Eleanor menundukkan kepalanya, memandang mantan ibu mertuanya dengan dingin. "Kalau mau permasalahkan, kita buka saja rekaman CCTV dan perhitungkan semuanya dengan jelas."Yoana yang mendengar ucapan ini, langsung merasa cemas saat menangkap tatapan dingin dari Jeremy. Dia tahu membahas masalah ini tidak akan menguntungkannya, jadi dia buru-buru tersenyum canggung untuk mengalihkan pembicaraan."Bibi, kejadiannya sudah berlalu. Nggak perlu dibesar-besarkan lagi. Aku nggak nyalahin Bu Eleanor."Bella hanya menghela napas dengan ekspresi lelah. "Kamu ini terlalu baik hati, jadi mudah ditindas orang." Yoana tersenyum getir tanpa berkata apa-apa.Bella melirik Eleanor yang masih mengenakan gaun putih itu. Tatapannya semakin dingin. "Eleanor, kamu ini benar-benar luar biasa, ya. Apa pun yang disukai Yoana, kamu juga ikut menyukainya, ya?""Dulu Yoana dan Jeremy adalah pasangan serasi. Tapi karena suka sama Jeremy, kamu langsung jadi pihak ketiga dan merebut posisi sebagai istrinya. Sekarang
Yoana juga menunjukkan wajah serius, lalu menegur dengan suara lantang, "Eleanor, kamu benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun, Bibi lebih tua darimu. Kenapa kamu sengaja menjatuhkannya?"Eleanor memutar matanya dengan ekspresi tidak percaya, lalu menjawab dengan dingin, "Kalian semua buta? Nggak lihat dia yang memaksa menarikku?""Kalau begitu, kenapa kamu nggak berhenti? Kamu tahu dia menarikmu, tapi kamu tetap maju. Apa maksudmu?" Yoana bersikeras menekan Eleanor.Eleanor tertawa kesal. "Kalau dia nggak mau biarkan aku pergi, apa aku harus menuruti kemauannya? Memangnya dia ngira aku ini ibunya?""Kamu!" Yoana terdiam, marah, tetapi tak bisa membalas. "Ini benar-benar keterlaluan! Jeremy, masalah ini nggak boleh dibiarkan begitu saja."Yoana yang merasa telah menemukan kesalahan Eleanor, tidak mau melepaskan kesempatan ini untuk terus menyerangnya. Sementara itu, Bella masih memegangi lututnya sambil mengeluh kesakitan.Tatapan Jeremy semakin dingin dan penuh dengan kemarahan saat men
"Bibi?" Wajah Yoana tampak kaget."Aku tahu kamu nggak rela, aku juga sama. Tapi, Jeremy sudah marah. Kalau kita teruskan lagi, nggak akan menguntungkan bagi kita. Yoana, nggak boleh buru-buru dalam melakukan sesuatu. Tunggu saja."Yoana mengangguk dengan senang. "Ucapan Bibi memang masuk akal."Kerumunan perlahan bubar, tetapi Jeremy tetap menatap Eleanor dengan dingin. Keduanya berdiri saling berhadapan."Kapan mulutmu itu bisa belajar untuk berkompromi!?" tukas Jeremy dengan nada tajam.Eleanor tersenyum sinis, "Berkompromi? Maaf, itu sesuatu yang nggak akan pernah kupelajari."Jeremy menyipitkan matanya, sorot matanya dalam dan sulit dipahami. Dia kemudian berbalik dan berjalan keluar dengan langkah besar menuju toilet terdekat untuk membersihkan kopi yang lengket di tangannya.Setelah selesai mencuci tangan, dia hendak keluar. Namun, dia tiba-tiba melihat sosok kecil yang mengintip dari sudut. Jeremy mengerutkan kening, merasa sosok itu tidak asing. Dia melemparkan tisu ke tempat
