"Bos, Dokter Bastian sudah datang," ucap Andy sambil membawa Bastian masuk.Melihat Jeremy sedang sarapan, Bastian langsung duduk di sebelahnya tanpa bersikap sungkan. Dia mengambil mangkuk dan mulai makan juga."Kak Jeremy, ada apa mencariku?" tanya Bastian sambil melihat wajah Jeremy yang jelas kurang tidur. Kemudian, dia langsung paham. Kemungkinan besar dia diminta kemari untuk memeriksa kesehatannya. Bastian pun menoleh ke arah Jeremy seraya berujar, "Ini nggak masuk akal. Aku dengar, dokter itu sudah mulai mengobatimu. Tapi, kenapa kamu masih terlihat seperti belum tidur nyenyak? Apa dokter itu cuma punya reputasi hebat, tapi sebenarnya nggak ada keahlian?"Bastian mulai menganalisis sendiri dengan penasaran. Harry yang sedang menyeruput buburnya menimpali, "Bukan begitu. Papa yang nggak mau diobati dokter itu."Bastian menatap anak itu, lalu bertanya, "Papamu sendiri yang nggak mau diobati?""Ya, Papa benar-benar banyak tingkah," jawab Harry.Mendengar itu, Jeremy terdiam. Bast
Mungkin Eleanor memang ingin membawa pergi anaknya. Akan tetapi, Jeremy sudah merawatnya dengan penuh dedikasi selama lima tahun. Tidak mungkin Eleanor bisa semudah itu membawanya pergi. Namun ...."Kak Jeremy, bagaimanapun juga jangan sampai kesehatanmu jadi korban," ujar Bastian dengan nada perhatian. Jeremy memandang jauh ke arah punggung Harry. Tatapannya sulit diterka.Pada saat itu, guru piano mendekat dan memberi tahu, "Pak Jeremy, Daniel sudah berlatih piano dengan baik akhir-akhir ini. Kamu bisa datang mendengarnya kalau ada waktu."Jeremy melihat jam tangannya. Kebetulan dia tidak terburu-buru, jadi dia bangkit dan berjalan ke ruang latihan.Sementara itu, Harry duduk di kursi piano. Dia berpikir keras bagaimana caranya keluar dari situasi ini.Tak disangka, Jeremy datang dan duduk di sofa sebelah seolah-olah siap untuk mendengarkan dia bermain. Harry langsung tertegun. Dia membelalak ketika bertanya, "Pa, kenapa duduk di sana?""Aku mau dengar kamu main piano," balas Jeremy.
Otot di wajah Jeremy sedikit berkedut. Bastian menahan tangan Jeremy, lalu tertawa sebelum meledek, "Kak Jeremy, minat anak-anak harus didorong. Jangan sampai kita merusak kepercayaan diri mereka di saat seperti ini."Jeremy menarik napas panjang. Dia memejamkan matanya, lalu berucap dengan susah payah, "Oke ... teruslah berlatih."Harry merasa lega di dalam hatinya. Apakah ini berarti dia berhasil lolos? Dia membalas sambil mengangguk dengan patuh, "Pa, aku akan berlatih dengan sungguh-sungguh."Guru piano di samping terlihat tidak percaya saat menatap Harry. Dia berkomentar, "Padahal ... latihan sebelumnya sudah berjalan dengan baik .... Kenapa sekarang jadi seperti ini?"Harry hanya tersenyum untuk meminta maaf kepada gurunya, lalu buru-buru kabur.....Di Grup Stelea.Eleanor berjalan menuju resepsionis dengan langkah cepat. Wanita di sana memandangnya dan bertanya, "Nona, ada yang bisa kami bantu?"Eleanor menjawab, "Aku mau cari Bu Vivi. Namaku Eleanor."Wanita itu berujar, "Oh,
