Yoana tidak sabar mengajak Tiara keluar untuk menemani dirinya memilih gaun. Setelah menerima panggilan, Tiara langsung melemparkan ponselnya.Tiara menggertakkan gigi. Ekspresinya penuh kemarahan. "Sialan, dia kira aku budaknya? Semua kesalahan dilemparkan kepadaku, semua hal baik cuma untuk dia. Sekarang dia masih ingin aku menemaninya belanja? Lebih baik dia mati saja!"Felicia buru-buru mengambil ponselnya dan memandang Tiara dengan cemas. Kejadian semalam telah membuat Tiara sangat membenci Eleanor dan Yoana."Tiara, jangan begini. Bisnis keluarga kita masih bergantung pada Keluarga Pratama." Robert tidak memiliki bakat bisnis. Banyak proyek dari Grup Haningrat yang harus bergantung pada Keluarga Pratama. Itu sebabnya, mereka sama sekali tidak berani membuat Yoana marah.Contoh saja kejadian semalam, apa pun yang Yoana perintahkan, mereka hanya bisa mengikutinya. Mereka harus menelan semua kepahitan yang ada."Tadi Ibu dengar dia bilang ada pesta besok malam. Pesta yang dia hadiri
"Kamu kebanyakan nonton drama belakangan ini ya? Kamu sampai merasa nenekku adalah big boss yang sembunyi di balik layar?"Vivi mendengus. "Ya sudah, semoga cuma aku yang berlebihan."Bagaimanapun, di Keluarga Haningrat, Jovita adalah satu-satunya orang yang Eleanor peduli. Vivi tidak berharap Jovita sama seperti orang-orang Keluarga Haningrat."Tapi Eleanor, mau kamu percaya atau nggak, jangan ceritakan masalahmu padanya seperti anak kecil. Nggak ada salahnya berhati-hati, 'kan?""Ya, aku ngerti." Eleanor memang tidak berencana memberi tahu orang-orang Keluarga Haningrat tentang masalah ini. Ini karena dia tahu manusia sebaik apa pun pasti bisa pilih kasih."Oh ya, besok malam ada pesta. Ikut yuk, kamu baru pulang dan menjalankan perusahaan. Acara-acara seperti itu harus dihadiri, biar lebih banyak orang yang mengenalmu.""Oke.""Kalau begitu, sekarang kita mampir sebentar untuk pilih gaun?"Eleanor melihat jam tangannya. Hari ini dia punya banyak urusan. Pukul 4.30 sore harus menjemp
"Kamu tunggu saja, aku akan membalas penghinaan semalam."Eleanor tersenyum tipis. "Aku tunggu." Setelah itu, Eleanor dan Vivi langsung pergi.Yoana menarik lengan Tiara. "Sudah, jangan ribut lagi. Masih ada banyak waktu ke depannya. Nggak usah terburu-buru. Besok malam kamu ikut aku ke pesta.""Ya, aku tahu." Yoana mengajaknya bukan karena niat baik, tapi karena ingin memanfaatkannya. Itu sebabnya, Tiara tidak merasa senang.Tiara tidak lagi bersikap seperti biasanya yang selalu memuji dan menyenangkan hati Yoana. Hal ini membuat Yoana yang biasa disanjung olehnya merasa kesal.Yoana tahu kenapa Tiara bersikap seperti ini. Ini karena kejadian semalam. Tiara merasa diperlakukan tidak adil."Kamu masih nggak bisa lupain kejadian semalam? Kamu merasa aku seharusnya mengizinkanmu menjatuhkan Eleanor, 'kan?" Yoana melipat tangannya sambil menatap Tiara dengan dingin.Tiara menggigit bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa."Dasar bodoh.""Kamu!" Tiara hampir marah, tetapi tiba-tiba teringat
Yoana sengaja melebih-lebihkan di hadapan Bella. Jika Eleanor tidak berhasil menyembuhkan Jeremy atau ada penyakit lain yang tidak bisa disembuhkannya, bukankah dia akan dianggap sebagai penipu?Eleanor tersenyum dingin dalam hatinya. "Aku bukan dewa, nggak semua penyakit bisa kuobati."Yoana memandang Eleanor sambil tersenyum. "Berarti, kamu mengatakan keahlian medismu kurang ya?""Keahlian medis bukan dinilai oleh orang lain atau diri sendiri, tapi dinilai dari proses dan hasil pengobatan. Sebelum masuk ruang operasi, apa ada dokter yang berani jamin operasi akan berhasil? Kalau dia nggak memberimu jaminan, apa kamu akan mengatakan dia nggak terampil?""Selain itu, aku cuma bilang nggak semua penyakit bisa kuobati dan kamu langsung bilang keahlianku rendah. Ini cukup menarik. Kalau aku bisa mengobati semua penyakit, bukankah kamu akan memberi hormat padaku dan memanggilku dewa saat bertemu?""Lebih baik berhenti mengatakan hal-hal bodoh seperti itu. Kalau nggak, kamu sendiri yang aka
