Share

Bab 4

Author: Aaliyah Zoya
Besok adalah hari terakhir masa tenang perceraian. Setelah besok, aku dan Navish benar-benar tidak akan memiliki hubungan lagi. Aku berdiri di balkon, menyiram bunga kecil yang kupelihara. Tiba-tiba, cincin di jariku terlepas dan jatuh dari balkon.

Tanpa pikir panjang, aku membungkuk untuk mencoba mengambilnya.

"Apa yang kamu lakukan?!" Navish dengan cepat menarik tanganku untuk menjauh dari tepi balkon.

"Kamu tahu betapa bahayanya itu?!" ucapnya dengan nada khawatir. Seolah-olah dia masih peduli padaku.

"Cincinnya jatuh," jawabku singkat.

Cincin itu adalah cincin yang dia buat sendiri untukku dulu dengan desain yang sangat kusukai. Itulah sebabnya aku selalu memakainya hingga sekarang. Ketika cincin itu jatuh dari balkon, aku merasa tidak bisa diam saja.

Navish menghela napas lega. "Itu cuma cincin. Aku bisa belikan yang baru, kamu nggak perlu mengambil risiko seperti itu."

Cuma cincin. Aku melihat jarinya yang kosong tanpa cincin. Rupanya dia sudah lama melepasnya.

"Besok adalah hari peringatan pernikahan kita. Aku akan menjemputmu, kita rayakan bersama," katanya.

Sudah berapa lama sejak kami terakhir kali merayakan hari pernikahan dengan lengkap? Aku terdiam sejenak dan merenung. Mungkin ini adalah cara yang baik untuk mengakhiri hubungan ini dengan tenang.

Keesokan harinya, aku menunggu di restoran yang sudah dipesan sebelumnya. Waktu berlalu, dan aku sudah sangat lapar, tetapi Navish belum juga datang.

Aku membuka ponselku untuk mengirim pesan kepadanya. Kalau memang dia tidak benar-benar berniat merayakan hari pernikahan ini, seharusnya dia bilang dari awal daripada membuang waktuku.

Aku mencoba meneleponnya beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Ketika aku kembali memeriksa ponsel, sebuah pesan muncul di grup kerja.

Sebuah akun anonim menulis.

[ Miya menggoda bos yang sudah menikah. Mengandalkan dirinya yang muda dan cantik, dia menggunakan tubuhnya untuk naik jabatan. Sungguh memalukan! ]

Di bawahnya, ada bukti-bukti tentang proyek yang kuserahkan kepada Miya.

Meskipun pesan itu menyalahkan Miya, setiap kalimatnya secara tidak langsung menyalahkanku juga. Tidak lama setelah aku membaca pesan itu, Navish muncul dengan marah dan membuka pintu restoran dengan keras.

"Aku pikir kamu tulus menyerahkan proyek itu," kata Navish dengan nada tinggi. "Ternyata kamu sejahat itu, pura-pura setuju lalu diam-diam memfitnah Miya!"

"Sasa, kamu ini begitu rendah!"

Miya bersembunyi di belakang Navish, menangis sesenggukan seolah sangat menderita. "Aku nggak perlu proyek itu. Aku nggak peduli apa yang orang lain katakan tentangku. Tapi, Kak Sasa, aku selalu menganggapmu teman baik. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?"

"Bukan aku," jawabku dengan tenang.

"Kalau bukan kamu, siapa lagi yang punya alasan untuk menjatuhkan Miya?" Navish menatapku tajam. "Sasa, kamu wanita yang munafik!"

"Miya bahkan sudah memilihkan restoran ini untuk kita dengan teliti! Kamu benar-benar nggak layak!" lanjutnya, wajahnya memerah karena emosi.

Dengan marah, dia meraih piring dan membantingnya ke lantai. Pecahan piring berhamburan ke segala arah.

Sepuluh tahun hidup bersama, tapi itu tidak cukup untuk membuatnya percaya pada karakterku.

Aku merogoh kantong dan mengeluarkan dokumen perjanjian cerai. "Kalau begitu, masa tenang 30 hari sudah selesai. Tanda tangan saja sekarang." Aku meletakkan surat pengunduran diriku di bawah dokumen itu.

Navish tertawa sinis, lalu meraih pena dan dengan cepat menandatangani dokumen itu. "Sesuai keinginanmu!"

