“Apa kamu berhasil mendapatkan apa yang saya minta?”
Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi yang duduk di kursi kebesarannya menatap orang kepercayaannya dengan mata tajam itu. “Sudah, Tuan. Dia mahasiswa jurusan bisnis semester akhir yang sebentar lagi akan lulus, dia memiliki kepintaran otak yang sangat luar biasa.”Orang kepercayaannya itu menjelaskan sambil membolak-balik map merah yang ia pegang.“Ada lagi?” tanyanya dengan wajah dingin itu.“Namanya, Galaksi Bimantara. Dia hanyalah seorang anak dari panti asuhan. Kecerdasannya sudah tidak bisa diragukan lagi, menurut saya dia sangat cocok untuk dijadikan seperti yang anda mau,” jelasnya lagi.“Berikan dokumen itu, kamu boleh pergi!” usirnya tanpa basa-basi.Aldez Zefrino, seorang pengusaha kayak raya yang dikenal dengan sikap dingin nan tak tersentuh itu menatap map di tangannya dengan seksama.Ia membaca deretan huruf demi huruf di dalam sana tanpa terkecuali.“Galaksi Bimantara, dia memiliki prestasi segudang dan dikenal dengan pria genius.” Bibir tipisnya tertarik sedikit membentak senyum tipis.“Sangat menarik, dia cocok untuk saya rekrut menjadi manager dulu setelah dia lulus kuliah. Baru setelah itu saya akan menjadikan dia sama seperti saya.”Tuan Aldez meletakkan map itu dan beralih meraih bingkai foto kecil yang di dalamnya terdapat foto seorang perempuan yang tengah memangku seorang bayi laki-laki.Mata Tuan Aldez mendadak memerah. “Kalian di mana? Kalau saja kamu tidak pergi membawa putra kita, mungkin sekarang aku tidak akan kesusahan mencari pemimpin sementara untuk perusahaan ini.”Tuan Aldez memejamkan mata, ia sudah menyerah mencari istri dan anaknya yang sudah menghilang selama puluhan tahun lamanya.Tuan Aldez tak yakin istri dan anaknya masih hidup mengingat mereka pergi dengan cara tak biasa. . . ."Ayah Tari mohon jangan usir Tari! Ayah jangan buang Tari!"Galaksi mengernyit mendengar suara rintihan seorang perempuan di sebelahnya."Tunggu! Kok gue denger ada suara perempuan?" Gala dengan suara serak khas bangun tidurnya bergumam dengan mata masih setengah memicing.Mungkin otak Gala masih belum bereaksi dan belum mengingat bahwa dirinya sudah tidak tidur sendiri lagi.Sekarang Gala sudah punya guling yang bisa bergerak.Eh.. hayoo... guling nggak tuh?"Ibu jemput Tari Bu! Bawa Tari pergi sama Ibu! Tari udah nggak kuat hidup didunia ini lagi. Ayah udah nggak sayang Tari lagi."DegGalaksi membalikkan tubuhnya dan mendapati Mentari tengah berbicara dalam tidurnya."Menteri?" gumam Gala masih belum tersadar sepenuhnya.Gala masih mencoba mengingat apa yang telah terjadi sampai Gala menepuk jidatnya sendiri. "Gala ... Gala, bisa-bisanya lo lupa Kalo lo udah punya bini," rutuknya untuk dirinya sendiri."Ibu jemput Tari! Tari nggak kuat hidup lagi."Gala menggeleng kuat mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibir istrinya."Sayang kamu ngomong apaan, sih? Kakak nggak suka kamu bilang gitu. Kamu mau ninggalin Kakak saat Kakak baru pertama kali ngerasain punya keluarga.""Ayah jangan usir Tari!"Mentari terus berceloteh dengan mata terpejam. Tidur gadis itu terlihat gelisah dengan kepala bergerak kanan Kiri dan peluh sebesar biji jagung membasahi seluruh tubuhnya."Dia ngigau?" Gala menatap seksama istrinya yang terlihat gelisah dalam tidurnya."Bahkan dalam mimpi pun kamu dibuat hancur, Sayang," lirih Gala saat mengingat kembali bagaimana kejamnya Marwan mengusir Mentari dari rumah tempat istrinya itu dibesarkan."Tari, Sayang! Hey, bangun! Jangan bikin Kakak khawatir, Sayang!"Gala memutuskan untuk duduk karena sepertinya hari sudah subuh."Bangun, Yuk! Kita shalat subuh berjamaah, Kakak nggak sabar mau jadi imam kamu." Gala tersenyum tipis saat membayangkan dirinya akan benar-benar menjadi imam dari seorang gadis yang ia cintai dan kini sudah menjadi istrinya."Tariii!" panggil Gala sekali lagi karena istrinya itu tidak kunjung bangun.Karena merasa perasaannya tidak enak, Gala menghidupkan lampu kamar kecil mereka dan betapa terkejutnya Gala melihat bibir pucat Mentari dan dahi istrinya itu juga berkerut dalam."Astagfirullah Tari. Kamu kenapa, Sayang?" pekik Gala sambil duduk di sisi Mentari.Gala mengangkat tangan kanannya dan meletakkan punggung tangannya di kening Mentari."INI PANAS BANGET, WOI!"Mata Gala membulat sempurna saat tangannya serasa terbakar saking panasnya suhu tubuh istrinya."Sejak kapan kamu demen tinggi kayak gini, Sayang? Bisa-bisanya Kakak nggak tau kalau kamu demam," celoteh Gala dengan segala rasa bersalahnya."Ibu, Tari mau ikut ibu." Mentari kembali mengigau sambil mencengkram kuat selimut tebal yang membalut tubuh mungilnya.TesAir mata Gala jatuh tanpa ia minta mendengar permintaan istri yang teramat ia cintai ini."Jangan bilang itu lagi, Tari! Hati Kakak hancur dengar kamu juga mau pergi nyusul ibu kamu." Gala dengan suaranya yang bergetar menggenggam erat telapak tangan Mentari yang terasa panas."Jangan pernah punya pikiran mau ninggalin Kakak, Sayang! Kamu adalah segalanya bagi Kakak, tanpa kamu mungkin hidup ini benar-benar akan gelap. Jadi Menterinya Kakak jangan pergi ya!"Gala terus berceloteh dengan air mata terus berjatuhan.Mungkin ucapan Gala terdengar sangat alay, namun itulah kenyataannya. Gala yang hidup sebatang Kara dan tidak tau apa itu kasih sayang, jadi merasakan bagaimana rasanya dicintai sejak sosok Mentari masuk ke dalam kehidupannya yang kosong.Selain sahabat baiknya Alzi, Gala juga menganggap Menteri segalanya.Mentari dunianya, jika tidak ada Mentari maka dunia Gala akan langsung runtuh."Ya Tuhan ... gue harus apa? Gimana caranya biar demam Tari bisa turun?"Gala mengusap kasar wajahnya karena ia bingung harus berbuat apa.Gala belum pernah mengurus orang sakit sebelumnya. Jadi wajar jika Gala tidak tau apa yang harus ia lakukan untuk membuat demam Mentari turun."Kak G-gala?"DegGalaksi terkesiap mendengar Mentari memanggil dirinya."Kak Gala Maafin Tari!" Dahi Mentari semakin semakin mengernyit dalam dan terus memanggil Gala di alam bawah sadarnya."Kak Gala---""Iya, Sayang. Kakak disini, kamu nggak perlu minta maaf, Kakak janji bakal bikin trauma kamu ilang secepatnya."Gala membawa telapak tangan Mentari ke pipinya."Jangan kayak gini, Sayang! Kakak bingung harus apa," lirih Gala dengan rasa sesak luar biasa.Melihat Mentari yang biasanya selalu ceria dibalik ketidak adilan yang terus ia terima. Kini disaat Mentari terlihat rapuh dan ingin menyerah dalam hidupnya, hati Gala begitu sakit serasa teriris sembilu.Gala menatap jendela kecil di kamarnya, "huff ... udah pagi ternyata, gue mau beli obat ke apotek. Tapi kalau gue pergi Tari sama siapa?"Galaksi dilanda kebingungan, ia menatap Mentari dengan helaan nafas kasar. Sangat tidak mungkin ia akan meninggalkan istrinya itu seorang diri dalam keadaan demam tinggi seperti ini.Gala kembali menyentuh kening Mentari tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Gala menyatukan keningnya dengan Mentari dan mata Gala membulat sempurna saat dirasa demam Mentari semakin tinggi."Ini nggak bisa terus didiemin. Gue harus minta bantuan Arumi, cuma dia yang bisa bantuin gue. Sekalian Alzi juga nggak papa kayaknya."Gala terus berceloteh dan mencari ponselnya. Buru-buru Gala mencari nomer kontak Arumi, sahabat baik Mentari.Tak butuh waktu lama panggilan langsung tersambung dan terdengar suara serak Arumi dari seberang sana. Mungkin gadis itu baru bangun tidur, tapi Gala mana peduli. Yang Gala pikirkan saat ini hanyalah Mentari, Mentari dan Mentari."Halo, Rum. gue boleh minta bantuan, lo?" tanya Gala tanpa basa basi. "Apaan?" tanya Arumi dengan malas.Pasalnya Arumi tengah mimpi indah yaitu bisa menaiki motor sport impiannya selama ini. Tapi Arumi harus berakhir miris jatuh dari ranjang karena tiba-tiba suara ponselnya menggema sangat kencang."Lo bisa dateng ke kontrakan gue sekarang? Gue mohon bantuin gue!" "Lo aman kan, Gal? Nggak biasanya lo minta tolong sampai mohon-mohon gini." Arumi keheranan pasalnya ia tidak pernah mendengar Gala memohon bantuan kepada siapapun selama ini meskipun hidupnya sesusah apapun."Gue aman, tapi Mentari yang nggak aman," celutuk Gala membuat mata Arumi yang tadinya berat ingin tidur lagi kini melek dengan sangat lebar. "Mentari kenapa? Kenapa lo bilang Bestie gue nggak aman?" cecar Arumi dengan tidak sabarnya."Mentari demam tinggi dan gue nggak tau harus gimana," jawaban Gala kembali membuat Arumi sangat bingung. "Tunggu-tunggu! Kenapa bisa Mentari demam dan lo nggak tau harus apa? Lo lagi di rumah Mentari?" tanya Arumi dengan rasa penasaran yang membuncah."Gue 'kan udah bilang kalau kita berdua ada dikontrakan gue. Jangan banyak nanya dulu deh Rum, gue pusing ini tubuh Mentari panas banget.""Oh oke, gue otw sekalang," putus Arumi yang ikutan panik dan cemas dengan kondisi sahabat baiknya itu."Sekalian lo ajak Alzi kesini dan gue minta tolong, tolong beliin dulu obat penurun panas. Gue nggak bisa pergi dan ninggalin Mentari sendirian disini," pinta Gala dan Arumi mengangguk sebagai jawaban meskipun Gala tidak melihat dirinya. "Sebelum gue dateng kompres dulu jidat Mentari pake air es, Gal! Itu juga bisa membantu kayaknya." Setelah mengatakan itu Arumi menutup sambungan teleponnya."Kira-kira kenapa bisa Mentari sepagi ini udah ada di kontrakan Gala ya?" gumam Arumi, bingung.Di sisi lain, Galaksi masih mengompres dahi Mentari dengan air es batu sesuai dengan yang disarankan Arumi tadi.Tapi sudah hampir setengah jam lamanya demam Mentari tak juga turun dan Gala berhasil dibuat panik setengah mati.“Ayo dong Sayang, bangung! Kamu mau bikin Kakak mati berdiri karena khawatirin kamu?” lirih Gala sambil memeras handuk kecil yang baru saja ia celupkan ke dalam baskom berisi air es untuk mengompres Mentari lagi.“Kak Gala,” lirih Mentari dengan suara yang serak dan mata yang mulai terbuka.“Iya Sayang Kakak disini. Alhamdulillah, ya Tuhan! Akhirnya Mentari bangun juga.” Gala sampai kembali meneteskan air matanya saking bahagianya melihat mata istrinya sudah terbuka dan kini tengah menatap sayu kepadanya.“Kak Gala kenapa nangis?” Dengan sisa tenaganya yang tersisa Mentari berusaha mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Gala.“Kakak khawatir sama kamu, Sayang. Demam kamu tinggi banget, dari tadi subuh Kakak bangunin kamu tapi kamunya nggak bangun-bangun.
