Usai menjalani serangkaian pemeriksaan, ayah Bahtiar kemudian dipindahkan ke ruang inap untuk dilakukan perawatan lebih lanjut. Semua yang di sana tidaklah kaget atau heran dengan apapun yang dokter katakan. Ini bukan kali pertama pria tua itu masuk rumah sakit.Kendati demikian, rasa cemas dan takut tetap saja kerap menghantui setiap kali menyaksikan kondisi lemah lelaki itu. Terlebih melihat selang-selang kecil terpasang di beberapa bagian tubuh. Sungguh tak terbayang bagaimana rasa sakitnya.Utami berjalan lebih dulu menggandeng tangan suaminya, mengikuti langkah para perawat yang mendorong brankar. Disusul oleh Bahtiar yang terus merangkul bahu sang ibu yang tak berhenti menangis. Sedangkan Melia, berada di barisan paling belakang. Sendiri sembari membawakan banyak barang.“Melia, tolong kamu rapikan barang-barang itu ke dalam nakas. Pisahkan punya Mama sama punya Papa, biar nanti gampang ngambilnya.” Dada Melia bergemuruh. Sekuat tenaga ia menahan diri dengan menerima segala peri
Kurang lebih pukul sebelas malam. Sebagian besar penghuni kost tentu sudah terlelap. Suasana begitu hening. Selain desir angin, tak terdengar lagi suara yang lain.Melia terhenyak kala menyadari tubuhnya sudah tak terbalut meski hanya sehelai benang. Sentuhan seduktif yang dilakukan Haidar, membuat Melia meremang. Namun, ia segera menguasai diri. Melia menepis tangan Haidar. Memungut kembali handuk yang teronggok di lantai. Ia tutup tubuh polos itu dan bergerak menjauh dari lelaki yang menolak untuk bertanggung jawab atas apa yang ia alami.“Jangan sentuh saya!” Melia menatap tajam suami dari calon kakak iparnya.Tawa kecil menghiasi bibir Haidar yang sama sekali tak takut pada peringatan yang Melia lakukan. “Kenapa? Bukankah kita sering melakukannya?” Tak ada makna lain, selain ejekan yang tersirat dari ucapan Haidar. “Ayolah, Melia. Kau jangan naif. Jangan karena kau akan menikah dengan Bahtiar, lantas sekarang kau menolakku. Jangan kira dengan kau menikah dengannya, lalu Bahtiar
[Hari ini gak usah jemput. Aku mau berangkat sendiri]Pesan yang baru masuk itu tak segera dijawab. Yanu menoleh ke arah pintu rumah Arisa. Belum ada tanda-tanda gadis itu akan keluar. Dari kata yang berhasil terbaca, tampaknya Arisa semakin marah padanya, karena Yanu tak bisa menjawab pertanyaannya.Nyatanya kemarin kalimat jawaban atas pertanyaan Arisa sebatas terucap dalam benak. Yanu tak bernyali untuk mengakui kalau dirinya memiliki perasaan lain, yang berbeda dari sekadar saudara. Ada ketakutan dalam diri Yanu mengenai Arisa. Apabila semua rasa itu benar-benar terungkap, bukan tak mungkin Arisa akan semakin menjauh.[Aku sudah di depan rumah]Setelah beberapa detik, Yanu membalas pesan Arisa. Ia mengabarkan bahwa dirinya terlanjur datang.Selang beberapa menit, muncul lah Arisa dengan wajah tertekuk dan langkah menghentak penuh rasa terpaksa. Yanu hanya diam, bahkan ketika gadis manis itu masuk dan membanting pintu. Tak banyak bicara, Yanu segera melajukan mobilnya membelah j
Sudah menjadi rahasia umum kalau di negeri ini beberapa oknum pejabat memiliki perempuan yang dijadikan simpanan. Mulai dari kalangan pesohor negeri, model, sampai penyanyi lokal. Ada yang ditempatkan di luar kota agar lebih aman, tak jarang pula yang sengaja tinggal tak jauh dari mereka. Biasanya hubungan itu akan disamarkan dengan pekerjaan.Begitu pun yang dijalani Melia. Di beberapa kesempatan ia sering diundang untuk menjadi penghibur di acara-acara tertentu yang diadakan instansi yang dipimpin oleh Haidar. Setiap pulang acara, kedua kerap membuat janji temu di sebuah hotel. Meski sudah bekerja sebagai staf di suatu perusahaan, nyatanya uang yang dihasilkan sering tak cukup. Apalagi jika ibunya meminta kiriman lebih untuk biaya-biaya dadakan. Mau tak mau Melia harus mendapat penghasilan sampingan. Salah satunya tetap menjadi penyanyi panggilan.Dengan mengenakan gaun malam hitam berkilau, Melia tampil memukau para penonton. Malam ini ia bernyanyi di sebuah pesta ulang tahun pern
