Giulio paham, Jose tertarik pada Aura. Dia menjilat gigi gerahamnya dengan ujung lidah, merasa agak kecewa. Namun, dia tetap tidak bisa menahan diri untuk melirik Aura dari sudut matanya. Wajah Aura benar-benar memikat, tidak heran Jose akhirnya turun tangan.Karena Jose sudah bicara, Aura tidak punya pilihan selain duduk di sebelahnya. Begitu duduk, dia langsung mencium aroma khas kayu dari tubuh Jose, membuat pikirannya agak kacau. Dia seperti naik kapal bajak laut dan tidak bisa turun lagi.Setelah beberapa ronde, Jose tampaknya mulai bosan. Dengan malas, dia meletakkan kartunya di atas meja dan berkata dengan nada ringan, "Giliranmu."Aura mengangkat alis sambil menatapnya. "Kamu yakin?"Dia memang tidak terlalu tertarik dengan permainan kartu dan tidak terlalu bisa bermain, tetapi dia cukup cerdas. Dalam beberapa ronde tadi, dia sudah memahami aturan dasarnya.Jose tertawa kecil. Sepasang matanya yang tajam meliriknya sekilas. "Menang, uangnya buat kamu. Kalah, aku yang bayar."Au
Keduanya keluar dari ruang perawatan dan berjalan berdampingan menuju area merokok di ujung lorong rumah sakit.Lulu baru saja menyalakan rokok, tetapi Aura langsung mengulurkan tangan untuk mematikannya. "Kamu nggak takut ibumu mencium bau rokok?"Lulu pun menggigit bibirnya, lalu menoleh menatap Aura. "Uangnya sudah ditransfer oleh bagian keuangan. Dari mana kamu dapat uangnya?"Mereka baru sehari tidak bertemu, tetapi Lulu merasa Aura terlihat lebih lelah dari sebelumnya.Aura tidak ingin terlalu blak-blakan tentang sumber uang itu. Dia khawatir jika Lulu tahu, Lulu akan merasa bersalah. Jadi, dia hanya menjawab, "Aku berhasil memaksa Jose untuk menandatangani kontrak."Lulu mengangkat alisnya. "Bukannya dia selama ini selalu menolak? Selain itu, aku dengar dari bagian keuangan, jumlah yang ditransfer dari perusahaan Jose lebih banyak sepertiga dari yang ada di kontrak. Aura, kamu nggak mungkin melakukan sesuatu yang bodoh cuma demi aku, 'kan?"Sebagai mitra, tentu saja Lulu tahu se
Bagi Aura, menyadari bahwa orang yang dicintainya adalah pria berengsek bukanlah sesuatu yang mudah diterima.Aura keluar dari rumah sakit, bersandar di mobilnya yang terparkir, dan menyalakan sebatang rokok. Saat asap pahit itu masuk ke paru-parunya, sedikit kegetiran di hatinya akhirnya mereda.Dia memang cantik. Dengan rambut panjang yang tergerai tertiup angin malam, pemandangannya saat merokok pun tetap cukup menarik perhatian.Saat Ghea turun, itulah yang dilihatnya. Tebersit kilatan iri di matanya. Namun, dia segera memasang senyuman dan mendekat. "Kamu nungguin aku, Kak?"Aura meliriknya sekilas tanpa bicara, lalu mematikan rokoknya. Ghea juga tidak ambil pusing dan melanjutkan, "Nggak perlu antar aku. Hari ini Ayah baru membelikanku mobil baru. Kamu belum lihat, 'kan? Lihat deh, bagus nggak?"Usai bicara, dia menunjuk ke arah sebuah Mercedes-Benz baru yang terparkir tidak jauh dari sana.Ghea selalu seperti ini. Dia bicara dengan lembut, tetapi setiap katanya dipenuhi dengan s
Serra langsung memahami situasinya. Dia melirik Anrez yang baru saja turun dari lantai atas, lalu menggoyangkan lengan Ghea dengan lembut."Nggak apa-apa, Ibu. Kakak pasti nggak sengaja menabrak mobilku," ucap Ghea yang menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sangat teraniaya.Anrez langsung menangkap bagian penting dari ucapan itu. Dia melangkah cepat ke bawah, menatap Aura yang duduk santai di sofa dengan ekspresi acuh tak acuh, lalu mengernyit. "Apa yang terjadi? Jelaskan!"Mendengar itu, Aura akhirnya mengangkat kelopak matanya sedikit. "Apa lagi? Seperti yang dia bilang, aku nggak sengaja menabrak mobil barunya."Dia memiringkan kepala, menatap Anrez dengan ekspresi polos dan tak berdosa.Wajah Anrez langsung memerah karena marah. "Kamu iri sama adikmu? Aku membelikannya mobil karena dia selalu kesulitan naik kendaraan. Dia juga belum pernah punya barang bagus.""Sekarang kondisi keuangan cukup baik, jadi aku membelikan yang lebih layak. Kenapa hal sekecil ini saja kamu harus iri?"
Aura masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutannya saat sebuah pesan masuk lagi.[ Bu Aura, aku masih punya sesuatu yang lebih menarik buatmu. Bawalah uang saat datang. Aku nggak minta banyak, cuma 1 miliar. ][ Tentu saja, apa yang kumiliki ini sepadan dengan harga itu. Tenang saja ]Aura menggigit bibirnya sebelum akhirnya bangkit dan mengganti pakaiannya, lalu turun ke bawah.Di ruang tamu, Anrez sedang duduk santai di sofa, membaca koran dengan tenang. Sementara itu, Serra sedang memijat bahunya. Sambil memijat, Serra berkata, "Anrez, gimana kalau kita juga beliin mobil yang bagus untuk Aura? Supaya dia nggak ngambek lagi.""Lagi pula, memperlakukan anak secara nggak adil itu nggak baik. Nggak heran kalau Aura kesal."Di depan Anrez, Serra selalu berbicara dengan lembut dan penuh perhatian. Kata-katanya terdengar seperti membela Aura. Namun, hanya dalam beberapa kalimat, wajah Anrez sudah mulai berkerut."Kamu nggak perlu ikut campur soal ini. Lihat sendiri gimana Aura sekarang
Ekspresi Aura akhirnya berubah sedikit. Namun, hanya dalam sekejap, dia kembali tenang seperti biasa. "Kenapa lagi? Tentu saja karena sakit, lalu meninggal.""Tsk, sepertinya Bu Aura terlalu naif. Selama ini, kamu telah dibodohi oleh dua jalang itu tanpa tahu apa-apa."Aura menatap pria itu. "Maksudmu?""Hehe. Saat ibumu dirawat di rumah sakit dulu, Serra adalah pengasuhnya," ucap pria itu.Aura mengangkat alis. "Ternyata kamu tahu cukup banyak."Memang benar, saat ibunya sakit dulu, Serra yang merawatnya.Serra adalah pengasuh yang direkomendasikan oleh dokter utama ibunya. Saat itu, Serra merawat ibunya dengan sangat baik, bahkan Aura sendiri pun menyukainya.Saking sukanya, Aura sampai meminta ayahnya untuk memindahkan Ghea ke sekolah yang sama dengannya. Semua itu hanya karena Serra mengatakan putrinya mengalami perundungan di sekolah.Di sekolah, Aura banyak membantu Ghea. Siapa sangka, tak lama setelah ibunya meninggal, Serra justru tidur bersama Anrez.Hal itu memberikan trauma
Yang disebut tempat biasa adalah hotel tempat Aura pertama kali menemui Jose. Itu adalah properti milik Keluarga Alatas.Saat dia tiba, Jose masih belum datang. Sepertinya Jose sudah mengabari resepsionis karena resepsionis langsung membawa Aura ke atas dan membukakan pintu kamar untuknya.Terakhir kali, Aura datang dan pergi dengan tergesa-gesa, jadi dia tidak sempat memperhatikan bahwa ruangan ini dilengkapi dengan berbagai perlengkapan. Sepertinya ini adalah tempat tinggal tetap Jose.Aura berjalan ke ruang penyimpanan anggur, mengambil sebotol secara acak, lalu menuangkan segelas untuk dirinya sendiri.Begitu meneguk habis segelas, dia menghela napas panjang. Di benaknya terlintas sosok ibunya saat meninggal.Saat itu, Aura baru SMA 3, sedang berada di titik penting dalam hidupnya. Namun, ibunya malah meninggal. Masalah ini mendatangkan dampak buruk yang besar bagi dirinya.Terlebih lagi saat Serra yang merupakan pengasuh tiba-tiba menjadi ibu tirinya, Aura pun semakin syok.Jika s
