Share

Menunggu Perceraian yang Dinantikan
Menunggu Perceraian yang Dinantikan
Penulis: Aaliyah Zoya

Bab 1

Penulis: Aaliyah Zoya
"Bagus sekali, Sasa. Bertahun-tahun kamu akhirnya mau kembali, Paman benar-benar senang," kata seorang pria paruh baya dengan nada riang di telepon.

Setelah aku menutup telepon, Navish membuka pintu kamar. Bersamaan dengan kehadirannya, tercium aroma parfum wanita yang asing.

"Kamu barusan telepon siapa?" tanyanya tanpa sedikit pun perhatian. Matanya tetap terpaku pada layar ponselnya, tidak melirikku sama sekali.

Aku baru hendak menjawab ketika ponselnya berdering. Dari sana, terdengar suara lembut seorang gadis, "Pak Navish, terima kasih banyak untuk obat flu yang kamu kirim beberapa hari lalu. Kalau bukan karena kamu, fluku pasti makin parah. Tanpa kamu, aku nggak tahu harus gimana!"

Navish tampaknya merasa kurang nyaman mendengarkan itu di depanku, jadi dia menurunkan volume teleponnya.

Aku diam saja, merasa percuma untuk berkata apa pun. Bukankah kami memang sudah berencana untuk bercerai? Aku menutup mulutku dan kembali mengemasi barang-barangku. Seperti biasa, aku membuatkan diriku segelas susu hangat.

Selesai berbicara di telepon, Navish duduk di sofa dengan santai sambil membaca koran keuangan seperti kebiasaannya setiap malam. Namun, dia tampak terganggu ketika tangannya tidak menemukan teh bunga yang biasa kubuatkan untuknya. Akhirnya, dia menatapku dan wajahnya menunjukkan ketidaksabaran.

"Cuma karena waktu itu aku nggak menyelamatkanmu saat lift rusak, kamu harus begini?" ucapnya dengan nada mengejek.

"Miya bilang, sepupunya seorang dokter, dan katanya klaustrofobia itu bukan masalah besar. Kamu jangan terlalu lebay."

"Lagi pula, kamu yang minta cerai, aku sudah setuju. Jadi, kenapa harus terus-terusan pasang wajah masam?"

Malam itu, aku pulang lembur sangat larut. Aku terjebak di lift yang mendadak mati listrik dengan ponsel yang hampir kehabisan daya. Klaustrofobiaku kambuh sehingga membuatku gemetar hebat. Dengan tangan gemetar, aku mencoba menelepon Navish untuk meminta bantuan.

Namun, dia hanya menjawab, "Kamu nggak bisa cari solusi sendiri? Aku lagi sibuk," sebelum menutup telepon.

Beberapa saat kemudian, ponselku mati dan aku kehilangan kesadaran.

Baru belakangan aku tahu bahwa asistennya, Miya, mendapat cuti selama beberapa hari. Rupanya, malam itu dia "sibuk" mengantar obat flu untuk Miya.

Itulah alasan aku memutuskan untuk mengajukan cerai.

"Nggak masalah. Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak perlu lagi melihat wajah masamku," jawabku tanpa menghentikan pekerjaanku.

Aku pikir Navish akan senang mendengar itu, tetapi dia tiba-tiba menaikkan suaranya, "Jangan sampai kamu menyesal!"

Aku tetap fokus pada pekerjaanku, tidak peduli dengan emosinya. Navish akhirnya keluar rumah dengan membanting pintu.

Aku tidak ingin memikirkan suasana hatinya lebih jauh. Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku membuat segelas susu hangat, lalu mandi air panas sebelum bersiap tidur.

Namun, ponselku berbunyi. Pesan dari Navish masuk.

[ Aku mabuk. Datang jemput aku, sekalian bawa satu botol yogurt. ]

Aku tidak ingin pergi, tetapi pesan berikutnya langsung menyusul.

[ Kita belum resmi bercerai. Kamu masih punya kewajiban sebagai istriku. ]

Merasa lelah, aku akhirnya mempersiapkan diri dan berangkat. Ketika sampai di depan kelab tempat dia berada, suara tawa Navish dan Miya terdengar jelas dari dalam.

