Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya
"Ini uang untukmu, seminggu cukup?" tanya suamiku Hendra. Kubuka lembaran merah, hanya selembar untuk seminggu?"Seratus ribu, Mas?" tanyaku balik setelah membuka lipatan kertas berwarna merah itu. Wajahnya yang sengaja ia tundukkan kini menyorot pandangan ke arahku."Iya, itu 100.000 rupiah sekalian token listrik 50.000 ya, Dek. Tolong ikhlaskan!" Ia memohon dengan menggenggam tangan ini.Aku tersenyum tipis, kemudian pergi membeli token listrik. Suara bunyi alarm yang telah berdering sejak maghrib tadi, akhirnya hening saat aku pulang dan menekan nomor pembelian token.Dari uang yang ia berikan selama seminggu ini, tersisa 47.000 rupiah. Entahlah cukup atau tidak uang segini, aku harus memikirkan cara sendiri agar cukup dan kebutuhan dapur terpenuhi.Mas Hendra pun merebahkan tubuhnya, ia menceritakan perihal pekerjaannya."Aku ingin cerita, Dek. Boleh?" tanyanya. Namun, rasa kesal masih ada di dalam dada atas pemberian nafkah yang menurutku tidak akan cukup untuk bertahan hingga s
Lalu apa bedanya aku dan ibu? Ia juga utang handphone untuk Kasih Wulandari, adik dari Mas Hendra. Bukankah itu tidak penting? Hanya untuk gaya sosialitanya dengan teman-teman kuliah, ia rela menyulitkan Mas Hendra yang sudah berkeluarga."Bu, bukankah ibu yang sudah utang? Handphone untuk Kasih, apa itu bukan utang namanya?" sindirku seraya ingin meluapkan semua emosi ini.Kemudian, terlihat wajah sang ibu memerah, ia tampak menentang ucapanku, menantu yang tak pernah diinginkannya."Hendra itu sial menikah dengan kamu, coba dulu mau dengan anak kepala desa di sini, ngapain coba nikah dengan orang kota macam kamu, yang nggak tahu asal-usul keluarganya. Saya heran, jangan-jangan kamu sudah melet anak saya, ya?" tuduhnya membuatku kehilangan kesabaran. Namun, teringat pesan papa, jika ingin melihat karakter seseorang, jatuhkan harga diri kita terlebih dahulu di hadapannya.Aku mengembuskan napas pelan-pelan, lalu mendekati wajah ibu mertuaku."Bu, dengar ya. Kalaupun Mas Hendra memilih
"Mas, kamu kan baru-baru ini memberikanku uang sedikit, biasanya juga 500 ribu seminggu, meskipun kadang-kadang 200 ribu - 300 ribu seminggu. Aku ikhlas kamu berikan segitu, itu aku tabung loh, Mas. Setiap minggunya masih sisa 200 ribuan," ungkapku mengalihkan pembicaraan. Padahal, simpananku nggak banyak, ini semua uang transferan dari papa diam-diam."Maafin aku ya, Dek. Terima kasih sudah sabar berumah tangga denganku, insyaallah aku akan berusaha membahagiakanmu," lirihnya membuatku perih. Ia serba salah, ingin membahagiakanku tapi terkadang ibunya selalu ingin dibahagiakan juga olehnya."Kita jalani sama-sama, Mas. Semoga setelah ini, Ibu nggak berani kredit-kredit handphone lagi, kita kan nggak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya," pesanku."Ibu hanya terpengaruh oleh Kasih, mungkin Kasih yang harus kita nasihati," sanggahnya. Memang sepertinya Mas Hendra tidak mau disebut durhaka, jadi ia terus menerus membela ibunya. Sebaiknya aku tak usah terus menerus menyalahkan ibu jug