Saat turun dari ranjang dan pulang ke rumah, Aura bertemu dengan Serra. Saat itu, Anrez dan Ghea sudah pergi bekerja. Di rumah hanya ada Serra.Mengingat apa yang dikatakan orang itu kemarin, sorot mata Aura langsung menjadi dingin.Serra tidak menyadari arti dari tatapannya. Dia menyibakkan rambut panjangnya yang tergerai di dada dan berpura-pura tersenyum ramah pada Aura. "Aura, kamu semalam nggak pulang lagi ya?"Dia menghela napas panjang. "Jadi ibu tiri itu memang susah, ngomong sedikit kamu langsung marah. Coba kamu lihat, gadis mana yang pulang malam begini?""Pantas saja ayahmu marah."Kali ini, Aura yang biasanya suka membalas, justru diam. Pandangannya menatap lama ke arah piama sutra yang dipakai Serra, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Bibi, sebenarnya menurutku baju yang kamu pakai ini nggak cocok sama sekali.""Aku ingat waktu kamu masih jadi perawat yang merawat ibuku dulu, baju-baju yang kamu pakai saat itu jauh lebih cocok buat kamu." Nada bicaranya ringan, bahkan ter
Sudut bibir Aura menyunggingkan senyuman. "Hari ini nggak ada kegiatan, jadi aku mampir untuk lihat Daffa lagi ngapain."Begitu dia selesai bicara, Donna tampak sedikit tersendat. Aura tahu, kemungkinan besar Daffa memang belum pulang.Benar saja, Donna menariknya duduk di sofa dan berkata, "Tadi malam ada urusan kantor, ayahnya suruh dia lembur. Jadi sampai sekarang belum pulang. Kamu duduk dulu ya, biar aku telepon Daffa sebentar."Lembur?Yang disebut "lembur" itu kalau Daffa dan Ghea sedang "bekerja keras" di ranjang. Melihat Ghea juga tidak pulang semalam, sepertinya mereka cukup menikmati malamnya.Wajah Aura tetap tenang saat menampilkan sosok calon menantu yang manis dan lembut. "Nggak masalah, Ibu. Kalau Daffa memang sedang sibuk urusan kantor, nggak usah diganggu."Dia menoleh ke sekeliling, lalu berkata seolah tanpa maksud, "Kalau begitu, boleh aku menunggu di kamar Daffa saja?"Sejak kecil, Aura memang sering berkunjung ke rumah Keluarga Santosa, jadi dia sangat akrab denga
Aura menoleh dan melirik ke arah Ghea. Gadis itu mengangkat dagunya dengan sikap menantang, lalu berkata, "Kak, aku juga nggak ada kegiatan sore ini. Ayah minta aku menemani kalian belanja.""Nggak merasa terganggu, 'kan?"Aura menatapnya melalui kaca spion. Saat menangkap tatapan penuh rasa iri dari wajah Ghea, dia tersenyum sinis. "Tahu itu mengganggu tapi masih nekat ikut. Kulit wajahmu memang tebal."Ucapan Aura memang selalu blak-blakan mempermalukan seseorang. Ghea tercekat dan tidak bisa membalasnya.Aura kemudian mengangkat tangan untuk melihat kukunya yang baru saja dirapikan, lalu berkata, "Tapi kalau kamu memang mau ikut, ya silakan saja."Di sisi lain, Daffa sebenarnya tidak ingin Ghea ikut serta. Namun, karena Aura sudah bicara begitu, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya, dia hanya diam dan mulai menyalakan mobil.Sepanjang perjalanan, Ghea duduk di kursi belakang sambil menatap Aura dengan penuh rasa dengki. Dia benar-benar iri.Terutama saat melihat Daffa yang
"Hari ini hari bahagiamu, adikmu bangun pagi-pagi untuk bersiap-siap. Katanya nggak mau buat kamu malu." Serra menarik Aura maju, lalu berkata dengan ramah pada Donna, "Besan, mulai sekarang Aura kami serahkan padamu. Aku benar-benar tenang kalau dia ada di tanganmu."Nada bicaranya begitu akrab, seolah-olah sia benar-benar ibu kandung Aura. Donna tidak menanggapinya dan hanya menoleh ke arah lain.Sebagai sahabat dari mendiang ibu kandung Aura, Donna memang tidak pernah menyukai Serra sejak awal. Dalam situasi seperti ini pun, tidak langsung menyindir Serra saja sudah termasuk sangat berbaik hati.Melihat Serra agak canggung, Aura pun tersenyum dan menambahkan, "Ibu kandungku dan ibu Daffa itu sahabat dekat sejak dulu. Jadi ... kurasa Anda nggak usah khawatir."Aura sengaja menyebut ibunya, semata-mata untuk membuat Serra merasa tidak nyaman. Benar saja, ekspresi Serra langsung berubah. Senyum ramah yang tadi dibuat-buat nyaris tidak bisa dipertahankan.Saat itu pula, Daffa membuka pi
Ibu yang selalu lembut dalam ingatannya, tiba-tiba mengangkat kepala menatapnya dengan wajah penuh luka berdarah. Dia bertanya pada Aura, mengapa Aura mengakui musuhnya sebagai ibu.Aura tersentak dan terbangun dari tidurnya."Ah ...." Dia menghela napas pelan, lalu membuka mata dan mendapati Lulu sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Aura, kamu kenapa?"Aura terdiam sejenak. Kemudian, dia baru menyadari bahwa yang tadi itu hanyalah mimpi. Hanya saja, meskipun itu cuma mimpi, dadanya tetap terasa sesak."Kenapa kamu bisa ke sini?" tanyanya.Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas, Lulu menjawab, "Tadi aku telepon kamu, yang angkat suster. Katanya kamu dirawat, jadi aku langsung datang."Aura hanya mengangguk dan menerima air dari Lulu. Setelah berpikir sejenak, dia berkata, "Masalah aku dirawat ini, jangan beri tahu siapa pun."Lulu mengangkat alisnya sedikit. "Aku dengar dari suster, yang ngantar kamu ke sini adalah pria yang sangat tampan. Tapi sepertinya bukan Daffa, ya?
Mungkin tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih memalukan dari ini. Saat mereka hendak memasuki fase intim, menstruasi Aura datang tepat pada waktunya.Siklusnya memang tidak pernah teratur. Setiap kali datang bulan, rasa sakit di perut bagian bawahnya terasa seperti disayat pisau. Kali ini juga tidak terkecuali.Awalnya Jose mengira dia hanya berpura-pura. Namun, saat tangannya menyentuh kening Aura yang basah oleh keringat dingin, alisnya langsung berkerut."Ada apa?" tanyanya dingin.Padahal baru beberapa menit yang lalu dia masih memburu dan berusaha menaklukkan bak binatang buas. Namun kini, suaranya terdengar jernih dan tenang, sama sekali tidak menyisakan jejak emosi yang tadi sempat membara.Aura menggeliat kesakitan dan tubuhnya meringkuk. Perutnya terasa seperti sedang ditusuk-tusuk dari dalam. Namun di hadapan Jose, dia masih ingin menjaga sedikit harga dirinya.Dengan sisa tenaga yang dia kumpulkan, Aura berbisik, "Aku nggak apa-apa. Pulanglah."Suaranya sangat pelan, se
Jose sengaja menekankan kata "tunangan".Aura mengangkat alis menatapnya. "Pak Jose mau bilang apa?"Jose menyeringai dingin. Dia mematikan rokok di tangannya, lalu melangkah masuk tanpa izin dan mendesaknya. Aura terpaksa mundur dua langkah ke belakang.Rumahnya ini memang tidak besar. Lokasinya di pusat kota, kawasan premium, tapi luasnya tidak sampai 100 meter persegi. Begitu tubuh Jose yang tinggi dan tegap masuk, ruang itu langsung terasa sempit."Aku cuma mau bilang, kamu cukup berani juga."Jose menekan tubuhnya hingga Aura bersandar di dinding. "Bukannya kamu bilang sudah putus sama Daffa?"Aura menatapnya. Dari sudut ini, dia bisa melihat jelas garis rahang pria itu yang tajam. Wajahnya benar-benar terlalu tampan, kulitnya bahkan lebih mulus dari wanita mana pun. Saking mulusnya, Aura nyaris ingin bertanya produk perawatan kulit apa yang digunakannya.Menyadari Aura tidak fokus, Jose mengerutkan kening, lalu mencengkeram dagunya. "Jawab aku."Dalam hati, Aura mendecak. Kalau b
Baru berjalan beberapa langkah, ponsel Aura tiba-tiba berdering. Panggilan itu dari Daffa. Aura menjawab panggilan itu dengan kesal, lalu terdengar suara Daffa yang ragu-ragu, "Halo, Aura ... kamu ke mana?"Nada bicaranya terdengar sangat hati-hati, jelas karena dia sadar bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Aura berusaha menahan diri, lalu menjawab pelan, "Aku minum sedikit tadi, kepala agak pusing. Jadi aku pulang duluan.""Kalian lanjutkan saja acaranya. Selamat bersenang-senang."Daffa terdiam sejenak, lalu kembali bertanya dengan ragu-ragu, "Aura ... kamu marah, ya?""Nggak." Aura menahan perasaan mual yang hampir menyelimuti seluruh tubuhnya. "Sampai ketemu besok. Bukannya besok keluarga kita sudah sepakat mau ketemu untuk membahas prosesi dan lokasi pertunangan?"Mendengar hal itu, Daffa tampak lebih tenang. "Baiklah ... hati-hati di jalan, ya."Aura tidak menjawab, melainkan langsung menutup panggilan begitu saja. Malam sudah cukup larut. Klub ini cukup eksklusi
Daffa menoleh ke sekeliling, lalu suaranya pun melembut. "Sudahlah ... kamu pulang dulu. Nanti kalau sempat, aku cari kamu lagi ...."Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Ghea tiba-tiba melangkah maju dan mencium bibir Daffa. Cahaya lampu taman di malam hari memang redup, tapi Aura tetap bisa melihat semuanya dengan jelas.Aura menggigit bibir bawahnya pelan. Melihat adegan ini lagi, tidak membuatnya marah seperti pertama kali. Yang ada hanya rasa geli.Ciuman itu berlangsung lebih dari satu menit sebelum akhirnya berhenti. Suara Daffa terdengar sedikit serak, "Ghea, kamu gila ya? Jangan seperti ini!""Aku memang gila. Aku takut setelah kamu bertunangan sama Kak Aura, kamu benar-benar akan meninggalkanku."Lalu, dia mulai memainkan drama panas dengan memeluk pinggang ramping Daffa sambil berkata, "Kak Daffa, aku nggak peduli sama status ataupun pandangan orang. Asalkan aku bisa tetap berada di sisimu, itu sudah cukup bagiku.""Tapi aku tahu, kalau aku terus berada di dekatmu, Kak
Aura memicingkan mata menatapnya. "Aku capek. Mau pulang dan istirahat."Begitu selesai bicara, dia langsung berbalik hendak pergi. Namun, Daffa kembali menahan lengannya. Pria itu menundukkan kepala, lalu mendekat ke telinganya dan berbisik, "Aura, anggap saja hargai aku, ya? Lagian kamu sudah sampai sini.""Kamu nggak mau aku jadi bahan tertawaan teman-temanku, 'kan?"Aura mendadak teringat sebuah peristiwa. Saat itu, dia sedang dinas luar kota. Di tengah malam, Daffa menelepon dan mengaku sedang sakit serta merindukannya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyetir dua jam pulang hanya untuk menemui Daffa.Lalu, apa yang dia temukan?Daffa sedang berpesta dengan segerombolan teman laki-lakinya yang menyebalkan. Waktu itu, Daffa bilang apa?"Oh, aku cuma mau tunjukkan ke mereka seberapa besarnya pacarku mencintaiku."Sekarang jika dipikirkan kembali, Daffa bukan sedang menguji perasaan cinta Aura. Dia hanya ingin tahu sejauh mana Aura bisa merendah demi dirinya. Dan malam ini ... s