Pikiranku melayang ke malam saat aku pertama kali mengajukan cerai. Malam itu, Navish juga mabuk, dan salah seorang temannya bertanya, "Navish, kamu benar-benar tega menceraikan Sasa?"

Dengan nada meremehkan, dia menjawab, "Dia cuma ngambek. Orang tuanya sudah meninggal, mana mungkin dia benar-benar berani menceraikan aku?"

"Lagi pula, ada masa tunggu 30 hari untuk perceraian. Kalau Sasa menyesal, aku akan bermurah hati memaafkannya, dan dia pasti akan kembali padaku."

Dia pikir statusku sebagai yatim piatu membuatku tidak bisa meninggalkannya. Bukan karena cinta, dia hanya yakin aku tidak punya tempat untuk kembali.

Namun, dia salah besar. Aku sudah menghitung hari, dan masa penantianku hampir berakhir.

Bab terkait

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 2

    Aku membuka pintu kelab dan masuk. Ketika Navish melihatku, dia tampak agak terkejut dan alisnya berkerut. "Kenapa kamu di sini? Jangan-jangan kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada penuh tuduhan.Aku mengangkat ponselku untuk menunjukkan pesan darinya. "Kamu yang kirim pesan padaku."Miya yang duduk di sampingnya, mencubit lengannya sambil mengerucutkan bibir. "Pak Navish, aku cuma bercanda waktu nyuruh Kak Sasa bawa yogurt. Kamu nggak marah, 'kan?"Kerutan di wajah Navish perlahan menghilang. Anehnya, aku tidak merasakan apa-apa atas lelucon Miya atau toleransi Navish terhadapnya. Tidak ada amarah seperti biasanya, hanya ketenangan. Aku mengangguk kecil sebagai tanda bahwa aku mengerti.Namun, kali ini Navish terlihat ingin menjelaskan sesuatu. "Sasa, Miya cuma menemani aku untuk urusan pekerjaan ...."Aku mengangkat tangan, menyerahkan botol yogurt padanya, dan memotong penjelasannya. "Ini yogurtnya."Karena Navish sudah minum, dia tidak bisa mengemudi. Setelah memastikan Miya aman

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 3

    "Ah? Bukannya bos menikah sama Kak Sasa?" bisik salah satu rekan kerja."Ssst, pelan-pelan, Kak Sasa masih di sini!" sahut yang lain dengan gugup."Sasa, kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirkan ya," kata salah satu rekan mencoba menenangkanku.Melihat meja penuh dengan teh susu rasa mangga dan kue cokelat, aku sudah tahu, semuanya untuk Miya. Navish merasa kasihan karena Miya diet dan tidak ingin dia diet terlalu ketat, jadi Navish memutuskan untuk mentraktir seluruh kantor.Ingin sekali rasanya aku mencicipi simbol cinta mereka ini. Sayangnya, aku alergi mangga dan tidak terlalu suka produk berbahan cokelat.Dulu, ketika Navish mengejarku, dia juga melakukan hal-hal seperti ini. Dia takut aku terlalu sibuk bekerja hingga lupa makan, dan sering menggunakan alasan "laporan pekerjaan" untuk mengajakku makan bersama.Saat aku sakit tapi tetap bekerja, dia menyelipkan obat dalam sepotong kue kecil dan mengantarnya ke mejaku, hanya untuk melihat wajahku meringis karena rasa pahitnya.

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 4

    Besok adalah hari terakhir masa tenang perceraian. Setelah besok, aku dan Navish benar-benar tidak akan memiliki hubungan lagi. Aku berdiri di balkon, menyiram bunga kecil yang kupelihara. Tiba-tiba, cincin di jariku terlepas dan jatuh dari balkon.Tanpa pikir panjang, aku membungkuk untuk mencoba mengambilnya."Apa yang kamu lakukan?!" Navish dengan cepat menarik tanganku untuk menjauh dari tepi balkon."Kamu tahu betapa bahayanya itu?!" ucapnya dengan nada khawatir. Seolah-olah dia masih peduli padaku."Cincinnya jatuh," jawabku singkat.Cincin itu adalah cincin yang dia buat sendiri untukku dulu dengan desain yang sangat kusukai. Itulah sebabnya aku selalu memakainya hingga sekarang. Ketika cincin itu jatuh dari balkon, aku merasa tidak bisa diam saja.Navish menghela napas lega. "Itu cuma cincin. Aku bisa belikan yang baru, kamu nggak perlu mengambil risiko seperti itu."Cuma cincin. Aku melihat jarinya yang kosong tanpa cincin. Rupanya dia sudah lama melepasnya."Besok adalah hari