Jeremy menarik kembali pandangannya dari Eleanor dengan ekspresi datar, lalu menggandeng Daniel yang berada di belakangnya dan berjalan keluar dari mal. Di dalam hatinya, Daniel merasa sangat cemas. Dia harus segera memberi tahu Harry agar mereka tidak bertemu di rumah nanti.Sementara itu, Bella dan Yoana yang melihat Jeremy membawa Daniel keluar dari mal, saling bertukar pandang dengan penuh kebingungan.Bella mengerutkan kening dan bertanya, "Jeremy, kenapa dia ada di sini?""Dia bosan di rumah, jadi aku menyuruh seseorang membawanya keluar untuk jalan-jalan," jawab Jeremy tanpa mengungkapkan bahwa Daniel sebenarnya keluar sendiri tanpa izin.Dia tahu betul Bella tidak menyukai Daniel. Jika dia mengetahui bahwa Daniel keluar tanpa izin, bocah itu pasti akan dimarahi habis-habisan.Daniel mengangkat kepalanya untuk melirik Jeremy yang hanya memberi isyarat dengan matanya. "Ayo, pulang."Bella yang masih merasa kesal, tidak bisa menahan diri untuk mengomel, "Daniel, apa-apaan ini? Jan
"Papa?""Kenapa jalannya lambat sekali? Takut kumarahi?" tanya Jeremy.Dalam hati, Daniel membatin, 'Aku takut kamu pingsan karena kaget melihat ada dua Daniel!'"Ya, aku tahu salah, Papa.""Masih berani diulangi lagi lain kali?" tanya Jeremy."Nggak," jawab Daniel dengan cepat.Jeremy tidak berdaya. Melihat anak itu yang biasanya ceria tiba-tiba menjadi pendiam, Jeremy merasa tidak tega. Dia khawatir perubahan kecil yang sudah mulai terlihat pada Daniel akan hilang dan anak itu kembali menjadi pendiam seperti dulu.Akhirnya, Jeremy berkata, "Baiklah, kali ini Papa nggak akan menghukummu. Tapi jangan seperti ini ini lagi lain kali.""Iya, iya, aku tahu," Daniel buru-buru mengangguk."Anak pintar," kata Jeremy sambil menggenggam tangan kecil Daniel.Namun di dalam hatinya, Daniel merasa seperti ingin menangis. Dia sudah bisa membayangkan adegan ketika dia masuk ke rumah dan bertemu langsung dengan Harry.Sudahlah, aku sudah berusaha sebaik mungkin. Kalau ketahuan, ya ketahuan saja.Deng
Dua bocah itu langsung terkejut. Gerakan mereka yang sedang saling bertukar pakaian pun terhenti seketika.Daniel menjadi yang duluan bereaksi. "Cepat sembunyi! Nanti kalau Papa sudah pergi, aku akan mengeluarkanmu."Daniel menarik Harry sambil melihat sekeliling kamar, hingga pandangannya tertuju pada lemari pakaian. Dia segera menyeret Harry dan mendorongnya masuk ke lemari."Kak, kamu yakin ini akan berhasil?" tanya Harry dengan suara kecil."Sembunyi saja dulu. Jangan sampai bersuara," jawab Daniel tegas.Harry hanya bisa mengangguk. Daniel menutup pintu lemari dengan hati-hati, lalu menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa cukup tenang, dia berjalan ke pintu seolah tidak terjadi apa-apa dan membukanya.Jeremy berdiri di ambang pintu dengan wajah serius. Dia sempat mendengar suara gaduh dari dalam kamar dan menjadi curiga."Kamu lagi ngapain di dalam?" tanya Jeremy sambil masuk ke kamar, matanya menyapu setiap sudut ruangan.Daniel merasa jantun
Jam tangan pintar Daniel kembali berbunyi. Eleanor meneleponnya. Setelah pulang, dia tidak melihat seorang pun di rumah. Daniel melepas jam tangan itu dan menyerahkannya kepada Harry. Harry segera mengangkat telepon dan memanggil dengan gembira, "Mama.""Harry, di tempat asing begini, kamu kabur ke mana lagi?" Suara Eleanor terdengar tegas di telepon.Harry dengan cepat memutar otaknya dan menjawab, "Mama, aku lihat kalian belum pulang, jadi aku bosan sendirian. Aku keluar sebentar untuk main, tapi sebentar lagi aku pulang. Jangan khawatir, ya."Eleanor hampir tertawa karena kesal. Kenapa anaknya suka sekali berkeliaran seperti ini?"Kamu di mana? Biar kujemput.""Nggak usah! Aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, Mama. Aku tutup dulu ya." Setelah itu, Harry buru-buru menutup telepon karena takut Eleanor bertanya lebih jauh."Gimana? Apa Mama percaya?" tanya Daniel."Sepertinya dia percaya," jawab Harry."Aku turun untuk lihat situasinya dulu." Daniel keluar dari kamar untuk memerik
