“Oke. Pilihannya adalah pelayan kafe dengan gaji sedikit atau … gaji besar dengan tinggal di rumah bordil dan hidup menghibur om-om pakai tubuhmu. Kamu … serius mau gaji yang besar?”
Hana langsung melotot lebar dan menutup telinga Alan rapat-rapat. Pilihan pertama masuk akal, tetapi pilihan keduanya sangat gila. Ini sama saja seperti perkataan Jeremy hari itu!
Pertama bekerja di kafe. Ini tempat yang cukup aman dan tidak ada yang namanya pelayanan khusus untuk menghibur om-om. Yang perlu Hana lakukan hanya menghidangkan pesanan lalu membersihkannya. Bayarannya kecil, tetapi Hana tidak akan kelelahan karena jam kerjanya sudah ditentukan. Tetapi kalau memilih pekerjaan ini, akan sulit bagi Hana untuk melunasi utang, apalagi bayar bunganya.
Berbeda dengan pilihan kedua, di mana Hana akan dapat uang banyak dari mereka yang membayar. Hana bisa menyesuaikan harga dan melakukan apa yang pelanggan suka. Rumah bordil yang dicari oleh Evan adalah tempat yang cukup menjanjikan. Tempat itu tidak akan membiarkan orang iseng macam-macam, ada pengawasan cukup ketat untuk pengunjung yang datang.
“Apa tidak ada pilihan yang lebih bagus?” tanya Hana tidak mau menyerah. Jika ada piihan tengah yang lebih baik di antara keduanya, dia mungkin akan memilih pekerjaan itu.
“Aku tidak punya banyak teman di negara ini. Kedua pekerjaan itu dikelola oleh teman terdekatku, jadi setidaknya aku bisa tahu kabarmu dan mempercayakanmu kepada mereka,” jelas Evan yang memiliki niat baik terhadap Hana.
Konyolnya Hana memikirkan pilihan tersebut. Seharusnya dia bisa menjawab dengan lantang bahwa pilihan pertama jauh lebih baik dibandingkan pilihan kedua. Cara yang kedua memang instan, tetapi dia tidak bisa menghancurkan harga dirinya demi melunasi utang yang sama sekali tidak pernah dia pinjam.
Sialnya, Hana tidak bisa menghilangkan Jeremy dari pikiran. Jika dia memilih pekerjaan pelayan, maka seumur hidupnya akan terus bersama pria mengerikan tersebut. Pernikahan mereka memang kontrak, tetapi dalam perjanjian kontrak akan berakhir jika debitur melunasi utangnya kepada kreditur
“Jadi kamu akan memilih pekerjaan yang mana?” tanya Evan.
“Kakak, rumah bordil itu … apa?”
Pertanyaan Alan yang tiba-tiba mengejutkan dua insan dewasa di dekatnya. Hana menjadi pihak yang paling panik karena Alan belajar kata yang seharusnya tidak dia dengar di usianya yang masih sangat muda.
“Ah, itu—itu—”
“Rumah bordil itu rumah bermain, tapi yang boleh main cuma orang dewasa.” Evan memotong perkataan Hana yang kesulitan menjelaskan. Beruntung pria itu terus bersikap tenang dan dapat beri jawaban yang diterima oleh Alan.
Hana berbisik mengucap terima kasih pada Evan. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Evan memberikan Hana waktu untuk berpikir, apakah dia akan mengorbankan harga dirinya atau masa hidupnya. Walau sebenarnya Evan sudah memiliki jawabannya, namun siapa tahu Hana memberikan jawaban tidak terduga.
“Aku … aku akan jadi pelayan,” ucap Hana pada akhirnya.
Seperti dugaan Evan! Sudut bibir pria itu melebar dalam seakan menikmati seluruh indera berkat jawaban yang sangat memuaskan.
“Kalau begitu sudah diputuskan. Besok aku akan menjemputmu pukul delapan. Bersiaplah dan jangan buat kekacauan. Oke?”
