Aku memandang lembut pada kedua anakku bergantian, kemudian memandang pada Irene tajam. Aku rasa sahabatku itu tahu arti dari pandanganku, kulihat senyum masam tercetak pada bibirnya. Mungkin Irene paham akan tatapan tajamku."Bisa kalian jelaskan sati per satu!" pintaku."Maafkan aku, Ann. Tadi aku sempat kirim kabar pada Cyntia tentang kedatangan Amelia ke Surabaya melalui sambungan telepon. Namun, ... ," Irene berhenti sambil menatapku penuh harap."Iya, lanjutkan saja!"Kemudian Irene melanjutkan ceritanya. Saat dia menghubungi Cyntia, gadis itu kebetulan sedang bersama Jasen di kantor lebih tepatnya diruang kerja si Jasen. Aku yang mendengar sedikit cerita Irene mulai mengerti kemana akhir dari cerita itu. Tetapi aku mencoba bersabar mendengarkan semua cerita Irene. Selama keduanya bertelepon itu lah si Jasen ikut nimbrung, akhirnya dia berkata bahwa akan berusaha menghambat jalannya sidang pertamaku. Huft, rupanya inilah alasan hakim."Jika kamu sudah mengerti, mengapa tadi bert
Lama aku menunggu Yoga berbicara jujur, dengan sabar aku menunggu dan mencoba menyakinkan apa yang seharusnya dia ungkapkan. Lambat laun bibir mungil itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara yang lama aku nanti."Bunda, maafkan Yoga bila harus pulang ke rumah ayah mulai esok hari!" ucapnya pelan sambil menunduk.Aku menghirup napas panjang, sebuah perasan menyusup dalam relung hati. Mengapa begitu sakitnya saat putraku mengatakan dan meminta ijinku. Apakah aku tidak pantas untuk mengurusnya? Apakah hanya dia yang mampu membiayai hidup kedua anakku? Jujur aku tidak rela, tetapi kembali pada niat awalku datang ke Surabaya. Aku harus iklas dan tidak boleh egois. Kupandang wajah Yoga, kutangkupkan kedua tapak tanganku pada wajah tampannya. Manik mata yang cokelat kebiruan berkilat penuh dendam. Ada rasa yang ingin keluar dan membumbung tinggi tetapi seketika terhempas tiada berdaya. Itulah yang tersirat pada sorot mata itu. Kudekatkan wajahku pada wajah putraku, hidung kami saling menemp
Langit jingga di Kota Surabaya sama sekali tidak terlihat, hanya angin yang berhembus membawa aroma yang berbeda. Seperti saat ini, sore begitu selesai adan ashar kulihat gadis kecilku sudah rapi dan cantik. Begitu juga dengan Yoga, si abang tidak mau kalah."Bunda, Bunda, adik hubungi tante Cintya dulu yaa?" tanya Amelia dengan nada yang ceria.Tidak kuasa aku menolak inginnya gadis kecilku, aku pun menyodorkan ponselku agar dia bisa menghubungi tantenya. Dengan senang hati Amel meraih ponselku dan mulai menempelkan pada telinganya. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu, gadis kecilku sudah pandai merias diri yaitu dengan mengepang rambutnya yang panjang. "Hallo!" sapa Amel dengan suara manjanya."Coba diloudspeaker saja, Dik!" titahku.Lalu ponsel itu pun diklik tombol loudspeaker, akhirnya aku dan yang lain juga bisa mendengarkan semua percakapan dia dan tantenya. Lama Amel terdiam, lalu dia memandangku seakan ingin meminta ijin yang lain. Aku memberinya isyarat, tetapi dia
Akhirnya kami semua segera menuju arena time zone. Arena khusus untuk anak bermain. Yoga dan Amel kulihat begitu bahagia, keduanya terlihat tidak bosan memainkan hampir seluruh wahan yang ada di lokasi time zone. Yoga terlihat tertawa lepas tanpa beban begitu juga dengan Amel.Hampir tiga jam kedua anakku bermain semua wahana hingga wajahnya terlihat lelah dan capek. Amelia berjalan dengan pelan menghampiri kami semua yang sedang duduk santai sambil menikmati kopi kenangan yang lagi fenomenal di Surabaya. Aku dan Cintya sangat klop, karena kapi pecinta kopi. Rasa kopi kenangan sangat pas dilidah kami berdua."Bunda, Amel capek dan haus!" keluh Amelia saat sudah ada di depanku."Iih, ponakan tante. Hayuk beli minuman dingin sama tante!" ajak Cintya."Amelia tidak bisa minum yang dingin jika lagi capek seperti ini, Tante. Maaf!" ungkap Amelia.Cintya langsung memandangku, dia seakan meminta penjelasan padaku atas pernyataan Amelia. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu Yoga kulihat suda
