Share

bab 2

Author: HERI_NAYALBIL
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Lalu apa bedanya aku dan ibu? Ia juga utang handphone untuk Kasih Wulandari, adik dari Mas Hendra. Bukankah itu tidak penting? Hanya untuk gaya sosialitanya dengan teman-teman kuliah, ia rela menyulitkan Mas Hendra yang sudah berkeluarga.

"Bu, bukankah ibu yang sudah utang? Handphone untuk Kasih, apa itu bukan utang namanya?" sindirku seraya ingin meluapkan semua emosi ini.

Kemudian, terlihat wajah sang ibu memerah, ia tampak menentang ucapanku, menantu yang tak pernah diinginkannya.

"Hendra itu sial menikah dengan kamu, coba dulu mau dengan anak kepala desa di sini, ngapain coba nikah dengan orang kota macam kamu, yang nggak tahu asal-usul keluarganya. Saya heran, jangan-jangan kamu sudah melet anak saya, ya?" tuduhnya membuatku kehilangan kesabaran. Namun, teringat pesan papa, jika ingin melihat karakter seseorang, jatuhkan harga diri kita terlebih dahulu di hadapannya.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan, lalu mendekati wajah ibu mertuaku.

"Bu, dengar ya. Kalaupun Mas Hendra memilih aku sebagai pendamping hidupnya, itu bukan berati aku bermain dukun. Apa-apa disebut dukun!" cetusku tepat di hadapannya.

"Linda anak kepala desa di sini tuh masih nungguin Hendra. Kamu ndak tahu, kalau Hendra di sini itu pria idaman. Makanya ibu tuh nyesel banget ngerestuin kalian," jawabnya lirih. Astaga, darahku makin mendidih, beruntungnya aku masih menghargainya sebagai mertua. Kalau tidak, pasti sudah kulayangkan tangan seketika.

"Mas Hendra-nya mau atau tidak? Kalau mau, silahkan nikahkan anakmu dengan Linda, si anak kepala desa," sungutku sudah teramat kesal. Marahku sudah berada di ubun-ubun. Namun, masih teringat perlakuan Mas Hendra terhadapku yang teramat tulus.

Sebaiknya aku hentikan perdebatan ini, lagi pula ada apa sih ibu ke sini? Kalau hanya untuk berdebat soal uang rasanya aku ingin lempar di hadapannya uang segepok agar ia diam.

"Ada apa ini?" tanya Mas Hendra yang tiba-tiba muncul. Tumben sekali ia pulang di siang hari seperti ini.

"Mas," aku tersentak tapi tetap berusaha tenang, kemudian kuraih tangan Mas Hendra untuk mengecup tangannya yang kasar demi menafkahi aku.

"Kok kamu sudah pulang?" tanya ibu heran. Kedua alisnya ditautkan, tangannya disilangkan seperti ibu bos yang sedang mengintrogasi anak buahnya.

"Aku dipecat, Bu," ucapnya lirih. Aku terkejut, kenapa bisa dipecat? Astaga, dengan bekerja saja aku dinafkahi dengan uang sisa, apalagi kalau tidak bekerja.

Kulihat raut wajah ibu berubah garang, aku coba mendekati Mas Hendra, sembari menenangkannya bahwa rezeki ada di mana-mana bukan hanya di pabrik tempat ia bekerja.

"Kenapa bisa dipecat?" tanya ibu membentak.

"Bu, kemarin Ibu ke pabrik, kata kepala bagian, itulah penyebabnya," terang Mas Hendra.

Aku menghela napas, ternyata penyebabnya adalah ibunya sendiri. Mau bicara apa mertuaku kalau penyebabnya dia sendiri.

"Nggak masuk akal, masa didatangi ibunya malah dipecat. Pasti ini karena kesialan Irma, kamu tuh semenjak nikah dengan Irma sial terus!" celetuknya menyakitkan. Mas Hendra merangkul bahuku, kemudian kepalanya disandarkan di bahu ini.

"Tidak, Bu. Jangan kaitkan ini dengan pernikahan kami, nikah itu ibadah, ini hanya ujian rumah tangga kami berdua," tegas Mas Hendra. Inilah yang membuatku enggan meninggalkan Mas Hendra. Ia begitu tulus dan mencintaiku apa adanya, aku yakin Mas Hendra adalah jodohku dunia akhirat.

Aku menggenggam tangannya, kemudian tersenyum ke arah wajah laki-laki yang amat lelah.

"Lalu kamu mau ngapain di rumah? Nggak kerja, bagaimana nasib cicilan ibu? Terus dapur ibu juga gimana? Kamu tahu kan Bapakmu pulang ke kampung sebulan sekali." Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu bertubi-tubi, terlihat sekali ia kebingungan jika Mas Hendra tak menghasilkan uang.

"Aku tidak keberatan kamu dipecat, semoga ada rezeki di tempat lain. Bagaimana kalau kamu jual motor, terus kita dagang saja, Mas!" usulku membuat mata ibu mendelik.

"Jual, apa-apa jual, nanti nggak punya apa-apa, sudahlah ibu pulang saja, pokoknya kamu harus terus bayarin cicilan handphone adikmu, Kasih!" celetuknya lagi. Aku mencoba mengelus dada. Cicilan terus yang ia pikirkan, bukan perutnya yang dipikirkan, apakah bisa makan besok. Kesal kian berapi-api jika terus menerus melihat kelakuan ibu mertua.

"Bu ... Aku antar ya!" teriak Mas Hendra.

"Ndak usah!" tolaknya kemudian ia jalan kaki, tak jauh jarak rumahnya dengan rumah kami.

"Ya sudah, Mas, kamu mandi sana, terus makan!" suruhku, kemudian ia bergegas ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, papa mengirimkan chat melalui pesan W******p.

[Hendra sudah dipecat, biarkan ibu mertuamu kebingungan mencari uang untuk membayar cicilan handphone untuk Kasih Wulandari. Kamu happy terus bersama Hendra ya, Nak. Papa yakin ia orang baik, tapi sekelilingnya saja yang selalu menilai orang dari harta saja.]

Ternyata dipecatnya Mas Hendra dari pabrik adalah kerjaan papa. Bagaimana bisa? Bukankah pabrik yang papa miliki ada di kota, bukan di kampung ini! Aku delete pesannya, khawatir Mas Hendra membacanya.

Mumpung Mas Hendra mandi, aku bergegas ke restoran terdekat, untuk membelikan ia makanan empat sehat lima sempurna. Mas Hendra kan kalau mandi lama bisa setengah jam.

Setelah Mas Hendra mandi, ia pun menyendok nasi dan lauk pauk. Namun, wajah keheranan muncul saat melihat lauk-pauknya.

"Dek, ini menunya? Aku mau tanya, uang dari mana untuk membeli ini semua? Ada ayam dan cah kangkung, juga sup iga sapi." Pertanyaannya membuatku kebingungan sendiri.

Bersambung

Related chapters

  • Menyadarkan Mertua Pelit   bab 3

    "Mas, kamu kan baru-baru ini memberikanku uang sedikit, biasanya juga 500 ribu seminggu, meskipun kadang-kadang 200 ribu - 300 ribu seminggu. Aku ikhlas kamu berikan segitu, itu aku tabung loh, Mas. Setiap minggunya masih sisa 200 ribuan," ungkapku mengalihkan pembicaraan. Padahal, simpananku nggak banyak, ini semua uang transferan dari papa diam-diam."Maafin aku ya, Dek. Terima kasih sudah sabar berumah tangga denganku, insyaallah aku akan berusaha membahagiakanmu," lirihnya membuatku perih. Ia serba salah, ingin membahagiakanku tapi terkadang ibunya selalu ingin dibahagiakan juga olehnya."Kita jalani sama-sama, Mas. Semoga setelah ini, Ibu nggak berani kredit-kredit handphone lagi, kita kan nggak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya," pesanku."Ibu hanya terpengaruh oleh Kasih, mungkin Kasih yang harus kita nasihati," sanggahnya. Memang sepertinya Mas Hendra tidak mau disebut durhaka, jadi ia terus menerus membela ibunya. Sebaiknya aku tak usah terus menerus menyalahkan ibu jug