Sungguh menakutkan. Danuar merasa topik pembicaraan ini bisa membuatnya meledak.Danuar segera memberi isyarat mata kepada Bastian. Bastian berkata dengan santai, "Kita juga nggak bisa panggil kamu Bu Eleanor terus, kedengarannya terlalu formal.""Betul sekali.""Dokter Eleanor juga boleh." Eleanor mendongak menatap keduanya, sama sekali tidak menyadari bahwa wajah pria yang duduk di sofa sudah sangat suram."Eee ...." Danuar menyunggingkan sudut bibirnya. Sialan, dia memang suka bicara omong kosong. Kenapa dia malah membahas topik ini tadi?"Kak Eleanor saja deh. Boleh, 'kan?" tanya Danuar segera."Terserah." Asal jangan memanggilnya kakak ipar."Kalian berdua keluar." Jeremy yang duduk diam di sofa akhirnya bersuara.Danuar dan Bastian menatap Jeremy yang duduk di sofa kulit hitam. Mereka merasa Jeremy bukan duduk di sofa, melainkan di atas singgasana tengkorak. Jeremy terlihat seperti penguasa kejam yang tidak punya belas kasihan."Ya sudah, kami keluar dulu." Sebenarnya Danuar ingi
Jeremy menggertakkan giginya dengan murka."Ya sudah, kamu tetap di sini saja." Eleanor mengambil barang-barangnya, bersiap untuk pergi. "Dah!""Eleanor, kembali!" Tidak pernah ada yang berani bersikap seperti ini pada Jeremy sebelumnya. Makanya, dia benar-benar murka.Eleanor berlari keluar tanpa menoleh sedikit pun. Dia bahkan sengaja menutup pintu, memastikan tidak ada yang bisa menemukan Jeremy dalam waktu singkat.Jeremy hanya bisa menyaksikan Eleanor pergi dengan tatapan suram.Eleanor tidak berani menunda lebih lama. Dia pergi ke kamar Harry, lalu berpesan beberapa hal sebelum bergegas turun. Karena Jeremy ingin membunuhnya, dia harus segera pergi."Eleanor," panggil Bella tiba-tiba dengan nada bicara yang penuh kebencian seperti biasanya.Yoana mengambil cangkir teh dan menyesap dengan santai. Tidak ada yang menyadari senyuman dingin dan puas di bibirnya.Eleanor menghentikan langkah kakinya. "Ada apa?"Bella menatapnya dengan dingin, "Kamu nggak perlu datang untuk mengobati Je
Jeremy mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Alisnya berkerut, hawa dingin yang terpancar darinya begitu kuat hingga membuat Bella agak takut."Jeremy? Kamu ...." Sebelum Bella selesai berbicara, dia melihat Jeremy sontak menghampiri Eleanor dan menariknya keluar."Jeremy? Jeremy!" Wajah Bella menjadi suram karena marah.Yoana mengernyit. "Bibi, aku akan kejar Remy."Setelah mengatakan itu, Yoana hendak mengejar, tetapi Danuar berdiri dan menghalangi jalan Yoana. Sambil tersenyum nakal, dia berkata, "Bu Yoana, sebaiknya tunggu sebentar. Mungkin mereka ingin membahas sesuatu."Yoana menatap kedua orang yang sudah pergi, lalu memelototi Danuar. Danuar mengangkat alisnya dengan tidak peduli."Lepaskan aku, Jeremy!"Jeremy berjalan dengan sangat cepat. Dia menarik lengan Eleanor sehingga Eleanor terpaksa mengikuti langkahnya dengan susah payah. Langkahnya yang kacau membuatnya terlihat agak menyedihkan.Dengan satu tarikan kuat, Jeremy mendorongnya ke samping mobil. Eleanor menatap mata Jeremy