Yoana membawa sepiring buah-buahan dan hendak naik ke lantai atas. Namun, ketika melihat Jeremy turun, dia langsung tersenyum dan memanggil, "Jeremy."Jeremy sama sekali tidak menghiraukannya dan berjalan keluar tanpa menoleh. Awalnya, dia sudah melarang Yoana tinggal di rumah, tetapi Yoana terus bertahan dengan memanfaatkan dukungan dari Bella.Melihat sikap Jeremy, Bella merasa sangat kesal. "Jeremy, sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini sama Yoana? Apa kamu perlu sampai bersikap seperti itu cuma karena seorang anak haram?"Jeremy menghentikan langkahnya dengan alis yang mengerut dalam. Dia berbalik dengan ekspresi dingin dan memperingatkan, "Kalau kudengar kata 'anak haram' lagi di rumah ini, orang itu akan kuusir sekarang juga.""Kamu!" Bella begitu marah hingga hampir terperanjat dari kursi rodanya.Yoana buru-buru melangkah maju dan mencoba menenangkan Bella. "Bibi, tenang dulu. Suasana hati Jeremy lagi buruk hari ini. Dia bukan sengaja mau buat Bibi marah."Saat itu, Basti
Jeremy langsung pergi tanpa menoleh lagi.Eleanor menghela napas panjang dan ekspresinya menjadi muram. Dia duduk di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.Tak lama kemudian, Tarimi kembali bersama Daniel. Melihat hari sudah cukup sore, Eleanor memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dan memilih menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya.Di bandara.Keesokan paginya, Eleanor dibangunkan oleh Vivi yang penuh semangat dan menyeretnya ke bandara.Hari ini Glenn kembali ke negara asal untuk pembicaraan mengenai kontrak endorse. Mereka sudah berusaha keras untuk mendapatkan kesempatan ini. Meskipun sudah mempersiapkan diri, pemandangan di bandara tetap membuat mereka terkejut.Kerumunan penggemar yang memenuhi tempat itu terlalu ramai."Glenn! Ahhh, dia ganteng banget!""Sayang! Sayang! Di sini, lihat ke sini!""Glenn, kamu yang paling tampan! Aku mencintaimu!"Vivi yang awalnya sangat bersemangat untuk bertemu selebrita
"Ibu, aku mengerti. Aku tahu apa yang harus dilakukan," ujar Yoana dengan mata yang memancarkan kebencian.Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin. Berada dalam kegelapan membuat Yoana lebih mudah dalam melancarkan rencananya.Alicia mengingatkan, "Jangan bertindak sendiri. Cari seseorang untuk melakukannya. Kalau semuanya terbongkar, kamu nggak akan disalahkan."Suasana hati Yoana langsung membaik. "Mudah saja. Tiara bodoh itu adalah pilihan terbaik."....Di rumah Eleanor.Keduanya duduk dalam keheningan yang menegangkan. Jeremy mengamati seisi rumah dengan tatapan santai. "Nggak ada yang mau kamu sampaikan?" tanyanya.Eleanor menatap Jeremy, lalu mengalihkan topik. "Mau minum apa? Di sini cuma ada air."Jeremy membalas, "Ceritakan tentang kejadian dulu."Tangan Eleanor yang sedang menuang air berhenti sejenak. Dia merasakan tatapan Jeremy yang tajam menancap padanya. Eleanor menundukkan pandangannya, kemudian mengangkat gelasnya dan meminum seteguk air."Itu bukan untukku
