Waktu terus berjalan, proyek kerja sama dengan Mas Jasen sedang berlangsung, sejauh ini semua masih aman terkendali tanpa suatu halangan atau apapun. Kini tinggal sedikit lagi semua pasti akan selesai, tetapi tiba-tiba ada notif m-bankingku. Mataku membola melihat jumlah uang yang masuk dalam rekeningku. Aku semakin gelisah melihat nominal tersebut."Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku konfirmasi saja dengan Irene," ucapku dalam kesendirian.Akhirnya kuputuskan menghubungi Irene, mungkin ini akan meringankan beban pikirku saat ini. Aku sungguh sangat gelisah, nominal itu terus membayang di pelupuk mataku. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh aku sangat resah dan gelisah. Kuambil ponselku yang tergeletak begitu saja di meja. Kulihat ada beberapa panggilan masuk dari Irene. Hatiku berdebar, apakah Irene sedah tahu sebelum aku memberi tahu dia? Bagaimana ini Irene telepon lagi."Sebaiknya aku angkat saja," putusku saat melihat pada layar ponselku ada nama I
Jantungku berdetak dengan cepat saat harus menghadapi semua tokoh penting dalam tender tersebut. Keringatku seakan mengalir bak air sungai dengan aliran derasnya. Berbagai alasan muncul membuat otakku berpikir cepat, apa yang harus aku ucapkan jika mereka bertanya mengenai hal ini. Namun, hingga tiga puluh detik tidak juga ada yang membuka omongan membuatku semakin gelisah.Irene ikut menatapku gelisah, gadis itu kulihat seperti bingung harus memulai dari mana. Aku hanya bisa pasrah dan diam menunggu apa yang akan mereka katakan. Aku beranikan diri mengangkat dagu untuk melirik Mas Jasen yang kebetulan juga ada di deretan itu. Mantan lelakiku hanya diam, untuk senyum pun bibirnya tidak mampu. Seakan bibir itu terikat kuat.Tiba-tiba sebuah map biru terlempar di depanku, semua file yang ada di dalam ikut keluar akibat daya lempar map itu. Aku berjengit kaget, lalu perlahan kulihat arah asal lemparan tersebut. Bapak Yunus berdiri dengan menatap tajam ke arahku dan Irene bergantian, seda
"Apa yang kau bawa, Sayang?" tanya Jasen lembut sambil meraih pinggang ramping milik Adel.Aku terpana melihat pemandangan itu, sungguh liar mantan lelakiku. Bagaimana bisa dia mengumbar kemesraan di depan umum dengan dua wanita berbeda bahkan masih ada aku berdiri mematung menatapnya. Semua mata menatap keberadaan dua wanita yang berdiri di samping Mas Jasen. Mereka ada yang tersenyum masam ada pula yang menatap jengah, tetapi banyak juga yang tersenyum lebar karena keberhasilan Jasen dalam menggaet aset berharga tersebut.Adel, adalah seorang gadis keturunan cina yang memiliki kekayaan lumayan. Mungkin karena alasan itulah mereka terlihat mengelu-elukan pasangan tersebut. Aku hanya menatap dan menanti kabar apa yang dibawa oleh gadis itu. Namun, kulihat Abian angkat kepalanya dan menatapku. Aku berusaha menetralkan detak jantungku."Sudahkah kamu mangcopy informasi ini?" tanya Jasen pada Adel sambil melirik padaku."Sebar pada mereka semua!" titah Jasen kala kulihat Adel menganggukk
"Tidak perlu, semua sudah ada bukti. Sebaiknya kau angkat kaki dari tander ini dan tinggalkan semua aset perusahaan yang sudah kau nikmati selama kurang lebih dua tahun ini!" hentak Pak Yunus dengan menatap tajam ke arahku."Tidak bisa, Pak. Ibu Ann masih banyak kerjaan yang belum selesai, semua adalah oelanggan tetap kita bahkan ada yang vvip," tegas Abian."Disini aku yang menjadi pucuk pimpinan, jadi aku yang berhak memberhentikan karyawan. Bukan kau, Bapak Abian!" balas Pak Yunus penuh tekanan.Aku hanya diam melihat perdebatan mereka, sedangkan Adel kulihat gadis itu tersenyum penuh kemenangan. Abian dan Irenen terus memberi pembelaan atas kasusku, mereka berdua sangat tidak terima jika aku dikeluarkan dengan cara tidak hormat juga dihadapan sang mantan. Dengan napas panjang, aku pun mencoba mengeluarkan segala isi di kepalaku setelah membaca keseluruhan laporan hasil akhir tender tersebut."Maaf Bapak Bapak sekalian, sebenarnya pada laporan ini terdapat beberapa ketimpangan yan
