Share

Bab 12

Author: Camelia
Ghea mencengkeram ujung bajunya sambil berkata, "Ayah, jangan bicara seperti itu tentang Kak Aura ...."

Aura tersenyum dan langsung menyela, "Kalau begitu, kamu bantu aku ambil ya. Terima kasih lho."

Dengan santai, dia duduk di meja makan. Senyuman sopan masih menghiasi wajahnya. "Ayah, kata-katamu tadi salah. Ghea tinggal gratis di rumah ini. Seharusnya dia melakukan sesuatu agar merasa lebih berguna, 'kan?"

Begitu ucapan itu dilontarkan, wajah Serra dan Ghea langsung berubah suram. Namun, Serra segera tersenyum pada Anrez. "Benar juga, Anrez. Yang dikatakan Aura itu ada benarnya."

Wajah Anrez menjadi masam. Dia berbalik dan memelototi Aura. "Kalau kamu nggak mau makan, pergi saja!"

Senyuman Aura justru semakin cerah. "Ini rumahku, kenapa aku nggak boleh makan? Masa iya semuanya harus diberikan kepada orang luar?"

Ucapannya ini penuh makna. Kemudian, dia melirik ke arah Ghea yang masih berdiri diam. "Ghea, ayo duduk. Lihat, Ayah sampai marah begitu. Orang yang nggak tahu mungkin akan mengira kamu anak kandungnya."

Setelah itu, dia menoleh ke arah Kasih, pelayan rumah mereka. "Kenapa masih diam di situ? Cepat ambilkan aku piring dan sendok. Masa kamu benar-benar menunggu Nona Kedua ambil?"

Aura menekankan kata nona kedua dengan sangat jelas. Ghea terdiam sesaat, lalu akhirnya duduk di kursinya.

Sejak Aura bergabung di meja makan, suasana langsung berubah menjadi suram. Hanya Aura yang tampaknya tidak menyadari apa pun dan tetap makan dengan santai.

Akhirnya, Serra yang memecah keheningan di meja makan. "Aura, aku dengar Daffa kecelakaan semalam dan masuk rumah sakit? Dia baik-baik saja?"

Aura meliriknya, tersenyum ramah. "Kalau ingin tahu, kenapa nggak pergi lihat sendiri?"

Serra terdiam karena respons itu. Namun, dia kembali tersenyum. "Kamu ini, buat apa aku menjenguknya?"

"Nanti aku akan suruh Bi Kasih beli bahan makanan untuk memasak sup penambah nutrisi. Nanti sore, kamu dan Ghea nggak ada kegiatan, 'kan? Kalian bisa jenguk Daffa bersama."

Aura meliriknya sekilas. "Nggak usah, biar Ghea saja yang pergi. Sekalian mereka bisa mempererat hubungan."

Memang itulah yang Serra inginkan, tetapi dia tidak bisa langsung mengakuinya. Jadi, dia menoleh menatap Ghea. "Ghea, jelaskan. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Ghea tergagap. "Nggak ada ... Aku dan Kak Daffa benar-benar nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak mungkin merebut pacar Kak Aura, 'kan?"

Matanya langsung berkaca-kaca, menatap Aura dengan penuh kepolosan. "Kak, serius nggak ada apa-apa. Jangan marah pada Kak Daffa lagi. Aku nggak akan menemui Kak Daffa lagi kok."

Aura hanya terus menyuapkan sup ke mulutnya sambil diam-diam menikmati akting Ghea. Dia tidak berkata apa-apa, sementara Serra segera menghela napas.

"Aura, jangan marah sama adikmu. Pasti kamu salah lihat. Dia nggak mungkin berani merebut Daffa darimu." Serra tersenyum lembut. "Jangan sampai kamu bertengkar sama Daffa cuma karena Ghea."

Aura tetap tidak berbicara. Ibu dan anak ini memang ahli dalam berpura-pura suci. Dengan kata-kata ini, mereka membuat Ghea seolah-olah tidak bersalah, seakan-akan Aura menuduhnya tanpa alasan. Sungguh lucu.

Di sisi lain, Anrez memang menyukai permainan seperti ini. Dia langsung membanting sendok ke meja, lalu menatap Aura. "Sudahlah, jangan terus begini. Kamu sudah cukup sering menuduh adikmu!"

"Aku nggak peduli apa yang kamu rencanakan. Pokoknya pertunanganmu sama Daffa tetap harus berlangsung seperti yang direncanakan."

Anrez berdiri. "Aku ada urusan. Nanti sore, kamu dan Ghea harus jenguk Daffa. Jangan sampai Keluarga Santosa mengira keluarga kita nggak harmonis dan kita jadi bahan tertawaan."

Aura menyipitkan matanya sedikit, menatap Anrez yang pergi begitu saja. Jari-jarinya yang memegang sendok pun semakin erat hingga ujung jarinya memucat.

Begitu Anrez pergi, senyuman lembut di wajah Serra langsung menghilang. Dia menatap Aura dengan dingin dan tersenyum tipis. "Aura, lain kali jangan lagi menuduh Ghea."

Aura terkekeh-kekeh, membuka dan menutup mulutnya, tetapi tidak mengeluarkan suara.

Namun, ekspresi Serra dan Ghea langsung berubah masam. Itu karena mereka mengerti kata-kata yang Aura ucapkan tanpa suara tadi.

Melihat wajah keduanya yang kesal, suasana hati Aura menjadi sangat baik. Dia meletakkan sendoknya, lalu naik ke lantai atas dan masuk ke kamar. Saat mengambil ponselnya, dia melihat ada pesan baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 13

    Efendi yang mengirim pesan, mengatakan bahwa hari ini ada acara dan Jose juga akan hadir. Dia bertanya apakah Aura ingin datang. Aura langsung membalas.[ Tentu saja mau. ]Aura punya satu kelebihan sejak kecil, yaitu semakin dia terjatuh, semakin gigih dia bangkit. Selama Jose belum secara langsung mengatakan bahwa dia tidak ingin bekerja sama, Aura pun tidak akan menyerah.Efendi mengirimkan alamatnya. Aura melihatnya sekilas, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk mandi dan berdandan dengan cantik sebelum berangkat ke lokasi.Saat turun dengan membawa kontrak dan proposal, dia melihat Serra dan Ghea sedang berbisik di sofa. "Ibu, kalau Kak Daffa tetap bertunangan dengan Aura, aku harus gimana?"Serra mencibir. "Ada Ibu di sini, kamu takut apa? Kamu bukan ....""Hei, lain kali kalau mau diskusi tentang cara merebut barang orang, setidaknya cari tempat yang lebih tersembunyi. Aku mendengarnya lho, jadinya canggung, 'kan?"Aura turun sambil tersenyum puas melihat perubahan ekspresi mer

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 14

    Saat menyadari tatapan Jose, Aura langsung teringat akan kekacauan malam itu. Wajahnya sontak terasa panas seperti terbakar.Namun, pria itu tetap menunjukkan sikap angkuh dan berkelas. Ekspresinya sedingin es, sepasang matanya sama sekali tidak menunjukkan hasrat, membuat orang tak punya alasan untuk memakinya.Aura hanya bisa berdeham pelan dan melanjutkan, "Keunggulan kami adalah meskipun perusahaan kami kecil, begitu kami mendapatkan kontrak ini, kami akan mendedikasikan seluruh perhatian dan tenaga kami pada proyekmu. Kami akan bekerja lebih serius dibandingkan perusahaan lain."Dia melirik Jose sekilas, tetapi ekspresi pria itu tetap tak tergoyahkan. Dalam hati, Aura memutar bola matanya dengan kesal, lalu menambahkan, "Selain itu, apa pun permintaan yang diajukan klien, kami akan berusaha memenuhi semaksimal mungkin!"Saat ini, wajah Jose baru menunjukkan sedikit perubahan. "Oh? Semua permintaan bisa dipenuhi?"Aura mengangguk tulus, tetapi tatapan Jose yang dalam membuatnya aga

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 15

    Setelah beberapa saat, pintu kamar akhirnya terbuka dari dalam. Jose melihat Aura, tetapi tidak ada sedikit pun keterkejutan di matanya, seolah-olah dia sudah yakin Aura pasti akan datang.Jose sudah selesai mandi, hanya mengenakan jubah mandi putih dengan model kerah silang. Sabuk di pinggangnya juga tidak diikat terlalu erat. Jadi, Aura bisa melihat otot dadanya.Jose bertubuh tinggi besar. Biasanya, dia selalu mengenakan setelan yang dirancang khusus, yang membuat tubuhnya tampak ramping.Kenyataannya, dia memiliki tubuh yang berisi dengan otot yang terlatih. Mungkin karena dia sering berolahraga, otot dada dan otot perutnya bisa membuat siapa pun yang melihatnya terkesima.Jose menatapnya dengan ekspresi datar, lalu bertanya, "Sudah buat keputusan?"Aura menggigit bibirnya, menyerahkan kontrak. "Aku juga punya syarat. Uangnya harus masuk hari ini. Selain itu, aku cuma akan menemanimu selama sebulan dan ... semua ini harus dirahasiakan."Jose tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mele

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 16

    Karena baru saja melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan, Aura pun merasa agak takut. Dengan ragu, dia menoleh dan langsung bertemu dengan tatapan penasaran Efendi."Aura, kenapa kamu nggak membalas pesanku? Kenapa kamu ada di sini? Ini 'kan area kamar tamu. Jose sekarang ada di ruang privat di belakang. Ayo, aku antar kamu ke sana.""Eh, tunggu dulu. Aku ...."Efendi tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Dia langsung menarik tangan Aura dan membawanya keluar dari area kamar tamu, menuju gedung lain di kelab itu.Saat itu, Aura baru tahu bahwa matahari sudah hampir terbenam. Dengan kata lain, dia hampir tidur seharian di kamar Jose.Ruang privat tempat Jose berada tidak terlalu jauh. Efendi menarik Aura dan langsung membuka pintu ruangan itu. Begitu pintu terbuka, Aura melihat beberapa orang duduk di dalam.Jose sedang duduk di meja permainan, bermain kartu dengan beberapa orang. Mereka jelas-jelas melakukan aktivitas yang sangat menguras tenaga di kamar, tetapi Jose s

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 17

    Giulio paham, Jose tertarik pada Aura. Dia menjilat gigi gerahamnya dengan ujung lidah, merasa agak kecewa. Namun, dia tetap tidak bisa menahan diri untuk melirik Aura dari sudut matanya. Wajah Aura benar-benar memikat, tidak heran Jose akhirnya turun tangan.Karena Jose sudah bicara, Aura tidak punya pilihan selain duduk di sebelahnya. Begitu duduk, dia langsung mencium aroma khas kayu dari tubuh Jose, membuat pikirannya agak kacau. Dia seperti naik kapal bajak laut dan tidak bisa turun lagi.Setelah beberapa ronde, Jose tampaknya mulai bosan. Dengan malas, dia meletakkan kartunya di atas meja dan berkata dengan nada ringan, "Giliranmu."Aura mengangkat alis sambil menatapnya. "Kamu yakin?"Dia memang tidak terlalu tertarik dengan permainan kartu dan tidak terlalu bisa bermain, tetapi dia cukup cerdas. Dalam beberapa ronde tadi, dia sudah memahami aturan dasarnya.Jose tertawa kecil. Sepasang matanya yang tajam meliriknya sekilas. "Menang, uangnya buat kamu. Kalah, aku yang bayar."Au

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 18

    Keduanya keluar dari ruang perawatan dan berjalan berdampingan menuju area merokok di ujung lorong rumah sakit.Lulu baru saja menyalakan rokok, tetapi Aura langsung mengulurkan tangan untuk mematikannya. "Kamu nggak takut ibumu mencium bau rokok?"Lulu pun menggigit bibirnya, lalu menoleh menatap Aura. "Uangnya sudah ditransfer oleh bagian keuangan. Dari mana kamu dapat uangnya?"Mereka baru sehari tidak bertemu, tetapi Lulu merasa Aura terlihat lebih lelah dari sebelumnya.Aura tidak ingin terlalu blak-blakan tentang sumber uang itu. Dia khawatir jika Lulu tahu, Lulu akan merasa bersalah. Jadi, dia hanya menjawab, "Aku berhasil memaksa Jose untuk menandatangani kontrak."Lulu mengangkat alisnya. "Bukannya dia selama ini selalu menolak? Selain itu, aku dengar dari bagian keuangan, jumlah yang ditransfer dari perusahaan Jose lebih banyak sepertiga dari yang ada di kontrak. Aura, kamu nggak mungkin melakukan sesuatu yang bodoh cuma demi aku, 'kan?"Sebagai mitra, tentu saja Lulu tahu se

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 19

    Bagi Aura, menyadari bahwa orang yang dicintainya adalah pria berengsek bukanlah sesuatu yang mudah diterima.Aura keluar dari rumah sakit, bersandar di mobilnya yang terparkir, dan menyalakan sebatang rokok. Saat asap pahit itu masuk ke paru-parunya, sedikit kegetiran di hatinya akhirnya mereda.Dia memang cantik. Dengan rambut panjang yang tergerai tertiup angin malam, pemandangannya saat merokok pun tetap cukup menarik perhatian.Saat Ghea turun, itulah yang dilihatnya. Tebersit kilatan iri di matanya. Namun, dia segera memasang senyuman dan mendekat. "Kamu nungguin aku, Kak?"Aura meliriknya sekilas tanpa bicara, lalu mematikan rokoknya. Ghea juga tidak ambil pusing dan melanjutkan, "Nggak perlu antar aku. Hari ini Ayah baru membelikanku mobil baru. Kamu belum lihat, 'kan? Lihat deh, bagus nggak?"Usai bicara, dia menunjuk ke arah sebuah Mercedes-Benz baru yang terparkir tidak jauh dari sana.Ghea selalu seperti ini. Dia bicara dengan lembut, tetapi setiap katanya dipenuhi dengan s

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 20

    Serra langsung memahami situasinya. Dia melirik Anrez yang baru saja turun dari lantai atas, lalu menggoyangkan lengan Ghea dengan lembut."Nggak apa-apa, Ibu. Kakak pasti nggak sengaja menabrak mobilku," ucap Ghea yang menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sangat teraniaya.Anrez langsung menangkap bagian penting dari ucapan itu. Dia melangkah cepat ke bawah, menatap Aura yang duduk santai di sofa dengan ekspresi acuh tak acuh, lalu mengernyit. "Apa yang terjadi? Jelaskan!"Mendengar itu, Aura akhirnya mengangkat kelopak matanya sedikit. "Apa lagi? Seperti yang dia bilang, aku nggak sengaja menabrak mobil barunya."Dia memiringkan kepala, menatap Anrez dengan ekspresi polos dan tak berdosa.Wajah Anrez langsung memerah karena marah. "Kamu iri sama adikmu? Aku membelikannya mobil karena dia selalu kesulitan naik kendaraan. Dia juga belum pernah punya barang bagus.""Sekarang kondisi keuangan cukup baik, jadi aku membelikan yang lebih layak. Kenapa hal sekecil ini saja kamu harus iri?"

Latest chapter

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 50

    Sudut bibir Aura menyunggingkan senyuman. "Hari ini nggak ada kegiatan, jadi aku mampir untuk lihat Daffa lagi ngapain."Begitu dia selesai bicara, Donna tampak sedikit tersendat. Aura tahu, kemungkinan besar Daffa memang belum pulang.Benar saja, Donna menariknya duduk di sofa dan berkata, "Tadi malam ada urusan kantor, ayahnya suruh dia lembur. Jadi sampai sekarang belum pulang. Kamu duduk dulu ya, biar aku telepon Daffa sebentar."Lembur?Yang disebut "lembur" itu kalau Daffa dan Ghea sedang "bekerja keras" di ranjang. Melihat Ghea juga tidak pulang semalam, sepertinya mereka cukup menikmati malamnya.Wajah Aura tetap tenang saat menampilkan sosok calon menantu yang manis dan lembut. "Nggak masalah, Ibu. Kalau Daffa memang sedang sibuk urusan kantor, nggak usah diganggu."Dia menoleh ke sekeliling, lalu berkata seolah tanpa maksud, "Kalau begitu, boleh aku menunggu di kamar Daffa saja?"Sejak kecil, Aura memang sering berkunjung ke rumah Keluarga Santosa, jadi dia sangat akrab denga

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 49

    Aura menoleh dan melirik ke arah Ghea. Gadis itu mengangkat dagunya dengan sikap menantang, lalu berkata, "Kak, aku juga nggak ada kegiatan sore ini. Ayah minta aku menemani kalian belanja.""Nggak merasa terganggu, 'kan?"Aura menatapnya melalui kaca spion. Saat menangkap tatapan penuh rasa iri dari wajah Ghea, dia tersenyum sinis. "Tahu itu mengganggu tapi masih nekat ikut. Kulit wajahmu memang tebal."Ucapan Aura memang selalu blak-blakan mempermalukan seseorang. Ghea tercekat dan tidak bisa membalasnya.Aura kemudian mengangkat tangan untuk melihat kukunya yang baru saja dirapikan, lalu berkata, "Tapi kalau kamu memang mau ikut, ya silakan saja."Di sisi lain, Daffa sebenarnya tidak ingin Ghea ikut serta. Namun, karena Aura sudah bicara begitu, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya, dia hanya diam dan mulai menyalakan mobil.Sepanjang perjalanan, Ghea duduk di kursi belakang sambil menatap Aura dengan penuh rasa dengki. Dia benar-benar iri.Terutama saat melihat Daffa yang

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 48

    "Hari ini hari bahagiamu, adikmu bangun pagi-pagi untuk bersiap-siap. Katanya nggak mau buat kamu malu." Serra menarik Aura maju, lalu berkata dengan ramah pada Donna, "Besan, mulai sekarang Aura kami serahkan padamu. Aku benar-benar tenang kalau dia ada di tanganmu."Nada bicaranya begitu akrab, seolah-olah sia benar-benar ibu kandung Aura. Donna tidak menanggapinya dan hanya menoleh ke arah lain.Sebagai sahabat dari mendiang ibu kandung Aura, Donna memang tidak pernah menyukai Serra sejak awal. Dalam situasi seperti ini pun, tidak langsung menyindir Serra saja sudah termasuk sangat berbaik hati.Melihat Serra agak canggung, Aura pun tersenyum dan menambahkan, "Ibu kandungku dan ibu Daffa itu sahabat dekat sejak dulu. Jadi ... kurasa Anda nggak usah khawatir."Aura sengaja menyebut ibunya, semata-mata untuk membuat Serra merasa tidak nyaman. Benar saja, ekspresi Serra langsung berubah. Senyum ramah yang tadi dibuat-buat nyaris tidak bisa dipertahankan.Saat itu pula, Daffa membuka pi

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 47

    Ibu yang selalu lembut dalam ingatannya, tiba-tiba mengangkat kepala menatapnya dengan wajah penuh luka berdarah. Dia bertanya pada Aura, mengapa Aura mengakui musuhnya sebagai ibu.Aura tersentak dan terbangun dari tidurnya."Ah ...." Dia menghela napas pelan, lalu membuka mata dan mendapati Lulu sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Aura, kamu kenapa?"Aura terdiam sejenak. Kemudian, dia baru menyadari bahwa yang tadi itu hanyalah mimpi. Hanya saja, meskipun itu cuma mimpi, dadanya tetap terasa sesak."Kenapa kamu bisa ke sini?" tanyanya.Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas, Lulu menjawab, "Tadi aku telepon kamu, yang angkat suster. Katanya kamu dirawat, jadi aku langsung datang."Aura hanya mengangguk dan menerima air dari Lulu. Setelah berpikir sejenak, dia berkata, "Masalah aku dirawat ini, jangan beri tahu siapa pun."Lulu mengangkat alisnya sedikit. "Aku dengar dari suster, yang ngantar kamu ke sini adalah pria yang sangat tampan. Tapi sepertinya bukan Daffa, ya?

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 46

    Mungkin tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih memalukan dari ini. Saat mereka hendak memasuki fase intim, menstruasi Aura datang tepat pada waktunya.Siklusnya memang tidak pernah teratur. Setiap kali datang bulan, rasa sakit di perut bagian bawahnya terasa seperti disayat pisau. Kali ini juga tidak terkecuali.Awalnya Jose mengira dia hanya berpura-pura. Namun, saat tangannya menyentuh kening Aura yang basah oleh keringat dingin, alisnya langsung berkerut."Ada apa?" tanyanya dingin.Padahal baru beberapa menit yang lalu dia masih memburu dan berusaha menaklukkan bak binatang buas. Namun kini, suaranya terdengar jernih dan tenang, sama sekali tidak menyisakan jejak emosi yang tadi sempat membara.Aura menggeliat kesakitan dan tubuhnya meringkuk. Perutnya terasa seperti sedang ditusuk-tusuk dari dalam. Namun di hadapan Jose, dia masih ingin menjaga sedikit harga dirinya.Dengan sisa tenaga yang dia kumpulkan, Aura berbisik, "Aku nggak apa-apa. Pulanglah."Suaranya sangat pelan, se

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 45

    Jose sengaja menekankan kata "tunangan".Aura mengangkat alis menatapnya. "Pak Jose mau bilang apa?"Jose menyeringai dingin. Dia mematikan rokok di tangannya, lalu melangkah masuk tanpa izin dan mendesaknya. Aura terpaksa mundur dua langkah ke belakang.Rumahnya ini memang tidak besar. Lokasinya di pusat kota, kawasan premium, tapi luasnya tidak sampai 100 meter persegi. Begitu tubuh Jose yang tinggi dan tegap masuk, ruang itu langsung terasa sempit."Aku cuma mau bilang, kamu cukup berani juga."Jose menekan tubuhnya hingga Aura bersandar di dinding. "Bukannya kamu bilang sudah putus sama Daffa?"Aura menatapnya. Dari sudut ini, dia bisa melihat jelas garis rahang pria itu yang tajam. Wajahnya benar-benar terlalu tampan, kulitnya bahkan lebih mulus dari wanita mana pun. Saking mulusnya, Aura nyaris ingin bertanya produk perawatan kulit apa yang digunakannya.Menyadari Aura tidak fokus, Jose mengerutkan kening, lalu mencengkeram dagunya. "Jawab aku."Dalam hati, Aura mendecak. Kalau b

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 44

    Baru berjalan beberapa langkah, ponsel Aura tiba-tiba berdering. Panggilan itu dari Daffa. Aura menjawab panggilan itu dengan kesal, lalu terdengar suara Daffa yang ragu-ragu, "Halo, Aura ... kamu ke mana?"Nada bicaranya terdengar sangat hati-hati, jelas karena dia sadar bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Aura berusaha menahan diri, lalu menjawab pelan, "Aku minum sedikit tadi, kepala agak pusing. Jadi aku pulang duluan.""Kalian lanjutkan saja acaranya. Selamat bersenang-senang."Daffa terdiam sejenak, lalu kembali bertanya dengan ragu-ragu, "Aura ... kamu marah, ya?""Nggak." Aura menahan perasaan mual yang hampir menyelimuti seluruh tubuhnya. "Sampai ketemu besok. Bukannya besok keluarga kita sudah sepakat mau ketemu untuk membahas prosesi dan lokasi pertunangan?"Mendengar hal itu, Daffa tampak lebih tenang. "Baiklah ... hati-hati di jalan, ya."Aura tidak menjawab, melainkan langsung menutup panggilan begitu saja. Malam sudah cukup larut. Klub ini cukup eksklusi

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 43

    Daffa menoleh ke sekeliling, lalu suaranya pun melembut. "Sudahlah ... kamu pulang dulu. Nanti kalau sempat, aku cari kamu lagi ...."Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Ghea tiba-tiba melangkah maju dan mencium bibir Daffa. Cahaya lampu taman di malam hari memang redup, tapi Aura tetap bisa melihat semuanya dengan jelas.Aura menggigit bibir bawahnya pelan. Melihat adegan ini lagi, tidak membuatnya marah seperti pertama kali. Yang ada hanya rasa geli.Ciuman itu berlangsung lebih dari satu menit sebelum akhirnya berhenti. Suara Daffa terdengar sedikit serak, "Ghea, kamu gila ya? Jangan seperti ini!""Aku memang gila. Aku takut setelah kamu bertunangan sama Kak Aura, kamu benar-benar akan meninggalkanku."Lalu, dia mulai memainkan drama panas dengan memeluk pinggang ramping Daffa sambil berkata, "Kak Daffa, aku nggak peduli sama status ataupun pandangan orang. Asalkan aku bisa tetap berada di sisimu, itu sudah cukup bagiku.""Tapi aku tahu, kalau aku terus berada di dekatmu, Kak

  • Menjadi Tawanan CEO Dingin   Bab 42

    Aura memicingkan mata menatapnya. "Aku capek. Mau pulang dan istirahat."Begitu selesai bicara, dia langsung berbalik hendak pergi. Namun, Daffa kembali menahan lengannya. Pria itu menundukkan kepala, lalu mendekat ke telinganya dan berbisik, "Aura, anggap saja hargai aku, ya? Lagian kamu sudah sampai sini.""Kamu nggak mau aku jadi bahan tertawaan teman-temanku, 'kan?"Aura mendadak teringat sebuah peristiwa. Saat itu, dia sedang dinas luar kota. Di tengah malam, Daffa menelepon dan mengaku sedang sakit serta merindukannya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyetir dua jam pulang hanya untuk menemui Daffa.Lalu, apa yang dia temukan?Daffa sedang berpesta dengan segerombolan teman laki-lakinya yang menyebalkan. Waktu itu, Daffa bilang apa?"Oh, aku cuma mau tunjukkan ke mereka seberapa besarnya pacarku mencintaiku."Sekarang jika dipikirkan kembali, Daffa bukan sedang menguji perasaan cinta Aura. Dia hanya ingin tahu sejauh mana Aura bisa merendah demi dirinya. Dan malam ini ... s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status