Hana tersenyum bahagia seraya menganggukan kepala. Mungkin permintaannya kepada Tuhan kali ini dikabulkan. Kedatangan Evan menjadi titik balik hidup Hana yang sudah berada diujung tanduk. Pandangan bahwa tidak ada orang yang berada di pihak Hana mungkin akan perlahan pudar seiring masuknya Evan ke dalam kehidupannya.
“Aku harus pergi. Apa ada yang ingin kamu tanyakan sebelumnya?”
Kebetulan Evan bertanya. Ada satu hal yang ingin sekali Hana tahu, bahkan para pelayan yang maha tahu di rumah ini pun tidak bisa menjawabnya.
“Jeremy, dia ada di mana sekarang?”
***
Aah, Haaanggmmhh.
Suara desahan dari seorang wanita dan pria yang menikmati malam panasnya, terdengar menggema di dalam sebuah kamar bercahaya remang. Wanita itu terus menerus mengeluarkan suara desahan lembutnya ketika si pria menjamah tubuhnya.
Entah sudah berapa lama mereka menikmati malam panasnya, si pria tampak belum puas dengan kenikmatan itu.
“Je-jeremy, lebih cepat!”
Mendengar permintaan sang wanita, Jeremy langsung mempercepat irama kenikmatannya. Wajah wanita yang berada di bawah tubuhnya tampak terus menggoda hasratnya. Ia bahkan tidak merasa terganggu sama sekali ketika ada anak buahnya tadi—yang datang melapor karena ada sedikit masalah—melihat kegiatan mereka berdua.
“Ah! I love it, Jer!” Wanita itu mendesah disaat Jeremy terus menambah intensitas gerakan di atas tubuhnya. Mereka berdua bahkan sudah tidak peduli berapa lama melakukannya.
Ah, bukan itu, Jeremy bahkan sudah tidak peduli berapa wanita yang sudah dia tiduri dalam kurun waktu dua minggu ini. Ia tidur dengan banyak wanita sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya tiap kali dilanda masalah. Tidak disangka, ini adalah rekor terbanyaknya dalam hidup.
Selesai bercinta, si wanita bangun dan duduk dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya ketika Jeremy mulai memakai pakaian satu per satu di depan matanya.
“Kamu mau ke mana, sayang?” tanya si wanita.
“Aku mau pulang. Hubungan kita berakhir saat s3k5 ini selesai. Kalau mau minta kompensasi, mintalah pada anak buahku.”
Wanita itu tampak tidak percaya dengan apa yang barusan didengar. Ia pikir hubungannya bersama Jeremy yang terjalin selama dua hari ini sangat spesial, tapi rupanya hanya dijadikan objek hiburan semata.
Sialnya, Jeremy benar-benar pergi meninggalkan ruangan dan si wanita.
“Saya sudah memesan kamar di hotel X, Tuan.” Anak buah Jeremy datang memberitahu, pekerjaan yang rapi mendapat pujian dari pria tersebut.
Jeremy masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh sopir. Duduk bersandar dengan nyaman sembari memijat dahi yang berdenyut. Dua minggu dia pergi dari rumah, selama itu juga kepalanya tak bisa berhenti memikirkan Hana.
“Apa kita akan kembali ke rumah, Tuan?” Sang sopir bertanya, namun dibalas tatapan tajam oleh pria yang dipanggilnya ‘tuan’.
Jelas-jelas anak buahnya sudah memesankan kamar hotel, tetapi Jeremy tidak langsung menjawab dan malah berpikir.
Jeremy yang tidak pernah bertanya perihal Hana dan Alan pun memerintahkan orang-orang untuk tidak pernah menyebut nama mereka, kini mulai bertanya-tanya. Apa yang terjadi selama dua minggu ketika Jeremy meninggalkan mereka? Apa dalam waktu singkat itu Hana berhasil mengumpulkan uang untuk membayar sisa utangnya? Atau mereka berdua sudah melarikan diri dari rumah?
Jika mereka bodoh, mereka pasti akan melarikan diri dari rumah. Toh, itu akan sia-sia. Tidak ada yang bisa lepas dari kekangan Jeremy. Buang-buang waktu!
“Tuan.” Panggilan ketiga sopir berhasil menyadarkan Jeremy yang larut dari pikirannya. “Kita akan ke mana, Tuan?”
Jeremy menatap lurus ke depan. Setelah diam sejenak, dia pun berkata, “Kita kembali ke rumah.”
Semua ini masalah ayah Hana. Jika orang itu bisa ditemukan, maka Hana tidak perlu menanggung semua utang seperti sekarang. Namun, sebuah pertanyaan baru timbul jika orang itu berhasil ditemukan. Apakah ayah Hana bisa melunasi seluruh utangnya? Firasat Hana mengatakan bahwa pada akhirnya dialah yang akan membayar utang. BAKK! Gelas ditaruh keras ke atas meja. Napas terengah karena berhasil menghabiskan air dalam sekali minum. Sorot kedua mata menatap tajam lurus ke luar jendela. Dalam hati tidak berhenti memaki karena rasa kesal yang sulit tertahan. “Anda baik-baik saja, Nona?” Kepala pelayan yang peduli bertanya pada Hana. “Aku harus berhasil menemukan ayahku, setidaknya aku bisa mengambil organnya dan menjualnya,” ucap Hana yang berbicara pada dirinya sendiri. Kepala pelayan langsung bergidik ngeri kala dengar perkataan tersebut. Ia pikir mereka tidak perlu berbuat sejauh itu, mengambil dan menjual organ bukanlah sesuatu yang bisa mereka lakukan. Kalaupun hanya candaan, itu tid
Evan tidak bilang kalau restorannya juga disertai bar! Tapi tidak apalah, beruntung sejauh ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan bos. Hana hanya perlu menerima dan mengantar pesanan, serta membersihkan meja seusai digunakan pelanggan. Meskipun begitu, dia masih merasakan keanehan bekerja di rooftop bar dan restoran ini. Suasana di restoran ini terasa sangat santai dengan pemandangan luar biasa cakrawala kota. Saking santainya, Hana bisa dengar berbagai kata buruk yang dilontarkan para pelanggan. Yah, sebenarnya itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Hal terburuk adalah Hana melihat banyak pasangan yang saling berpagut bibir ketika suasana restoran mulai sepi pelanggan. Hana mungkin bisa bersabar dengan hal itu, tetapi kesabarannya hilang saat perlahan tangan pria mulai menjamah tubuh si wanita. Saat di mana Hana ingin menghentikan aksi tak senonoh di tempat umum itu, pegawai restoran lain malah menghentikannya. Mereka memperingati Hana untuk tidak ikut campur kalau tidak mau dip
Lelah. Ada banyak hal yang harus Jeremy urus hari ini dan tidak semuanya selesai. Persetan dengan mereka yang sudah pinjam uang, tetapi hilang saat ditagih. Beribu alasan dibuat untuk menghindar, padahal Jeremy hanya melakukan apa yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Mobil mewah yang dinaiki Jeremy berhenti tepat di depan anak tangga menuju pintu utama. Seorang datang dan membukakan pintu, kemudian Jeremy turun dan masuk ke dalam rumah miliknya. Pintu lebar yang sedari awal sudah terbuka menampilkan pemandangan anak kecil bernetra biru indah. Pandangannya yang berbinar menatap lurus Jeremy yang baru datang. “Apa lihat-lihat?!” tanya Jeremy galak. Anak lelaki yang baru tinggal beberapa minggu di sana nyaris menangis ketakutan. “Kakak—” Alan merengek memanggil-manggil kakaknya. Namun, dia hanya sendirian di situ. Entah di mana orang-orang yang bertugas menjaga anak kecil tersebut. Jeremy menurunkan egonya saat melihat Alan hampir menangis. Ia menepuk jidat, tidak habis pikir kare
“BERANI SEKALI KAMU MENINGGALKAN ANAK ITU SENDIRIAN DI RUMAH SAMPAI MALAM!!”Melihat Jeremy marah hebat membuat Hana benar-benar tidak bisa berkata apa pun lagi. Ia tahu dirinya salah, tetapi tidak biasanya Jeremy peduli tentang dirinya dan Alan. Tidak berhenti di sana, Jeremy bahkan membawa nama Evan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.Jeremy segara mendekat ke Hana dan mengangkat sebelah tangan tinggi. Tahu akan ditampar, wanita itu tetap memandang lurus pria yang marah di depannya tanpa rasa takut.Senyum cemooh tersungging di bibir Jeremy, tanda penghinaan secara dingin. Kaget sekaligus tidak percaya, seharusnya sejak awal dia tidak bersikap lunak kepada wanita tersebut. Sekarang Hana mirip pemberontak yang siap melayangkan bendera merah kepadanya.“Kamu mengabaikan anak itu seharian. Bukannya sulit bekerja di restoran sampai malam?”“Urus saja urusanmu sendiri.” Hana tahu arah pembicaraan ini.“Kalau saja kamu mau bekerja dengan tubuhmu. Kamu bisa dapat uang yang kamu p
Tidak terasa satu jam telah berlalu, Hana telah terbangun dari tidurnya yang tidak sengaja dan langsung duduk tegap. Di sampingnya ada anak lelaki tampan yang entah sejak kapan terus menatap handphone barunya. Layar mati, hanya tampak pantulan diri.Hana tidak bisa menahan rasa yang menggelitik di hati, kemudian tertawa terbahak saat melihat wajah lucu Alan yang kebingungan. Padahal Hana sudah beritahu tombol apa saja yang ditekan agar panggilan terhubung dengannya. Namun, sepertinya dia masih agak kaget dengan benda baru canggih itu.Sungguh menggemaskan. Tidak seperti anak lainnya yang antusias dengan handphone, dia justru sangat hati-hati.“Kenapa? Apa ada yang bikin kamu bingung?” tanya Hana sembari menyisir surai sang adik lembut.“Apa aku benar-benar butuh ini, Kak?”Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Namun, Hana tetap tenang dan angguk kepala tanda mengiyakan pertanyaan Alan.Setelah berulang kali memikirkannya, Hana sadar bahwa di rumah ini mereka bukanlah siapa-siapa selai
‘Beginilah akhir dari kehidupanku, mati tenggelam bersama seorang anak kecil!’ Sebuah tangan mungil menarik ujung baju yang dikenakan Hana. Sontak kepala menoleh, menatap seorang anak laki-laki tampan dengan netra biru bersinar. Wajah anak kecil itu tampak lesu, menatap sendu wanita dewasa di sampingnya yang nyaris gila. Kepala melengok ke arah jendela mobil kala terdengar suara ombak. Kedua mata Hana menatap lekat namun bergetar. Ia melihat hamparan laut yang luas, membentang indah dengan air berisi jutaan ikan. “Tolong hentikan mobilnya di sini, Pak.” Angin laut langsung menyambut mereka. Memeluk mesra tubuh Hana yang kaku, meningkatkan rasa sesak dan panas yang menjalar di dada. Pening dan gemetar yang semula mendera tubuh perlahan hilang ketika lihat deburan ombak kian menggila. Hana tidak lagi mendengar deburan ombak menggulung, maupun cuitan burung camar yang terbang di langit. Kesunyian menjadi musik yang menemani wanita berambut panjang tersebut. Sakit yang dirasakan telah
Akhirnya Hana menjadi seorang istri dari pria yang sama sekali tidak dicintai, bahkan tidak dikenalnya. Hana itu penakut, polos, dan rendah diri. Sementara Jeremy brutal, sombong, dan bos yang kejam. Dua kepribadian yang sangat kontras satu sama lain kini terikat oleh nasib yang tragis. Hidupnya menjadi lebih buruk dari hari ke hari. Jika saja hari itu Hana kabur lebih cepat, dia mungkin tidak akan merasakan perasaan ini, rasa cinta dan dendam yang berisi kebahagiaan dan penyiksaan. “Pastur pernah bertanya apa aku bersedia mencintai dan melindungimu, sekarang aku beritahu padamu jawabanku yang sebenarnya … .” Jeremy menjeda ucapannya. Perlahan mendekati Hana yang mematung di hadapannya. Mulut mendekati telinga Hana untuk berbisik, “… Aku tidak bersedia, sialan!” Setidaknya kini Hana tahu alasan Jeremy menawarkan pernikahan sebagai bentuk pembayaran utang adalah karena persyaratan warisan dari sang kakek, di mana dalam kurun waktu yang ditentukan Jeremy sudah harus menikah. Ia memil
