Eleanor sedikit memiringkan kepala dan berkata dengan tenang, "Kusarankan kalian pikir ulang sebelum bertindak.""Hah, kamu cuma seorang wanita, apa yang perlu kami takuti? Serang dia!""Benar, lihat saja bagaimana kami akan mempermainkanmu!"Ketika salah satu preman mencoba menyentuh Eleanor, sebuah senyuman dingin muncul di sudut bibirnya. Begitu tangannya hampir mengenai tubuh Eleanor, Eleanor mengangkat kakinya dan menendang keras ke arah perut preman itu.Preman itu tidak siap dan langsung terlempar ke lantai. Eleanor menatapnya dengan dingin. Dua preman lainnya hanya bisa melongo, menyaksikan Eleanor mengalahkan teman mereka dengan cepat. Mata mereka mulai menunjukkan rasa takut.Wanita ini jelas memiliki kemampuan bela diri.Situasi mulai berbalik. Ketakutan mulai menyelimuti kedua preman itu dan mereka mundur tanpa berani mendekat. Ekspresi Eleanor tetap dingin dan penuh ketenangan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa gentar.Tiara yang melihat anak buahnya tidak berguna,
Eleanor langsung mengerutkan kening dan melancarkan serangan ke arah orang yang menangkapnya tanpa ragu.Namun, kecepatan lawan jauh melampaui dirinya. Dalam sekejap, pria itu menghindar dengan mudah, kemudian memutar pergelangan tangannya dan menekan tubuh Eleanor ke dinding.Saat Eleanor mendongak, dia langsung melihat wajah tampan yang penuh kesan santai. Pria itu mengenakan setelan jas hitam, dengan beberapa kancing kemeja bagian dalam yang sengaja dibiarkan terbuka."Charlie?" Eleanor akhirnya menghela napas lega."Sudah kubilang untuk sering berlatih, tapi kamu malah malas-malasan. Di hadapanku saja, kamu nggak bisa melancarkan satu serangan pun. Jangan bilang kamu belajar dariku kalau keluar nanti."Nada bicaranya yang santai terdengar di telinga Eleanor."Jangan bercanda dan lepaskan aku!" Tubuh Eleanor terasa semakin tidak nyaman. Bahkan setelah dia keluar, efek aroma dari kamar itu masih cukup kuat. Tubuhnya mulai terasa panas dan dia bersandar ke dinding untuk menenangkan di
Jeremy berjalan dengan langkah besar menuju hotel dengan wajah suram. Bahkan Yoana yang mengikuti di belakangnya juga tidak berani mengatakan apa-apa. Dalam hati Yoana dipenuhi kegembiraan.Eleanor si wanita menjijikkan itu, akhirnya akan hancur malam ini. Dia tidak percaya Jeremy tidak akan merasa jijik dan membencinya jika melihat Eleanor bersama beberapa pria dalam situasi memalukan.Dengan penuh semangat, Yoana melangkah cepat mengikuti Jeremy masuk ke dalam hotel.Namun, saat mereka masuk, beberapa polisi berseragam juga tampak tergesa-gesa masuk. Setelah menunjukkan identitas mereka kepada staf hotel, para polisi itu segera diarahkan menuju sebuah kamar.Yoana mendengar dengan jelas bahwa kamar yang dituju polisi adalah kamar 406, kamar yang telah dia atur untuk Eleanor, dengan tuduhan melakukan transaksi tidak senonoh. Kegembiraan Yoana semakin memuncak.Dia tidak menyangka Tiara begitu cerdas kali ini dengan melibatkan polisi dan memastikan kehancuran total Eleanor."Jeremy, se
Jeremy tidak memedulikan Yoana sama sekali dan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.Di tengah langkahnya, Jeremy menerima telepon dari Andy yang melaporkan bahwa Eleanor telah meninggalkan hotel sekitar sepuluh menit yang lalu. Setelah keluar dari hotel, sinyal ponselnya menghilang, kemungkinan karena baterai habis dan ponsel mati.Segera setelah itu, Andy mengirimkan rekaman CCTV hotel ke ponsel Jeremy. Saat Jeremy melihat video itu, hatinya terasa sakit.Dalam rekaman itu, terlihat Eleanor meninggalkan hotel bersama Charlie.Yoana yang masih berdiri di depan kamar hotel, menatap kosong ke arah punggung Jeremy yang pergi tanpa ragu. Tubuhnya terasa kaku. Dia tidak tahu apakah Jeremy terlalu percaya pada Eleanor, atau justru terlalu tidak memercayainya.Namun, itu tidak masalah.Meskipun Jeremy tidak melihat dengan matanya sendiri, dia masih memiliki rencana cadangan. Dia telah meminta Tiara untuk merekam segalanya. Yoana yakin bahwa rekaman video itu akan memberikan dampak yang l
