duduk di tepi ranjang. Tangan dingin itu mencengkeram dagu Eleanor, menikmati raut kesakitan di wajahnya."Eleanor, hari ini aku akan membalas semua yang kamu lakukan pada Yoana. Gimana rasanya kehilangan anakmu secara perlahan?" ejek Jeremy.Wajah Eleanor tampak pucat. Rintihan kesakitan terdengar pelan dari bibirnya. Dia menepis tangan Jeremy sambil berkata, "Sudah kubilang, bukan aku yang menyakiti anaknya. Harus berapa kali aku katakan padamu?""Bukan kamu?" ucap Jeremy. Cengkeraman tangannya yang dingin kian mengencang, seolah-olah ingin meremukkan dagu Eleanor.Jeremy melanjutkan dengan marah, "Pelaku yang tertangkap itu mengaku kalau kamulah yang menyuruhnya. Masih mau beralasan apa lagi? Anak Yoa
Lima tahun kemudian, di Rumah Sakit Leroria. Eleanor sedang duduk di kantornya. Dia baru selesai menganalisis sebuah kasus medis dan menyampaikan rencana perawatannya.Eleanor tidak tahu nama pasien itu. Dia hanya mendengar bahwa pasien itu adalah orang penting yang secara khusus meminta perawatannya, membuat rumah sakit memberikan perhatian lebih.Moses, sang direktur rumah sakit, duduk di sebelah dan mendengarkan analisis Eleanor dengan saksama. Dia bertanya, "Astrid, status orang ini sangat tinggi. Dia khusus menunjukmu untuk merawatnya. Apa kamu yakin bisa menyembuhkannya?""Catatan medisnya nggak menunjukkan dia mengidap penyakit lain. Gangguan tidurnya hanya disebabkan oleh emosi berlebihan. Keluhannya nggak terlalu rumit. Saya yakin bisa mengatasinya," sahut Eleanor.Mendengar itu, Moses baru merasa lega. Eleanor direkomendasikan secara pribadi oleh direktur sebelumnya tiga tahun lalu. Kala itu, dia baru berusia 25 tahun. Belum lagi, dia juga memiliki seorang anak berusia 2 tahu