Mereka bilang Hana sangat beruntung dan iri akan hal itu. Menikah dengan CEO sekaligus pewaris perusahaan besar menjadikan Hana sebagai wanita terberuntung yang mereka kenal, terlebih di mata mereka Jeremy adalah pria paling sempurna. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau Jeremy bahkan tidak pernah tersenyum di depan Hana setelah pernikahan. Yang ada hanya kekerasan verbal dan fisik, hanya … rasa sakit. “Wajahmu sudah jelek jadi tambah buruk rupa. Kamu tidak melakukan apa pun pada bengkak parah di wajahmu itu? Tidak pernah dengar yang namanya obat?” Hana menunduk sedih atas perkataan pria yang duduk di hadapannya. Sama sekali dia tak bertanya tentang kondisi Hana, apakah terasa sangat sakit atau nyeri, tidak sekali pun. Padahal semua luka yang diderita muncul karena pria tersebut. “Maaf, aku sudah menggunakan es batu untuk mengecilkan bengkaknya. Aku akan segera baik-baik saja,” balas Hana dengan nada suara rendah. Tidak seharusnya dia berpikir akan ada hal baik, dua menit
Tidak terasa satu jam telah berlalu, Hana telah terbangun dari tidurnya yang tidak sengaja dan langsung duduk tegap. Di sampingnya ada anak lelaki tampan yang entah sejak kapan terus menatap handphone barunya. Layar mati, hanya tampak pantulan diri.Hana tidak bisa menahan rasa yang menggelitik di hati, kemudian tertawa terbahak saat melihat wajah lucu Alan yang kebingungan. Padahal Hana sudah beritahu tombol apa saja yang ditekan agar panggilan terhubung dengannya. Namun, sepertinya dia masih agak kaget dengan benda baru canggih itu.Sungguh menggemaskan. Tidak seperti anak lainnya yang antusias dengan handphone, dia justru sangat hati-hati.“Kenapa? Apa ada yang bikin kamu bingung?” tanya Hana sembari menyisir surai sang adik lembut.“Apa aku benar-benar butuh ini, Kak?”Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Namun, Hana tetap tenang dan angguk kepala tanda mengiyakan pertanyaan Alan.Setelah berulang kali memikirkannya, Hana sadar bahwa di rumah ini mereka bukanlah siapa-siapa selai
“BERANI SEKALI KAMU MENINGGALKAN ANAK ITU SENDIRIAN DI RUMAH SAMPAI MALAM!!”Melihat Jeremy marah hebat membuat Hana benar-benar tidak bisa berkata apa pun lagi. Ia tahu dirinya salah, tetapi tidak biasanya Jeremy peduli tentang dirinya dan Alan. Tidak berhenti di sana, Jeremy bahkan membawa nama Evan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.Jeremy segara mendekat ke Hana dan mengangkat sebelah tangan tinggi. Tahu akan ditampar, wanita itu tetap memandang lurus pria yang marah di depannya tanpa rasa takut.Senyum cemooh tersungging di bibir Jeremy, tanda penghinaan secara dingin. Kaget sekaligus tidak percaya, seharusnya sejak awal dia tidak bersikap lunak kepada wanita tersebut. Sekarang Hana mirip pemberontak yang siap melayangkan bendera merah kepadanya.“Kamu mengabaikan anak itu seharian. Bukannya sulit bekerja di restoran sampai malam?”“Urus saja urusanmu sendiri.” Hana tahu arah pembicaraan ini.“Kalau saja kamu mau bekerja dengan tubuhmu. Kamu bisa dapat uang yang kamu p