Ketika Eleanor melangkah keluar dari mobil, kakinya tiba-tiba melemas dan hampir saja terjatuh.Melihat hal itu, Charlie segera keluar dari mobil dan berjalan cepat ke sisi Eleanor untuk menopangnya. "Dengan kondisi seperti ini, kamu yakin bisa?""Aku bisa," jawab Eleanor dengan suara pelan dan mencoba berdiri tegak. "Aku pulang dulu."Eleanor berjalan dengan susah payah menuju apartemennya, sementara Charlie memandangnya dengan alis yang sedikit berkerut, tetapi tidak berkata apa-apa. Namun, sebelum Eleanor sampai ke pintu gedung, sebuah suara yang rendah dan dingin memanggilnya."Eleanor!"Eleanor mengerutkan dahi, lalu menoleh perlahan.Di kejauhan, Charlie melirik seorang pria yang melangkah dengan aura dingin dan penuh amarah. Dia segera mengenali pria itu ... Jeremy. Dengan tatapan tajam, Jeremy mendekat dengan langkah besar.Tanpa memberikan waktu bagi Eleanor untuk menjelaskan, Jeremy melayangkan pukulan keras ke arah Charlie. Pukulan itu begitu cepat dan penuh amarah, bahkan a
Jeremy dengan tenang membuka kancing mantel Eleanor, memperlihatkan kemeja yang dia kenakan di dalam. "Periksa dia," katanya sambil bangkit."Baik, baik." Dokter itu mengangguk, mengenakan stetoskop, lalu memulai pemeriksaan. Namun, ketika melihat hanya sebagian kecil kemeja yang terbuka, dia sedikit tertegun tetapi tetap melanjutkan.Saat pemeriksaan sedang berlangsung, ponsel Jeremy berdering. Dia melihat sekilas dan menjawab panggilan itu."Kak Jeremy, di mana kamu? Keluar sebentar ....""Di rumah sakit, nggak ada waktu," Jeremy memotong ucapan Bastian tanpa ragu."Rumah sakit?" Nada Bastian berubah serius. "Kamu sakit?""Bukan aku.""Lalu siapa? Daniel?""Eleanor.""Hah? Bukannya kalian lagi ...." Bastian hampir menyebutkan "perang dingin" dalam hubungan mereka, tetapi kalimat itu terpotong karena ponselnya direbut oleh Danuar.Danuar menutup mulut Bastian dan bertanya dengan wajah tersenyum, "Kak Jeremy, penyakit Kakak Ipar parah nggak? Dia di rumah sakit mana? Perlu kami datang?"
"Kak Jeremy, mau ke mana?" tanya Bastian."Kantor polisi."Melihat punggung Jeremy yang pergi dengan langkah besar, Danuar dan Bastian saling menatap sejenak. Mereka bertanya-tanya, apakah Jeremy pergi untuk menghabisi orang yang mencelakakan Eleanor?Saat Eleanor membuka mata, di sekitarnya tercium bau antiseptik yang pekat."Sudah bangun?""Danuar? Bastian? Di mana aku sekarang?" Eleanor memutar matanya sejenak. Dia baru saja tersadar, sehingga reaksinya lebih lambat. Setelah beradaptasi dengan cahaya di dalam ruangan, dia mulai bertanya pada kedua orang itu.Danuar menjawab, "Rumah sakit. Kamu pingsan karena demam."Ingatan Eleanor mulai kembali perlahan-lahan. Dia teringat bahwa Charlie yang mengantarkannya pulang. Mereka bertemu dengan Jeremy, lalu kepalanya terasa pusing dan akhirnya jatuh pingsan.Tidak heran jika tubuhnya terasa tidak nyaman. Ternyata dia sedang demam tinggi. Berhubung Danuar dan Bastian ada di sini, berarti orang yang mengantarkannya ke rumah sakit adalah Jere
"Aku belum nanya kenapa kamu ada di sini," ujar Jeremy dengan nada datar.Yoana memaksakan senyuman dan berkata, "Tiara mengalami sedikit masalah, tentang insiden di hotel itu .... Dia temanku, jadi aku khawatir dia ketakutan sendirian, makanya aku ikut ke sini. Bagaimana denganmu, Jeremy? Kenapa kamu di sini?""Sama sepertimu, tentang masalah di hotel," jawab Jeremy dengan suara tenang.Nada bicaranya terdengar seperti biasanya, tetapi Yoana dapat merasakan adanya aura berbahaya di balik kata-kata itu.Yoana mencengkeram jemarinya erat-erat, bahkan hingga kulitnya terluka tanpa dia sadari. Dia mencurigai bahwa Jeremy telah mengetahui sesuatu. Kalau tidak, mengapa dia sampai datang langsung ke sini?Tidak lama kemudian, Robert dan Felicia datang dengan tergesa-gesa. Setelah mendengar tentang kejadian itu, Felicia tampak sangat panik. Begitu melihat Yoana, dia langsung bertanya, "Yoana, apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?""Paman, Bibi, jangan panik dulu. Aku juga lagi cari t
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in