Setelah itu, dia memeluk Miya dan pergi begitu saja.

Aku duduk di tempatku, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tampaknya, tidak ada lagi gunanya menyelesaikan perayaan pernikahan terakhir ini.

Melihat makanan di atas meja yang sudah dingin, aku perlahan menyuapkan pasta ke mulutku. Sesuap demi sesuap, hingga semuanya habis.

Setelah itu, aku meraih koper yang sudah kusiapkan dan terletak di sudut restoran. Aku memesan taksi online untuk menuju bandara.

Di perjalanan, aku mengirim pesan terakhir ke Navish.

[ Kunci sudah aku taruh di meja ruang tamu. Hubungan kita sudah berakhir. Jangan pernah menghubungiku lagi. ]

Setelah pesan terkirim, aku mematikan ponselku dan melangkah naik ke pesawat yang akan membawaku ke Nu York.

Related chapters

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 5

    Melalui jendela pesawat, aku melihat seluruh kota semakin mengecil. Akhirnya, perasaan benar-benar meninggalkan tempat itu mulai terasa.Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi Navish ketika tahu aku telah pergi? Terkejut? Atau mungkin dia merasa lega akhirnya bisa bebas dariku?Dalam ingatanku, kami dulu adalah pasangan yang sangat dekat, mitra kerja yang kompak, dan pasangan ideal yang membuat orang lain iri.Aku masih ingat, ketika orang tuaku meninggal, dia memelukku erat dan berkata, "Aku akan jaga kamu dengan baik. Mulai sekarang, aku adalah keluargamu."Namun, bagaimana semua itu berubah menjadi kata-kata seperti, "Orang tuanya sudah meninggal. Dia nggak mungkin menceraikanku."?Rasa sakit dan empati yang dulu dia tunjukkan perlahan berubah menjadi keyakinan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.Aku berpikir terlalu dalam hingga merasa sakit kepala. Lebih baik tidak usah dipikirkan lagi. Seperti yang dikatakan orang, jika sebuah hubungan tidak lagi membawa kebahagiaan, cara terbaik

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 6

    "Navish, kalau kamu ingin tahu apakah aku yang melakukannya, cukup selidiki saja. Sekalian sampaikan sama Miya, 'Daripada menghabiskan waktu untuk trik kecil seperti ini, lebih baik meningkatkan kemampuan kerja sendiri.'"Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomor Navish sepenuhnya, lalu menghapusnya dari kontakku.Aku terdiam sejenak, lalu membuka riwayat percakapan kami. Setelah itu, aku menghapus semua pesan kami, dari awal pertemuan hingga masa-masa kami jatuh cinta. Karena ukurannya yang besar, proses penghapusan itu berjalan lambat. Aku hanya bisa memandangi bagaimana catatan hubungan kami selama sepuluh tahun perlahan terhapus.Hatiku terasa campur aduk, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Namun setelah selesai, aku memasukkan ponsel ke dalam kantong dan tersenyum ringan untuk meyakinkan Nenek dan Paman yang masih menatapku dengan penuh kekhawatiran.Sesampainya di rumah, aku menemukan bahwa Paman sudah menyiapkan sebuah kamar yang bersih dan hangat untukku."Sasa, coba lih

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 7

    Mata Navish sedikit memerah saat dia berkata dengan suara serak, "Sasa, kenapa kamu memblokirku?"Pikiranku melayang kembali ke hari ketika aku menghapus semua riwayat percakapan kami dan memblokir nomornya."Navish, seperti yang sudah kubilang, kita sudah cerai. Aku juga sudah resign dari perusahaanmu. Jadi, apa maksudmu datang mencariku?" tanyaku dingin.Mendengar kata-kata itu, lehernya terlihat bergerak naik turun, seolah-olah dia sedang menahan emosinya."Perceraian kita itu salahku," katanya akhirnya. "Aku salah paham padamu dan terlalu gegabah menandatangani surat cerai.""Soal proyek itu, aku sudah menyelidikinya. Aku tahu aku salah menuduhmu. Maaf, aku nggak seharusnya begitu ceroboh dan langsung menyimpulkan itu perbuatanmu. Sekarang aku sadar aku salah. Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan lagi?"Aku menatapnya dengan tatapan mencemooh.Perceraian kami memerlukan waktu 30 hari setelah penandatanganan untuk menjadi resmi, yang berarti dia sebenarnya memiliki dua kesempatan un

