[Hari ini gak usah jemput. Aku mau berangkat sendiri]Pesan yang baru masuk itu tak segera dijawab. Yanu menoleh ke arah pintu rumah Arisa. Belum ada tanda-tanda gadis itu akan keluar. Dari kata yang berhasil terbaca, tampaknya Arisa semakin marah padanya, karena Yanu tak bisa menjawab pertanyaannya.Nyatanya kemarin kalimat jawaban atas pertanyaan Arisa sebatas terucap dalam benak. Yanu tak bernyali untuk mengakui kalau dirinya memiliki perasaan lain, yang berbeda dari sekadar saudara. Ada ketakutan dalam diri Yanu mengenai Arisa. Apabila semua rasa itu benar-benar terungkap, bukan tak mungkin Arisa akan semakin menjauh.[Aku sudah di depan rumah]Setelah beberapa detik, Yanu membalas pesan Arisa. Ia mengabarkan bahwa dirinya terlanjur datang.Selang beberapa menit, muncul lah Arisa dengan wajah tertekuk dan langkah menghentak penuh rasa terpaksa. Yanu hanya diam, bahkan ketika gadis manis itu masuk dan membanting pintu. Tak banyak bicara, Yanu segera melajukan mobilnya membelah j
Sudah menjadi rahasia umum kalau di negeri ini beberapa oknum pejabat memiliki perempuan yang dijadikan simpanan. Mulai dari kalangan pesohor negeri, model, sampai penyanyi lokal. Ada yang ditempatkan di luar kota agar lebih aman, tak jarang pula yang sengaja tinggal tak jauh dari mereka. Biasanya hubungan itu akan disamarkan dengan pekerjaan.Begitu pun yang dijalani Melia. Di beberapa kesempatan ia sering diundang untuk menjadi penghibur di acara-acara tertentu yang diadakan instansi yang dipimpin oleh Haidar. Setiap pulang acara, kedua kerap membuat janji temu di sebuah hotel. Meski sudah bekerja sebagai staf di suatu perusahaan, nyatanya uang yang dihasilkan sering tak cukup. Apalagi jika ibunya meminta kiriman lebih untuk biaya-biaya dadakan. Mau tak mau Melia harus mendapat penghasilan sampingan. Salah satunya tetap menjadi penyanyi panggilan.Dengan mengenakan gaun malam hitam berkilau, Melia tampil memukau para penonton. Malam ini ia bernyanyi di sebuah pesta ulang tahun pern
Mengingat-ingat segala yang dikatakan Adam —suami kakaknya— membuat Bahtiar dilanda perasaan gelisah. Hingga malam larut, kelopak seakan sulit terpejam. Rasa penasaran akan kebenaran dari pengakuan Melia pun menciptakan sebuah keraguan yang tak bisa terelakkan.Namun demikian, Bahtiar sama sekali tak mengetahui cara apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan semua itu. Persoalannya, di dalam kamar hotel yang mereka tempati kala itu, tidak terdapat kamera pengawas yang bisa memperlihatkan kegiatan apa yang mereka lakukan di dalam.Bertanya pada rekan lain pun dirasa percuma. Selain selama ini mereka tidak mengetahui kejadian malam itu, pertanyaan semacam itu justru hanya akan membongkar aib yang hingga kini masih mampu ditutup rapat.“Aku gak akan maafin kamu, kalau kamu benar-benar udah nipu aku, Mel.” Bahtiar bermonolog, seraya menatap langit-langit kamar yang kini selalu nampak buram. Cahaya terang dalam hidupnya seakan memudar sejak beberapa waktu silam. Semenjak ia kehilangan gad
Bahtiar mengakui kalau dirinya tak berpengalaman perihal menyentuh wanita. Meski Melia kerap menyatakan bahwa mereka pernah berhubungan, tetapi ia sama sekali tak mengingatnya. Namun demikian, tak berarti Bahtiar tak mengerti bercak apa yang menodai kemulusan kulit leher Melia. Walau belum ada cinta dalam hatinya, tetap saja rasa panas menjalari hampir ke seluruh tubuh tatkala mengetahui sang calon istri rupanya berani bermain api.“Tiar, itu … aku—”“Kenapa gugup?” Smirk yang Bahtiar perlihatkan sungguh sangat mengerikan.Selama ini Melia belum pernah melihat bagaimana cara lelaki itu menunjukkan amarah. Meski beberapa kali sempat mengeluarkan kata yang menyinggung, tetapi itu belum seberapa.“Kau mau bilang kau terjatuh? Kau tergores sesuatu? Atau seekor serangga menggigitmu? Begitu?”Suasana di dalam ruang tunggu itu serasa mencekam. Dua orang karyawan butik yang baru saja membantu Melia mengenakan gaun, tampak saling sikut. Bingun harus berbuat apa. Apakah mereka harus pergi dan
“Kalau kau lakukan itu, aku akan membencimu selamanya,” ucap Arisa, saat bibir keduanya hanya menyisakan jarak yang tak sampai dua senti.Yanu masih belum mau bergeser. Dengan napas tersengal ia pun bertanya, “Kenapa?”“Aku hanya ingin melakukannya dengan suamiku,” tutur Arisa, memalingkan wajah.Tubuhnya yang masih terperangkap tangan Yanu, menyulitkan Arisa untuk menjauh. Lelaki itu lantas tertunduk dengan kepala jatuh di bahu sang adik sepupu. “Kalau begitu, aku akan menikahimu,” bisik Yanu kemudian.Tentu saja Arisa terkejut dengan pernyataan tersebut. Namun, ia urung menyahut. Sebab terlebih dulu maniknya mendapati dua orang pelayan sudah berdiri membawakan bathrobe. Begitu tangan Yanu terlepas, Arisa bergegas menepi dan naik ke atas. Ia mengambil handuk dari salah satu pelayan. Mengusap wajah dan badan yang basah. Sebelum kemudian mengenakan bathrobe.Dari sana Arisa bisa melihat kalau Yanu kembali berenang. Sungguh ia tak mengerti mengapa Yanu berkata semacam itu. Dia lantas d
Tidak semua pembicaraan Melia dan Utami dapat Arisa dengar. Adakalanya mereka berbisik, tak jarang pula berteriak tertahan. Akan tetapi, selama dua perempuan itu berada di depan pintu toilet, Arisa terpaksa menahan diri untuk keluar. Ia tak ingin keberadaannya diketahui, hingga kemudian memunculkan masalah baru.Sampai pada saat mereka benar-benar pergi, Arisa baru berani membuka pintu. Ia mengusap wajah resah. Segala yang mereka bicarakan sungguh di luar dugaan. Entah apa yang sudah membutakan mata Bahtiar, sehingga bisa terhanyut dalam tipu daya yang Melia buat.“Hei, kamu kenapa?” Melihat Arisa yang baru kembali, lalu meminum segelas air terburu-buru, membuat Yanu keheranan sekaligus khawatir.“Gak apa-apa, Kak. Tadi, pintu toilet mendadak macet. Aku panik. Untung bisa terbuka lagi.” Entah bagaimana ide itu muncul di kepala. Yang pasti Arisa yakin itu cukup masuk akal.“Tapi, kamu gak apa-apa kan?” Pria itu berpindah dari seberang meja, ke sebelah Arisa.“Gak apa-apa. Aku lapar.” S
Begitu turun dari taksi daring, Arisa dan ibunya segera disambut Naima dan suaminya. Perempuan yang sudah lima tahun menikah , namun belum dikaruniai keturunan itu tampak sangat antusias dengan kedatangan mantan calon iparnya tersebut.“Ya ampun, kangen banget sama kamu,” seru Naima, memeluk erat lalu menggoyangkan tubuh Arisa dengan gemas.“sama, Kak. Risa juga kangen,” sahut Arisa, tersenyum lebar.“Eh … kok di luar aja. Ayo, masuk. Risa, Bu Linda, ayo.” Ibu Bahtiar yang keluar segera mempersilahkan dua tamu itu masuk ke dalam.Di dalam rumah, tampak Papa Bahtiar duduk di atas sofa panjang dengan kaki diluruskan ke depan. Wajahnya sumringah melihat Arisa datang menjenguknya.“Mohon maaf, kami baru bisa jenguk sekarang. Risa baru kerja lagi soalnya,” ujar Linda, menaruh keranjang berisi buah di atas meja.“Gak apa-apa, Bu Linda. Kalian mau datang aja, kami sudah sangat berterima kasih. Oh ya, emang sekarang Risa kerja di mana?” Basa-basi Linda rupanya disambut serius oleh ibunya Baht
“Kalau kamu tanya pendapat Mama, Mama akan jawab gak setuju. Mama gak suka keluarga kita jadi bahan gunjingan orang. Masalah kamu yang gagal nikah sama Bahtiar aja, udah bikin heboh orang-orang. Kalau sekarang tiba-tiba kamu mau menikah dengan Yanu, bisa makin gempar warga sini. Mereka pasti mengira kamu yang bermasalah.” Arisa hanya terdiam mendengar perkataan ibunya. Setelah Yanu pulang, Arisa menceritakan semuanya pada Linda. Belajar dari yang sudah-sudah, ia tak ingin lagi memendam masalah sendirian. Meski belum tentu mendapat solusi, tetapi dengan ia berani buka suara setidaknya batin terasa lebih lega.“Tapi, dalam hal ini, kamu sepenuhnya punya kuasa. Kamu gak perlu mengikuti pendapat Mama. Kamu hanya perlu tanya hati kamu. Apa kamu yakin bisa bahagia dengan Yanu?”Andai Arisa punya jawaban sendiri, tentu ia tak perlu bertanya lagi. Sungguh saat ini ia berada dalam posisi yang serba membingungkan. Arisa nyaman berada di dekat Yanu, akan tetapi itu sebelum ia mengetahui kalau p
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami