Jaladri mendelik. Sultan Giriwangsa mendesah pelan.
“Sudah kauajari apa saja dia selama ini, Kingkin? Caranya menyembah iblis!? Kubiarkan kau hidup enak di Pasir, tapi kau membalasnya dengan meracuni anakku.”
Candrakumala seketika berlutut bersimpuh dan menyembah. Tumenggung Mertalaya tidak, dan malahan tersenyum tipis.
“Maaf, Baginda. Tapi saat ini saya pun bertanggungjawab atas keselamatan negara, bukan lagi kelompok lama saya.”
Tandapati menggeram. Bayangannya bergeser lagi, maju kian mendekat.
“Kuperintahkan kalian menaklukkan negara Pasir ke dalam pengaruh kita. Tapi kalian malah minggat dan memuaskan hawa nafsu kalian sendiri. Sang Cahaya Agung telah memerintahkan agar kalian kukirim langsung ke Neraka!”
Ki Demung Banar bergeser dan dengan luar biasa berani memapaki pergerakan Tandapati.
“Kau tak bisa seenaknya membuat masalah di sini, Pengabdi Setan!”
Ia menghambur dengan p
Hampir bersamaan, Tanpa Aran, Suwung Saketi, dan Remak menghambur maju. Mereka menggencet Tandapati dari tiga arah sekaligus. Pedang berbau anyir tepat menyayat leher, namun suara berderak yang kemudian terdengar tak berasal dari sana.Tanpa Aran mendelik. Caping bagai berubah jadi benda terbang yang menyeretnya hingga kehilangan kendali. Ia terpuntir, kehilangan pegangan pada pedangnya. Saat kepala ada di bawah, lutut Tandapati menghajar telak dadanya. Pemuda itu terlempar. Caping hancur. Dan terlihat rambut panjang berwarna putih keperakan berkibar saat ia terbang terlempar dan rontok melewati bibir tebing.Melihat celah saat kaki Tandapati mengangkang, Suwung Saketi masuk dari situ. Kepalan tinjunya seperti menjelma besi dan baja yang merah terbakar saat ia menghentakkan pukulan andalan yang bernama sama dengan nama dirinya. Biarpun separuh iblis, Tandapati pasti lemah pada bagian tengah itu, jadi satu serangan ke sana sudah bakalan cukup untuk menghentikannya.
Pagi merekah dalam suasana ganjil di Gunung Wijil. Puluhan pria hilir mudik, mengambil air menggunakan ember-ember kayu atau tempayan tanah liat. Mereka memadamkan api yang masih menyala di beberapa titik. Di sekeliling mereka, wanita dan anak-anak sibuk mengais apa yang masih mungkin bisa diselamatkan dari sisa-sisa rumah mereka.Yang jelas seluruh kawasan pusat Gunung Wijil rata dengan tanah. Semua terpaksa membangun segala sejak dari nol. Hanya bangunan-bangunan padepokan di atas sana yang masih berdiri tegak, namun sudah tak akan bersama pemimpin mereka untuk selamanya. Perguruan Matahari harus mencari pemimpin baru dalam beberapa hari mendatang. Masalahnya, belum ada satu pun di situ yang memiliki kemampuan dan kecakapan setara mendiang Ki Lembu Narawara.Matahari baru saja mencuat dari puncak-puncak dedaunan pohon cakrawala timur di ujung lembah sana ketika Wisnumurti meninggalkan para pria yang masih sibuk memadamkan api. Tangannya penuh jelaga, karena ia barusa
Windyaningrum menengok muka Pramesti yang tergolek di balai-balai bambu ruang tengah kediaman almarhum Ki Lembu Narawara. Tepat saat itu Jaladri muncul bergegas dari luar.“Dia tidur?”Ningrum mengangguk.“Kakang tidak ikut tidur? Semua orang sudah pulas, termasuk Kakang Bajul, Kakang Wisnumurti, dan Kakang Wiratmaka.”Jaladri menguap lebar saat naik ke balai-balai. Ia tak langsung merebahkan diri, tapi malah duduk dan menyandarkan punggung di dinding ruangan.Sekeliling mereka sepi. Semua sudah tidur, termasuk mereka yang mengalami luka-luka akibat peristiwa kacau tadi malam. Yang ribut adalah orang-orang di luar rumah. Para murid padepokan dan warga setempat sibuk menyiapkan segala hal untuk pemakaman semua jenazah itu selepas dzuhur nanti dan acara tahlilan di tempat ini nanti malam.Penggalian lubang kubur raksasa dikerjakan oleh para prajurit anak buah Senopati Natpada. Sedang para tokoh besar seperti Ki Lembu Na