"Sudah, masuklah." Bella memberi isyarat kepada Yoana agar tidak takut pada Jeremy dan mendekat padanya.Yoana menggigit bibirnya, lalu menyandarkan tangannya ke lengan Jeremy. Dengan suara lembut, dia berkata, "Jeremy, sebelumnya aku memang salah. Aku tahu tindakanku semalam keterlaluan. Setelah kembali nanti, aku bakal minta maaf langsung sama Daniel, ya?"Jeremy menatapnya dengan dingin. Suaranya yang rendah dan parau terdengar datar, "Nggak usah."Jeremy berjalan duluan ke depan. Sementara itu, tangan Yoana yang mencoba untuk meraih lengannya malah meleset. Melihat pria itu tidak menunggu dirinya, senyuman di wajah Yoana nyaris pudar."Jeremy!" Melihat sikapnya ini, Bella tampak kesal.Yoana menoleh dan menatap Bella dengan ekspresi penuh kesabaran dan sedikit kesedihan. Dia menggeleng dengan pelan, "Bibi, aku nggak apa-apa."Bella menghela napas, "Maaf sudah buat kamu sedih.""Nggak kok, Bi." Yoana mendorong kursi roda Bella, lalu buru-buru menyusul langkah Jeremy. Setelah berhasi
Vivi langsung merinding dan buru-buru memeluk Daniel erat-erat di dalam pelukannya. Dalam hatinya mengumpat, 'Sial! Kenapa apes sekali hari ini? Padahal kota ini begitu besar, tapi kenapa malah bisa ketemu di sini?'Vivi menarik beberapa pakaian untuk menutupi dirinya dan Daniel dengan hati-hati. Dia tidak boleh membiarkan Jeremy melihat anak itu. Sambil memantau sekitarnya, Vivi memperhatikan bahwa Daniel yang ada di pelukannya tampak lebih tegang dari dirinya sendiri.Vivi mencoba menenangkan anak itu, lalu berbisik pelan, "Daniel, nanti kalau aku bilang 'lari', kamu langsung lari keluar! Cari tempat untuk sembunyi dulu, aku dan mama kamu akan segera keluar mencarimu."Daniel mengangguk dengan patuh. Dia tahu bahwa ayahnya tidak boleh melihat dirinya.Melihat Jeremy dan yang lainnya tidak mendekat atau memperhatikan ke arahnya, Vivi segera melepaskan pelukannya, lalu berbisik, "Cepat lari."Daniel menundukkan tubuhnya, berlari melewati deretan pakaian ke arah pintu. Jeremy yang sedan
Eleanor menundukkan kepalanya, memandang mantan ibu mertuanya dengan dingin. "Kalau mau permasalahkan, kita buka saja rekaman CCTV dan perhitungkan semuanya dengan jelas."Yoana yang mendengar ucapan ini, langsung merasa cemas saat menangkap tatapan dingin dari Jeremy. Dia tahu membahas masalah ini tidak akan menguntungkannya, jadi dia buru-buru tersenyum canggung untuk mengalihkan pembicaraan."Bibi, kejadiannya sudah berlalu. Nggak perlu dibesar-besarkan lagi. Aku nggak nyalahin Bu Eleanor."Bella hanya menghela napas dengan ekspresi lelah. "Kamu ini terlalu baik hati, jadi mudah ditindas orang." Yoana tersenyum getir tanpa berkata apa-apa.Bella melirik Eleanor yang masih mengenakan gaun putih itu. Tatapannya semakin dingin. "Eleanor, kamu ini benar-benar luar biasa, ya. Apa pun yang disukai Yoana, kamu juga ikut menyukainya, ya?""Dulu Yoana dan Jeremy adalah pasangan serasi. Tapi karena suka sama Jeremy, kamu langsung jadi pihak ketiga dan merebut posisi sebagai istrinya. Sekarang