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 5

    Melalui jendela pesawat, aku melihat seluruh kota semakin mengecil. Akhirnya, perasaan benar-benar meninggalkan tempat itu mulai terasa.Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi Navish ketika tahu aku telah pergi? Terkejut? Atau mungkin dia merasa lega akhirnya bisa bebas dariku?Dalam ingatanku, kami dulu adalah pasangan yang sangat dekat, mitra kerja yang kompak, dan pasangan ideal yang membuat orang lain iri.Aku masih ingat, ketika orang tuaku meninggal, dia memelukku erat dan berkata, "Aku akan jaga kamu dengan baik. Mulai sekarang, aku adalah keluargamu."Namun, bagaimana semua itu berubah menjadi kata-kata seperti, "Orang tuanya sudah meninggal. Dia nggak mungkin menceraikanku."?Rasa sakit dan empati yang dulu dia tunjukkan perlahan berubah menjadi keyakinan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.Aku berpikir terlalu dalam hingga merasa sakit kepala. Lebih baik tidak usah dipikirkan lagi. Seperti yang dikatakan orang, jika sebuah hubungan tidak lagi membawa kebahagiaan, cara terbaik

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 6

    "Navish, kalau kamu ingin tahu apakah aku yang melakukannya, cukup selidiki saja. Sekalian sampaikan sama Miya, 'Daripada menghabiskan waktu untuk trik kecil seperti ini, lebih baik meningkatkan kemampuan kerja sendiri.'"Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomor Navish sepenuhnya, lalu menghapusnya dari kontakku.Aku terdiam sejenak, lalu membuka riwayat percakapan kami. Setelah itu, aku menghapus semua pesan kami, dari awal pertemuan hingga masa-masa kami jatuh cinta. Karena ukurannya yang besar, proses penghapusan itu berjalan lambat. Aku hanya bisa memandangi bagaimana catatan hubungan kami selama sepuluh tahun perlahan terhapus.Hatiku terasa campur aduk, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Namun setelah selesai, aku memasukkan ponsel ke dalam kantong dan tersenyum ringan untuk meyakinkan Nenek dan Paman yang masih menatapku dengan penuh kekhawatiran.Sesampainya di rumah, aku menemukan bahwa Paman sudah menyiapkan sebuah kamar yang bersih dan hangat untukku."Sasa, coba lih

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 7

    Mata Navish sedikit memerah saat dia berkata dengan suara serak, "Sasa, kenapa kamu memblokirku?"Pikiranku melayang kembali ke hari ketika aku menghapus semua riwayat percakapan kami dan memblokir nomornya."Navish, seperti yang sudah kubilang, kita sudah cerai. Aku juga sudah resign dari perusahaanmu. Jadi, apa maksudmu datang mencariku?" tanyaku dingin.Mendengar kata-kata itu, lehernya terlihat bergerak naik turun, seolah-olah dia sedang menahan emosinya."Perceraian kita itu salahku," katanya akhirnya. "Aku salah paham padamu dan terlalu gegabah menandatangani surat cerai.""Soal proyek itu, aku sudah menyelidikinya. Aku tahu aku salah menuduhmu. Maaf, aku nggak seharusnya begitu ceroboh dan langsung menyimpulkan itu perbuatanmu. Sekarang aku sadar aku salah. Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan lagi?"Aku menatapnya dengan tatapan mencemooh.Perceraian kami memerlukan waktu 30 hari setelah penandatanganan untuk menjadi resmi, yang berarti dia sebenarnya memiliki dua kesempatan un