  • Menyadarkan Mertua Pelit   bab 4

    Bab 4Aku masuk ke dapur untuk menyediakan teh manis, lalu ada kiriman pesan chat dari papa.[Yudi itu orang suruhan Papa. Jika Hendra menolak, berati kesempatan untuk menduduki perusahaan Papa akan ia lewatkan!]Ternyata Yudi adalah orang suruhan papa, semoga saja Mas Hendra tetap memilih hijrah ke kota.Aku suguhkan teh manis untuk Linda yang dipuja-puja oleh ibu mertuaku. Kucoba tahan darah yang sudah bergemuruh dan berapi-api. Ah rasanya tidak etis sekali mertuaku membawa seorang wanita ke rumah laki-laki yang sudah memiliki istri."Duduk Hendra!" suruh ibu dengan tatapan serius. Aku pun turut duduk di samping Mas Hendra."Ya elah, takut banget diambil Mbak Linda, nggak kok Mbak Linda wanita terhormat nggak mungkin ngambil suami orang!" celetuk Kasih membuat dadaku semakin sesak. Rasanya tak tahan ingin mengeluarkan kata-kata kasar kepada Kasih."Kasih, bisa nggak kamu diam? Jangan sindir Mbak mu seperti itu!" tegas Mas Hendra. Aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Hendra. Kemud

  • Menyadarkan Mertua Pelit   bab 5

    Bab 5"Bapak!" teriak Mas Hendra dan berlari memeluknya. Pemandangan yang membuatku haru, rasanya ingin sekali memeluk papaku juga. Sudah lama tak berjumpa dengannya."Kamu pulang ndak ngomong-ngomong, Mas?" tanya ibu pada suaminya, yaitu bapak mertuaku. Bapak yang masih berdiri di depan pintu masih tak menjawab pertanyaan ibu. Kemudian, Linda pun bergegas pergi tanpa pamit. Sepertinya ada yang dirahasiakannya. Tadi ia menagih utang, kenapa sekarang malah pergi begitu saja?"Loh kok Mbak Linda pergi? Mbak, di sini dulu!" teriak Kasih."Sudah, biarkan ia pergi, kamu duduk, Kasih!" teriak bapak sambil menunjuk ke arah kursi. Ia pun duduk dengan wajah ketakutan.Aku lupa mengecup tangan bapak mertua, setelah menikah dengan Mas Hendra, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya, kecuali hari lebaran."Pak," sapaku. Ia pun tersenyum menatap wajahku. Seandainya mertua wanita sikapnya sama seperti bapak, pastilah aku akan membuka jati diriku sebenarnya."Kamu juga duduk!" tegas bapak terha

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 6

    POV Irma"Ini nomer kontak siapa Yono?" tanya bapak mertuaku saat ia meraih ponsel Bu Septi."Iya, maaf, Pak. Ibu khilaf, uang Ibu habis untuk Yono, dia terus menerus memoroti Ibu, mau nyebar fitnah pada tetangga. Padahal Ibu nggak selingkuh, Ibu dikerjain dia, Pak," melas ibu sambil menggenggam tangan bapak.Aslinya ini seperti menyaksikan drama di televisi, mertuaku memohon maaf saat ketawan selingkuh. Entahlah, Pak Sudirjo, mertuaku, memaafkannya atau tidak."Baiklah, kalau gitu, Bapak maafkan, tapi dengan syarat, kamu tinggal di sini, di rumah Hendra dan Irma, agar lebih mudah diawasi mereka," jawab Pak Sudirjo. Semudah itu dimaafkan? Tidak diselidiki dulu apakah ucapan maaf ibu benar-benar tulus atau tidak? Lalu, kenapa syaratnya tinggal di rumah ini? Aku akan seatap dengan mertua? Astaga, ini benar-benar musibah untukku."Bu, Pak. Kenapa dengan mudahnya memaafkan tanpa mencari dulu kebenaran ucapan Ibu?" tanyaku heran. Namun, ibu menjadi marah padaku, terlihat matanya yang berap