Bab 4Aku masuk ke dapur untuk menyediakan teh manis, lalu ada kiriman pesan chat dari papa.[Yudi itu orang suruhan Papa. Jika Hendra menolak, berati kesempatan untuk menduduki perusahaan Papa akan ia lewatkan!]Ternyata Yudi adalah orang suruhan papa, semoga saja Mas Hendra tetap memilih hijrah ke kota.Aku suguhkan teh manis untuk Linda yang dipuja-puja oleh ibu mertuaku. Kucoba tahan darah yang sudah bergemuruh dan berapi-api. Ah rasanya tidak etis sekali mertuaku membawa seorang wanita ke rumah laki-laki yang sudah memiliki istri."Duduk Hendra!" suruh ibu dengan tatapan serius. Aku pun turut duduk di samping Mas Hendra."Ya elah, takut banget diambil Mbak Linda, nggak kok Mbak Linda wanita terhormat nggak mungkin ngambil suami orang!" celetuk Kasih membuat dadaku semakin sesak. Rasanya tak tahan ingin mengeluarkan kata-kata kasar kepada Kasih."Kasih, bisa nggak kamu diam? Jangan sindir Mbak mu seperti itu!" tegas Mas Hendra. Aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Hendra. Kemud
Bab 5"Bapak!" teriak Mas Hendra dan berlari memeluknya. Pemandangan yang membuatku haru, rasanya ingin sekali memeluk papaku juga. Sudah lama tak berjumpa dengannya."Kamu pulang ndak ngomong-ngomong, Mas?" tanya ibu pada suaminya, yaitu bapak mertuaku. Bapak yang masih berdiri di depan pintu masih tak menjawab pertanyaan ibu. Kemudian, Linda pun bergegas pergi tanpa pamit. Sepertinya ada yang dirahasiakannya. Tadi ia menagih utang, kenapa sekarang malah pergi begitu saja?"Loh kok Mbak Linda pergi? Mbak, di sini dulu!" teriak Kasih."Sudah, biarkan ia pergi, kamu duduk, Kasih!" teriak bapak sambil menunjuk ke arah kursi. Ia pun duduk dengan wajah ketakutan.Aku lupa mengecup tangan bapak mertua, setelah menikah dengan Mas Hendra, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya, kecuali hari lebaran."Pak," sapaku. Ia pun tersenyum menatap wajahku. Seandainya mertua wanita sikapnya sama seperti bapak, pastilah aku akan membuka jati diriku sebenarnya."Kamu juga duduk!" tegas bapak terha
POV Irma"Ini nomer kontak siapa Yono?" tanya bapak mertuaku saat ia meraih ponsel Bu Septi."Iya, maaf, Pak. Ibu khilaf, uang Ibu habis untuk Yono, dia terus menerus memoroti Ibu, mau nyebar fitnah pada tetangga. Padahal Ibu nggak selingkuh, Ibu dikerjain dia, Pak," melas ibu sambil menggenggam tangan bapak.Aslinya ini seperti menyaksikan drama di televisi, mertuaku memohon maaf saat ketawan selingkuh. Entahlah, Pak Sudirjo, mertuaku, memaafkannya atau tidak."Baiklah, kalau gitu, Bapak maafkan, tapi dengan syarat, kamu tinggal di sini, di rumah Hendra dan Irma, agar lebih mudah diawasi mereka," jawab Pak Sudirjo. Semudah itu dimaafkan? Tidak diselidiki dulu apakah ucapan maaf ibu benar-benar tulus atau tidak? Lalu, kenapa syaratnya tinggal di rumah ini? Aku akan seatap dengan mertua? Astaga, ini benar-benar musibah untukku."Bu, Pak. Kenapa dengan mudahnya memaafkan tanpa mencari dulu kebenaran ucapan Ibu?" tanyaku heran. Namun, ibu menjadi marah padaku, terlihat matanya yang berap
"Siapa, Ir?" tanya ibu dengan kedua alis ditautkan olehnya."Namanya Yono, Bu," sahutku saat ia menanyakan siapa laki-laki yang berada di balik pintu.Ada tamu datang, namanya Yono, persis dengan nama yang pernah disebutkan ibu mertuaku saat perdebatan itu, yang akhirnya membuat ibu tinggal bersamaku di sini, di gubuk ini. Aku memanggilnya, tapi wajah ibu malah terkejut seraya tak percaya. Kulihat dari respon saat aku menyebut nama Yono, ia menunjukkan sikap anehnya."Yono?" sentaknya. Ibu benar-benar tercengang saat mendengar nama itu."Iya, Bu. Kalau nggak salah nama itu adalah laki-laki yang Ibu sering kirimi uang, betul nggak?" tanyaku dengan melontarkan senyuman. Ia menghentakkan kakinya, kemudian ibu pun menemui laki-laki itu.Sebaiknya aku bilang ke Mas Hendra tentang hal ini. Agar ia mengetahui kedatangan laki-laki yang tak diundang itu.Aku melangkah ke kamar, tapi saat berjalan menuju kamar, terdengar sedikit ucapan ibu."Kamu siapa?" tanya ibu."Sayang. Kenapa kamu melupak
Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya
POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "
POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe
Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja
"Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem
POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn
Bab 13POV HendraGubrak ....Aku menoleh ke arah suara jatuhnya seseorang, ternyata itu ibuku. Tiba-tiba tubuh ibu yang sudah tua renta pun tersungkur jatuh ke tanah. Aku terkejut dan tak sanggup menahan kaki berdiam di tengah mobil yang sedang kutunggu turunnya pemilik perusahaan. Aku ayunkan kaki ini ke arah ibu yang sudah berada di pelukan Irma, istriku."Irma, kamu ada di sini?" tanyaku menyeruak keramaian. Mereka semua berkerumun mengerubungi ibu."Mas, tolong Ibu dulu, nanti baru aku ceritakan kenapa aku ada di sini," sahut Irma ikut panik. Mataku berkaca-kaca saat mendengar penuturan wanita yang sering didzalimi oleh ibuku. Ia amat mengkhawatirkan orang yang telah mengusirnya."Kita bawa pulang saja, Ibu biasa seperti ini jika kelelahan," sahutku sambil bangkit dari duduk dan menggendong Ibu."Bawa ke rumah sakit saja," ajak Linda."Nggak usah, bawa ke rumah dulu," sahutku. Rumah ibu tidak jauh dari perkebunan jagung ini. Jadi tentunya lebih efektif merebahkan tubuhnya dulu d
POV HendraAku seperti mengenal suara yang berada di telepon. Suara itu mengingatkanku pada mertua. Mungkin aku rindu sudah lama tak menjumpainya. Jangankan berjumpa, menghubunginya melalui sambungan telepon pun jarang kulakukan, itu dikarenakan aku merasa belum bisa membahagiakan putrinya."Iya, Pak. Saya Hendra Gunawan," celetukku setelah menepis bahwa pria yang berada di telepon bukanlah mertuaku."Penuhilah permintaanku, jadilah direktur utama di PT. Ombang Ambing Makmur," terangnya membuatku terperangah. Ternyata perintah itu benar adanya. Beliau mempercayakan aku sebagai pemimpin perusahaan ini."Tapi, Pak ...." Telepon pun terputus. Belum sempat bicara apapun sudah diputus olehnya. Aku pun menyerahkan kembali ponsel Pak Gery padanya.Aku coba maju dan memberikan sepatah dua kata di hadapan para karyawan dan sebagian vendor yang datang.Setelah usai bicara, lalu kami pun diperbolehkan untuk meninggalkan kantor, karena belum ada aktivitas seperti layaknya kantor biasanya. Pabrik
POV Irma"Irma, hari ini di hadapan Linda, Gery akan umumkan bahwa Hendra yang menjabat sebagai direktur utama.""Mas Hendra tidak memakai jas, Pah. Hanya kemeja biasa," sahutku.Setelah Mas Hendra berangkat kerja, papa menghubungiku, ternyata hari ini Mas Hendra akan dijadikan direktur utama, aku yakin ia pasti malu jika hanya memakai kemeja saja. Pastinya di sana semua memakai jas dan pakaian rapi. "Kamu kan wanita cerdas, pikirkanlah bagaimana caranya agar jas itu sampai ke kantor," candanya."Baiklah, Pah. Aku akan kirim melalui kurir, Papa sudah berada di Jakarta lagi?" tanyaku."Iya, semalam Papa pulang, Mama minta dijemput, besok kami ke sana lagi, dan bersiaplah, semua akan Papa bongkar," tutur papa membuatku terkejut. Besok? Secepat itu aku akan meninggalkan kontrakan rumah ini?"Pah, terlalu cepat, nanti Mas Hendra marah," rayuku."Justru jika semakin lama menyimpan kebohongan, semakin kesal pula yang merasa dibohongi," terang papa. Aku terdiam, mencerna sedikit ucapan papa