“Kalau kau lakukan itu, aku akan membencimu selamanya,” ucap Arisa, saat bibir keduanya hanya menyisakan jarak yang tak sampai dua senti.Yanu masih belum mau bergeser. Dengan napas tersengal ia pun bertanya, “Kenapa?”“Aku hanya ingin melakukannya dengan suamiku,” tutur Arisa, memalingkan wajah.Tubuhnya yang masih terperangkap tangan Yanu, menyulitkan Arisa untuk menjauh. Lelaki itu lantas tertunduk dengan kepala jatuh di bahu sang adik sepupu. “Kalau begitu, aku akan menikahimu,” bisik Yanu kemudian.Tentu saja Arisa terkejut dengan pernyataan tersebut. Namun, ia urung menyahut. Sebab terlebih dulu maniknya mendapati dua orang pelayan sudah berdiri membawakan bathrobe. Begitu tangan Yanu terlepas, Arisa bergegas menepi dan naik ke atas. Ia mengambil handuk dari salah satu pelayan. Mengusap wajah dan badan yang basah. Sebelum kemudian mengenakan bathrobe.Dari sana Arisa bisa melihat kalau Yanu kembali berenang. Sungguh ia tak mengerti mengapa Yanu berkata semacam itu. Dia lantas d
Tidak semua pembicaraan Melia dan Utami dapat Arisa dengar. Adakalanya mereka berbisik, tak jarang pula berteriak tertahan. Akan tetapi, selama dua perempuan itu berada di depan pintu toilet, Arisa terpaksa menahan diri untuk keluar. Ia tak ingin keberadaannya diketahui, hingga kemudian memunculkan masalah baru.Sampai pada saat mereka benar-benar pergi, Arisa baru berani membuka pintu. Ia mengusap wajah resah. Segala yang mereka bicarakan sungguh di luar dugaan. Entah apa yang sudah membutakan mata Bahtiar, sehingga bisa terhanyut dalam tipu daya yang Melia buat.“Hei, kamu kenapa?” Melihat Arisa yang baru kembali, lalu meminum segelas air terburu-buru, membuat Yanu keheranan sekaligus khawatir.“Gak apa-apa, Kak. Tadi, pintu toilet mendadak macet. Aku panik. Untung bisa terbuka lagi.” Entah bagaimana ide itu muncul di kepala. Yang pasti Arisa yakin itu cukup masuk akal.“Tapi, kamu gak apa-apa kan?” Pria itu berpindah dari seberang meja, ke sebelah Arisa.“Gak apa-apa. Aku lapar.” S
Begitu turun dari taksi daring, Arisa dan ibunya segera disambut Naima dan suaminya. Perempuan yang sudah lima tahun menikah , namun belum dikaruniai keturunan itu tampak sangat antusias dengan kedatangan mantan calon iparnya tersebut.“Ya ampun, kangen banget sama kamu,” seru Naima, memeluk erat lalu menggoyangkan tubuh Arisa dengan gemas.“sama, Kak. Risa juga kangen,” sahut Arisa, tersenyum lebar.“Eh … kok di luar aja. Ayo, masuk. Risa, Bu Linda, ayo.” Ibu Bahtiar yang keluar segera mempersilahkan dua tamu itu masuk ke dalam.Di dalam rumah, tampak Papa Bahtiar duduk di atas sofa panjang dengan kaki diluruskan ke depan. Wajahnya sumringah melihat Arisa datang menjenguknya.“Mohon maaf, kami baru bisa jenguk sekarang. Risa baru kerja lagi soalnya,” ujar Linda, menaruh keranjang berisi buah di atas meja.“Gak apa-apa, Bu Linda. Kalian mau datang aja, kami sudah sangat berterima kasih. Oh ya, emang sekarang Risa kerja di mana?” Basa-basi Linda rupanya disambut serius oleh ibunya Baht
“Kalau kamu tanya pendapat Mama, Mama akan jawab gak setuju. Mama gak suka keluarga kita jadi bahan gunjingan orang. Masalah kamu yang gagal nikah sama Bahtiar aja, udah bikin heboh orang-orang. Kalau sekarang tiba-tiba kamu mau menikah dengan Yanu, bisa makin gempar warga sini. Mereka pasti mengira kamu yang bermasalah.” Arisa hanya terdiam mendengar perkataan ibunya. Setelah Yanu pulang, Arisa menceritakan semuanya pada Linda. Belajar dari yang sudah-sudah, ia tak ingin lagi memendam masalah sendirian. Meski belum tentu mendapat solusi, tetapi dengan ia berani buka suara setidaknya batin terasa lebih lega.“Tapi, dalam hal ini, kamu sepenuhnya punya kuasa. Kamu gak perlu mengikuti pendapat Mama. Kamu hanya perlu tanya hati kamu. Apa kamu yakin bisa bahagia dengan Yanu?”Andai Arisa punya jawaban sendiri, tentu ia tak perlu bertanya lagi. Sungguh saat ini ia berada dalam posisi yang serba membingungkan. Arisa nyaman berada di dekat Yanu, akan tetapi itu sebelum ia mengetahui kalau p
“Kamu nekad banget sih, Kak?” Arisa geleng kepala dengan tingkah kakak sepupunya yang sesuka hati, tanpa pernah meminta pendapat orang lain.“Orang kayak kamu itu mesti dipaksa. Kalau gak, ya susah dibujuknya,” sahut Yanu, terus menggenggam tangan Arisa.Mereka berjalan bergandengan tangan di dalam sebuah Mall besar. Selepas makan siang tadi, Yanu segera menyeret Arisa pergi meninggalkan sang ibu untuk kembali ke kantor sendiri. Ia hendak membelikan sesuatu sebagai simbol bukti keseriusan setiap kata yang diucapkan.Langkah keduanya terhenti di depan kotak kaca besar berisikan beragam jenis perhiasan yang berjejer apik memanjakan mata siapapun yang memandang.“Saya mau lihat contoh cincin kawin yang bagus,” kata Yanu, pada salah seorang pramuniaga yang datang menghampiri mereka.“Sebentar, Pak. Saya ambilkan ke dalam dulu. Ini juga ada katalog, barangkali mau lihat-lihat.” Perempuan muda berseragam toko itu kemudian berlalu usai menyerahkan dua buah katalog perhiasan.Yanu membuka lem
Tangan Arisa bergetar kala rekaman itu menjelaskan bagaimana beringasnya Bahtiar saat menguasai dirinya waktu itu. Sosok penyayang dan perhatian, serta selalu membuat Arisa tersenyum bahkan tertawa dengan segala canda, seakan tak ada dalam diri pria itu.Andaikan Arisa mengungkap sifat asli Bahtiar di hadapan semua orang yang menonton video itu, bisa dipastikan tak akan ada yang mau percaya.“Itu alasanku gak langsung nolongin kamu waktu itu. Aku yakin suatu saat bukti kebejatan Bahtiar akan dibutuhkan.” Masih dalam keadaan gemetar, Arisa mengembalikan ponsel Yanu. Dengan gerakan kasar ia menyeka cairan yang meleleh di wajah.“Rekaman ini bisa dijadikan bukti kalau-kalau Bahtiar gak mau ngaku di hadapan semua orang. Dia beruntung karena ibumu gak sampe lapor polisi.”Arisa tak membalas apapun yang dikatakan Yanu. Otaknya mulai berpikir tentang alasan Bahtiar rela menikahi Melia, meski bayi dalam kandungan perempuan itu bukan anaknya.“Aku gak tahu dari mana kamu punya pemikiran kalau
“Kak Yanu apa-apaan sih?!” sentak Arisa, seraya mengambil paksa ponsel miliknya dari genggaman Yanu.“Jadi kalian chattingan tengah malam?” desak Yanu, dengan tatapan tajam.“Kak Yanu gak berhak ikut campur urusanku!” Arisa berteriak membentak lelaki yang telah lancang mengganggu ranah pribadinya.“Kau calon istriku!” balas Yanu, tak kalah kencang.Dada Arisa naik turun bersamaan dengan napas yang menderu. Tatapannya nyalang, layak seseorang yang tengah berang.“Kau posesif. Aku gak suka.” Arisa menaruh telunjuk di dada Yanu dengan gerakan menekan sehingga tubuh pria itu sedikit terdorong ke belakang.“Iya. Aku memang posesif. Dan aku tak suka kau berhubungan dengan laki-laki manapun. Terutama mantanmu yang bajingan itu.” Sikap Arisa justru menambah geram Yanu. Ia maju selangkah dengan wajah memerah dipenuhi amarah.“Aku benci sama kamu!” Sekali lagi Arisa meneriaki lelaki di depannya.Tas yang baru saja ia taruh, kembali diraih. Dengan darah yang mendidih, Arisa keluar dari ruang ker
Arisa sudah tak lagi menggigil. Perawat sudah menyuntikan obat pada selang infus. Meski suhu tubuh masih cukup tinggi, tetapi perempuan itu terlihat lebih nyaman beristirahat. Tidak lagi gelisah seperti semalam.Setelah memastikan putrinya beristirahat dengan baik, Linda segera menarik Yanu keluar. Dia masih penasaran mengapa Arisa pulang dalam keadaan bercucuran air hujan.“Katakan sejujurnya, kemarin kalian dari mana? Bukankah Tante sudah bilang, tunggu hujan reda dulu baru pulang.”“Maaf, Tante. Sebenarnya kemarin kami bertengkar. Arisa marah lalu pergi sejak siang ….” Mulut Yanu bertutur panjang lebar. Ia ceritakan dari awal sampai kemudian menemukan Arisa yang sedang memeluk nisan sang ayah.Linda menghela napas panjang. Seraya memegangi lutut, ia duduk di salah satu bangku.“Yanu,” lirih Linda, memanggil keponakan suaminya.Pria itu menoleh tanpa bicara.“Sebaiknya kamu jauhi Arisa.”Mendung yang belum usai, kian mencekam saat guntur peringatan terlontar. Bola mata Yanu membesar