Jeremy bukan hanya menemani Eleanor menjalani pemeriksaan sepanjang pagi, sekarang dia bahkan mengantar Eleanor pulang ke rumah. Yoana hampir tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang meluap dari hatinya.'Eleanor, wanita hina itu, apa hebatnya dia?' pikir Yoana dengan geram."Menjijikkan," gumamnya dengan penuh kebencian.Namun, Yoana tidak berani bertindak gegabah sekarang. Jeremy sudah cukup marah padanya akhir-akhir ini. Jika dia berani menghadapi mereka langsung atau ketahuan telah mengikuti mereka, dia yakin Jeremy akan semakin murka.Dengan penuh rasa benci, Yoana akhirnya memutuskan untuk pergi lebih dulu.Saat mobil Yoana baru melaju ke jalan raya, matanya menyipit saat menangkap sosok Tarimi yang sedang berdiri di tepi jalan bersama seorang anak kecil. Dia tampaknya sedang mencoba menghentikan taksi.Yoana mengenali Tarimi seketika. Mereka pernah beberapa kali bertemu, dan dia tahu bahwa Tarimi adalah pengasuh di rumah Eleanor.Matanya kemudian tertuju pada anak yang sedang ber
Dokter itu terdiam sejenak, memahami maksud perkataan Eleanor. "Kamu nggak mau pria di luar itu tahu bahwa kamu cuma punya satu ginjal, ya?""Benar," Eleanor mengangguk. "Dia nggak perlu tahu."Untuk apa dia tahu? Supaya dia merasa bersalah? Lalu hubungan mereka akan terus terjebak dalam pusaran drama yang melibatkan Yoana tanpa akhir? Itu tidak ada gunanya.Semua itu terlalu melelahkan. Eleanor lebih memilih agar Jeremy tidak tahu apa-apa dan membiarkannya hidup dengan tenang.Dokter melihat keteguhannya, lalu mengangguk. "Baik, saya mengerti."Tepat saat itu, Jeremy masuk ke ruang pemeriksaan dengan suara dingin, "Bagaimana kondisi tubuhnya?"Dokter mengikuti instruksi Eleanor dan memberi tahu Jeremy bahwa semua hasil pemeriksaannya normal.Jeremy tampak ragu. "Semua normal?""Benar," jawab dokter tegas.Jika semuanya normal, lalu mengapa dokter semalam mengatakan bahwa tubuhnya tidak seperti orang biasa? Jeremy merasa ada sesuatu yang tidak beres.Melihat Jeremy mengerutkan dahi, El
Eleanor cukup mengenal merek pakaian ini. Pakaian dari merek ini sangat mahal, apalagi yang dia kenakan adalah koleksi terbaru musim ini. Harganya pasti lebih mahal. Kartu yang diberikan Eleanor berisi 600 juta, mungkin tidak cukup untuk membayar pakaian itu, tapi saat ini itulah uang yang dia miliki."Ini ...." Andy merasa canggung. Keringat dingin membasahi dahinya.Wajah Jeremy langsung menggelap dan menatap Eleanor dengan dingin. "Aku yang membayarnya."Eleanor terdiam.Andy buru-buru menyelipkan kembali kartu itu ke tangan Jeremy dan mundur ke samping, lalu mencoba menjelaskan, "Bu Eleanor, pakaian ini juga dipilih langsung sama Bos."Eleanor tertegun sejenak. Tatapan Jeremy tidak berpaling dari wajahnya, seolah menunggu sesuatu darinya. Eleanor mengerutkan bibir, lalu berkata dengan sedikit kaku, "Terima kasih."Namun, tatapan Jeremy tetap dingin, menunjukkan bahwa dia belum puas dengan ucapan itu.Andy yang berdiri di belakang terus memberikan kode dengan pandangan matanya yang
Kalau Jeremy benar-benar ingin Eleanor meminta maaf, sebaiknya dia lupakan saja. Eleanor tidak akan pernah meminta maaf pada Yoana."Nggak, Bu Eleanor nggak usah minta maaf sama aku." Yoana yang sudah lama mendengarkan dari balik pintu, akhirnya menemukan kesempatan untuk masuk dan menyela percakapan.Dengan langkah yang sedikit goyah, Yoana berjalan masuk dan berdiri di depan mereka berdua. Matanya penuh air mata saat berkata, "Ini bukan salah Bu Eleanor. Ini salahku. Aku mabuk waktu itu, emosiku nggak stabil, itulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Ini bukan salah Bu Eleanor."Eleanor tersenyum samar, menatap Yoana. Dia benar-benar pintar.Baru saja Eleanor mengatakan bahwa dia sengaja menyenggol Yoana di tepi kolam renang, Yoana langsung menyalahkan semua tindakannya pada emosi yang tak terkendali akibat mabuk. Dengan alasan seperti itu, siapa yang bisa berkata apa-apa lagi?"Jeremy, jangan salahkan Bu Eleanor."Yoana sengaja mengatakan tidak akan menyalahkan Eleanor, seolah-olah