Mengingat-ingat segala yang dikatakan Adam —suami kakaknya— membuat Bahtiar dilanda perasaan gelisah. Hingga malam larut, kelopak seakan sulit terpejam. Rasa penasaran akan kebenaran dari pengakuan Melia pun menciptakan sebuah keraguan yang tak bisa terelakkan.Namun demikian, Bahtiar sama sekali tak mengetahui cara apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan semua itu. Persoalannya, di dalam kamar hotel yang mereka tempati kala itu, tidak terdapat kamera pengawas yang bisa memperlihatkan kegiatan apa yang mereka lakukan di dalam.Bertanya pada rekan lain pun dirasa percuma. Selain selama ini mereka tidak mengetahui kejadian malam itu, pertanyaan semacam itu justru hanya akan membongkar aib yang hingga kini masih mampu ditutup rapat.“Aku gak akan maafin kamu, kalau kamu benar-benar udah nipu aku, Mel.” Bahtiar bermonolog, seraya menatap langit-langit kamar yang kini selalu nampak buram. Cahaya terang dalam hidupnya seakan memudar sejak beberapa waktu silam. Semenjak ia kehilangan gad
Bahtiar mengakui kalau dirinya tak berpengalaman perihal menyentuh wanita. Meski Melia kerap menyatakan bahwa mereka pernah berhubungan, tetapi ia sama sekali tak mengingatnya. Namun demikian, tak berarti Bahtiar tak mengerti bercak apa yang menodai kemulusan kulit leher Melia. Walau belum ada cinta dalam hatinya, tetap saja rasa panas menjalari hampir ke seluruh tubuh tatkala mengetahui sang calon istri rupanya berani bermain api.“Tiar, itu … aku—”“Kenapa gugup?” Smirk yang Bahtiar perlihatkan sungguh sangat mengerikan.Selama ini Melia belum pernah melihat bagaimana cara lelaki itu menunjukkan amarah. Meski beberapa kali sempat mengeluarkan kata yang menyinggung, tetapi itu belum seberapa.“Kau mau bilang kau terjatuh? Kau tergores sesuatu? Atau seekor serangga menggigitmu? Begitu?”Suasana di dalam ruang tunggu itu serasa mencekam. Dua orang karyawan butik yang baru saja membantu Melia mengenakan gaun, tampak saling sikut. Bingun harus berbuat apa. Apakah mereka harus pergi dan
“Kalau kau lakukan itu, aku akan membencimu selamanya,” ucap Arisa, saat bibir keduanya hanya menyisakan jarak yang tak sampai dua senti.Yanu masih belum mau bergeser. Dengan napas tersengal ia pun bertanya, “Kenapa?”“Aku hanya ingin melakukannya dengan suamiku,” tutur Arisa, memalingkan wajah.Tubuhnya yang masih terperangkap tangan Yanu, menyulitkan Arisa untuk menjauh. Lelaki itu lantas tertunduk dengan kepala jatuh di bahu sang adik sepupu. “Kalau begitu, aku akan menikahimu,” bisik Yanu kemudian.Tentu saja Arisa terkejut dengan pernyataan tersebut. Namun, ia urung menyahut. Sebab terlebih dulu maniknya mendapati dua orang pelayan sudah berdiri membawakan bathrobe. Begitu tangan Yanu terlepas, Arisa bergegas menepi dan naik ke atas. Ia mengambil handuk dari salah satu pelayan. Mengusap wajah dan badan yang basah. Sebelum kemudian mengenakan bathrobe.Dari sana Arisa bisa melihat kalau Yanu kembali berenang. Sungguh ia tak mengerti mengapa Yanu berkata semacam itu. Dia lantas d
Tidak semua pembicaraan Melia dan Utami dapat Arisa dengar. Adakalanya mereka berbisik, tak jarang pula berteriak tertahan. Akan tetapi, selama dua perempuan itu berada di depan pintu toilet, Arisa terpaksa menahan diri untuk keluar. Ia tak ingin keberadaannya diketahui, hingga kemudian memunculkan masalah baru.Sampai pada saat mereka benar-benar pergi, Arisa baru berani membuka pintu. Ia mengusap wajah resah. Segala yang mereka bicarakan sungguh di luar dugaan. Entah apa yang sudah membutakan mata Bahtiar, sehingga bisa terhanyut dalam tipu daya yang Melia buat.“Hei, kamu kenapa?” Melihat Arisa yang baru kembali, lalu meminum segelas air terburu-buru, membuat Yanu keheranan sekaligus khawatir.“Gak apa-apa, Kak. Tadi, pintu toilet mendadak macet. Aku panik. Untung bisa terbuka lagi.” Entah bagaimana ide itu muncul di kepala. Yang pasti Arisa yakin itu cukup masuk akal.“Tapi, kamu gak apa-apa kan?” Pria itu berpindah dari seberang meja, ke sebelah Arisa.“Gak apa-apa. Aku lapar.” S