Pangeran Candrakumala mengumpat kasar.Tak aneh, sebab ia dilempar sejadinya hingga jatuh bergulingan dan hampir melesak masuk ke api unggun. Masih sambil mengumpat, ia bangkit berdiri dan menoleh ke arah asal lemparannya tadi.“Sialan! Kau siapa!?”Seorang pria gundul terkekeh. Sesaat Candrakumala mengira orang itu naik harimau. Ternyata bukan. Ia nampak mirip harimau karena memakai kulit macan sebagai pakaian. Seluruh tubuh dari pundak dan leher hingga bagian bawah tungkai tertutup kulit harimau, sehingga tinggi tubuhnya yang sesungguhnya sukar ditebak.“Apa yang terakhir kauingat?”Mata pria paruh baya berusia awal 50-an itu sipit, mirip seperti orang-orang peranakan Tiongkok. Namun ia menyipit karena nyala api unggun sangat menyilaukan. Baru Candrakumala menyadari bahwa yang membuat suasana malam terang adalah karena api unggun itu benar-benar besar. Hampir seperti kebakaran, dan bukan lagi sekadar api untuk penerangan s
“Psst! Heh! Bangun dulu sebentar!”Pratiwi membuka mata, berat. Dan baru kemudian pelan-pelan otaknya bisa mencerna beberapa hal. Satu, wajah pria yang membangunkannya. Tak lain adalah Wisnumurti. Dan dua, pemuda itu membangunkannya dengan cara mencolek-colek dadanya yang berlapis selimut tebal.“Kurang ajar!” ia mengomel, menyingkirkan tangan Wisnumurti. “Ada apa? Apa sudah subuh?”“Masih lama, tapi aku harus membangunkanmu. Ayo, keluar sebentar!” Wisnumurti menarik tangan Pratiwi.“Ke mana?”“Keluar. Sebentar. Kalau tak kuat jalan, aku akan menggendongmu.”Gadis itu mengucek-ucek matanya, lalu merayap bangun sambil membawa selimut tebal bersamanya.“Ada apa, sih? Edan! Dingin banget…!”“Hati-hati! Jangan sampai mereka terbangun.”Pratiwi menoleh ke tempat tidurnya yang berukuran cukup lebar. Pramesti dan Windyaningrum
Adipati Jayapati tepat baru saja selesai berdoa selepas menunaikan salat subuh di kamar pribadinya ketika sudut matanya melihat Mantri Nalacitra duduk bersila menunggu dengan khidmat di dekat ambang pintu. Agak jarang pembantu terpercayanya itu menemuinya seawal ini, sebab sang mantri biasanya baru menyerahkan surat-surat dan jadwal kegiatan harian pada saat matahari sepenggalah nanti.Apa pun itu, biasanya Mantri Nalacitra selalu punya masalah penting untuk disampaikan. Setelah melipat sajadah dan melepas sarungnya, Adipati Jayapati beringsut menghampiri Mantri Nalacitra.“Ada apa, Nalacitra?” tanya sang adipati.Mantri Nalacitra memberi sembah dengan takzim. “Mohon ampun, Gusti Adipati. Ki Somanagara dan istri telah kembali. Ki Soma meminta bertemu Gusti Adipati. Telah hamba katakan bahwa Gusti baru dapat menerima tamu menjelang siang, tapi Ki Soma tetap berkeras menunggu Gusti Adipati. Jika diperkenankan, beliau ingin bertemu Gusti Adipati s
“Jadi kapan kau akan melamarnya?”Wisnumurti menghentikan makannya sesaat, lalu sekilas menoleh menatap Rinjani dan sedikit tersenyum malu.“Sesudah semua urusan ini selesai,” katanya pelan, lanjut makan lagi. “Harusnya sekarang ini, jika bukan karena keterangan baru bahwa Lambang Merah kemungkinan tengah akan bergerak menuju Karang Bendan.”Selepas matahari terbit dan perut keroncongan, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi aliran sungai dan membuka bekal makan. Perjalanan berlangsung lumayan lancar. Meski medan terus turun agak terjal, pengalaman mereka sebagai sama-sama manusia tukang keluyuran membuat mereka selalu bisa menemukan medan landai yang bisa dilalui kuda. Hanya sesekali saja mereka terpaksa turun jalan kaki dan menuntun kuda saat jalanan bukan berupa jalan dan semata gerumbul semak lebat yang menutup sama sekali bentuk medan tanah di bawahnya.Saat ini mereka sudah lepas dari wilayah perbukitan
Bila dilihat sepintas, tanah lapang tak jauh dari rumah-rumah warga di Wijil Ngisor pagi itu nampak seperti puncak perayaan hari raya, entah Idul Fitri atau Idul Adha. Puluhan orang berkumpul di antara kuda-kuda gagah, beberapa pria tegap berseragam membawa panji-panji kebesaran bergambar matahari kuning pada permukaan kain hitam—lambang kebesaran Keraton Pasir. Dan di sekeliling mereka, belasan lainnya lagi berkerumun menonton dengan bersimpuh. Mereka adalah warga Wijil Ngisor, yang baru saja sembuh dari sirep besar-besaran yang dilancarkan Tanpa Aran sekian hari lalu saat menerabas masuk ke puncak Gunung Wijil.Di salah satu sudut, Bajul memegangi tali kekang kudanya dengan muka muram.“Harusnya aku bersama Wisnu dan Rinjani sekarang ini, menyelidiki rumah,” gumamnya pelan.“Tunggu sampai lukamu benar-benar sembuh. Baru kau bisa ikut mereka ke Karang Bendan,” sahut Jaladri datar.Bajul mendengus. “Belum apa-apa aku su
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia