POV Irma"Irma, hari ini di hadapan Linda, Gery akan umumkan bahwa Hendra yang menjabat sebagai direktur utama.""Mas Hendra tidak memakai jas, Pah. Hanya kemeja biasa," sahutku.Setelah Mas Hendra berangkat kerja, papa menghubungiku, ternyata hari ini Mas Hendra akan dijadikan direktur utama, aku yakin ia pasti malu jika hanya memakai kemeja saja. Pastinya di sana semua memakai jas dan pakaian rapi. "Kamu kan wanita cerdas, pikirkanlah bagaimana caranya agar jas itu sampai ke kantor," candanya."Baiklah, Pah. Aku akan kirim melalui kurir, Papa sudah berada di Jakarta lagi?" tanyaku."Iya, semalam Papa pulang, Mama minta dijemput, besok kami ke sana lagi, dan bersiaplah, semua akan Papa bongkar," tutur papa membuatku terkejut. Besok? Secepat itu aku akan meninggalkan kontrakan rumah ini?"Pah, terlalu cepat, nanti Mas Hendra marah," rayuku."Justru jika semakin lama menyimpan kebohongan, semakin kesal pula yang merasa dibohongi," terang papa. Aku terdiam, mencerna sedikit ucapan papa
POV HendraAku seperti mengenal suara yang berada di telepon. Suara itu mengingatkanku pada mertua. Mungkin aku rindu sudah lama tak menjumpainya. Jangankan berjumpa, menghubunginya melalui sambungan telepon pun jarang kulakukan, itu dikarenakan aku merasa belum bisa membahagiakan putrinya."Iya, Pak. Saya Hendra Gunawan," celetukku setelah menepis bahwa pria yang berada di telepon bukanlah mertuaku."Penuhilah permintaanku, jadilah direktur utama di PT. Ombang Ambing Makmur," terangnya membuatku terperangah. Ternyata perintah itu benar adanya. Beliau mempercayakan aku sebagai pemimpin perusahaan ini."Tapi, Pak ...." Telepon pun terputus. Belum sempat bicara apapun sudah diputus olehnya. Aku pun menyerahkan kembali ponsel Pak Gery padanya.Aku coba maju dan memberikan sepatah dua kata di hadapan para karyawan dan sebagian vendor yang datang.Setelah usai bicara, lalu kami pun diperbolehkan untuk meninggalkan kantor, karena belum ada aktivitas seperti layaknya kantor biasanya. Pabrik
Bab 13POV HendraGubrak ....Aku menoleh ke arah suara jatuhnya seseorang, ternyata itu ibuku. Tiba-tiba tubuh ibu yang sudah tua renta pun tersungkur jatuh ke tanah. Aku terkejut dan tak sanggup menahan kaki berdiam di tengah mobil yang sedang kutunggu turunnya pemilik perusahaan. Aku ayunkan kaki ini ke arah ibu yang sudah berada di pelukan Irma, istriku."Irma, kamu ada di sini?" tanyaku menyeruak keramaian. Mereka semua berkerumun mengerubungi ibu."Mas, tolong Ibu dulu, nanti baru aku ceritakan kenapa aku ada di sini," sahut Irma ikut panik. Mataku berkaca-kaca saat mendengar penuturan wanita yang sering didzalimi oleh ibuku. Ia amat mengkhawatirkan orang yang telah mengusirnya."Kita bawa pulang saja, Ibu biasa seperti ini jika kelelahan," sahutku sambil bangkit dari duduk dan menggendong Ibu."Bawa ke rumah sakit saja," ajak Linda."Nggak usah, bawa ke rumah dulu," sahutku. Rumah ibu tidak jauh dari perkebunan jagung ini. Jadi tentunya lebih efektif merebahkan tubuhnya dulu d
POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn
"Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem
Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja
POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe
POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "
Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya
POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "
POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe
Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja
"Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem
POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn
Bab 13POV HendraGubrak ....Aku menoleh ke arah suara jatuhnya seseorang, ternyata itu ibuku. Tiba-tiba tubuh ibu yang sudah tua renta pun tersungkur jatuh ke tanah. Aku terkejut dan tak sanggup menahan kaki berdiam di tengah mobil yang sedang kutunggu turunnya pemilik perusahaan. Aku ayunkan kaki ini ke arah ibu yang sudah berada di pelukan Irma, istriku."Irma, kamu ada di sini?" tanyaku menyeruak keramaian. Mereka semua berkerumun mengerubungi ibu."Mas, tolong Ibu dulu, nanti baru aku ceritakan kenapa aku ada di sini," sahut Irma ikut panik. Mataku berkaca-kaca saat mendengar penuturan wanita yang sering didzalimi oleh ibuku. Ia amat mengkhawatirkan orang yang telah mengusirnya."Kita bawa pulang saja, Ibu biasa seperti ini jika kelelahan," sahutku sambil bangkit dari duduk dan menggendong Ibu."Bawa ke rumah sakit saja," ajak Linda."Nggak usah, bawa ke rumah dulu," sahutku. Rumah ibu tidak jauh dari perkebunan jagung ini. Jadi tentunya lebih efektif merebahkan tubuhnya dulu d
POV HendraAku seperti mengenal suara yang berada di telepon. Suara itu mengingatkanku pada mertua. Mungkin aku rindu sudah lama tak menjumpainya. Jangankan berjumpa, menghubunginya melalui sambungan telepon pun jarang kulakukan, itu dikarenakan aku merasa belum bisa membahagiakan putrinya."Iya, Pak. Saya Hendra Gunawan," celetukku setelah menepis bahwa pria yang berada di telepon bukanlah mertuaku."Penuhilah permintaanku, jadilah direktur utama di PT. Ombang Ambing Makmur," terangnya membuatku terperangah. Ternyata perintah itu benar adanya. Beliau mempercayakan aku sebagai pemimpin perusahaan ini."Tapi, Pak ...." Telepon pun terputus. Belum sempat bicara apapun sudah diputus olehnya. Aku pun menyerahkan kembali ponsel Pak Gery padanya.Aku coba maju dan memberikan sepatah dua kata di hadapan para karyawan dan sebagian vendor yang datang.Setelah usai bicara, lalu kami pun diperbolehkan untuk meninggalkan kantor, karena belum ada aktivitas seperti layaknya kantor biasanya. Pabrik
POV Irma"Irma, hari ini di hadapan Linda, Gery akan umumkan bahwa Hendra yang menjabat sebagai direktur utama.""Mas Hendra tidak memakai jas, Pah. Hanya kemeja biasa," sahutku.Setelah Mas Hendra berangkat kerja, papa menghubungiku, ternyata hari ini Mas Hendra akan dijadikan direktur utama, aku yakin ia pasti malu jika hanya memakai kemeja saja. Pastinya di sana semua memakai jas dan pakaian rapi. "Kamu kan wanita cerdas, pikirkanlah bagaimana caranya agar jas itu sampai ke kantor," candanya."Baiklah, Pah. Aku akan kirim melalui kurir, Papa sudah berada di Jakarta lagi?" tanyaku."Iya, semalam Papa pulang, Mama minta dijemput, besok kami ke sana lagi, dan bersiaplah, semua akan Papa bongkar," tutur papa membuatku terkejut. Besok? Secepat itu aku akan meninggalkan kontrakan rumah ini?"Pah, terlalu cepat, nanti Mas Hendra marah," rayuku."Justru jika semakin lama menyimpan kebohongan, semakin kesal pula yang merasa dibohongi," terang papa. Aku terdiam, mencerna sedikit ucapan papa