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 8

    Miya terus mengulang-ulang apa yang telah dilakukan Navish untuknya, seolah-olah ingin membuktikan bahwa cintanya benar-benar tulus. Namun, Navish tiba-tiba melepaskan tangan Miya yang mencoba menariknya kembali. "Cukup, Miya. Jangan ganggu aku lagi. Aku memperlakukanmu dengan baik, melakukan semua hal itu, hanya karena kamu mengingatkanku pada Sasa saat kami pertama kali bertemu," katanya dengan nada tegas.Kemudian, dia berbalik ke arahku. "Sasa, dulu kamu begitu polos dan ceria. Seiring waktu, aku terbiasa dengan keberadaanmu dan hubungan kita jadi kehilangan rasa. Saat itulah Miya muncul dalam hidupku dan aku menjadi tak terkendali.""Tapi aku nggak bisa melupakan semua yang telah kita lewati bersama. Kalau kamu mau kembali denganku, kita bisa memulai lagi dari awal, ya?" katanya dengan nada memohon.Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa seberani itu mengatakan hal seperti itu. Dari Miya, dia melihat versi masa lalu diriku, dan dia mengatakannya dengan begitu percaya diri. Miy

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 9

    "Apa yang kalian lakukan? Siapa pria ini?!" Suara Navish memecah keheningan dengan penuh kemarahan.Aku tidak menyangka dia masih saja muncul. Sisa alkohol yang mengaburkan pikiranku seketika menguap, digantikan oleh kejernihan penuh kejengkelan."Kita nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," kataku dingin sambil menarik Harrold untuk pergi. Namun, Navish tidak menyerah begitu saja. Dia terus memohon dengan suara penuh emosi."Masalah sama Miya sudah selesai, Sasa. Berikan aku satu kesempatan terakhir, ya?" katanya dengan suara bergetar. "Selama kamu nggak di sisiku, aku merasa ada lubang besar dalam hatiku. Aku baru sadar betapa pentingnya kamu bagiku, Sasa."Dia terus berbicara, mencoba meyakinkanku dengan kalimat-kalimat yang seharusnya menyentuh hati. Namun, aku sudah muak."Navish, aku hanya merasa jijik terhadapmu sekarang. Jangan muncul lagi di depanku," potongku dengan tegas.Dia tampaknya tidak terima dan berteriak dari belakang, "Kamu pikir dia benar-benar tulus sama kamu? Kam

Bab terbaru

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 9

    "Apa yang kalian lakukan? Siapa pria ini?!" Suara Navish memecah keheningan dengan penuh kemarahan.Aku tidak menyangka dia masih saja muncul. Sisa alkohol yang mengaburkan pikiranku seketika menguap, digantikan oleh kejernihan penuh kejengkelan."Kita nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," kataku dingin sambil menarik Harrold untuk pergi. Namun, Navish tidak menyerah begitu saja. Dia terus memohon dengan suara penuh emosi."Masalah sama Miya sudah selesai, Sasa. Berikan aku satu kesempatan terakhir, ya?" katanya dengan suara bergetar. "Selama kamu nggak di sisiku, aku merasa ada lubang besar dalam hatiku. Aku baru sadar betapa pentingnya kamu bagiku, Sasa."Dia terus berbicara, mencoba meyakinkanku dengan kalimat-kalimat yang seharusnya menyentuh hati. Namun, aku sudah muak."Navish, aku hanya merasa jijik terhadapmu sekarang. Jangan muncul lagi di depanku," potongku dengan tegas.Dia tampaknya tidak terima dan berteriak dari belakang, "Kamu pikir dia benar-benar tulus sama kamu? Kam

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 8

    Miya terus mengulang-ulang apa yang telah dilakukan Navish untuknya, seolah-olah ingin membuktikan bahwa cintanya benar-benar tulus. Namun, Navish tiba-tiba melepaskan tangan Miya yang mencoba menariknya kembali. "Cukup, Miya. Jangan ganggu aku lagi. Aku memperlakukanmu dengan baik, melakukan semua hal itu, hanya karena kamu mengingatkanku pada Sasa saat kami pertama kali bertemu," katanya dengan nada tegas.Kemudian, dia berbalik ke arahku. "Sasa, dulu kamu begitu polos dan ceria. Seiring waktu, aku terbiasa dengan keberadaanmu dan hubungan kita jadi kehilangan rasa. Saat itulah Miya muncul dalam hidupku dan aku menjadi tak terkendali.""Tapi aku nggak bisa melupakan semua yang telah kita lewati bersama. Kalau kamu mau kembali denganku, kita bisa memulai lagi dari awal, ya?" katanya dengan nada memohon.Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa seberani itu mengatakan hal seperti itu. Dari Miya, dia melihat versi masa lalu diriku, dan dia mengatakannya dengan begitu percaya diri. Miy