Aku melangkah meninggalkan ruang rapat tersebut dengan langkah pasti, sudah tidak aku pedulikan teriakan Irene dan Abian yang berusaha mencegahku. Bahkan Adel pun kudengar sedang tertawa sumbang. Dia meminta pada semua pemegang saham untuk mengijinkan dirinya menggantikan posisiku yang aku tinggalkan.Aku sudah tidak peduli lagi, biarlah semua menjadi tanggung jawab Adel. Aku masuk dalam ruang desain dengan mengulas senyum pada semua anggota. Kulihat Anton duduk terpekur dengan menyembunyikan kepalanya dalam tumpuan kedua tangan. Amel sendiri juga terlihat sedih, aku berusaha menyapa keduanya dengan ramah."Hai, semua!" sapaku dengan nada riang."Mbak Ann," balas Amel dan Anton hampir bersamaan."Apa kabar kalian? Semoga setelah aku keluar dari sini karier kalian makin maju pesat!" harapku pada semua yang hadir.Anton berjalan memdekat padaku, kedua jemariku diraihnya lalu pria itu jongkok di depanku. Tatapan sendu mengarah tepat pada manik mataku hingga menembus jantung."Jangan perg
"Mengapa harus pergi, Ann?" tanya Dr. Frans padaku yang sedang berdiri menatap lukisan Frans bersama gadis kecil."Ini, kapan kamu membuat lukisan ini, Frans?" tanyaku tanpa berbalik badan."Lukisan itu sudah lama aku buat sekitar satu tahun yang lalu, saat aku bertemu dengan Amel yang sedang menangis tersedu di depan restoran siap saji, Ann. Dan saat itu aku tidak tahu jika gadis kecil itu adalah keponakanku sendiri, parahnya aku juga tidak tahu jika kamulah ibunya," papar Frans sambil berjalan mendekat padaku."Kembalilah padaku, Ann!" pinta Frans lembut sambil meraih jemariku.Aku terhenyak saat jemari panjang itu menautka jari jemarinya, aku sempat menolaknya tetapi jemari itu memaksa untuk saling terkait."Hubungan kita tinggal kenangan, Frans. Sudahlah!" kataku tegas."Jika kamu pergi, kemana tujuanmu, Ann?" tanyanya padaku."Aku ingin pulang kembali ke kotaku dulu, disana aku ingin membangun usaha," jawabku mantap."Kamu akan membuka usaha apa, Ann? Sebaiknya bukalah usaha kue
Dan sampai lah aku di sini Terminal Bungurasih, Surabaya. Dengan langkah pasti, kakiku mulai berjalan seirama otakku memberi perintah. Lorong demi lorong aku lewati hingga tertulis jurusan Surabaya-Madiun-Ponorogo, Toll Panjang. Aku pilih lorong ini, dan aku oun akhirnya naik sebuah bis berwarna hijau memiliki logo Panda berayun diantara pohon bambu."Masuk, masuk. Madiun-Ponorogo toll panjang. Ayo! Ayo!" teriak kenek bis tersebut.Aku melangkah naik ke bis tersebut, kuedarkan pandanganku mencari tempat yang kosong. Akhirnya aku memilih lajur kanan nomer tiga dari depan yang memang dalam keadaan kosong. Aku tidak membawa barang banyak, hanya tas punggung berisi beberapa helai pakaian dan hijabku. Sengaja aku tidak membawa pakaian banyak, karena suatu hari nanti pasti pakaian itu tidak terpakai. Jadi lebih baik aku sumbangkan pada orang yang lebih membutuhkan.Bis mulai melaju kencang, tetapi kami merasa jalannya bis itu masih pelan tanpa ada goncangan. Perjalanan dari Surabaya-Madiun
Sesuai rencana aku kemarin, hari ini adalah jari jumat berarti hari di mana aku memdapat orderan nasi pecel 50bungkus untuk acar Jumat berkah. Mulai pagi nasi sudah aku siapkan lengkap dengan lauk paru goreng. Semua pesanan sudah siap, dan aku juga masih melayani pembeli yang langsung berkunjung di warung nasi pecelku.Dengan sabar aku menunggu Ibu Ali untuk mengambil nasi bungkusnya. Namun, hingga jam menunjukan pukul sembilan pagi belum nampak satu orang pun yang menanyakan hal itu. Akhirnya dengan berat hati aku menghubungi nomer yang mengaku sebagai Ibu Ali. Ternyata nomer yang menghubungiku kemarin sudah tidak aktif. Aku terhenyak fan terduduk lemas."Ya Tuhan, cobaan ini sangat berarti bagiku, terima kasih."lirihku.Akhirnya dengan langlah pasti aku bawa nasi itu dengan sepeda berkeliling sekitar dan aku bagikan 50bungkus nasi tersebut dengan gratis. Walaupun nasi itu sudah terbungkus swjam jam enam pagi tetapi semua masih layak untuk dimakan. Karena sambel pecelnya sengaja aku