"Hm," sahut Jeremy dengan pelan, lalu turun dari mobil dan bergegas menghampiri Eleanor.Eleanor berdiri di anak tangga, menatap pria yang mendekat. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah pria itu. Tatapannya bahkan terlihat sangat dingin.Eleanor menatap Jeremy dengan pandangan agak kosong. Seingatnya, saat mereka mengurus akta nikah beberapa tahun lalu, Jeremy juga menunjukkan ekspresi yang sama, murung, dingin, dan jengkel.Saat itu, Jeremy pasti sangat membencinya. Namun saat itu, Eleanor larut dalam perasaan cintanya yang mendalam sehingga tidak peduli. Setelah dipikirkan kembali, hubungan mereka memang tidak mungkin berakhir baik.Eleanor menunduk, perasaan sedih yang tidak bisa ditahan kembali muncul di dalam hatinya. "Ayo masuk."Ketika melihat Eleanor berjalan masuk tanpa ragu, kekesalan pada tatapan Jeremy menjadi semakin kuat. "Kamu nggak mau mempertimbangkannya lagi?""Apa yang perlu dipertimbangkan?" Eleanor tersenyum tipis dan wajahnya terlihat santai. "Bukankah kita sudah m
Andy juga memandang Harry dengan penuh kekaguman. Harry menatap Tora dengan tegas dan berkata, "Tadi kamu bilang transfer itu dari akun anonim. Sekarang keluarkan detail transaksi transfernya."Tora berniat menolak, tetapi seketika merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke pelipisnya.Dengan nada dingin, Andy berkata, "Pak Tora, kami sudah sangat menghormati Anda. Kalau Anda terus keras kepala, Anda mungkin nggak akan keluar dari rumah ini hidup-hidup. Pikirkan baik-baik. Lagi pula, kata sandi komputer Anda sudah dibobol. Menemukan catatan transfer itu hanya masalah waktu."Tora tahu mereka tidak main-main. Mereka akan benar-benar melakukannya.Dengan gigi terkatup rapat, dia akhirnya mengalah. Meski dengan sangat enggan, Tora mengeluarkan catatan transaksi dari komputernya.Jeremy melihat ke arah Harry yang masih sibuk dengan komputer. "Bisa temukan identitas pengirimnya?""Ya. Tapi ini butuh sedikit waktu," jawab Harry sambil jari-jarinya terus menari di atas keyboard. Seten
Itu adalah laptop miliknya dan laptop itu disimpan dengan aman di kantornya. Pintu kantor hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya, bahkan gergaji listrik pun tidak akan mampu membukanya.Tora menatap Jeremy dengan keterkejutan luar biasa. Jangan-jangan, monster ini menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan pintu kantornya? Bukan hanya itu. Kantornya sangat tersembunyi dan anak buahnya tidak akan membiarkan siapa pun dari pihak Jeremy masuk begitu saja.Satu-satunya kemungkinan adalah orang-orang Jeremy menerobos masuk, membantai semua yang menghalangi mereka, menghancurkan pintu kantornya, dan menemukan laptop itu.Tora ternganga, mulutnya terbuka lebar karena terkejut, tetapi terlalu marah untuk mengatakan apa-apa. Tidak heran dia ditahan di sini begitu lama. Ternyata ini semua adalah bagian dari rencana Jeremy!Luar biasa, sungguh luar biasa! Tora hampir meledak karena marah.Namun Jeremy tetap menunjukkan ekspresi tenang yang dingin.Di bawah tatapan Jeremy, Andy membuka laptop i
Eleanor selalu licik dan penuh tipu muslihat. Yoana mulai curiga bahwa Eleanor sengaja meminta dokter mengatakan hal itu agar mereka lengah."Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja untuk memulihkan diri," kata Alicia. Namun, karena jari-jarinya yang sangat sakit, dia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum buru-buru pergi mencari dokter.Yoana tetap tidak bisa tenang. Matanya memicing dengan tajam. "Ayah, di mana Remy? Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan rumah sakit?"Patrick mengerutkan alis. "Aku juga nggak tahu."Yoana merasa ada yang tidak beres dengan kepergian Jeremy dari rumah sakit secara tiba-tiba. Rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya.Setelah mempertimbangkan cukup lama ...."Ayah, aku tetap merasa ini nggak benar. Anak itu nggak boleh dibiarkan hidup. Kalau dia nggak mati, semua usaha kita selama ini akan sia-sia," kata Yoana dengan geram."Aku akan utus orang untuk terus awasi. Kita lihat dulu beberapa waktu ke depan sebelum bertindak," jawab Patrick yang tidak
Dengan mata merah dan berkaca-kaca, Eleanor menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan menatap dokter. "Terima kasih banyak, Dokter."Dokter memberikan beberapa instruksi sebelum hendak pergi, tetapi Eleanor memanggilnya kembali. "Dokter, tunggu sebentar.""Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu Eleanor?"Eleanor melirik ke luar ruangan, lalu menurunkan suaranya. "Aku ingin minta bantuan Anda untuk sesuatu ...."Setelah mendengarkan permintaan Eleanor, dokter melihat ke arah luar, lalu mengangguk dan berkata, "Baik, saya mengerti.""Terima kasih banyak.""Ini juga demi keselamatan pasien, sudah seharusnya," jawab dokter.Di luar, Patrick dan Alicia masih enggan pergi. Mendengar kabar bahwa anak Eleanor sadar, wajah mereka berubah suram.Ketika dokter keluar dari kamar, Bella segera mendekat untuk bertanya. Patrick dan Alicia juga memperhatikan dengan saksama."Dokter, bagaimana kondisi anak itu? Kalau dia sudah sadar, apakah berarti dia nggak dalam bahaya lagi?" tanya Bella dengan penuh ke
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan
Para pelayan yang sebelumnya ketakutan oleh kejadian tadi hanya bisa bersembunyi di sudut ruangan. Ketika mereka sadar dan ingin mengejar, semuanya sudah terlambat.Pintu kamar Yoana dipenuhi orang-orang yang berkumpul untuk menyaksikan pemandangan kacau dan agak menyeramkan di dalam. Banyak di antara mereka mengeluarkan ponsel dan mulai merekam."Astaga, apa yang dilakukan dua orang ini sampai dibalas seperti ini?""Iya, pasti mereka melakukan sesuatu yang buruk. Kalau nggak, siapa yang tega membalas dendam sekejam ini?"Tiara keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat berantakan. Orang-orang di sekitar langsung menutup hidung dan menjauh darinya."Astaga, baunya menyengat sekali! Cepat masuk lagi, jangan keluar!""Benar, jangan mengganggu orang lain dengan bau ini."Komentar orang-orang membuat Tiara merasa sangat malu. Dengan wajah merah padam, dia kembali ke kamar dengan penuh rasa malu dan amarah.Namun, kamar itu sendiri sudah dipenuhi bau amis darah yang sangat menyengat, m
"Hah, tunggu saja," kata Glenn sambil menatap dengan sorot mata yang gelap, lalu berjalan ke jendela dan menelepon seseorang.Vivi memandangnya dengan bingung, tidak tahu apa yang dia rencanakan.Setengah jam kemudian.Entah dari mana, mereka berhasil mendapatkan dua jas putih seperti dokter. Dengan masing-masing membawa dua ember putih, mereka tiba di depan kamar Yoana.Vivi memandang benda yang dipegangnya, lalu menoleh ke arah Glenn yang kini telah menyamar dengan sangat rapi. "Kamu yakin nggak akan ada yang mengenalimu?""Apa yang perlu ditakutkan? Aku lagi menjalankan misi kebenaran."Vivi mengangkat ibu jarinya dengan kagum. "Hanya karena kamu bilang itu misi kebenaran, aku resmi jadi temanmu."Glenn menyeringai, "Sama-sama.""Ayo."Mereka berdua mendorong pintu kamar. Yoana sedang bersandar di tempat tidur sambil bermain ponsel. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik. Luka-lukanya memang menyakitkan, tetapi tidak sampai mengancam nyawa.Keluarga Pratama yang kaya telah menyedia