"Coba lo ulangi lagi, Gal! Siapa tau aja gue salah denger?"Arumi menatap Galaksi dengan ekspresi yang sulit diartikan."Nggak, Rum. Lo nggak salah denger, gue sama Mentari emang udah nikah kemarin."Jawaban Galaksi berhasil membuat Arumi terduduk seketika. Arumi beralih menatap sahabatnya yang hanya diam menunduk."Kenapa kalian tiba-tiba nikah? Lo nggak hamil 'kan?" tanya Arumi membuat mentari menatapnya dengan tajam."Serendah itu kamu mikir tentang aku, Rum?" Mendadak Arumi merasa bersalah. "Sorry kalau ucapan gue bikin lo tersinggung. Tapi gue perlu tau alesan kenapa kalian menikah?""Ada apa, Gal? Apa yang gue nggak tau?" Kini giliran Alzi menanyai Gala."Gue sama Mentari menikah karena kesalahpahaman---"Suami istri muda itu lalu menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami alasan mengapa mereka bisa menikah secara mendadak."Gue nggak punya pilihan lain selain nikahin Mentari. Gue nggak mungkin tega biarin gadis yang gue cintai harus diusir dari rumah dan nggak tau harus k
Sejak Alzi dan Arumi pamit pulang tiga jam yang lalu, Gala benar-benar menempel pada Mentari seperti perangko.Gala benar-benar tidak mau jika harus kehilangan Mentari disaat dia baru merasa memiliki seseorang dalam hidupnya.Dari kecil dibesarkan di panti asuhan dan tidak pernah merasa disayangi membuat Gala sangat posesif setelah merasa memiliki Mentari."Kak Gala nggak mau mandi? Ini udah sore loh." Mentari mengusap rambut Gala penuh kelembutan.Gala memejamkan matanya menikmati usapan lembut dari sang istri.'Selama gue hidup di dunia ini belum pernah rasanya gue merasakan sentuhan lembut penuh kasih sayang dari seseorang.'Gala membatin menikmati kenyamanan yang ia rasakan."Bentar lagi, Sayang. Kambing aja nggak mandi-mandi belinya tetep mahal. Berarti Kakak yang ganteng ini kalau nggak mandi bakalan tetep wangi." Gala semakin mempererat pelukannya dengan Mentari tanpa mau beranjak sama sekali.Sedangkan Mentari hanya terkekeh geli dengan bibirnya yang masih pucat walaupun demam
"Kamu yakin kuat buat kuliah? Mending nggak masuk dulu yah, buat hari ini ... aja Kakak nggak mau kamu sakit lagi." Gala yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana jeans hitam yang ia pakai untuk berangkat ke kampus kembali menanyai istrinya yang saat ini tengah bersiap-siap.Mentari menghentikan kegiatannya yang tengah menyusun peralatannya kedalam tas sejenak dan menatap Gala dengan senyuman di bibirnya."Aku kuat kok, Kak. Aku janji nggak akan kecapekan, boleh ya aku ikut ke kampus?"Gala hanya mampu menghembuskan napas kasar. Kalau sudah begini ia mana bisa menolak permintaan Mentari."Yaudah deh, tapi jangan sampai kamu terlalu cepek!" pasrah Gala disambut senyum lebar oleh Mentari.Mentari kembali menyiapkan keperluannya dan menatap cermin sesaat untuk memastikan penampilannya sudah benar-benar oke.Yang namanya perempuan walaupun tidak hobi berdandan sekalipun, tidak akan bisa lepas dari yang namanya cermin.Setiap kali bertemu cermin pasti bawaannya ingin ngaca terus.Perc
Sementara itu, Mentari menggerakkan lehernya menatap sekeliling dengan pandangan heran."Kamu ngerasa mereka dari tadi natap aku nggak sih, Rum?" Mentari membelokkan kepalanya ke samping dan berbisik lirih tepat di daun telinga Arumi.Arumi mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuapkan mie ayam kedalam mulutnya. Arumi ikut mengamati sekitar dan benar saja.Semua pasang mata penghuni kantin terfokus pada Mentari. Mereka juga bisik-bisik dengan pandangan julid untuk Mentari.Arumi menatap tak suka semua itu.Trang..Arumi menjatuhkan sendok dengan kasar ke dalam mangkok mie ayamnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.Matanya menajam menatap semua penghuni kantin yang rata-rata diisi oleh perempuan."Kenapa pada natapin kita? Ada yang mau disampaiin silahkan! Jangan cuma berani bisik-bisik di belakang doang! Kalau berani ngomong langsung ke orangnya!" Suara Arumi menggema di dalam kantin yang mendadak sunyi.Mentari menggenggam tangan Arumi. "Udah, Rum. Jangan gitu! Siapa ta
"Aku salah a-pa? Tega sekali mereka menghujatku padahal selama ini aku nggak pernah sekalipun berbuat jahat pada mereka."Di dalam salah satu bilik toilet, Mentari menangis sejadi-jadinya menyalurkan rasa sesak di dadanya.Dia tak habis pikir dengan semua orang yang berpikiran buruk tentang dirinya. Padahal mereka pun tau, selama ini dirinya tak pernah berperilaku yang mencerminkan bahwa ia adalah seorang perempuan murahan seperti yang orang-orang katakan.Mentari mematut dirinya di depan cermin. Matanya yang memerah dan sembab membuatnya lebih mirip Drakula dari pada manusia.Pikiran Mentari langsung tertuju kepada seseorang, yaitu suaminya."Maafin Tari, Kak Gala! Tadi Tari nggak jawab pertanyaan, Kak Gala. Saat ini Tari benar-benar butuh sendiri." Menteri bergumam lirih saat teringat dengan suaminya yang tadi ia abaikan.Pastinya Gala akan kesulitan menemui Mentari karena gadis itu pergi ke toilet yang jarang dikunjungi.Mentari terus saja meratapi nasibnya yang malang. Entah dosa
"Sayang, kamu pulang sama Arumi dulu nggak papa, ya? Kakak mau langsung kerja soalnya. Udah dua hari Kakak nggak masuk kerja selama itu juga Cafe tutup. Orang pemalas ini mana mau buka Cafe sendirian." Gala melirik malas Alzi setelah mengusap pipi lembut Mentari.Sementara itu, Alzi tampak santai mendengar sindiran Gala sambil mencongkel lobang hidungnya."Gue bakalan tetep kaya meskipun nggak buka Cafe selama setahun. Lagian kalau lo nya nggak ke Cafe siapa yang bakalan masak? Karyawan gue 'kan cuma elo," ucapnya santai."Cih, kaya iya pemalas juga iya," sembur Gala membuat Alzi mendelik."Emang ya lo ini, gue ini bos lo kalau lo lupa. Dimuka bumi ini emang gue deh kayaknya bos yang nggak ada harga dirinya." Alzi mencabik kesal.Mentari terkekeh geli melihat perdebatan tak berujung Gala dan Alzi."Sana berangkat! Mau buka Cafe jam berapa lagi coba?" Mentari mendorong pelan dada Gala."Yaudah, Kakak berangkat dulu. Sampai jumpa nanti dirumah." Gala tersenyum cerah sambil melambaikan t
Tangannya begitu lihai memasak semua pesanan dari para pelanggannya.Pengunjung Cafe yang begitu banyak hari ini membuat Gala kewalahan. Belum lagi ia juga harus menjadi penyanyi demi mendapatkan gaji tambahan.Alhasil, Gala harus bolak balik ke dapur dan ke panggung sungguh hal itu berhasil membuat Gala sedikit lelah."Ini, Zi. Pesanan meja nomer enam." Satu nampan yang sudah terisi penuh dengan makanan lengkap dengan minumannya Gala sodorkan kepada Alzi.Selain sebagai pemilik Cafe, Alzi juga merangkap sebagai pengantar pesanan pelanggan.Alzi pun tak kalah lelahnya, kakinya tidak berhenti bergerak sedari tadi. Mulai dari Cafe dibuka Alzi dan Gala dibuat sibuk bukan main.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan itu artinya sudah waktunya Cafe tutup."Huuff ... akhirnya kelar juga." Gala menghela nafas lega sembari melepas apron yang sedari tadi menempel di tubuhnya."Lo mau langsung pulang, Gal?" Alzi yang duduk selonjoran di atas lantai saking pegalnya bertanya kepada Gala
Tahun demi tahun telah berganti, kini kehidupan Galaksi dan Mentari telah banyak berubah.Kontrakan kecil mereka dulu kini sudah berubah menjadi rumah mewah yang di bangun dari hasil kerja keras Gala dan Mentari, Alzi juga sudah mekahi Arumi dan berhasil merebut kembali haknya dari Om Nino setelah ia lulus kuliah.Gala dan Alzi juga telah membangun sebuah rumah sakit mewah untuk istri mereka sesuai dengan cita-cita kedua perempuan itu yang ingin memiliki rumah sakit sendiri.Fakta mengejutkan juga terjadi, Bu Santi ternyata adalah ibu kandung Gala dan Tuan Surya si lintah darat ternyata ayah kandungnya. Saudara kembar Gala ternyata telah meninggal dunia setelah kejadian naas yang menimpa keluarganya kala itu, dan Tuan Surya kini sudah tobat dan berhenti menjadi rentenir.Gala sudah menerima orang tuanya, mereka terpisah bukan karena keinginan orang tuanya. Gala tidak membenci mereka karena ia tau mereka juga tersiksa karena mencari dirinya selama
Gala memandang nanar kaki kirinya yang terpasang gips, mendengar dari istrinya bahwa kaki kirinya retak membuat Gala syok berat. Mentari masih setia memeluk sang suami sambil menangis, Mentari tak kuasa melihat wajah sedih Gala saat pertama kali ia katakan bahwa kaki Gala retak dan butuh waktu selama empat bulan untuk menyembuhkannya. “Kak Gala nggak perlu mikirin apapun, cuma empat bulan, Kak. Abis itu kaki Kakak bakalan sembuh lagi.” Gala menatap istrinya begitu sendu. “Iya cuma empat bulan, tapi menjalang itu kita gimana? Gimana caranya Kakak bisa kerja dalam keadaan kaki di gips kayak gini?” Gala pusing membayangkan mereka akan makan apa kedepannya, dengan apa ia harus membayar uang kontrakan kalau dirinya tidak bekerja. Untungnya skripsi Gala telah selesai dan tinggal menunggu hari wisuda, harusnya Gala sudah langsung bekerja di salah satu perusahaan besar setelah mendapatkan ijazah. Tapi
“Keadaan pasien sudah baik-baik saja, operasinya berjalan lancar.” “Hufff ….” Mentari menghela nafas lega, pasokan udara yang mulanya seolah menghilang dari paru-parunya kini kembali terisi penuh dan Mentari sudah bisa bernafas dengan leluasa. Begitu pula dengan Alzi dan Arumi, keduanya juga nampak lega mendengar kabar baik dari Dokter yang baru saja selesai menangani operasi Gala. “Tapi saya juga membawa kabar buruk, kaki kiri pasien mengalami retak sehingga harus dipasangkan gips.” Deg Ucapan Dokter itu membuat Mentari kembali menegang, sebenarnya tak apa apapun yang terjadi pada Gala Mentari akan tetap menerima asalkan nyawa suaminya itu terselamatkan. Tapi Mentari memikirkan bagaimana nanti reaksi Gala saat mengetahui bahwa kakinya retak, Mentari sangat paham kalau tulang retak tidak akan bisa sembuh dalam waktu singkat. Paling cepat mungkin bisa mencapai waktu empat bulan, b
Duduk sendirian di atas lantai dingin rumah sakit dengan perasaan kalut luar biasa, itu yang Mentari rasakan saat ini. Di depan ruangan operasi yang lampunya sedang menyala pertanda bahwa operasi sedang berlangsung Mentari duduk seorang diri.Tangis perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tidak reda sejak melihat langsung betapa menyedihkannya keadaan sang suami yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati.Orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit hanya bisa menatap iba Mentari, mata gadis itu sudah bengkak dan memerah tapi tangisnya belum berhenti.“Apa engkau juga akan mengambil suamiku setelah engkau renggut ibu ku, Tuhan? Aku harus dengan siapa kalau Kak Gala benar-benar pergi?”Mentari menjerit pilu, ia tak peduli akan semua orang yang tengah menatapnya. Yang Mentari inginkan sekarang hanyalah keselamatan Galaksi, suaminya.Dunia Mentari sekarang berpusat pada Gala, hanya demi Gala ia memilih tetap hidup di dunia
Dunia seakan runtuh tepat menimpa kepala Mentari saat ini, tubuhnya bergetar hebat dengan nafas terasa berat melihat pemandangan menyakitkan mata di depan sana.“K-kak Gala.” Bahkan untuk bicara sepatah kata saja suara Mentari langsung bergetar, bahkan hampir tak terdengar.“Maaf, Nak. Kamu kenal korban itu?”Kesadaran kembali mengambil alih tubuh Mentari.“Di ma-na korban motor Scoopy merah itu, Pak?” tanya Mentari terbata, jari telunjuknya terulur menunjuk motor Scoopy yang mentari yakini seratus persen adalah motor suaminya.“Ada seberang sana, Neng.” Bapak-bapak itu menunjuk halte bus di seberang jalan. “Keadaannya cukup parah, tapi masih beruntung dari pada korban lain yang langsung meninggal di tempat.”Mata Mentari tertuju ke halte bis yang ditunjukkan oleh warga itu, di sana Mentari dapat melihat ada beberapa orang yang tengah menjaga korban kecelakaan.“Bilang sama Tari, kalau itu bukan Kak Gala.” Mentari terus berceloteh di sepanjang larinya menuju seberang jalan.Karena kec
“Kak Gala kok nggak bisa dihubungi ya, Alzi juga nggak angkat telpon dari aku. Harusnya Kak Gala udah sampai di cafe.”Mentari meremas erat ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menghubungi Gala dan Alzi, tapi ponsel keduanya yang sama-sama tidak bisa dihubungi membuat perasaan Mentari semakin cemas.Jika ponsel Gala tidak aktif, Alzi malah tidak menjawab panggilan darinya.“Kemana aja sih mereka?”Dalam rasa gelisah yang melanda, Mentari juga merasa kesal dalam waktu bersamaan.Sudah tiga puluh menit sejak Gala pergi, harusnya suaminya itu sudah sampai di cafe.“Kalau Kak Gala udah sampe kenapa dia nggak ngabarin aku?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Mentari.Hati Mentari semakin tak tenang memikirkan keberadaan suaminya, kenapa disaat ia benar-benar butuh kabar seperti ini Gala malah tidak memberinya kabar.“Aku makin nggak tenang kalau gini caranya, aku harus susul Kak Gala sekarang juga.”Tanpa pikir panjang, Mentari langsung menyambar tas selempang kecil yang hanya muat satu han
Mentari mengayunkan langkah gontai nya keluar dari rumah, ia melirik Fania yang diantar ke sekolah dengan mobil oleh ayahnya.Menatap uang lima ribu dalam genggamannya, bibir pucat Mentari yang menahan lapar mengeluarkan napas kasar.“Apa ayah mengizinkan hari ini aku ikut nebeng ke sekolah?” Mentari Memandang nanar ayahnya yang tengah memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada Fania.Senyum getir lagi-lagi terpatri di bibir Mentari, uang lima puluh ribu jelas sangat berbeda jauh dengan jatah jajannya hari ini yang hanya lima ribu.Di sini yang merupakan anak kandung ayahnya sebenarnya dirinya atau Fania, kenapa ayahnya seolah memperlakukannya bak anak tiri.Hanya terkadang saja Mentari mendapat jatah jajan lima belas ribu, itu pun kalau ibu tirinya tengah berbalik hati.Menatap ayahnya ragu-ragu, Mentari mengayunkan langkah secara perlahan hingga sekarang ia sudah berdiri di samping mobil sang ayah.“Ayah, Tari boleh ikut berangkat sekolah bareng, Ayah?” Mentari meremas tali tas
“HEY, TUNGGU! JANGAN LARI KALIAN!” Para emak-emak yang dipanggil Bu Santi terus mengejar Fania dan dan ibunya sambil membawa sapu, ember, bahkan panci untuk menimpuk kepala ibu dan anak yang sudah membuat gaduh di lingkungan mereka. “Gimana dong, Bu? Kita bisa bonyok di tangan emak-emak sekampung.” Fania terus berlari sesekali menoleh ke belakang di mana ada banyak kaum manusia terkuat di dunia yang diberi julukan emak-emak. “Diam dulu kamu, Fan. Kita salah langkah, ternyata anak nggak tau diri itu banyak pelindungnya di sini.” Rosa membuka kasar pintu mobilnya berbarengan dengan Fania masuk. Tidak ada tempat yang lebih aman bagi mereka untuk berlindung selain di dalam mobil. Rosa melirik ke belakang, wanita itu melotot melihat betapa bar-bar nya para tetangga Mentari. “Sialan, merk lempar mobil kita pakai tanah lumpur, Fan.” Rosa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kini mobilnya telah kotor oleh tanah basah akibat perbuatan emak-emak itu. tidak ingin mobilnya semakin kotor, R
“Mau apa kalian kesini?” Gala melempar pertanyaan sarkas kepada dua tamu tak diundang yang datang ke kontrakan Bu Santi, Gala juga langsung pasang badan di depan Mentari untuk melindungi sang istri dari dua ular beracun yang tidak Gala harapkan kehadirannya. Dari raut wajah Gala yang berubah dingin orang akan langsung bisa menebak bahwa pria itu sangat membenci dua orang yang datang itu. “Saya ke sini untuk mencari anak tidak tau diri itu, sudah dibesarkan bukannya balas budi tapi malah menjelek-jelekkan saya di depan umum.” Mendengar jawaban Rosa, kekehan sinis keluar begitu saja dari bibir Gala. “Makasih yang seperti apa yang Anda minta? Makasih atas ketidak adilan yang selama ini kalian semua perbuat kepada istri saya, iya?” Rosa mengepalkan tangannya, keberadaan Gala sungguh membuat rencananya untuk memberi Mentari pelajaran harus terganggu. “Kamu, laki-laki miskin nggak usah ikut campur, ini bukan urusan kamu.” Rosa menatap nyalang Gala yang kini menyeringai kepadanya.