"Kamu tunggu saja, aku akan membalas penghinaan semalam."Eleanor tersenyum tipis. "Aku tunggu." Setelah itu, Eleanor dan Vivi langsung pergi.Yoana menarik lengan Tiara. "Sudah, jangan ribut lagi. Masih ada banyak waktu ke depannya. Nggak usah terburu-buru. Besok malam kamu ikut aku ke pesta.""Ya, aku tahu." Yoana mengajaknya bukan karena niat baik, tapi karena ingin memanfaatkannya. Itu sebabnya, Tiara tidak merasa senang.Tiara tidak lagi bersikap seperti biasanya yang selalu memuji dan menyenangkan hati Yoana. Hal ini membuat Yoana yang biasa disanjung olehnya merasa kesal.Yoana tahu kenapa Tiara bersikap seperti ini. Ini karena kejadian semalam. Tiara merasa diperlakukan tidak adil."Kamu masih nggak bisa lupain kejadian semalam? Kamu merasa aku seharusnya mengizinkanmu menjatuhkan Eleanor, 'kan?" Yoana melipat tangannya sambil menatap Tiara dengan dingin.Tiara menggigit bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa."Dasar bodoh.""Kamu!" Tiara hampir marah, tetapi tiba-tiba teringat
Yoana sengaja melebih-lebihkan di hadapan Bella. Jika Eleanor tidak berhasil menyembuhkan Jeremy atau ada penyakit lain yang tidak bisa disembuhkannya, bukankah dia akan dianggap sebagai penipu?Eleanor tersenyum dingin dalam hatinya. "Aku bukan dewa, nggak semua penyakit bisa kuobati."Yoana memandang Eleanor sambil tersenyum. "Berarti, kamu mengatakan keahlian medismu kurang ya?""Keahlian medis bukan dinilai oleh orang lain atau diri sendiri, tapi dinilai dari proses dan hasil pengobatan. Sebelum masuk ruang operasi, apa ada dokter yang berani jamin operasi akan berhasil? Kalau dia nggak memberimu jaminan, apa kamu akan mengatakan dia nggak terampil?""Selain itu, aku cuma bilang nggak semua penyakit bisa kuobati dan kamu langsung bilang keahlianku rendah. Ini cukup menarik. Kalau aku bisa mengobati semua penyakit, bukankah kamu akan memberi hormat padaku dan memanggilku dewa saat bertemu?""Lebih baik berhenti mengatakan hal-hal bodoh seperti itu. Kalau nggak, kamu sendiri yang aka
Sungguh menakutkan. Danuar merasa topik pembicaraan ini bisa membuatnya meledak.Danuar segera memberi isyarat mata kepada Bastian. Bastian berkata dengan santai, "Kita juga nggak bisa panggil kamu Bu Eleanor terus, kedengarannya terlalu formal.""Betul sekali.""Dokter Eleanor juga boleh." Eleanor mendongak menatap keduanya, sama sekali tidak menyadari bahwa wajah pria yang duduk di sofa sudah sangat suram."Eee ...." Danuar menyunggingkan sudut bibirnya. Sialan, dia memang suka bicara omong kosong. Kenapa dia malah membahas topik ini tadi?"Kak Eleanor saja deh. Boleh, 'kan?" tanya Danuar segera."Terserah." Asal jangan memanggilnya kakak ipar."Kalian berdua keluar." Jeremy yang duduk diam di sofa akhirnya bersuara.Danuar dan Bastian menatap Jeremy yang duduk di sofa kulit hitam. Mereka merasa Jeremy bukan duduk di sofa, melainkan di atas singgasana tengkorak. Jeremy terlihat seperti penguasa kejam yang tidak punya belas kasihan."Ya sudah, kami keluar dulu." Sebenarnya Danuar ingi
Jeremy menggertakkan giginya dengan murka."Ya sudah, kamu tetap di sini saja." Eleanor mengambil barang-barangnya, bersiap untuk pergi. "Dah!""Eleanor, kembali!" Tidak pernah ada yang berani bersikap seperti ini pada Jeremy sebelumnya. Makanya, dia benar-benar murka.Eleanor berlari keluar tanpa menoleh sedikit pun. Dia bahkan sengaja menutup pintu, memastikan tidak ada yang bisa menemukan Jeremy dalam waktu singkat.Jeremy hanya bisa menyaksikan Eleanor pergi dengan tatapan suram.Eleanor tidak berani menunda lebih lama. Dia pergi ke kamar Harry, lalu berpesan beberapa hal sebelum bergegas turun. Karena Jeremy ingin membunuhnya, dia harus segera pergi."Eleanor," panggil Bella tiba-tiba dengan nada bicara yang penuh kebencian seperti biasanya.Yoana mengambil cangkir teh dan menyesap dengan santai. Tidak ada yang menyadari senyuman dingin dan puas di bibirnya.Eleanor menghentikan langkah kakinya. "Ada apa?"Bella menatapnya dengan dingin, "Kamu nggak perlu datang untuk mengobati Je
