Apa yang dimaksud masa lalu oleh Karisma, sampai-sampai Fitri tidak bisa membalas dengan kata-kata lagi. Wanita itu pamit tanpa mengatakan apapun, membiarkan Karisma menghubungi Galih untuk kesekian kalinya."Gimana? Bening sudah baikan?" tanyanya cemas. Dia belum bisa menjenguk menantunya ke rumah sakit karena alasan tertentu. "Baiklah. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi Mama."Wanita itu menghembuskan nafas kasar sembari menutup teleponnya. Dia benar-benar khawatir. Bukan karena keguguran yang dialami Bening tapi lebih pada psikisnya. Wanita yang baru pertama kalinya hamil, pasti akan merasakan sakit berlipat ganda ketika kehilangan bayi yang bahkan belum bisa tumbuh dalam perutnya."Semoga dia baik-baik saja."°°°"Sudah lebih baik? Bapak yakin?" tanya Bening berkali-kali pada atasan yang mempertaruhkan nyawanya hanya untuk menolongnya. Sebagai gantinya menjawab pertanyaan Bening, Junar menoleh pada Galih. "Bawa saja dia pergi. Dia berisik sekali."Galih tersenyum geli, "Kamu
"Kamu apa-apaan itu? Pakai lagi celananya! Ya Tuhan, ada-ada saja kamu ini. Udah gede masih aja main belalai," omel Karisma. Untung saja dia refleks membalikkan tubuhnya sebelum bola matanya teracuni oleh penampakan yang dulunya tidak asing. Sekarang beda lagi ukurannya. Galih buru-buru mengambil celana boxernya sambil meratapi kebodohannya. Pantas saja dia berlaku aneh, ternyata ada sebabnya. Dia ketahuan oleh mamanya sendiri. "Ada apa, Ma? Mas Galih nggak ada?" tanya Bening bingung melihat Karisma malah melihat ke depan pintu bukannya memanggil suaminya. "Mama malah dapat kejutan istimewa dari suamimu, Bening. Duh, mata mama ternoda," ucap Karisma sambil geleng-geleng kepala. Dia akhirnya pergi dari sana karena tidak mau berdebat dengan Galih. Malu rasanya. Tapi geli juga karena Galih bisa bersikap konyol begitu. Dari dulu anak itu selalu serius setiap menghadapi masalah, sekarang perlahan semuanya berubah. "Kamu ngapain mama sih, Mas? Ini kenapa kamu hanya pakai boxer? Celana p
"Ini namanya kamu coba-coba, Sayang." Galih mengambil ancang-ancang untuk membawa istrinya naik ke ranjang mereka, tapi Bening berhasil mengelak. Dia beralih ke almari pakaian, mengambil celana dalam motif gajah lengkap dengan belalainya. Wanita itu menentengnya tanpa dosa, "Ini kenapa bisa masuk, Mas? Emang kalau lagi on masuk sendiri ya?""Kemarilah! Lihat sendiri gimana caranya bisa masuk.""No, paling kamu memaksaku makan permen lagi. Nggak bisa! Aku sudah pintar sekarang," elak Bening. Dimain-mainkan celana dalam itu dengan seringaian lucunya. "Gimana kamu bisa punya ide untuk beli ini, Mas?"Galih hanya tersenyum misterius lalu melarikan diri ke pelukan istrinya. Dia tidak akan sanggup menghadapi Bening jika wanita itu terus saja menggoda. Tadi saja ketika dia membersihkan wajah Bening, timbul getaran yang menggodanya. Mana bisa dia diam saja."Mau style apa malam ini? Jongkok, berdiri, bersusun, tengkurap atau gimana?""Mas Galih, jorok!"°°°"Jadi, aku boleh nggak ikutan acar
"Oh, pantas saja dia bisa di posisi sekarang.""Dia pasti merayu paman Pak Genta?""Kasihan Pak Genta yang harus bekerja sama dengan mantannya sendiri.""Kemana saja kita selama ini?"Bening limbung. Inilah yang dia dan Galih takutkan. Kehidupan mereka akan diketahui banyak orang. Sebelumnya Bening bukan siapa-siapa. Dia hanyalah sekretaris Aris —sang manager produksi— mempunyai kekasih dari kalangan yang sama. Pergi bekerja bukan sebuah ketakutan. Dia hanya menghadapi dunia yang selalu menyapanya dengan baik. Lalu, sekarang semuanya berubah hanya karena sebuah lamaran yang datang padanya. Salahkah Bening?"Saya minta perhatian semuanya," ucap Genta pada akhirnya membuat semua orang, termasuk media yang sibuk memberikan pertanyaan pada Bening untuk diam. Blitz kamera tertuju padanya. Genta maju selangkah di depan Bening, lalu menoleh pada Dina. "Terimakasih sudah memberikan saya pujian. Selagi kamu ada di sini, mari kita bahas bersama."Dina tidak begitu tertarik dengan alasan yang