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 7

    Mata Navish sedikit memerah saat dia berkata dengan suara serak, "Sasa, kenapa kamu memblokirku?"Pikiranku melayang kembali ke hari ketika aku menghapus semua riwayat percakapan kami dan memblokir nomornya."Navish, seperti yang sudah kubilang, kita sudah cerai. Aku juga sudah resign dari perusahaanmu. Jadi, apa maksudmu datang mencariku?" tanyaku dingin.Mendengar kata-kata itu, lehernya terlihat bergerak naik turun, seolah-olah dia sedang menahan emosinya."Perceraian kita itu salahku," katanya akhirnya. "Aku salah paham padamu dan terlalu gegabah menandatangani surat cerai.""Soal proyek itu, aku sudah menyelidikinya. Aku tahu aku salah menuduhmu. Maaf, aku nggak seharusnya begitu ceroboh dan langsung menyimpulkan itu perbuatanmu. Sekarang aku sadar aku salah. Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan lagi?"Aku menatapnya dengan tatapan mencemooh.Perceraian kami memerlukan waktu 30 hari setelah penandatanganan untuk menjadi resmi, yang berarti dia sebenarnya memiliki dua kesempatan un

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 6

    "Navish, kalau kamu ingin tahu apakah aku yang melakukannya, cukup selidiki saja. Sekalian sampaikan sama Miya, 'Daripada menghabiskan waktu untuk trik kecil seperti ini, lebih baik meningkatkan kemampuan kerja sendiri.'"Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomor Navish sepenuhnya, lalu menghapusnya dari kontakku.Aku terdiam sejenak, lalu membuka riwayat percakapan kami. Setelah itu, aku menghapus semua pesan kami, dari awal pertemuan hingga masa-masa kami jatuh cinta. Karena ukurannya yang besar, proses penghapusan itu berjalan lambat. Aku hanya bisa memandangi bagaimana catatan hubungan kami selama sepuluh tahun perlahan terhapus.Hatiku terasa campur aduk, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Namun setelah selesai, aku memasukkan ponsel ke dalam kantong dan tersenyum ringan untuk meyakinkan Nenek dan Paman yang masih menatapku dengan penuh kekhawatiran.Sesampainya di rumah, aku menemukan bahwa Paman sudah menyiapkan sebuah kamar yang bersih dan hangat untukku."Sasa, coba lih

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 5

    Melalui jendela pesawat, aku melihat seluruh kota semakin mengecil. Akhirnya, perasaan benar-benar meninggalkan tempat itu mulai terasa.Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi Navish ketika tahu aku telah pergi? Terkejut? Atau mungkin dia merasa lega akhirnya bisa bebas dariku?Dalam ingatanku, kami dulu adalah pasangan yang sangat dekat, mitra kerja yang kompak, dan pasangan ideal yang membuat orang lain iri.Aku masih ingat, ketika orang tuaku meninggal, dia memelukku erat dan berkata, "Aku akan jaga kamu dengan baik. Mulai sekarang, aku adalah keluargamu."Namun, bagaimana semua itu berubah menjadi kata-kata seperti, "Orang tuanya sudah meninggal. Dia nggak mungkin menceraikanku."?Rasa sakit dan empati yang dulu dia tunjukkan perlahan berubah menjadi keyakinan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.Aku berpikir terlalu dalam hingga merasa sakit kepala. Lebih baik tidak usah dipikirkan lagi. Seperti yang dikatakan orang, jika sebuah hubungan tidak lagi membawa kebahagiaan, cara terbaik

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 4

    Besok adalah hari terakhir masa tenang perceraian. Setelah besok, aku dan Navish benar-benar tidak akan memiliki hubungan lagi. Aku berdiri di balkon, menyiram bunga kecil yang kupelihara. Tiba-tiba, cincin di jariku terlepas dan jatuh dari balkon.Tanpa pikir panjang, aku membungkuk untuk mencoba mengambilnya."Apa yang kamu lakukan?!" Navish dengan cepat menarik tanganku untuk menjauh dari tepi balkon."Kamu tahu betapa bahayanya itu?!" ucapnya dengan nada khawatir. Seolah-olah dia masih peduli padaku."Cincinnya jatuh," jawabku singkat.Cincin itu adalah cincin yang dia buat sendiri untukku dulu dengan desain yang sangat kusukai. Itulah sebabnya aku selalu memakainya hingga sekarang. Ketika cincin itu jatuh dari balkon, aku merasa tidak bisa diam saja.Navish menghela napas lega. "Itu cuma cincin. Aku bisa belikan yang baru, kamu nggak perlu mengambil risiko seperti itu."Cuma cincin. Aku melihat jarinya yang kosong tanpa cincin. Rupanya dia sudah lama melepasnya."Besok adalah hari

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 3

    "Ah? Bukannya bos menikah sama Kak Sasa?" bisik salah satu rekan kerja."Ssst, pelan-pelan, Kak Sasa masih di sini!" sahut yang lain dengan gugup."Sasa, kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirkan ya," kata salah satu rekan mencoba menenangkanku.Melihat meja penuh dengan teh susu rasa mangga dan kue cokelat, aku sudah tahu, semuanya untuk Miya. Navish merasa kasihan karena Miya diet dan tidak ingin dia diet terlalu ketat, jadi Navish memutuskan untuk mentraktir seluruh kantor.Ingin sekali rasanya aku mencicipi simbol cinta mereka ini. Sayangnya, aku alergi mangga dan tidak terlalu suka produk berbahan cokelat.Dulu, ketika Navish mengejarku, dia juga melakukan hal-hal seperti ini. Dia takut aku terlalu sibuk bekerja hingga lupa makan, dan sering menggunakan alasan "laporan pekerjaan" untuk mengajakku makan bersama.Saat aku sakit tapi tetap bekerja, dia menyelipkan obat dalam sepotong kue kecil dan mengantarnya ke mejaku, hanya untuk melihat wajahku meringis karena rasa pahitnya.

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 2

    Aku membuka pintu kelab dan masuk. Ketika Navish melihatku, dia tampak agak terkejut dan alisnya berkerut. "Kenapa kamu di sini? Jangan-jangan kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada penuh tuduhan.Aku mengangkat ponselku untuk menunjukkan pesan darinya. "Kamu yang kirim pesan padaku."Miya yang duduk di sampingnya, mencubit lengannya sambil mengerucutkan bibir. "Pak Navish, aku cuma bercanda waktu nyuruh Kak Sasa bawa yogurt. Kamu nggak marah, 'kan?"Kerutan di wajah Navish perlahan menghilang. Anehnya, aku tidak merasakan apa-apa atas lelucon Miya atau toleransi Navish terhadapnya. Tidak ada amarah seperti biasanya, hanya ketenangan. Aku mengangguk kecil sebagai tanda bahwa aku mengerti.Namun, kali ini Navish terlihat ingin menjelaskan sesuatu. "Sasa, Miya cuma menemani aku untuk urusan pekerjaan ...."Aku mengangkat tangan, menyerahkan botol yogurt padanya, dan memotong penjelasannya. "Ini yogurtnya."Karena Navish sudah minum, dia tidak bisa mengemudi. Setelah memastikan Miya aman

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 1

    "Bagus sekali, Sasa. Bertahun-tahun kamu akhirnya mau kembali, Paman benar-benar senang," kata seorang pria paruh baya dengan nada riang di telepon.Setelah aku menutup telepon, Navish membuka pintu kamar. Bersamaan dengan kehadirannya, tercium aroma parfum wanita yang asing."Kamu barusan telepon siapa?" tanyanya tanpa sedikit pun perhatian. Matanya tetap terpaku pada layar ponselnya, tidak melirikku sama sekali.Aku baru hendak menjawab ketika ponselnya berdering. Dari sana, terdengar suara lembut seorang gadis, "Pak Navish, terima kasih banyak untuk obat flu yang kamu kirim beberapa hari lalu. Kalau bukan karena kamu, fluku pasti makin parah. Tanpa kamu, aku nggak tahu harus gimana!"Navish tampaknya merasa kurang nyaman mendengarkan itu di depanku, jadi dia menurunkan volume teleponnya.Aku diam saja, merasa percuma untuk berkata apa pun. Bukankah kami memang sudah berencana untuk bercerai? Aku menutup mulutku dan kembali mengemasi barang-barangku. Seperti biasa, aku membuatkan dir

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status