Hampir bersamaan, Tanpa Aran, Suwung Saketi, dan Remak menghambur maju. Mereka menggencet Tandapati dari tiga arah sekaligus. Pedang berbau anyir tepat menyayat leher, namun suara berderak yang kemudian terdengar tak berasal dari sana.
Tanpa Aran mendelik. Caping bagai berubah jadi benda terbang yang menyeretnya hingga kehilangan kendali. Ia terpuntir, kehilangan pegangan pada pedangnya. Saat kepala ada di bawah, lutut Tandapati menghajar telak dadanya. Pemuda itu terlempar. Caping hancur. Dan terlihat rambut panjang berwarna putih keperakan berkibar saat ia terbang terlempar dan rontok melewati bibir tebing.
Melihat celah saat kaki Tandapati mengangkang, Suwung Saketi masuk dari situ. Kepalan tinjunya seperti menjelma besi dan baja yang merah terbakar saat ia menghentakkan pukulan andalan yang bernama sama dengan nama dirinya. Biarpun separuh iblis, Tandapati pasti lemah pada bagian tengah itu, jadi satu serangan ke sana sudah bakalan cukup untuk menghentikannya.
Pagi merekah dalam suasana ganjil di Gunung Wijil. Puluhan pria hilir mudik, mengambil air menggunakan ember-ember kayu atau tempayan tanah liat. Mereka memadamkan api yang masih menyala di beberapa titik. Di sekeliling mereka, wanita dan anak-anak sibuk mengais apa yang masih mungkin bisa diselamatkan dari sisa-sisa rumah mereka.Yang jelas seluruh kawasan pusat Gunung Wijil rata dengan tanah. Semua terpaksa membangun segala sejak dari nol. Hanya bangunan-bangunan padepokan di atas sana yang masih berdiri tegak, namun sudah tak akan bersama pemimpin mereka untuk selamanya. Perguruan Matahari harus mencari pemimpin baru dalam beberapa hari mendatang. Masalahnya, belum ada satu pun di situ yang memiliki kemampuan dan kecakapan setara mendiang Ki Lembu Narawara.Matahari baru saja mencuat dari puncak-puncak dedaunan pohon cakrawala timur di ujung lembah sana ketika Wisnumurti meninggalkan para pria yang masih sibuk memadamkan api. Tangannya penuh jelaga, karena ia barusa
Windyaningrum menengok muka Pramesti yang tergolek di balai-balai bambu ruang tengah kediaman almarhum Ki Lembu Narawara. Tepat saat itu Jaladri muncul bergegas dari luar.“Dia tidur?”Ningrum mengangguk.“Kakang tidak ikut tidur? Semua orang sudah pulas, termasuk Kakang Bajul, Kakang Wisnumurti, dan Kakang Wiratmaka.”Jaladri menguap lebar saat naik ke balai-balai. Ia tak langsung merebahkan diri, tapi malah duduk dan menyandarkan punggung di dinding ruangan.Sekeliling mereka sepi. Semua sudah tidur, termasuk mereka yang mengalami luka-luka akibat peristiwa kacau tadi malam. Yang ribut adalah orang-orang di luar rumah. Para murid padepokan dan warga setempat sibuk menyiapkan segala hal untuk pemakaman semua jenazah itu selepas dzuhur nanti dan acara tahlilan di tempat ini nanti malam.Penggalian lubang kubur raksasa dikerjakan oleh para prajurit anak buah Senopati Natpada. Sedang para tokoh besar seperti Ki Lembu Na
Pangeran Candrakumala mengumpat kasar.Tak aneh, sebab ia dilempar sejadinya hingga jatuh bergulingan dan hampir melesak masuk ke api unggun. Masih sambil mengumpat, ia bangkit berdiri dan menoleh ke arah asal lemparannya tadi.“Sialan! Kau siapa!?”Seorang pria gundul terkekeh. Sesaat Candrakumala mengira orang itu naik harimau. Ternyata bukan. Ia nampak mirip harimau karena memakai kulit macan sebagai pakaian. Seluruh tubuh dari pundak dan leher hingga bagian bawah tungkai tertutup kulit harimau, sehingga tinggi tubuhnya yang sesungguhnya sukar ditebak.“Apa yang terakhir kauingat?”Mata pria paruh baya berusia awal 50-an itu sipit, mirip seperti orang-orang peranakan Tiongkok. Namun ia menyipit karena nyala api unggun sangat menyilaukan. Baru Candrakumala menyadari bahwa yang membuat suasana malam terang adalah karena api unggun itu benar-benar besar. Hampir seperti kebakaran, dan bukan lagi sekadar api untuk penerangan s
“Psst! Heh! Bangun dulu sebentar!”Pratiwi membuka mata, berat. Dan baru kemudian pelan-pelan otaknya bisa mencerna beberapa hal. Satu, wajah pria yang membangunkannya. Tak lain adalah Wisnumurti. Dan dua, pemuda itu membangunkannya dengan cara mencolek-colek dadanya yang berlapis selimut tebal.“Kurang ajar!” ia mengomel, menyingkirkan tangan Wisnumurti. “Ada apa? Apa sudah subuh?”“Masih lama, tapi aku harus membangunkanmu. Ayo, keluar sebentar!” Wisnumurti menarik tangan Pratiwi.“Ke mana?”“Keluar. Sebentar. Kalau tak kuat jalan, aku akan menggendongmu.”Gadis itu mengucek-ucek matanya, lalu merayap bangun sambil membawa selimut tebal bersamanya.“Ada apa, sih? Edan! Dingin banget…!”“Hati-hati! Jangan sampai mereka terbangun.”Pratiwi menoleh ke tempat tidurnya yang berukuran cukup lebar. Pramesti dan Windyaningrum
Adipati Jayapati tepat baru saja selesai berdoa selepas menunaikan salat subuh di kamar pribadinya ketika sudut matanya melihat Mantri Nalacitra duduk bersila menunggu dengan khidmat di dekat ambang pintu. Agak jarang pembantu terpercayanya itu menemuinya seawal ini, sebab sang mantri biasanya baru menyerahkan surat-surat dan jadwal kegiatan harian pada saat matahari sepenggalah nanti.Apa pun itu, biasanya Mantri Nalacitra selalu punya masalah penting untuk disampaikan. Setelah melipat sajadah dan melepas sarungnya, Adipati Jayapati beringsut menghampiri Mantri Nalacitra.“Ada apa, Nalacitra?” tanya sang adipati.Mantri Nalacitra memberi sembah dengan takzim. “Mohon ampun, Gusti Adipati. Ki Somanagara dan istri telah kembali. Ki Soma meminta bertemu Gusti Adipati. Telah hamba katakan bahwa Gusti baru dapat menerima tamu menjelang siang, tapi Ki Soma tetap berkeras menunggu Gusti Adipati. Jika diperkenankan, beliau ingin bertemu Gusti Adipati s
“Jadi kapan kau akan melamarnya?”Wisnumurti menghentikan makannya sesaat, lalu sekilas menoleh menatap Rinjani dan sedikit tersenyum malu.“Sesudah semua urusan ini selesai,” katanya pelan, lanjut makan lagi. “Harusnya sekarang ini, jika bukan karena keterangan baru bahwa Lambang Merah kemungkinan tengah akan bergerak menuju Karang Bendan.”Selepas matahari terbit dan perut keroncongan, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi aliran sungai dan membuka bekal makan. Perjalanan berlangsung lumayan lancar. Meski medan terus turun agak terjal, pengalaman mereka sebagai sama-sama manusia tukang keluyuran membuat mereka selalu bisa menemukan medan landai yang bisa dilalui kuda. Hanya sesekali saja mereka terpaksa turun jalan kaki dan menuntun kuda saat jalanan bukan berupa jalan dan semata gerumbul semak lebat yang menutup sama sekali bentuk medan tanah di bawahnya.Saat ini mereka sudah lepas dari wilayah perbukitan
Bila dilihat sepintas, tanah lapang tak jauh dari rumah-rumah warga di Wijil Ngisor pagi itu nampak seperti puncak perayaan hari raya, entah Idul Fitri atau Idul Adha. Puluhan orang berkumpul di antara kuda-kuda gagah, beberapa pria tegap berseragam membawa panji-panji kebesaran bergambar matahari kuning pada permukaan kain hitam—lambang kebesaran Keraton Pasir. Dan di sekeliling mereka, belasan lainnya lagi berkerumun menonton dengan bersimpuh. Mereka adalah warga Wijil Ngisor, yang baru saja sembuh dari sirep besar-besaran yang dilancarkan Tanpa Aran sekian hari lalu saat menerabas masuk ke puncak Gunung Wijil.Di salah satu sudut, Bajul memegangi tali kekang kudanya dengan muka muram.“Harusnya aku bersama Wisnu dan Rinjani sekarang ini, menyelidiki rumah,” gumamnya pelan.“Tunggu sampai lukamu benar-benar sembuh. Baru kau bisa ikut mereka ke Karang Bendan,” sahut Jaladri datar.Bajul mendengus. “Belum apa-apa aku su
Ki Randu Alas menatap sekeliling.“Sepertinya ada yang tidak beres,” ia menggumam pelan, lalu melambatkan laju kudanya.“Kenapa? Ada apa?” Ki Gede Nipir ikut melihat sekitar.“Entahlah. Biasanya suasana tidak sesepi ini. Selalu ada orang lalu-lalang di sekitar rumah banjar.”Ki Gede Nipir mengikuti Ki Randu Alas membelok. Mereka tiba di rumah banjar Kademangan Kajoran. Ia tak terlalu sering singgah ke tempat ini, tapi yang dikatakan Ki Randu Alas sepertinya benar. Tempat itu agak sepi. Hanya ada kuda-kuda di pekarangan, tapi tak terlihat satu sosok pun orang. Pemandangan yang tentu langka, karena rumah banjar biasanya jadi tempat para pesilat atau jagoan kung fu berkumpul, menunggu pelanggan yang membutuhkan jasa pengawalan melintasi hutan belantara.“Blarak! Blaraaaak!” Ki Randu Alas berteriak keras, setelah menambatkan kudanya di pohon, lalu melangkah mendekati bangunan panjang itu.Sebentar