"Jangan cerewet!" ketus Karisma. "Nanti Bening juga kebagian."Diam-diam Bening melarikan diri ke ruang tamu agar Karisma tidak memaksanya membawanya. Masih mending Tiara yang membuatkan jus-jus segar itu dari pada Karisma."Nona, sarapan dulu!" teriak asisten rumah tangga tanpa dosa ketika melihat Bening mengendap-endap. Bening menghela napas berat, ketahuan sudah! "Ayo, sini, Sayang! Minum ini dulu. Mama juga sudah menyetok beberapa di kulkas. Nanti pulang kerja, abis makan malam jangan lupa diminum. Biar kalian sama-sama sehat dan kuat!" titah Karisma. Dia tidak sabaran untuk membawa Bening ke tempat seharusnya. Galih melirik istrinya dengan senyum dikulumnya. Dia lebih bersemangat meminumnya kalau Bening juga ikut tersiksa bersamanya."Ma, aku sudah kenyang," elak Bening. Wanita itu pura-pura mengusap perutnya yang tidak menunjuk tanda-tanda kenyang. Karisma tidak percaya, "Jangan menipu, Mama! Ayo, minum dulu! Selagi mama di sini kalian harus nurut. Sudah gede harusnya paham
Perbedaan yang sangat besar? Bening mencoba menerka. Alasan di balik wajah oriental itu saja sudah bisa ditebak namun latar belakang keluarga Janeta yang tidak dia ketahui membuat Bening gagal menganalisis. "Aku nggak tahu, Mas," ucapnya."Kalau begitu, nanti saja aku jelaskan. Panggil mereka. Aku mau ke belakang dulu.""Ke belakang mana, Mas?" Bening mengerutkan keningnya, waspada."Ke kamar mandi. Apa aku juga perlu mengejanya?" tanya Galih gemas. Dicubitnya hidung mancung Bening agar sang istri bisa bersikap tenang. "Panggil dulu sana! Nanti sebelum tidur aku akan memberikan kejutan untukmu."Mendengar kata ajaib itu, Bening langsung menurut. Dia sudah menduga kejutan apa yang akan diberikan suaminya. Wanita itu berjalan ke ruang tamu. Para tamunya sedang bercakap-cakap karena samar-samar suaranya terdengar dari jarak beberapa meter. Pembicaraan itu sepertinya menyangkut Bening karena namanya dicatut begitu saja. Bening berhenti di antara batas ruang tamu dan ruang santai selama
"Mas," panggil Bening dengan suara pelan. Dia meminta sang suami untuk mendekat."Ada apa, Sayang?""Coba lihat aku, Mas!"Galih memperhatikan dengan seksama wajah istrinya. Dari dua bola mata indah itu, beralih pada pipi yang terpoles blush-on tipis. Bibirnya juga tidak luput dari sapuan lipstik merah muda yang dipadukan dengan warna coklat muda. "Ada yang salah."Seketika Bening panik. Pantas saja Karisma memuji Janeta tadi. Ternyata dia sudah salah memakai make up. "Mana, Mas? Blush-onnya ketebelan ya? Atau lipstiknya terlalu pink? Tadinya aku mau pakai warna coklat aja tapi tiba-tiba pengen diombre. Ternyata nggak cocok ya?"Bening kesal dengan sikapnya sendiri yang sering plin-plan. Kalau saja dia tidak mengubah make-upnya pasti dia dipuji oleh mertuanya. "Sepertinya ... yang salah kamu, Bening. Cantik begini kenapa uring-uringan?"Bening tidak segan memukul suaminya karena candaan Galih tidak membuat dirinya tertawa sama sekali. "Aku serius tauk, Mas.""Maaf sayang. Habisnya ka
"Maafkan istriku, Galih. Aku nggak tahu kenapa dia jadi begitu. Sikapnya berlebihan. Kalau aku tanya kenapa dia melakukannya, dia hanya bilang bercanda," ucap Teo tidak enak hati. Meminta maaf itu perlu, jadi sebelum Galih memperlebar jarak di antara mereka dia perlu turun tangan. Galih mengaduk kopi hitamnya dengan ritme sama, memutar ke arah kanan lalu berbalik ke kiri. Begitu seterusnya tanpa berniat diminum. "Nggak masalah. Aku tahu dari dulu Janeta memang begitu kan? Semua pria juga dipeluk kalau dia kenal.""Tapi istrimu pasti marah.""Bukan marah lagi. Cemburu buta malah."Teo jadi semakin bersalah. Seharusnya kebencian Janeta pada Bening tidak dilampiaskan pada Galih juga. Pria itu menggaruk kepalanya dengan gusar. "Aku akan bicara pada istriku untuk lebih menjaga sikap."Galih akhirnya mengangkat cangkirnya untuk meneguk sekali, lalu diturunkan kembali ke tumpuan cangkir. "Tenanglah, Teo. Aku bisa mengendalikan istriku. Kalau sudah diberi itu pasti dia tidak akan cemburu la
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu