Eleanor tersenyum kecil. "Ternyata kamu bisa juga menarik kesimpulan seperti itu."....Insiden Yoana melompat dari gedung telah direkam oleh banyak orang dan diunggah ke internet. Berita itu dengan cepat sampai ke telinga Simon di kediaman Keluarga Adrian.Simon melihat ponsel yang diberikan oleh kepala pelayan, Justin, dan menggelengkan kepala dengan tak berdaya. "Anak perempuan Keluarga Pratama ini terlalu gegabah."Justin mengangguk. "Mungkin karena Nona Yoana terlalu mencintai Tuan Muda."Simon melambaikan tangan, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke luar. Dia menatap langit yang perlahan gelap dengan mata yang penuh pemikiran. Setelah lama terdiam, dia berkata, "Justin, suruh orang untuk menarik berita tentang pembatalan pertunangan itu.""Menariknya kembali?" Justin ragu sejenak. "Tuan Simon, bukankah Tuan Muda mungkin nggak akan menyetujuinya?"Simon berbalik dan mendengus marah."Aku tahu dia nggak akan setuju, tapi di rumah ini, aku yang memutuska
"Aku nggak percaya bahwa setelah beberapa kali melakukan tes, anak yang bukan anak kandung bisa tiba-tiba menjadi anak kandung ...."Kata-kata itu baru saja terucap ketika pandangan Simon jatuh pada halaman terakhir laporan.Hening. Udara di ruangan seakan membeku selama satu detik.Simon tiba-tiba berdiri, matanya membelalak tak percaya melihat teks di halaman tersebut. "Apa?!""Tuan?" Melihat Simon yang tiba-tiba berdiri dengan begitu bersemangat, Justin buru-buru maju untuk menopangnya.Simon berdiri kaku, pandangannya terpaku pada tulisan di laporan itu ....Dipastikan memiliki hubungan darah?Dipastikan memiliki hubungan darah!Bagaimana mungkin?Dengan gerakan yang sangat lambat, Simon mengangkat kepalanya. Wajah tuanya dipenuhi dengan ekspresi tidak percaya. "Justin ....""Tuan?""Cepat ke sini! Bantu aku lihat ini. Apa aku salah lihat?" Simon menyerahkan laporan itu dengan tergesa-gesa ke tangan Justin.Melihat ekspresi Simon, Justin membuka laporan itu dengan gugup. Ketika pan
"Dan sekarang, putri wanita itu berada di sisi Remy. Wanita itu telah membunuhmu demi kepentingannya sendiri. Aku nggak mungkin membiarkan putrinya menikah sama Remy."Dalam matanya yang masih berkaca-kaca, kilatan gelap melintas di tatapan Simon. Setelah cukup lama, Simon akhirnya berbicara, "Justin."Justin yang telah menunggu di luar pintu, segera masuk setelah mengetuk. "Tuan."Simon menempatkan kembali foto itu di tempat yang paling mudah terlihat dengan hati-hati.Justin menundukkan kepalanya dengan penuh rasa hormat dan duka. Simon selalu meletakkan foto itu di tempat yang mencolok agar dia terus mengingat kebenciannya yang mendalam setiap saat.Namun, sekarang ....Putri dari orang yang dibencinya telah melahirkan keturunan Keluarga Adrian. Takdir memang suka mempermainkan orang."Tuan, apakah sekarang kedua Tuan Muda harus dibawa kembali ke Keluarga Adrian?"Wajah Simon yang sebelumnya dipenuhi kebingungan dan kesedihan kini kembali menjadi penuh wibawa. Dengan suara tegas, di
Simon berpikir sejenak dan mengangguk. "Hmm, terlepas dari masalah ini, Yoana memang istri yang paling cocok untuk Remy."Keluarga, penampilan, dan pendidikannya tak bercela, menjadikannya pilihan yang sangat pantas sebagai seorang istri. Jika bukan Yoana, maka perempuan dari keluarga terpandang lainnya yang akan dipilih, tapi pasti bukan Eleanor."Baik, Tuan.""Simpan baik-baik hasil tes DNA ini. Suruh pengawal itu tutup mulut dan buatkan laporan DNA palsu. Mengenai kebenaran ini, aku akan mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu Remy.""Baik, saya akan segera mengurusnya." Justin buru-buru pergi untuk melaksanakan perintah.Simon kembali memandang foto di depannya dan tatapannya semakin dalam. Kemudian, dia berbalik dan berjalan keluar. "Pelayan, siapkan mobil. Aku mau ke rumah sakit."Dia ingin melihat kedua anak itu.Cicit-cicitnya.....Di rumah sakit, dalam ruang rawat.Setelah melihat anak-anak itu, Bella tidak tinggal lama dan segera pergi.Eleanor membungkuk untuk merapikan
Jeremy akhirnya menuruti permintaan Eleanor. Setelah meliriknya sekilas, dia berbalik dengan tenang. Karena luka di punggungnya, akhir-akhir ini Eleanor memakai pakaian yang longgar sehingga mudah dilepas.Meskipun Jeremy sudah membelakanginya, suara samar dari pakaian yang dilepas masih bisa terdengar di telinganya. Setelah sekitar satu menit berusaha, Eleanor akhirnya berkata, "Sudah."Jeremy berbalik dan melihat punggung Eleanor yang terpapar. Pakaiannya kini dipegang erat di depan dadanya untuk menutupi bagian depannya, sementara punggungnya yang putih mulus terlihat jelas.Pandangan Jeremy jatuh pada punggungnya. Punggung Eleanor yang putih bersih, kini dihiasi perban yang melekat di atas kulitnya. Tampak begitu kontras dan tidak wajar.Mata Jeremy sedikit muram.Melihat Jeremy hanya berdiri diam tanpa bergerak, Eleanor menggigit bibirnya dan menoleh sedikit. "Bisa lebih cepat nggak?""Mm."Jeremy melangkah maju dan tangannya mulai melepas perban yang melilit punggung Eleanor. Ket
Wajah Simon langsung berubah menjadi serius dengan menyembunyikan senyumannya sebelumnya. Ekspresinya kembali dingin dan penuh wibawa.Justin yang berdiri di samping segera menjelaskan, "Tuan Jeremy, Tuan hanya kebetulan mampir untuk melihat anak-anak."Jeremy melirik kedua anak yang sedang tidur, lalu memandang Simon. "Ada urusan?""Begitukah caramu menyambut kedatanganku?" Simon menatap Jeremy dengan tajam."Lalu bagaimana seharusnya? Apakah aku harus berlutut menyambutmu sambil berseru 'Kakek panjang umur'?"Ucapan itu membuat Simon terdiam, bahkan Justin pun tidak tahu harus berkata apa."Lihat, lihat itu." Simon menunjuk Jeremy dan berbicara kepada Justin. "Hanya karena masalah tadi siang, dia marah-marah sama aku."Justin segera mencoba meredakan ketegangan. "Tuan, jangan marah. Tuan Jeremy cuma bercanda."Simon mendengus dengan nada rendah, meskipun amarahnya jelas terlihat dari pelipisnya yang mulai berdenyut.Eleanor keluar dari kamar mandi setelah merapikan pakaian dengan rap
Eleanor membungkuk sedikit sambil memiringkan kepalanya. Pandangannya yang dingin tertuju pada sisi wajah Jeremy dari jarak yang sangat dekat. Mata Jeremy tanpa sadar menjadi semakin dalam dan jakunnya bergerak naik turun dengan halus.Setelah selesai mengoleskan salep, Eleanor hendak menarik tangannya kembali. Namun, Jeremy tiba-tiba mengangkat tangannya dan menggenggam tangan Eleanor.Tangan Eleanor begitu lembut dan sentuhannya sangat nyaman. Dia mencoba menarik tangannya kembali, tetapi genggaman Jeremy justru semakin erat.Eleanor mengerutkan kening dan tanpa sadar pandangannya bertemu dengan mata Jeremy. Hatinya seperti terkena sentakan kecil sehingga menimbulkan riak yang sulit dijelaskan.Eleanor segera menguasai dirinya. "Aku cuma mengoleskan obat. Kamu masih sempat-sempatnya bertingkah menyebalkan?"Jeremy tersenyum samar. "Bukankah di matamu aku memang menyebalkan? Kalau aku bertindak seperti ini, bukankah itu normal?"Nada bicara yang penuh percaya diri itu membuat Eleanor