Jeremy mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Alisnya berkerut, hawa dingin yang terpancar darinya begitu kuat hingga membuat Bella agak takut."Jeremy? Kamu ...." Sebelum Bella selesai berbicara, dia melihat Jeremy sontak menghampiri Eleanor dan menariknya keluar."Jeremy? Jeremy!" Wajah Bella menjadi suram karena marah.Yoana mengernyit. "Bibi, aku akan kejar Remy."Setelah mengatakan itu, Yoana hendak mengejar, tetapi Danuar berdiri dan menghalangi jalan Yoana. Sambil tersenyum nakal, dia berkata, "Bu Yoana, sebaiknya tunggu sebentar. Mungkin mereka ingin membahas sesuatu."Yoana menatap kedua orang yang sudah pergi, lalu memelototi Danuar. Danuar mengangkat alisnya dengan tidak peduli."Lepaskan aku, Jeremy!"Jeremy berjalan dengan sangat cepat. Dia menarik lengan Eleanor sehingga Eleanor terpaksa mengikuti langkahnya dengan susah payah. Langkahnya yang kacau membuatnya terlihat agak menyedihkan.Dengan satu tarikan kuat, Jeremy mendorongnya ke samping mobil. Eleanor menatap mata Jeremy
"Hm," sahut Jeremy dengan pelan, lalu turun dari mobil dan bergegas menghampiri Eleanor.Eleanor berdiri di anak tangga, menatap pria yang mendekat. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah pria itu. Tatapannya bahkan terlihat sangat dingin.Eleanor menatap Jeremy dengan pandangan agak kosong. Seingatnya, saat mereka mengurus akta nikah beberapa tahun lalu, Jeremy juga menunjukkan ekspresi yang sama, murung, dingin, dan jengkel.Saat itu, Jeremy pasti sangat membencinya. Namun saat itu, Eleanor larut dalam perasaan cintanya yang mendalam sehingga tidak peduli. Setelah dipikirkan kembali, hubungan mereka memang tidak mungkin berakhir baik.Eleanor menunduk, perasaan sedih yang tidak bisa ditahan kembali muncul di dalam hatinya. "Ayo masuk."Ketika melihat Eleanor berjalan masuk tanpa ragu, kekesalan pada tatapan Jeremy menjadi semakin kuat. "Kamu nggak mau mempertimbangkannya lagi?""Apa yang perlu dipertimbangkan?" Eleanor tersenyum tipis dan wajahnya terlihat santai. "Bukankah kita sudah m
Yoana juga mengangkat gaunnya dan mengikuti di belakang. Setelah sampai di samping Eleanor, dia tersenyum dingin. "Kebetulan sekali, kamu juga ikut acara ini ya?"Tiara mengerlingkan matanya dan menyindir, "Eleanor, memangnya kamu pantas ikut acara ini?""Apa urusan kalian?" tanya Eleanor balik. Kenapa kedua orang ini selalu ingin berselisih dengannya? Apa sangat menyenangkan bagi mereka?Eleanor tidak ingin terlibat dalam pertengkaran malam ini. Jadi, dia mempercepat langkah kakinya untuk menghindari mereka."Eleanor, apa maksudmu?" Tiara ingin maju untuk berdebat dengan Eleanor, tetapi Yoana memelototinya untuk menghentikannya."Kamu nggak akan bisa menang dari Eleanor. Ngapain kamu maju? Minta dihajar ya? Sebelumnya masih belum cukup?" tegur Yoana."Aku ...." Semangat Tiara yang berkobar-kobar tadi seketika sirna. Benar, Eleanor memang sangat tangguh. Mereka tidak akan bisa mengalahkannya. Keduanya hanya bisa menyaksikan Eleanor berjalan pergi."Tahan emosimu sedikit. Tempat ini buk
"Bu Yoana, nggak usah pedulikan orang seperti ini. Kita masuk saja.""Ya, orang seperti ini sangat nggak tahu malu. Biarkan saja."Yoana diam-diam menunjukkan ekspresi meremehkan. Dia mengangkat alisnya, lalu tersenyum penuh provokasi kepada Eleanor. Setelah itu, dia berjalan masuk dengan angkuh.Eleanor sama sekali tidak menanggapi mereka. Dia melihat jam. Vivi seharusnya masih butuh 20 menit untuk sampai. Dia lantas mencari tempat duduk, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai memeriksa email yang belum dibaca.....Setelah memasuki aula, Tiara hampir berseru takjub melihat kemegahan tempat ini. Yang dikatakan ibunya benar, Keluarga Haningrat tidak memenuhi kualifikasi untuk menghadiri acara sebesar ini.Yoana melihat ekspresi Tiara yang seperti orang kampungan. Dalam hatinya, dia tersenyum mengejek.Yoana berjalan lebih jauh ke dalam sambil tersenyum anggun. Sementara itu, Tiara yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak bisa menyainginya.Pada dasarnya, Yoana memang cantik. Ditamb
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in