“Ibu?” bisik Selena pelan, berusaha mengenali sosok yang dikelilingi anjing Golden Retriever dan Husky Siberia, yang lincah berada di sisinya.
Sosok itu berambut panjang dengan gelombang, sangat lebat dengan warna coklat hangat. Pakaian ibunya terlihat sederhana dengan gaun bercorak bunga kecoklatan, namun entah kenapa auranya begitu mahal. Entah karena dari bagaimana dia menata rambutnya atau memang tubuhnya yang indah. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan gayanya sendiri yang elegan.Kemiripan antara Selena dengan Sabrina tidak perlu diragukan lagi. Jelas jika Sabrina akan selalu menghasilkan anak dengan wajah rupawan seperti dirinya. Dia adalah bibit unggul yang sesungguhnya. Apa lagi, liak-liuk tubuhnya menambah kesan mewah dalam dirinya.“Selamat datang di rumah, Selena!” ucap Sabrina dengan tenang, senyuman tipis namun hangat dan menenangkan itu terpancar dari wajahnya.Di balik sikap tenang Sabrina yang berusaha menutupi emosi dalam“Bisakah kau tidak membahas apa yang sudah jelas? Yang terpenting kan, kita berdua bukan kakak adik kandung.” Axel melirik Selena, dia kelihatannya enggan mengakui persaudaraan mereka. “Tetap saja rasanya aneh,” balas Selena sambil menatapnya juga.Sabrina terkekeh melihat keduanya. Dia memandangi Axel yang merupakan putra angkatnya dan Selena yang merupakan putri kandungnya. Dia membuat Axel melindungi Selena sebagai adiknya, sayangnya tanpa Sadat justru membuatnya jatuh cinta. Dan ini yang dia dapatkan. “Ibu sudah sangat lama menginginkan melihat kalian berdua akur seperti ini.” Sabrina tersenyum.“Ibu, hentikan!” Axel tampak tertunduk di sana, sepertinya tak suka dengan cara Sabrina berusaha menggoda mereka, mengingat Selena sendiri sudah bersama dengan Damian saat ini. “Hah... Bagaimana, ya, Selena? Kau pasti tidak bisa memaafkan Ibu atas semua yang telah terjadi. Tapi, percayalah, semua ini untuk kebaikanmu juga.” Sabrina mulai me
Setelah makan, Selena memperhatikan bagaimana Sabrina dan Axel berinteraksi. Tak ada yang aneh selain jika kenyataannya Sabrina memang membesarkan Axel dan mereka adalah ibu dan anak. Dia hanya merasa janggal mengetahui tentang Axel adalah saudara angkatnya. Meski begitu, fakta lain kalau dia sudah putus dengannya berusaha membuatnya tak merasa janggal. Untuk membuat makanannya tercerna lebih baik sebelum tidur, Selena melihat-lihat isi rumah ibunya tersebut dan berakhir saat dia berada di balkon. Pemandangan pepohonan dari balkon mengatakan kalau tempat ini jauh dari kota dan justru berada di hutan. “Selena, kau mau tidur sekarang? Kamarmu ada di lantai atas. Di sana ada beberapa pakaian yang bisa kau pakai selama kau ada di sini. Apa kau akan berlama-lama di sini?” tanya Sabrina sambil menghampiri Selena dan berdiri di sebelahnya juga. Selena melirik ibunya tersebut dan menyadari jika Axel sepertinya memberikan keduanya ruangan untuk mengobrol bersama
Selena menatapi ponselnya yang kehabisan daya, segera mengambil kabel pengisi dayanya dan mengisinya. Sambil menunggu ponselnya penuh, Selena menatapi kamarnya sekali lagi. Ini seperti kamar impiannya saat kecil, punya ruangan sendiri dengan dekorasi warna merah muda, disertai degan banyaknya barang-barang yang selalu dia butuhkan, ini cukup lengkap. Beberapa pesan masuk ke ponselnya, itu pesan dari Damian. Dia menatapi ponselnya dan tersenyum melihat Damian yang langsung memastikan keadaannya. Padahal ini sudah larut. Itu pesan yang baru masuk, namun sudah dikirim sekitar dua jam yang lalu. Apa semuanya aman? Kau baik-baik saja? Bagaimana di sana? Ah, kau sepertinya menikmati waktu bersama ibumu, hingga lupa untuk mengajariku. Aku cemas. -Damian. Selena langsung meraih ponselnya yang masih diisi daya tersebut dan membalas pesan dari Damian. Aku baik-baik saja dan semuanya aman. Aku sedang makan barusan, ibuku menyambut kedatanganku dengan bai
“Ibu belum menanyakan kabarmu, ya? Bagaimana kabarmu? Apa kau kesulitan untuk bertahan hidup di luar sana tanpa bantuan Ibu?” Sabrina mengalihkan obrolan dan berusaha membangun interaksi pribadi dengan Axel, jelas jika dia memperhatikan kebutuhan putra angkatnya itu. “Tidak sesulit itu. Aku hanya kesulitan saat menghadapi Derek dan putrinya. Arsella membenciku dan aku berusaha keras, dua kali lebih keras untuk membangun kepercayaan dengannya.“ “Tapi sepertinya kau berhasil membuat dia mempercayaimu.” “Itu benar.” Axel menganggukkan kepalanya, membicarakan Arsella membuatnya menyadari jika belakangan ini dia dan Arsella lebih sering berinteraksi. Sabrina terdiam sejenak. Dia tak tahu bagaimana membuat Axel membahas tentang Selena lagi. Utamanya, tentang perasaan Axel pada Selena. Axel tidak terbuka seperti dulu lagi. Axel cenderung memendam perasaannya belakangan ini. Dulu Axel sangat terbuka dengan perasaannya, namun seiring bertambah dewasa,
“Ibu sudah membuat rencana tentang apa saja yang akan kau lakukan selama di sini. Ibu harap kau menikmati saat-saat berada di rumah,” kata Sabrina. Sabrina mengatakannya seolah semalam tidak terjadi apa pun di antara keduanya. Membuat Selena menatapi ibunya dengan tatapan bingung, tentu saja dia heran dengan apa yang diucapkan ibunya. Mengenai rencana kegiatan yang akan dilakukan Selena, Selena jadi penasaran dengan apa saja yang akan dia lakukan. Mungkin ibunya akan menunjukkan berapa banyak harta yang dia punya, semua aset dan kekayaannya yang akan diberikan pada Selena. Namun, mengingat ada Axel, kelihatannya dia akan membaginya dengan Axel, tentang harta turunan Sabrina tersebut. “Itu semacam tour, yang akan memperkenalkanmu lingkungan ini. Barang kali kau berminat untuk tinggal lebih lama, kau bisa memutuskan kegiatan apa yang bisa kau lakukan,” jelas Axel. “Aku menantikannya,” balas Selena singkat. Ucapan Selena itu sama sekali
“Jika kau merasa dibuang, aku merasa dimanfaatkan. Namun, jika kau dibuang, maka ibumu tidak akan pernah mencari tahu kehidupanmu sama sekali, atau menyumbangkan uang ke panti asuhan. Ibumu tidak akan mengirimku sebagai perantara antara kau dan ibumu.” Selena meneguk ludahnya. Ekspresinya tampak melembut. Kali ini, dia menaruh simpati pada Axel yang merasa dimanfaatkan untuk keperluan ibunya dalam memberikan kebutuhan Selena.“Tapi percayalah, aku sama sekali tidak iri padamu sama sekali. Karena di mataku, kau hanya orang lain yang aku cintai. Aku tidak peduli dari mana kau berasal, asal kita tidak punya hubungan darah sama sekali. Kita hanya seperti orang asing yang ditakdirkan untuk bertemu dan saling jatuh hati.” Axel menatap Selena dengan lembut, tatapannya mengisyaratkan banyak hal, memberitahu Selena jika di dunia ini semua orang juga mengalami yang namanya masa sulit dan sakit. Dengan gemetar, Selena menarik nafasnya. Ini membuatnya sedi
“Apa maksudmu video kau...?” Sabrina kehilangan kata-katanya, dia tak sanggup mendengar kata yang diucapkan Selena. Bukannya dia tidak tahu apa saja yang terjadi pada Selena. Dia tahu hal buruk terjadi padanya dan kemungkinan terbesarnya adalah hal tersebut. Namun, jika sampai Damian mendapatkan videonya juga, Sabrina kelihatannya akan marah. Dia menatap Selena dengan tatapan serius. “Bajingan itu,” umpat Sabrina sambil mengalihkan pandangannya penuh rasa kesal. Selena sama sekali tak menjawab ibunya. Dia melirik Axel. Meski pun video itu tidak sampai pada Axel, Axel sudah pernah merasakan berada di sana saat Damian dan Selena melakukannya. Itu membuat Selena sedikit merinding mengingatnya. Entah kenapa dia membahas hal itu tiba-tiba. Tidak, jika saja Sabrina tidak membahas tentang alasan kenapa Selena diculik hingga bagaimana reaksinya saat Damian mengirimkan surel tentang menawan Selena. *** Tidak ada video. Damian tidak
Cahaya remang-remang memenuhi ruangan. Seorang gadis yang tersadar dari pingsannya perlahan membuka mata. Selena, yang tengah terikat di sebuah kursi kayu mengerjapkan matanya untuk memfokuskan pandangannya yang buram. Dan wajahnya perlahan terangkat untuk mengenali tempat yang dia rasa asing. “Kau bangun, Selena?” Suara berat pria membuat Selena yang masih lemas menolehkan kepalanya perlahan ke arah pria itu. Dan menemukan wujudnya yang sedang menikmati secangkir kopi. Selena mendesis pelan, merasakan sekujur tubuhnya pegal. Dia mengedarkan pandangannya lagi ke ruangan itu. “Di mana ini?” tanyanya dengan suara yang lemah, nyaris tak terdengar sama sekali. “Di ruang interogasi yang ada di mansion milikku. Maaf cahayanya remang, karena aku menyukai cahaya yang tidak terlalu terang untuk orang-orang sepertimu.” Selena mendesis pelan dan menegakkan bahunya. Dia terlihat sangat pucat dan terlihat tak sehat saat itu. Belum lagi, tempat ini kelihatannya tak dijangkau matahari sama seka