Jeremy mengangkat tangannya yang panjang dan ramping. Saat dia hendak mengambil laporan itu, dia menatap Eleanor dengan dalam. "Kamu masih bersikeras dengan pernyataanmu sebelumnya bahwa anak-anak itu milikku, bukan?""Ya." Suara Eleanor terdengar tidak terlalu keras, tapi penuh dengan keyakinan.Jeremy mengangguk dan mengalihkan pandangannya, lalu mengambil laporan itu. Dia membukanya halaman demi halaman, hingga sampai ke halaman terakhir. Tatapannya jatuh pada hasil tes DNA yang tertera di sana.Ruangan itu menjadi sunyi selama lima detik penuh. Jeremy tersenyum dingin, lalu mengangkat tangannya untuk memijat pelipisnya.Apa yang sebenarnya dia harapkan?Satu kali, dua kali, tiga kali ... dia terus mengulanginya. Namun, tetap saja dia tidak bisa berhenti berharap.Eleanor yang melihat ekspresi Jeremy yang tidak menunjukkan kebahagiaan tetapi justru ironi, langsung merasa gelisah. Alisnya mengerut. "Kenapa? Apa yang terjadi?"Jeremy meletakkan laporan itu di atas meja, lalu menatap E
Charlie menoleh ke arah Eleanor dan menyapu pandangan dingin ke arahnya. Namun, senyuman kecil tersungging di bibirnya dengan penuh keyakinan. "Tenang saja, dia nggak akan punya kesempatan."Glenn yang tidak kalah percaya diri, tersenyum menawan. Matanya yang tajam menatap Eleanor, membawa pesona yang sulit diabaikan. "Belum tentu, bukan? Eleanor, gimana menurutmu?"Suasana di ruangan itu mendadak terasa berat, seolah ada energi yang tegang di antara kedua pria itu. Eleanor yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian, merasakan tekanan luar biasa dari dua tatapan penuh intensitas tersebut.Charlie menunduk sedikit dan menatap Eleanor dengan pandangan yang penuh ancaman. Dia seakan memperingatkan bahwa jika Eleanor berani mengatakan "ya", dia akan langsung membawanya pergi tanpa kompromi.Eleanor merasa canggung di bawah sorotan mereka. Dia menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada datar, "Kalian baru bertemu sekali, tapi sudah mulai bertengkar. Hebat sekali. Tapi maaf,
Yoana awalnya berharap bisa melihat ekspresi kecewa di wajah Eleanor, tetapi yang dia lihat hanyalah wajah yang dingin dan datar. Seolah Eleanor mengenakan topeng tak terkalahkan dan menyembunyikan emosi aslinya di baliknya.Yoana tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, bahkan malah diprovokasi oleh Eleanor. Akhirnya, dia menyerah dan memutuskan untuk pergi.Lagi pula, posisinya saat ini tidak cukup kuat untuk membuat keributan besar. Jika sampai Jeremy mengetahui insiden ini, dia hanya akan semakin dibenci.Yoana memberi isyarat pada Alicia untuk mendorong kursi rodanya. Begitu dia berbalik, matanya bertemu dengan seorang pria yang memancarkan aura dingin yang menusuk.Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang seolah-olah tersenyum, tapi sebenarnya penuh ejekan, ditambah dengan sikap santai yang terlihat arogan. Hanya satu tatapan darinya sudah cukup membuat bulu kuduk Yoana berdiri.Dia lagi! Pria ini lagi!Yoana gemetar ketakutan. Dia tidak bisa menghitung lagi sudah berapa kali dia