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 8

    Miya terus mengulang-ulang apa yang telah dilakukan Navish untuknya, seolah-olah ingin membuktikan bahwa cintanya benar-benar tulus. Namun, Navish tiba-tiba melepaskan tangan Miya yang mencoba menariknya kembali. "Cukup, Miya. Jangan ganggu aku lagi. Aku memperlakukanmu dengan baik, melakukan semua hal itu, hanya karena kamu mengingatkanku pada Sasa saat kami pertama kali bertemu," katanya dengan nada tegas.Kemudian, dia berbalik ke arahku. "Sasa, dulu kamu begitu polos dan ceria. Seiring waktu, aku terbiasa dengan keberadaanmu dan hubungan kita jadi kehilangan rasa. Saat itulah Miya muncul dalam hidupku dan aku menjadi tak terkendali.""Tapi aku nggak bisa melupakan semua yang telah kita lewati bersama. Kalau kamu mau kembali denganku, kita bisa memulai lagi dari awal, ya?" katanya dengan nada memohon.Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa seberani itu mengatakan hal seperti itu. Dari Miya, dia melihat versi masa lalu diriku, dan dia mengatakannya dengan begitu percaya diri. Miy

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 9

    "Apa yang kalian lakukan? Siapa pria ini?!" Suara Navish memecah keheningan dengan penuh kemarahan.Aku tidak menyangka dia masih saja muncul. Sisa alkohol yang mengaburkan pikiranku seketika menguap, digantikan oleh kejernihan penuh kejengkelan."Kita nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," kataku dingin sambil menarik Harrold untuk pergi. Namun, Navish tidak menyerah begitu saja. Dia terus memohon dengan suara penuh emosi."Masalah sama Miya sudah selesai, Sasa. Berikan aku satu kesempatan terakhir, ya?" katanya dengan suara bergetar. "Selama kamu nggak di sisiku, aku merasa ada lubang besar dalam hatiku. Aku baru sadar betapa pentingnya kamu bagiku, Sasa."Dia terus berbicara, mencoba meyakinkanku dengan kalimat-kalimat yang seharusnya menyentuh hati. Namun, aku sudah muak."Navish, aku hanya merasa jijik terhadapmu sekarang. Jangan muncul lagi di depanku," potongku dengan tegas.Dia tampaknya tidak terima dan berteriak dari belakang, "Kamu pikir dia benar-benar tulus sama kamu? Kam

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 1

    "Bagus sekali, Sasa. Bertahun-tahun kamu akhirnya mau kembali, Paman benar-benar senang," kata seorang pria paruh baya dengan nada riang di telepon.Setelah aku menutup telepon, Navish membuka pintu kamar. Bersamaan dengan kehadirannya, tercium aroma parfum wanita yang asing."Kamu barusan telepon siapa?" tanyanya tanpa sedikit pun perhatian. Matanya tetap terpaku pada layar ponselnya, tidak melirikku sama sekali.Aku baru hendak menjawab ketika ponselnya berdering. Dari sana, terdengar suara lembut seorang gadis, "Pak Navish, terima kasih banyak untuk obat flu yang kamu kirim beberapa hari lalu. Kalau bukan karena kamu, fluku pasti makin parah. Tanpa kamu, aku nggak tahu harus gimana!"Navish tampaknya merasa kurang nyaman mendengarkan itu di depanku, jadi dia menurunkan volume teleponnya.Aku diam saja, merasa percuma untuk berkata apa pun. Bukankah kami memang sudah berencana untuk bercerai? Aku menutup mulutku dan kembali mengemasi barang-barangku. Seperti biasa, aku membuatkan dir