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 7

    "Siapa, Ir?" tanya ibu dengan kedua alis ditautkan olehnya."Namanya Yono, Bu," sahutku saat ia menanyakan siapa laki-laki yang berada di balik pintu.Ada tamu datang, namanya Yono, persis dengan nama yang pernah disebutkan ibu mertuaku saat perdebatan itu, yang akhirnya membuat ibu tinggal bersamaku di sini, di gubuk ini. Aku memanggilnya, tapi wajah ibu malah terkejut seraya tak percaya. Kulihat dari respon saat aku menyebut nama Yono, ia menunjukkan sikap anehnya."Yono?" sentaknya. Ibu benar-benar tercengang saat mendengar nama itu."Iya, Bu. Kalau nggak salah nama itu adalah laki-laki yang Ibu sering kirimi uang, betul nggak?" tanyaku dengan melontarkan senyuman. Ia menghentakkan kakinya, kemudian ibu pun menemui laki-laki itu.Sebaiknya aku bilang ke Mas Hendra tentang hal ini. Agar ia mengetahui kedatangan laki-laki yang tak diundang itu.Aku melangkah ke kamar, tapi saat berjalan menuju kamar, terdengar sedikit ucapan ibu."Kamu siapa?" tanya ibu."Sayang. Kenapa kamu melupak

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 8

    Aku terdiam kala ibu mertuaku mulai menyebutkan satu persatu jasa-jasanya. Tidak ada yang bisa aku tolak, memang semua itu sudah ia lakukan selama ini. Seperti yang ia sebutkan tadi, melahirkan dan membesarkan Mas Hendra, memang sudah ia lakukan. Jadi, aku hanya diam saja, itu lebih baik ketimbang ikut berbicara saat orang sedang emosi."Apa lagi yang mau Ibu sebutkan? Jasa-jasa Ibu memang sangatlah banyak, makanya aku selalu ingin berbakti padamu, Ibu. Tapi nggak seperti ini juga! Menuruti semua keinginan Ibu. Hingga harus bercerai demi Ibu, itu tidak akan kulakukan, karena Irma adalah cinta pertama dan terakhirku, Bu!" jawab Mas Hendra membuatku terenyuh. Aku mencoba mendekati Mas Hendra yang amat terpukul dengan ucapan ibunya."Mas, sudahlah jangan keras-keras bicaranya, malu didengar tetangga," bisikku di dekat telinga Mas Hendra.Kemudian ibu mendekati aku, lalu ia bicara dengan matanya yang sudah bulat dan penuh kemarahan. "Ini semua gara-gara kamu, wanita kota yang miskin, b

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 9

    "Halo, Bu. Maaf saya ingin mengirim kasur dan perlengkapan lainnya. Bisakah Ibu ke luar dari rumah?" tanya laki-laki yang tak kukenal namanya itu.Aku mengintip ke jendela lagi, kini ada mobil terbuka yang datang juga. Mobil itu membawa kasur, lemari, motor dan lain sebagainya."Halo, ini siapa?" tanyaku menyelidik, tapi telepon pun terputus.Aku tatap wajah Mas Hendra yang penuh serangkaian pertanyaan kepadaku."Siapa, Dek? Apa apa?" tanyanya."Kita disuruh ke luar, Mas," sahutku. Kemudian, Mas Hendra dan aku ke luar dari rumah.Para pengangkut barang pun turun, dan terlihat orang yang berada di dalam mobil pun turun."Perkenalkan saya temannya Yudi," ucapnya sambil menyodorkan tangan. Teman Yudi yang kemarin ngajak Mas Hendra kerja?"Ada apa, ya, Pak?" tanya Mas Hendra."Ini kami ditugaskan oleh pemilik PT tempat Pak Hendra akan kerja, untuk mengirimkan segala kebutuhan Pak Hendra," tuturnya menjelaskan."Loh, saya belum melamar kerja di mana pun!" jelas Mas Hendra. Aku hanya terdia

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 10

    "Sebelumnya, aku minta maaf, Hen," ucap Yudi. Dadaku berdegup kencang, khawatir ia memberikan informasi ini pada Mas Hendra."Maaf kenapa?" tanya Mas Hendra."Saat kamu bertengkar dengan ibumu, aku ada di sana. Kemudian, kuikuti langkahmu, hingga ke sini," tutur Yudi membuatku menghela napas.Hari ini ia menjalankan tugasnya dengan baik, untuk selanjutnya aku yang menjalankan misi ini. Meyakinkan Mas Hendra bahwa aku menerima dia apa adanya."Ya sudah, terima kasih banyak, Yud. Besok kita ketemu di tempat kerja yang baru," ujar Mas Hendra.Kini papa memiliki perusahaan yang terletak di kota, bukan pedesaan seperti rumah ibu mertuaku ini. Namun, bertempat lokasi yang sama yaitu Jawa tengah. Bukan di kota tempat aku dilahirkan, yaitu kota Jakarta. Ibu mertuaku selalu menyebut aku ini anak kota yang miskin, padahal di Jakarta ada perusahaan yang papa urus. Justru, ia yang tak paham bibit bobot keluargaku. Namun, karena ia tahunya aku ini miskin, sikapnya pun berbeda dengan mertua pada u