Eleanor masih harus menunggu untuk melihat bagaimana sikap Jeremy terhadap semua ini. Karena sikap Jeremy adalah yang paling penting."Baiklah, Yoana. Sekarang semuanya sudah ditetapkan. Fokus saja untuk memulihkan lukamu. Jangan pikirkan hal lain. Bersiaplah menjadi pengantin baru," ujar Alicia dengan nada optimis.Yoana tersenyum tipis. "Meskipun begitu, aku khawatir Jeremy mungkin nggak mau ....""Nggak usah khawatir. Kamu dan Jeremy tumbuh bersama sejak kecil. Aku nggak percaya kalau dia sama sekali nggak punya perasaan untukmu," kata Alicia dengan penuh keyakinan.Yoana memikirkan hal itu dan merasa cukup masuk akal. Mungkin Jeremy hanya marah sesaat. Setelah amarahnya mereda, ditambah dukungan dari Simon, semuanya pasti akan kembali seperti semula.'Nyonya Keluarga Adrian, posisi itu hanya milikku!' pikir Yoana dengan penuh tekad. Dia menarik napas panjang, merasakan dada yang tadinya sesak kini terasa lega."Ibu, tolong bantu aku ke kursi roda.""Kamu mau ke mana?""Dalam situas
Saat itu, Patrick berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat. "Yoana," panggilnya lantang."Ayah, kenapa Ayah juga kelihatan buru-buru? Ada kabar dari Keluarga Adrian?"Patrick mengangguk. "Ada."Tangan Yoana yang berada di atas selimut mencengkeram erat. Dengan penuh keraguan, dia bertanya, "Apa itu tentang hasil tes DNA? Apakah hasilnya sudah keluar?""Ya, sudah keluar," jawab Patrick langsung.Tubuh Yoana bergetar hebat. Wajahnya langsung pucat. Dengan suara pasrah, dia bertanya, "Jeremy sudah tahu hasilnya, 'kan?""Hasil tes menunjukkan bahwa anak-anak itu bukan milik Jeremy!""Apa?" Yoana langsung mendongak, ekspresinya penuh dengan ketidakpercayaan. "Itu nggak mungkin!""Kalian pasti melakukan sesuatu, 'kan?" tanya Yoana dengan nada panik.Patrick menggeleng. "Nggak. Kami bahkan nggak punya kesempatan untuk melakukannya."Alicia yang juga terlihat sangat terkejut, bertanya, "Patrick, informasi ini benar nggak? Jangan-jangan itu cuma kabar palsu.""Informasi ini sangat a
Eleanor menyipitkan matanya dan mengangguk pelan. Dugaan itu benar-benar menjadi kenyataan. Keluarga Adrian tidak mungkin membiarkan darah daging mereka tinggal di luar kendali, apalagi Simon."Tapi kalau Jeremy benar-benar menepati janjinya, kamu nggak perlu khawatir soal itu," ujar Vivi sambil memegang tangan Eleanor dengan erat. Wajahnya penuh kekhawatiran saat dia menatap Eleanor. "Jadi alasanmu meminta Jeremy berjanji tadi, itu semua untuk hal ini?"Agar dia dan anak-anaknya bebas, tanpa gangguan selamanya!"Ya," jawab Eleanor dengan anggukan mantap.Simon sudah mengetahui kebenarannya dan Jeremy juga akan segera mengetahuinya. Begitu identitas anak-anak terbongkar, semua rahasia di masa lalu juga akan terkuak.Jeremy adalah orang yang membenci kebohongan. Apa yang selama ini coba disembunyikan oleh Yoana tidak mungkin bisa bertahan lebih lama. Eleanor juga tidak akan membiarkan Yoana terus berbohong.Selama bertahun-tahun dia telah dirugikan begitu banyak. Kini, saatnya dia menun
"Dan satu lagi." Eleanor menatap Jeremy dengan tajam. "Kalau hari itu benar-benar tiba, aku ingin kamu membiarkanku dan anak-anak bebas selamanya. Jangan pernah ganggu kami lagi."Jeremy yang biasanya tidak menunjukkan emosinya, kali ini tampak agak bingung.Di dalam ruang rawat, udara seolah membeku.Setelah waktu yang terasa begitu lama, Jeremy akhirnya berkata dengan suara pelan, "Baik, seperti yang kamu inginkan."Eleanor mengangguk tanpa suara. "Aku harap kamu menepati ucapanmu."Jeremy, saat kebenaran terungkap, kamu bahkan tidak punya hak untuk melihat kami lagi.Jeremy, kamu akan menyesal seumur hidupmu.Ruang rawat terasa seperti sebuah gua es raksasa. Suasana dingin itu tidak hilang bahkan setelah Jeremy pergi. Eleanor memalingkan tubuhnya sambil menengadah dan berusaha keras menahan air mata yang hampir jatuh.Menangis? Untuk apa? Tidak ada gunanya."Eleanor." Suara Vivi yang tergesa-gesa terdengar saat dia masuk ke dalam. Dia sebenarnya sudah datang sejak tadi, tetapi memil