Yoana juga menunjukkan wajah serius, lalu menegur dengan suara lantang, "Eleanor, kamu benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun, Bibi lebih tua darimu. Kenapa kamu sengaja menjatuhkannya?"Eleanor memutar matanya dengan ekspresi tidak percaya, lalu menjawab dengan dingin, "Kalian semua buta? Nggak lihat dia yang memaksa menarikku?""Kalau begitu, kenapa kamu nggak berhenti? Kamu tahu dia menarikmu, tapi kamu tetap maju. Apa maksudmu?" Yoana bersikeras menekan Eleanor.Eleanor tertawa kesal. "Kalau dia nggak mau biarkan aku pergi, apa aku harus menuruti kemauannya? Memangnya dia ngira aku ini ibunya?""Kamu!" Yoana terdiam, marah, tetapi tak bisa membalas. "Ini benar-benar keterlaluan! Jeremy, masalah ini nggak boleh dibiarkan begitu saja."Yoana yang merasa telah menemukan kesalahan Eleanor, tidak mau melepaskan kesempatan ini untuk terus menyerangnya. Sementara itu, Bella masih memegangi lututnya sambil mengeluh kesakitan.Tatapan Jeremy semakin dingin dan penuh dengan kemarahan saat men
"Bibi?" Wajah Yoana tampak kaget."Aku tahu kamu nggak rela, aku juga sama. Tapi, Jeremy sudah marah. Kalau kita teruskan lagi, nggak akan menguntungkan bagi kita. Yoana, nggak boleh buru-buru dalam melakukan sesuatu. Tunggu saja."Yoana mengangguk dengan senang. "Ucapan Bibi memang masuk akal."Kerumunan perlahan bubar, tetapi Jeremy tetap menatap Eleanor dengan dingin. Keduanya berdiri saling berhadapan."Kapan mulutmu itu bisa belajar untuk berkompromi!?" tukas Jeremy dengan nada tajam.Eleanor tersenyum sinis, "Berkompromi? Maaf, itu sesuatu yang nggak akan pernah kupelajari."Jeremy menyipitkan matanya, sorot matanya dalam dan sulit dipahami. Dia kemudian berbalik dan berjalan keluar dengan langkah besar menuju toilet terdekat untuk membersihkan kopi yang lengket di tangannya.Setelah selesai mencuci tangan, dia hendak keluar. Namun, dia tiba-tiba melihat sosok kecil yang mengintip dari sudut. Jeremy mengerutkan kening, merasa sosok itu tidak asing. Dia melemparkan tisu ke tempat
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita
"Ibu, aku mengerti. Aku tahu apa yang harus dilakukan," ujar Yoana dengan mata yang memancarkan kebencian.Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin. Berada dalam kegelapan membuat Yoana lebih mudah dalam melancarkan rencananya.Alicia mengingatkan, "Jangan bertindak sendiri. Cari seseorang untuk melakukannya. Kalau semuanya terbongkar, kamu nggak akan disalahkan."Suasana hati Yoana langsung membaik. "Mudah saja. Tiara bodoh itu adalah pilihan terbaik."....Di rumah Eleanor.Keduanya duduk dalam keheningan yang menegangkan. Jeremy mengamati seisi rumah dengan tatapan santai. "Nggak ada yang mau kamu sampaikan?" tanyanya.Eleanor menatap Jeremy, lalu mengalihkan topik. "Mau minum apa? Di sini cuma ada air."Jeremy membalas, "Ceritakan tentang kejadian dulu."Tangan Eleanor yang sedang menuang air berhenti sejenak. Dia merasakan tatapan Jeremy yang tajam menancap padanya. Eleanor menundukkan pandangannya, kemudian mengangkat gelasnya dan meminum seteguk air."Itu bukan untukku
Jeremy bukan hanya menemani Eleanor menjalani pemeriksaan sepanjang pagi, sekarang dia bahkan mengantar Eleanor pulang ke rumah. Yoana hampir tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang meluap dari hatinya.'Eleanor, wanita hina itu, apa hebatnya dia?' pikir Yoana dengan geram."Menjijikkan," gumamnya dengan penuh kebencian.Namun, Yoana tidak berani bertindak gegabah sekarang. Jeremy sudah cukup marah padanya akhir-akhir ini. Jika dia berani menghadapi mereka langsung atau ketahuan telah mengikuti mereka, dia yakin Jeremy akan semakin murka.Dengan penuh rasa benci, Yoana akhirnya memutuskan untuk pergi lebih dulu.Saat mobil Yoana baru melaju ke jalan raya, matanya menyipit saat menangkap sosok Tarimi yang sedang berdiri di tepi jalan bersama seorang anak kecil. Dia tampaknya sedang mencoba menghentikan taksi.Yoana mengenali Tarimi seketika. Mereka pernah beberapa kali bertemu, dan dia tahu bahwa Tarimi adalah pengasuh di rumah Eleanor.Matanya kemudian tertuju pada anak yang sedang ber
Dokter itu terdiam sejenak, memahami maksud perkataan Eleanor. "Kamu nggak mau pria di luar itu tahu bahwa kamu cuma punya satu ginjal, ya?""Benar," Eleanor mengangguk. "Dia nggak perlu tahu."Untuk apa dia tahu? Supaya dia merasa bersalah? Lalu hubungan mereka akan terus terjebak dalam pusaran drama yang melibatkan Yoana tanpa akhir? Itu tidak ada gunanya.Semua itu terlalu melelahkan. Eleanor lebih memilih agar Jeremy tidak tahu apa-apa dan membiarkannya hidup dengan tenang.Dokter melihat keteguhannya, lalu mengangguk. "Baik, saya mengerti."Tepat saat itu, Jeremy masuk ke ruang pemeriksaan dengan suara dingin, "Bagaimana kondisi tubuhnya?"Dokter mengikuti instruksi Eleanor dan memberi tahu Jeremy bahwa semua hasil pemeriksaannya normal.Jeremy tampak ragu. "Semua normal?""Benar," jawab dokter tegas.Jika semuanya normal, lalu mengapa dokter semalam mengatakan bahwa tubuhnya tidak seperti orang biasa? Jeremy merasa ada sesuatu yang tidak beres.Melihat Jeremy mengerutkan dahi, El
Eleanor cukup mengenal merek pakaian ini. Pakaian dari merek ini sangat mahal, apalagi yang dia kenakan adalah koleksi terbaru musim ini. Harganya pasti lebih mahal. Kartu yang diberikan Eleanor berisi 600 juta, mungkin tidak cukup untuk membayar pakaian itu, tapi saat ini itulah uang yang dia miliki."Ini ...." Andy merasa canggung. Keringat dingin membasahi dahinya.Wajah Jeremy langsung menggelap dan menatap Eleanor dengan dingin. "Aku yang membayarnya."Eleanor terdiam.Andy buru-buru menyelipkan kembali kartu itu ke tangan Jeremy dan mundur ke samping, lalu mencoba menjelaskan, "Bu Eleanor, pakaian ini juga dipilih langsung sama Bos."Eleanor tertegun sejenak. Tatapan Jeremy tidak berpaling dari wajahnya, seolah menunggu sesuatu darinya. Eleanor mengerutkan bibir, lalu berkata dengan sedikit kaku, "Terima kasih."Namun, tatapan Jeremy tetap dingin, menunjukkan bahwa dia belum puas dengan ucapan itu.Andy yang berdiri di belakang terus memberikan kode dengan pandangan matanya yang
Kalau Jeremy benar-benar ingin Eleanor meminta maaf, sebaiknya dia lupakan saja. Eleanor tidak akan pernah meminta maaf pada Yoana."Nggak, Bu Eleanor nggak usah minta maaf sama aku." Yoana yang sudah lama mendengarkan dari balik pintu, akhirnya menemukan kesempatan untuk masuk dan menyela percakapan.Dengan langkah yang sedikit goyah, Yoana berjalan masuk dan berdiri di depan mereka berdua. Matanya penuh air mata saat berkata, "Ini bukan salah Bu Eleanor. Ini salahku. Aku mabuk waktu itu, emosiku nggak stabil, itulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Ini bukan salah Bu Eleanor."Eleanor tersenyum samar, menatap Yoana. Dia benar-benar pintar.Baru saja Eleanor mengatakan bahwa dia sengaja menyenggol Yoana di tepi kolam renang, Yoana langsung menyalahkan semua tindakannya pada emosi yang tak terkendali akibat mabuk. Dengan alasan seperti itu, siapa yang bisa berkata apa-apa lagi?"Jeremy, jangan salahkan Bu Eleanor."Yoana sengaja mengatakan tidak akan menyalahkan Eleanor, seolah-olah
"Malam ini kamu tinggal di sini. Besok aku akan bawa kamu untuk pemeriksaan." Suara Jeremy terdengar tegas dan tidak memberikan kesempatan bagi Eleanor untuk menolak.Eleanor menghela napas, "Kenapa kamu bersikeras aku melakukan pemeriksaan?""Tentu saja aku punya alasan sendiri. Aku cuma memintamu untuk menjalani pemeriksaan, bukan menyuruhmu mati. Apa kamu perlu setegang ini? Atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang tubuhmu?"Mata Eleanor bergetar sejenak.Tatapan Jeremy terus tertuju padanya. Sepasang matanya yang kelam menyiratkan kedalaman yang sulit dijangkau. Sorot matanya begitu tajam, membuat Eleanor merasa sulit untuk menghadapi tekanan itu.Eleanor berpura-pura tersenyum santai, "Rahasia apa yang harus aku sembunyikan? Aku cuma nggak suka sama caramu yang selalu memaksakan kehendak.""Ini demi kebaikanmu.""Alasan yang terlalu dibuat-buat." Eleanor mendengus dingin.Dia tahu, alasan itu hanya kedok. Sesungguhnya, Jeremy tidak bisa menolerir ada orang yang berani menyem
"Aku akan menyelidiki kejadian hari ini. Kalau benar dia sengaja ingin mencelakaimu, aku akan memaksanya untuk minta maaf padamu."Setelah mendengar ucapan Jeremy, bulu mata Yoana yang lentik bergetar untuk sesaat. Dia menunjukkan senyuman yang penuh kesedihan. "Remy, kamu nggak percaya padaku?"Jeremy menurunkan pandangannya dan menatap Yoana dalam-dalam. Kemudian, dia menjulurkan tangan untuk mendorong Yoana. "Ini lebih adil untuk kalian berdua."Adil? Yoana tak kuasa terkekeh-kekeh dalam hati. Mungkin Jeremy sendiri tidak menyadari bahwa dirinya lebih berpihak pada Eleanor.Tiba-tiba, Yoana melihat seseorang yang berjalan mendekati pintu. Dia memutar bola matanya. Sebuah rencana jahat terlintas di benaknya.Yoana menggigit bibirnya, lalu berdiri sambil menahan rasa sakit pada tubuhnya. Kemudian, dia sengaja menjatuhkan diri ke tubuh Jeremy dan memeluk pinggang Jeremy dengan kedua tangan.Jeremy memperlihatkan ketidaknyamanan di matanya. Dia menarik tangan Yoana turun. Namun, karena
Seketika, tangan dan kaki Eleanor terasa dingin. Siapa yang menjawab panggilan ini? Apa mungkin Jeremy?Eleanor lagi-lagi merasa gelisah. Dia segera menelepon Daniel. Setelah waktu yang cukup lama, Daniel akhirnya menerima panggilan. Dia seperti ragu untuk menjawab telepon."Daniel!""Mama!" Setelah mendengar suara Eleanor, Daniel baru berani bersuara, "Tadi aku telepon Mama, tapi Papa yang jawab."Seketika, hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh Eleanor. Dia menahan kegelisahannya sambil bertanya, "Apa yang dia bilang?""Dia nggak bilang apa-apa."Eleanor merasa situasi ini sangat gawat. Pada dasarnya, Jeremy memang mencurigainya. Takutnya, sekarang Jeremy sudah tahu semuanya.Eleanor mengangkat tangan untuk memijat keningnya, lalu berucap, "Ya sudah, Mama sudah tahu. Kamu tidur saja.""Mama ... maaf .... Apa aku membuat Mama repot?" tanya Daniel dengan takut."Nggak kok. Ini bukan salahmu. Mama akan mengatasi semuanya. Kamu tidur saja." Setelah menghibur Daniel, Eleanor pun mengakhiri