"Malam ini kamu tinggal di sini. Besok aku akan bawa kamu untuk pemeriksaan." Suara Jeremy terdengar tegas dan tidak memberikan kesempatan bagi Eleanor untuk menolak.Eleanor menghela napas, "Kenapa kamu bersikeras aku melakukan pemeriksaan?""Tentu saja aku punya alasan sendiri. Aku cuma memintamu untuk menjalani pemeriksaan, bukan menyuruhmu mati. Apa kamu perlu setegang ini? Atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang tubuhmu?"Mata Eleanor bergetar sejenak.Tatapan Jeremy terus tertuju padanya. Sepasang matanya yang kelam menyiratkan kedalaman yang sulit dijangkau. Sorot matanya begitu tajam, membuat Eleanor merasa sulit untuk menghadapi tekanan itu.Eleanor berpura-pura tersenyum santai, "Rahasia apa yang harus aku sembunyikan? Aku cuma nggak suka sama caramu yang selalu memaksakan kehendak.""Ini demi kebaikanmu.""Alasan yang terlalu dibuat-buat." Eleanor mendengus dingin.Dia tahu, alasan itu hanya kedok. Sesungguhnya, Jeremy tidak bisa menolerir ada orang yang berani menyem
"Aku akan menyelidiki kejadian hari ini. Kalau benar dia sengaja ingin mencelakaimu, aku akan memaksanya untuk minta maaf padamu."Setelah mendengar ucapan Jeremy, bulu mata Yoana yang lentik bergetar untuk sesaat. Dia menunjukkan senyuman yang penuh kesedihan. "Remy, kamu nggak percaya padaku?"Jeremy menurunkan pandangannya dan menatap Yoana dalam-dalam. Kemudian, dia menjulurkan tangan untuk mendorong Yoana. "Ini lebih adil untuk kalian berdua."Adil? Yoana tak kuasa terkekeh-kekeh dalam hati. Mungkin Jeremy sendiri tidak menyadari bahwa dirinya lebih berpihak pada Eleanor.Tiba-tiba, Yoana melihat seseorang yang berjalan mendekati pintu. Dia memutar bola matanya. Sebuah rencana jahat terlintas di benaknya.Yoana menggigit bibirnya, lalu berdiri sambil menahan rasa sakit pada tubuhnya. Kemudian, dia sengaja menjatuhkan diri ke tubuh Jeremy dan memeluk pinggang Jeremy dengan kedua tangan.Jeremy memperlihatkan ketidaknyamanan di matanya. Dia menarik tangan Yoana turun. Namun, karena
Seketika, tangan dan kaki Eleanor terasa dingin. Siapa yang menjawab panggilan ini? Apa mungkin Jeremy?Eleanor lagi-lagi merasa gelisah. Dia segera menelepon Daniel. Setelah waktu yang cukup lama, Daniel akhirnya menerima panggilan. Dia seperti ragu untuk menjawab telepon."Daniel!""Mama!" Setelah mendengar suara Eleanor, Daniel baru berani bersuara, "Tadi aku telepon Mama, tapi Papa yang jawab."Seketika, hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh Eleanor. Dia menahan kegelisahannya sambil bertanya, "Apa yang dia bilang?""Dia nggak bilang apa-apa."Eleanor merasa situasi ini sangat gawat. Pada dasarnya, Jeremy memang mencurigainya. Takutnya, sekarang Jeremy sudah tahu semuanya.Eleanor mengangkat tangan untuk memijat keningnya, lalu berucap, "Ya sudah, Mama sudah tahu. Kamu tidur saja.""Mama ... maaf .... Apa aku membuat Mama repot?" tanya Daniel dengan takut."Nggak kok. Ini bukan salahmu. Mama akan mengatasi semuanya. Kamu tidur saja." Setelah menghibur Daniel, Eleanor pun mengakhiri