Jeremy mengangkat tangannya yang panjang dan ramping. Saat dia hendak mengambil laporan itu, dia menatap Eleanor dengan dalam. "Kamu masih bersikeras dengan pernyataanmu sebelumnya bahwa anak-anak itu milikku, bukan?""Ya." Suara Eleanor terdengar tidak terlalu keras, tapi penuh dengan keyakinan.Jeremy mengangguk dan mengalihkan pandangannya, lalu mengambil laporan itu. Dia membukanya halaman demi halaman, hingga sampai ke halaman terakhir. Tatapannya jatuh pada hasil tes DNA yang tertera di sana.Ruangan itu menjadi sunyi selama lima detik penuh. Jeremy tersenyum dingin, lalu mengangkat tangannya untuk memijat pelipisnya.Apa yang sebenarnya dia harapkan?Satu kali, dua kali, tiga kali ... dia terus mengulanginya. Namun, tetap saja dia tidak bisa berhenti berharap.Eleanor yang melihat ekspresi Jeremy yang tidak menunjukkan kebahagiaan tetapi justru ironi, langsung merasa gelisah. Alisnya mengerut. "Kenapa? Apa yang terjadi?"Jeremy meletakkan laporan itu di atas meja, lalu menatap E
Eleanor membungkuk sedikit sambil memiringkan kepalanya. Pandangannya yang dingin tertuju pada sisi wajah Jeremy dari jarak yang sangat dekat. Mata Jeremy tanpa sadar menjadi semakin dalam dan jakunnya bergerak naik turun dengan halus.Setelah selesai mengoleskan salep, Eleanor hendak menarik tangannya kembali. Namun, Jeremy tiba-tiba mengangkat tangannya dan menggenggam tangan Eleanor.Tangan Eleanor begitu lembut dan sentuhannya sangat nyaman. Dia mencoba menarik tangannya kembali, tetapi genggaman Jeremy justru semakin erat.Eleanor mengerutkan kening dan tanpa sadar pandangannya bertemu dengan mata Jeremy. Hatinya seperti terkena sentakan kecil sehingga menimbulkan riak yang sulit dijelaskan.Eleanor segera menguasai dirinya. "Aku cuma mengoleskan obat. Kamu masih sempat-sempatnya bertingkah menyebalkan?"Jeremy tersenyum samar. "Bukankah di matamu aku memang menyebalkan? Kalau aku bertindak seperti ini, bukankah itu normal?"Nada bicara yang penuh percaya diri itu membuat Eleanor
Wajah Simon langsung berubah menjadi serius dengan menyembunyikan senyumannya sebelumnya. Ekspresinya kembali dingin dan penuh wibawa.Justin yang berdiri di samping segera menjelaskan, "Tuan Jeremy, Tuan hanya kebetulan mampir untuk melihat anak-anak."Jeremy melirik kedua anak yang sedang tidur, lalu memandang Simon. "Ada urusan?""Begitukah caramu menyambut kedatanganku?" Simon menatap Jeremy dengan tajam."Lalu bagaimana seharusnya? Apakah aku harus berlutut menyambutmu sambil berseru 'Kakek panjang umur'?"Ucapan itu membuat Simon terdiam, bahkan Justin pun tidak tahu harus berkata apa."Lihat, lihat itu." Simon menunjuk Jeremy dan berbicara kepada Justin. "Hanya karena masalah tadi siang, dia marah-marah sama aku."Justin segera mencoba meredakan ketegangan. "Tuan, jangan marah. Tuan Jeremy cuma bercanda."Simon mendengus dengan nada rendah, meskipun amarahnya jelas terlihat dari pelipisnya yang mulai berdenyut.Eleanor keluar dari kamar mandi setelah merapikan pakaian dengan rap