Lelah. Ada banyak hal yang harus Jeremy urus hari ini dan tidak semuanya selesai. Persetan dengan mereka yang sudah pinjam uang, tetapi hilang saat ditagih. Beribu alasan dibuat untuk menghindar, padahal Jeremy hanya melakukan apa yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Mobil mewah yang dinaiki Jeremy berhenti tepat di depan anak tangga menuju pintu utama. Seorang datang dan membukakan pintu, kemudian Jeremy turun dan masuk ke dalam rumah miliknya. Pintu lebar yang sedari awal sudah terbuka menampilkan pemandangan anak kecil bernetra biru indah. Pandangannya yang berbinar menatap lurus Jeremy yang baru datang. “Apa lihat-lihat?!” tanya Jeremy galak. Anak lelaki yang baru tinggal beberapa minggu di sana nyaris menangis ketakutan. “Kakak—” Alan merengek memanggil-manggil kakaknya. Namun, dia hanya sendirian di situ. Entah di mana orang-orang yang bertugas menjaga anak kecil tersebut. Jeremy menurunkan egonya saat melihat Alan hampir menangis. Ia menepuk jidat, tidak habis pikir kare
Evan tidak bilang kalau restorannya juga disertai bar! Tapi tidak apalah, beruntung sejauh ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan bos. Hana hanya perlu menerima dan mengantar pesanan, serta membersihkan meja seusai digunakan pelanggan. Meskipun begitu, dia masih merasakan keanehan bekerja di rooftop bar dan restoran ini. Suasana di restoran ini terasa sangat santai dengan pemandangan luar biasa cakrawala kota. Saking santainya, Hana bisa dengar berbagai kata buruk yang dilontarkan para pelanggan. Yah, sebenarnya itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Hal terburuk adalah Hana melihat banyak pasangan yang saling berpagut bibir ketika suasana restoran mulai sepi pelanggan. Hana mungkin bisa bersabar dengan hal itu, tetapi kesabarannya hilang saat perlahan tangan pria mulai menjamah tubuh si wanita. Saat di mana Hana ingin menghentikan aksi tak senonoh di tempat umum itu, pegawai restoran lain malah menghentikannya. Mereka memperingati Hana untuk tidak ikut campur kalau tidak mau dip
Semua ini masalah ayah Hana. Jika orang itu bisa ditemukan, maka Hana tidak perlu menanggung semua utang seperti sekarang. Namun, sebuah pertanyaan baru timbul jika orang itu berhasil ditemukan. Apakah ayah Hana bisa melunasi seluruh utangnya? Firasat Hana mengatakan bahwa pada akhirnya dialah yang akan membayar utang. BAKK! Gelas ditaruh keras ke atas meja. Napas terengah karena berhasil menghabiskan air dalam sekali minum. Sorot kedua mata menatap tajam lurus ke luar jendela. Dalam hati tidak berhenti memaki karena rasa kesal yang sulit tertahan. “Anda baik-baik saja, Nona?” Kepala pelayan yang peduli bertanya pada Hana. “Aku harus berhasil menemukan ayahku, setidaknya aku bisa mengambil organnya dan menjualnya,” ucap Hana yang berbicara pada dirinya sendiri. Kepala pelayan langsung bergidik ngeri kala dengar perkataan tersebut. Ia pikir mereka tidak perlu berbuat sejauh itu, mengambil dan menjual organ bukanlah sesuatu yang bisa mereka lakukan. Kalaupun hanya candaan, itu tid
“Oke. Pilihannya adalah pelayan kafe dengan gaji sedikit atau … gaji besar dengan tinggal di rumah bordil dan hidup menghibur om-om pakai tubuhmu. Kamu … serius mau gaji yang besar?” Hana langsung melotot lebar dan menutup telinga Alan rapat-rapat. Pilihan pertama masuk akal, tetapi pilihan keduanya sangat gila. Ini sama saja seperti perkataan Jeremy hari itu! Pertama bekerja di kafe. Ini tempat yang cukup aman dan tidak ada yang namanya pelayanan khusus untuk menghibur om-om. Yang perlu Hana lakukan hanya menghidangkan pesanan lalu membersihkannya. Bayarannya kecil, tetapi Hana tidak akan kelelahan karena jam kerjanya sudah ditentukan. Tetapi kalau memilih pekerjaan ini, akan sulit bagi Hana untuk melunasi utang, apalagi bayar bunganya. Berbeda dengan pilihan kedua, di mana Hana akan dapat uang banyak dari mereka yang membayar. Hana bisa menyesuaikan harga dan melakukan apa yang pelanggan suka. Rumah bordil yang dicari oleh Evan adalah tempat yang cukup menjanjikan. Tempat itu tida
Sejak hari itu, Hana menjadi canggung tiap kali bertemu dengan Evan. Jangankan bertukar pandang, menatap wajah dari kejauhan saja sulit dilakukan oleh Hana. Padahal tidak ada hal besar yang Evan lakukan, namun seluruh kalimat yang pria itu lontarkan di taman terus terulang di benak Hana. “Apa … kamu butuh bantuan? Aku bisa membantumu keluar dari penderitaanmu.” Ah, Hana benar-benar dibuat bingung. Entah kenapa Evan mengatakan hal seperti itu dipertemuan kedua mereka. Bahkan tetangga Hana yang sudah 15 tahun kenal tidak pernah mengucapkannya. “HEI, AKU BICARA PADAMU!” Bentakan sekaligus dorongan di bahu menyadarkan Hana dari lamunan. Ia tersentak saat lihat Jeremy sudah ada tepat di hadapannya. Beruntung pria itu mendorong bahunya dengan satu jari dan tidak pakai kekuatan besar, kalau sebaliknya dia pasti sudah terduduk di lantai. “BERANI SEKALI KAMU MENGABAIKANKU!” PLAKK Lagi. Untuk kesekian kalinya Hana harus merasakan perih di pipi. Saking seringnya ditampar,
Mereka bilang Hana sangat beruntung dan iri akan hal itu. Menikah dengan CEO sekaligus pewaris perusahaan besar menjadikan Hana sebagai wanita terberuntung yang mereka kenal, terlebih di mata mereka Jeremy adalah pria paling sempurna. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau Jeremy bahkan tidak pernah tersenyum di depan Hana setelah pernikahan. Yang ada hanya kekerasan verbal dan fisik, hanya … rasa sakit. “Wajahmu sudah jelek jadi tambah buruk rupa. Kamu tidak melakukan apa pun pada bengkak parah di wajahmu itu? Tidak pernah dengar yang namanya obat?” Hana menunduk sedih atas perkataan pria yang duduk di hadapannya. Sama sekali dia tak bertanya tentang kondisi Hana, apakah terasa sangat sakit atau nyeri, tidak sekali pun. Padahal semua luka yang diderita muncul karena pria tersebut. “Maaf, aku sudah menggunakan es batu untuk mengecilkan bengkaknya. Aku akan segera baik-baik saja,” balas Hana dengan nada suara rendah. Tidak seharusnya dia berpikir akan ada hal baik, dua menit
Akhirnya Hana menjadi seorang istri dari pria yang sama sekali tidak dicintai, bahkan tidak dikenalnya. Hana itu penakut, polos, dan rendah diri. Sementara Jeremy brutal, sombong, dan bos yang kejam. Dua kepribadian yang sangat kontras satu sama lain kini terikat oleh nasib yang tragis. Hidupnya menjadi lebih buruk dari hari ke hari. Jika saja hari itu Hana kabur lebih cepat, dia mungkin tidak akan merasakan perasaan ini, rasa cinta dan dendam yang berisi kebahagiaan dan penyiksaan. “Pastur pernah bertanya apa aku bersedia mencintai dan melindungimu, sekarang aku beritahu padamu jawabanku yang sebenarnya … .” Jeremy menjeda ucapannya. Perlahan mendekati Hana yang mematung di hadapannya. Mulut mendekati telinga Hana untuk berbisik, “… Aku tidak bersedia, sialan!” Setidaknya kini Hana tahu alasan Jeremy menawarkan pernikahan sebagai bentuk pembayaran utang adalah karena persyaratan warisan dari sang kakek, di mana dalam kurun waktu yang ditentukan Jeremy sudah harus menikah. Ia memil