"Amelia, Mbak?" tanya Frans menjawab pertanyaanku.Aku tersenyum, sedangkan Irene terlihat cemberut. Ada cemburu terpancar di sorot mata cokelatnya. Aku mengangkat kedua tanganku selayaknya seorang penjahat yang menyerah. Frans mengulas senyum, sedanglah Irene pura-pura marah dan ngambek. Melihat sang istri yang sedang ngambek itu pun mengurungkan niatnya untuk mencari keberadaan Amelia.Namun, apa yang dilakukan oleh Irene tidak ada artinya karena beberapa saat kulihat Amelia berjalan dengan sedikit berlari dan memeluk Frans. Irene seketika membola lalu kulihat senyum tipis yang memiliki ketajaman tersendiri. Aku akhirnya tertawa terbahak melihat tingkah Irene."Ire, bagaimana datang bulan kamu? Usia pernikahan kalian sudah dua bulan 'kan?" tanyaku.Irene membelalakan mata saat mendengar pertanyaanku itu. Dia segera berdiri berjalan ke dinding yang terdapat pertanggalan hari. Lalu dahinya mengernyit dan kepalanya kulihat menggeleng-geleng. Kemudian tiba-tiba dia berlari ke wastafel y
"Mohon izin untuk menyanggah Yang Mulia.” Pak Hakim lalu memberikan izin pada pengacaraku. “Terima kasih. Pak Jasen, Anda telah sengaja menelantarkan istri dan anak Anda, kalian juga sudah pisah ranjang selama beberapa waktu. Anda juga melakukan kekerasan pada klien saya. Mohon yang mulia, sesuai dengan pasal yang tertera dalam kitab hukum( Kompilasi Hukum Islam) yang berbunyi, ‘Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.’,” sela pengacaraku. “Juga pasal mengenai hukum islam dalam Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, ‘Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.’ Itu membuat klien saya mengajukan gugatan perceraian, karena memang pernikahan tidak bisa diselamatkan,” sambung pengacaraku. “Namun, dalam kasus gugatan cerai baik pihak tergugat atau penggugat harus setuju sementara klien saya di sini sama sekali tidak menyetujuinya,” s
“Ini Pak,” kataku menunjukkan video itu pada pihak pengacaraku.“Baik Bu.” Pengacara lalu meminta izin untuk meminjam ponselku, ia berbisik pada pihak jaksa bukti yang sudah kami kantongi.Beberapa saat kemudian pihak jaksa meminta hakim untuk menayangkan bukti rekaman yang aku miliki, hakim pun setuju. Diputarlah rekaman itu, terlihat jelas jika Mas Jasen.Aku melihat ke arah Mas Jasen yang juga menatapku dengan tatapan yang berapi-api. Aku tahu tatapan itu penuh benci, tetapi aku tak peduli.“Itu bohong Yang Mulia, saya tidak pernah melakukan kekerasan kepada istri saya!” teriak Mas Jasen menyanggah.“Namun, itu jelas sekali wajah Anda Pak Jasen. Bukti yang kami berikan pun akurat, itu bukti rekaman CCTV yang berada di rumah Anda, tanggal dan waktunya pun sesuai dengan gugatan yang diajukan oleh klien saya,” sanggah pengacaraku.“Enggak Yang Mulia. Itu hanya editan, jaman sekarang sudah banyak kecanggihan dan bisa saja istri saya mengeditnya agar punya alasan untuk bercerai dengan s
Akhirnya aku sampai di depan rumah Frans. Rumah terlihat sepi, setelah aku membayar taksi dan turun, segera kulangkahkan kaki ini memasuki halaman rumah Frans. Belum sempat aku mengetuk pintu, Amelia keluar dari balik pintu utama. Putriku itu terlihat begitu riang menyambut kedatanganku.“Bunda!” teriak Amelia berlari ke arahku.Aku tersenyum dan menyejajarkan tinggiku dengan Amel, aku merentangkan tangan dan anak perempuanku segera berhambur memelukku. “Kangen Bunda,” kata Amelia. “Bunda lama banget di pengadilannya,” sambung Amel.Aku melepaskan pelukanku dan menatap Amelia dengan gemas, wajah yang sangat polos dan sangat lucu. Aku mengelus pipi Amelia dan berkata, “Kan Bunda cuma pergi sebentar. Masa sudah kangen sih?” “Amel itu tadi sempat menangis loh, kiranya kamu pulang tanpa membawa dia, lalu tenang sendiri karena ingat kamu ke persidangan hari ini.” Irene menyahutiku dari dalam rumah Frans. Ia keluar dengan senyuman manisnya “Wah-wah. Anak Bunda, mana mungkinlah Bunda teg