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 2

    Aku membuka pintu kelab dan masuk. Ketika Navish melihatku, dia tampak agak terkejut dan alisnya berkerut. "Kenapa kamu di sini? Jangan-jangan kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada penuh tuduhan.Aku mengangkat ponselku untuk menunjukkan pesan darinya. "Kamu yang kirim pesan padaku."Miya yang duduk di sampingnya, mencubit lengannya sambil mengerucutkan bibir. "Pak Navish, aku cuma bercanda waktu nyuruh Kak Sasa bawa yogurt. Kamu nggak marah, 'kan?"Kerutan di wajah Navish perlahan menghilang. Anehnya, aku tidak merasakan apa-apa atas lelucon Miya atau toleransi Navish terhadapnya. Tidak ada amarah seperti biasanya, hanya ketenangan. Aku mengangguk kecil sebagai tanda bahwa aku mengerti.Namun, kali ini Navish terlihat ingin menjelaskan sesuatu. "Sasa, Miya cuma menemani aku untuk urusan pekerjaan ...."Aku mengangkat tangan, menyerahkan botol yogurt padanya, dan memotong penjelasannya. "Ini yogurtnya."Karena Navish sudah minum, dia tidak bisa mengemudi. Setelah memastikan Miya aman

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 3

    "Ah? Bukannya bos menikah sama Kak Sasa?" bisik salah satu rekan kerja."Ssst, pelan-pelan, Kak Sasa masih di sini!" sahut yang lain dengan gugup."Sasa, kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirkan ya," kata salah satu rekan mencoba menenangkanku.Melihat meja penuh dengan teh susu rasa mangga dan kue cokelat, aku sudah tahu, semuanya untuk Miya. Navish merasa kasihan karena Miya diet dan tidak ingin dia diet terlalu ketat, jadi Navish memutuskan untuk mentraktir seluruh kantor.Ingin sekali rasanya aku mencicipi simbol cinta mereka ini. Sayangnya, aku alergi mangga dan tidak terlalu suka produk berbahan cokelat.Dulu, ketika Navish mengejarku, dia juga melakukan hal-hal seperti ini. Dia takut aku terlalu sibuk bekerja hingga lupa makan, dan sering menggunakan alasan "laporan pekerjaan" untuk mengajakku makan bersama.Saat aku sakit tapi tetap bekerja, dia menyelipkan obat dalam sepotong kue kecil dan mengantarnya ke mejaku, hanya untuk melihat wajahku meringis karena rasa pahitnya.

Latest chapter

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 9

    "Apa yang kalian lakukan? Siapa pria ini?!" Suara Navish memecah keheningan dengan penuh kemarahan.Aku tidak menyangka dia masih saja muncul. Sisa alkohol yang mengaburkan pikiranku seketika menguap, digantikan oleh kejernihan penuh kejengkelan."Kita nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," kataku dingin sambil menarik Harrold untuk pergi. Namun, Navish tidak menyerah begitu saja. Dia terus memohon dengan suara penuh emosi."Masalah sama Miya sudah selesai, Sasa. Berikan aku satu kesempatan terakhir, ya?" katanya dengan suara bergetar. "Selama kamu nggak di sisiku, aku merasa ada lubang besar dalam hatiku. Aku baru sadar betapa pentingnya kamu bagiku, Sasa."Dia terus berbicara, mencoba meyakinkanku dengan kalimat-kalimat yang seharusnya menyentuh hati. Namun, aku sudah muak."Navish, aku hanya merasa jijik terhadapmu sekarang. Jangan muncul lagi di depanku," potongku dengan tegas.Dia tampaknya tidak terima dan berteriak dari belakang, "Kamu pikir dia benar-benar tulus sama kamu? Kam

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 8

    Miya terus mengulang-ulang apa yang telah dilakukan Navish untuknya, seolah-olah ingin membuktikan bahwa cintanya benar-benar tulus. Namun, Navish tiba-tiba melepaskan tangan Miya yang mencoba menariknya kembali. "Cukup, Miya. Jangan ganggu aku lagi. Aku memperlakukanmu dengan baik, melakukan semua hal itu, hanya karena kamu mengingatkanku pada Sasa saat kami pertama kali bertemu," katanya dengan nada tegas.Kemudian, dia berbalik ke arahku. "Sasa, dulu kamu begitu polos dan ceria. Seiring waktu, aku terbiasa dengan keberadaanmu dan hubungan kita jadi kehilangan rasa. Saat itulah Miya muncul dalam hidupku dan aku menjadi tak terkendali.""Tapi aku nggak bisa melupakan semua yang telah kita lewati bersama. Kalau kamu mau kembali denganku, kita bisa memulai lagi dari awal, ya?" katanya dengan nada memohon.Aku benar-benar tidak menyangka dia bisa seberani itu mengatakan hal seperti itu. Dari Miya, dia melihat versi masa lalu diriku, dan dia mengatakannya dengan begitu percaya diri. Miy

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 7

    Mata Navish sedikit memerah saat dia berkata dengan suara serak, "Sasa, kenapa kamu memblokirku?"Pikiranku melayang kembali ke hari ketika aku menghapus semua riwayat percakapan kami dan memblokir nomornya."Navish, seperti yang sudah kubilang, kita sudah cerai. Aku juga sudah resign dari perusahaanmu. Jadi, apa maksudmu datang mencariku?" tanyaku dingin.Mendengar kata-kata itu, lehernya terlihat bergerak naik turun, seolah-olah dia sedang menahan emosinya."Perceraian kita itu salahku," katanya akhirnya. "Aku salah paham padamu dan terlalu gegabah menandatangani surat cerai.""Soal proyek itu, aku sudah menyelidikinya. Aku tahu aku salah menuduhmu. Maaf, aku nggak seharusnya begitu ceroboh dan langsung menyimpulkan itu perbuatanmu. Sekarang aku sadar aku salah. Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan lagi?"Aku menatapnya dengan tatapan mencemooh.Perceraian kami memerlukan waktu 30 hari setelah penandatanganan untuk menjadi resmi, yang berarti dia sebenarnya memiliki dua kesempatan un

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 6

    "Navish, kalau kamu ingin tahu apakah aku yang melakukannya, cukup selidiki saja. Sekalian sampaikan sama Miya, 'Daripada menghabiskan waktu untuk trik kecil seperti ini, lebih baik meningkatkan kemampuan kerja sendiri.'"Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomor Navish sepenuhnya, lalu menghapusnya dari kontakku.Aku terdiam sejenak, lalu membuka riwayat percakapan kami. Setelah itu, aku menghapus semua pesan kami, dari awal pertemuan hingga masa-masa kami jatuh cinta. Karena ukurannya yang besar, proses penghapusan itu berjalan lambat. Aku hanya bisa memandangi bagaimana catatan hubungan kami selama sepuluh tahun perlahan terhapus.Hatiku terasa campur aduk, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Namun setelah selesai, aku memasukkan ponsel ke dalam kantong dan tersenyum ringan untuk meyakinkan Nenek dan Paman yang masih menatapku dengan penuh kekhawatiran.Sesampainya di rumah, aku menemukan bahwa Paman sudah menyiapkan sebuah kamar yang bersih dan hangat untukku."Sasa, coba lih

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 5

    Melalui jendela pesawat, aku melihat seluruh kota semakin mengecil. Akhirnya, perasaan benar-benar meninggalkan tempat itu mulai terasa.Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi Navish ketika tahu aku telah pergi? Terkejut? Atau mungkin dia merasa lega akhirnya bisa bebas dariku?Dalam ingatanku, kami dulu adalah pasangan yang sangat dekat, mitra kerja yang kompak, dan pasangan ideal yang membuat orang lain iri.Aku masih ingat, ketika orang tuaku meninggal, dia memelukku erat dan berkata, "Aku akan jaga kamu dengan baik. Mulai sekarang, aku adalah keluargamu."Namun, bagaimana semua itu berubah menjadi kata-kata seperti, "Orang tuanya sudah meninggal. Dia nggak mungkin menceraikanku."?Rasa sakit dan empati yang dulu dia tunjukkan perlahan berubah menjadi keyakinan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.Aku berpikir terlalu dalam hingga merasa sakit kepala. Lebih baik tidak usah dipikirkan lagi. Seperti yang dikatakan orang, jika sebuah hubungan tidak lagi membawa kebahagiaan, cara terbaik

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 4

    Besok adalah hari terakhir masa tenang perceraian. Setelah besok, aku dan Navish benar-benar tidak akan memiliki hubungan lagi. Aku berdiri di balkon, menyiram bunga kecil yang kupelihara. Tiba-tiba, cincin di jariku terlepas dan jatuh dari balkon.Tanpa pikir panjang, aku membungkuk untuk mencoba mengambilnya."Apa yang kamu lakukan?!" Navish dengan cepat menarik tanganku untuk menjauh dari tepi balkon."Kamu tahu betapa bahayanya itu?!" ucapnya dengan nada khawatir. Seolah-olah dia masih peduli padaku."Cincinnya jatuh," jawabku singkat.Cincin itu adalah cincin yang dia buat sendiri untukku dulu dengan desain yang sangat kusukai. Itulah sebabnya aku selalu memakainya hingga sekarang. Ketika cincin itu jatuh dari balkon, aku merasa tidak bisa diam saja.Navish menghela napas lega. "Itu cuma cincin. Aku bisa belikan yang baru, kamu nggak perlu mengambil risiko seperti itu."Cuma cincin. Aku melihat jarinya yang kosong tanpa cincin. Rupanya dia sudah lama melepasnya."Besok adalah hari

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 3

    "Ah? Bukannya bos menikah sama Kak Sasa?" bisik salah satu rekan kerja."Ssst, pelan-pelan, Kak Sasa masih di sini!" sahut yang lain dengan gugup."Sasa, kami cuma bercanda. Jangan terlalu dipikirkan ya," kata salah satu rekan mencoba menenangkanku.Melihat meja penuh dengan teh susu rasa mangga dan kue cokelat, aku sudah tahu, semuanya untuk Miya. Navish merasa kasihan karena Miya diet dan tidak ingin dia diet terlalu ketat, jadi Navish memutuskan untuk mentraktir seluruh kantor.Ingin sekali rasanya aku mencicipi simbol cinta mereka ini. Sayangnya, aku alergi mangga dan tidak terlalu suka produk berbahan cokelat.Dulu, ketika Navish mengejarku, dia juga melakukan hal-hal seperti ini. Dia takut aku terlalu sibuk bekerja hingga lupa makan, dan sering menggunakan alasan "laporan pekerjaan" untuk mengajakku makan bersama.Saat aku sakit tapi tetap bekerja, dia menyelipkan obat dalam sepotong kue kecil dan mengantarnya ke mejaku, hanya untuk melihat wajahku meringis karena rasa pahitnya.

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 2

    Aku membuka pintu kelab dan masuk. Ketika Navish melihatku, dia tampak agak terkejut dan alisnya berkerut. "Kenapa kamu di sini? Jangan-jangan kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada penuh tuduhan.Aku mengangkat ponselku untuk menunjukkan pesan darinya. "Kamu yang kirim pesan padaku."Miya yang duduk di sampingnya, mencubit lengannya sambil mengerucutkan bibir. "Pak Navish, aku cuma bercanda waktu nyuruh Kak Sasa bawa yogurt. Kamu nggak marah, 'kan?"Kerutan di wajah Navish perlahan menghilang. Anehnya, aku tidak merasakan apa-apa atas lelucon Miya atau toleransi Navish terhadapnya. Tidak ada amarah seperti biasanya, hanya ketenangan. Aku mengangguk kecil sebagai tanda bahwa aku mengerti.Namun, kali ini Navish terlihat ingin menjelaskan sesuatu. "Sasa, Miya cuma menemani aku untuk urusan pekerjaan ...."Aku mengangkat tangan, menyerahkan botol yogurt padanya, dan memotong penjelasannya. "Ini yogurtnya."Karena Navish sudah minum, dia tidak bisa mengemudi. Setelah memastikan Miya aman

  • Menunggu Perceraian yang Dinantikan   Bab 1

    "Bagus sekali, Sasa. Bertahun-tahun kamu akhirnya mau kembali, Paman benar-benar senang," kata seorang pria paruh baya dengan nada riang di telepon.Setelah aku menutup telepon, Navish membuka pintu kamar. Bersamaan dengan kehadirannya, tercium aroma parfum wanita yang asing."Kamu barusan telepon siapa?" tanyanya tanpa sedikit pun perhatian. Matanya tetap terpaku pada layar ponselnya, tidak melirikku sama sekali.Aku baru hendak menjawab ketika ponselnya berdering. Dari sana, terdengar suara lembut seorang gadis, "Pak Navish, terima kasih banyak untuk obat flu yang kamu kirim beberapa hari lalu. Kalau bukan karena kamu, fluku pasti makin parah. Tanpa kamu, aku nggak tahu harus gimana!"Navish tampaknya merasa kurang nyaman mendengarkan itu di depanku, jadi dia menurunkan volume teleponnya.Aku diam saja, merasa percuma untuk berkata apa pun. Bukankah kami memang sudah berencana untuk bercerai? Aku menutup mulutku dan kembali mengemasi barang-barangku. Seperti biasa, aku membuatkan dir

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status