Latest chapter

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 19

    Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 18

    POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 17

    POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 16

    Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 15

    "Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 14

    POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 13

    Bab 13POV HendraGubrak ....Aku menoleh ke arah suara jatuhnya seseorang, ternyata itu ibuku. Tiba-tiba tubuh ibu yang sudah tua renta pun tersungkur jatuh ke tanah. Aku terkejut dan tak sanggup menahan kaki berdiam di tengah mobil yang sedang kutunggu turunnya pemilik perusahaan. Aku ayunkan kaki ini ke arah ibu yang sudah berada di pelukan Irma, istriku."Irma, kamu ada di sini?" tanyaku menyeruak keramaian. Mereka semua berkerumun mengerubungi ibu."Mas, tolong Ibu dulu, nanti baru aku ceritakan kenapa aku ada di sini," sahut Irma ikut panik. Mataku berkaca-kaca saat mendengar penuturan wanita yang sering didzalimi oleh ibuku. Ia amat mengkhawatirkan orang yang telah mengusirnya."Kita bawa pulang saja, Ibu biasa seperti ini jika kelelahan," sahutku sambil bangkit dari duduk dan menggendong Ibu."Bawa ke rumah sakit saja," ajak Linda."Nggak usah, bawa ke rumah dulu," sahutku. Rumah ibu tidak jauh dari perkebunan jagung ini. Jadi tentunya lebih efektif merebahkan tubuhnya dulu d

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 12

    POV HendraAku seperti mengenal suara yang berada di telepon. Suara itu mengingatkanku pada mertua. Mungkin aku rindu sudah lama tak menjumpainya. Jangankan berjumpa, menghubunginya melalui sambungan telepon pun jarang kulakukan, itu dikarenakan aku merasa belum bisa membahagiakan putrinya."Iya, Pak. Saya Hendra Gunawan," celetukku setelah menepis bahwa pria yang berada di telepon bukanlah mertuaku."Penuhilah permintaanku, jadilah direktur utama di PT. Ombang Ambing Makmur," terangnya membuatku terperangah. Ternyata perintah itu benar adanya. Beliau mempercayakan aku sebagai pemimpin perusahaan ini."Tapi, Pak ...." Telepon pun terputus. Belum sempat bicara apapun sudah diputus olehnya. Aku pun menyerahkan kembali ponsel Pak Gery padanya.Aku coba maju dan memberikan sepatah dua kata di hadapan para karyawan dan sebagian vendor yang datang.Setelah usai bicara, lalu kami pun diperbolehkan untuk meninggalkan kantor, karena belum ada aktivitas seperti layaknya kantor biasanya. Pabrik

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 11

    POV Irma"Irma, hari ini di hadapan Linda, Gery akan umumkan bahwa Hendra yang menjabat sebagai direktur utama.""Mas Hendra tidak memakai jas, Pah. Hanya kemeja biasa," sahutku.Setelah Mas Hendra berangkat kerja, papa menghubungiku, ternyata hari ini Mas Hendra akan dijadikan direktur utama, aku yakin ia pasti malu jika hanya memakai kemeja saja. Pastinya di sana semua memakai jas dan pakaian rapi. "Kamu kan wanita cerdas, pikirkanlah bagaimana caranya agar jas itu sampai ke kantor," candanya."Baiklah, Pah. Aku akan kirim melalui kurir, Papa sudah berada di Jakarta lagi?" tanyaku."Iya, semalam Papa pulang, Mama minta dijemput, besok kami ke sana lagi, dan bersiaplah, semua akan Papa bongkar," tutur papa membuatku terkejut. Besok? Secepat itu aku akan meninggalkan kontrakan rumah ini?"Pah, terlalu cepat, nanti Mas Hendra marah," rayuku."Justru jika semakin lama menyimpan kebohongan, semakin kesal pula yang merasa dibohongi," terang papa. Aku terdiam, mencerna sedikit ucapan papa

DMCA.com Protection Status