Semua ini masalah ayah Hana.
Jika orang itu bisa ditemukan, maka Hana tidak perlu menanggung semua utang seperti sekarang. Namun, sebuah pertanyaan baru timbul jika orang itu berhasil ditemukan. Apakah ayah Hana bisa melunasi seluruh utangnya?
Firasat Hana mengatakan bahwa pada akhirnya dialah yang akan membayar utang.
BAKK!
Gelas ditaruh keras ke atas meja. Napas terengah karena berhasil menghabiskan air dalam sekali minum. Sorot kedua mata menatap tajam lurus ke luar jendela. Dalam hati tidak berhenti memaki karena rasa kesal yang sulit tertahan.
“Anda baik-baik saja, Nona?” Kepala pelayan yang peduli bertanya pada Hana.
“Aku harus berhasil menemukan ayahku, setidaknya aku bisa mengambil organnya dan menjualnya,” ucap Hana yang berbicara pada dirinya sendiri.
Kepala pelayan langsung bergidik ngeri kala dengar perkataan tersebut. Ia pikir mereka tidak perlu berbuat sejauh itu, mengambil dan menjual organ bukanlah sesuatu yang bisa mereka lakukan. Kalaupun hanya candaan, itu tidak lucu.
Ah, sial.
Ada terlalu banyak hal yang Hana pikirkan sekarang, bahkan lebih banyak daripada saat sebelum bertemu Jeremy. Bukan cuma masalah dirinya, Jeremy dan Evan pun jadi bagian dari isi pikirannya saat ini. Dua bersaudara yang tidak pernah terlihat bersama itu tampak mencurigakan bagi Hana.
Jeremy dan Evan, mereka memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang. Jeremy selalu berpenampilan rapi dan perfeksionis, tetapi suka bermain dengan banyak wanita. Sementara Evan lebih seperti berandal, tetapi dia terlihat jauh lebih setia dibandingkan kakaknya. Sikap Evan bahkan sangat manis daripada Jeremy yang kasar.
“Apa yang Anda pikirkan, Nona?” tanya kepala pelayan. Ia takut wanita yang diajak bicaranya itu sudah memikirkan rencana untuk ambil organ orang lain.
“Ehm, Pak. Aku penasaran soal hubungan Jeremy dan Evan. Apa mereka memang tidak akur seperti yang aku lihat?”
Sang kepala pelayan baru saja membuka mulut, tiba-tiba Jeremy datang tanpa pemberitahuan. Ia tidak memberi salam sapa apa pun dan hanya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu tepat di depan Hana.
“Apa ini?” tanya Hana tidak mengerti. Ekspresinya terlihat kaget sekaligus kesal. Jelas tidak mau menerima lembaran uang tersebut.
“Tidak bisa lihat? Itu uang, bodoh!” Benar-benar khas Jeremy, kalau bicara dengan Hana pasti tidak pernah melawatkan kata umpatan atau makian.
Hana mendengkus sebal membuat Jeremy menatapnya tidak percaya. Baru kali ini dia melihat wanita yang tampak lemah itu seperti sedang melawannya.
“Aku tidak butuh, ambil saja,” kata Hana.
“Kamu mungkin tidak butuh, tapi Alan butuh. Jangan sok jual mahal padahal tidak punya uang. Ambil cepat!”
Hana tersinggung dengan kalimat yang dilontarkan Jeremy. Memang benar kalau dia tidak punya uang dan butuh, tetapi sulit baginya menerima karena bisa menambah utang. Semua yang dia dapatkan di rumah ini bisa jadi sudah masuk ke dalam list utang pada Jeremy.
Hana tetap pada pendiriannya, sedangkan Jeremy yang lelah sudah tidak mau tahu lagi.
Dalam pikiran kepala pelayan, jika dirinya jadi Hana pasti akan mengambil uang tersebut. Sangat jarang Jeremy memberikan uangnya secara percuma seperti saat ini, mungkin tidak pernah.
Jeremy menghela napas berat, kemudian berkata, “Kalau tidak mau juga, buang saja uangnya. Aku masih punya banyak.”
Setelah bicara sombong begitu, Jeremy berlalu pergi meninggalkan ruang dapur. Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun, benar-benar sudah tidak peduli apa Hana akan menerima pemberiannya atau tidak. Padahal dia sudah susah-susah peduli, tetapi tidak dihargai.
Langkahnya yang berat menuju ruang kerja pribadi. Ia duduk di tempat kesukaannya dan langsung memijat dahi yang pening, berpikir ulang tentang alasan dirinya bersikap baik kepada wanita tadi.
Memang harusnya bukan dia yang datang, lebih baik menyuruh anak buah yang melakukannya. Salah Jeremy yang keras kepala padahal sudah diperingatkan oleh beberapa anak buahnya.
Tidak lama kemudian, seorang pria yang mengenakan setelan jas dan in-ear di telinga masuk ke ruangan Jeremy. Proporsi tubuhnya yang sempurna berdiri tegap di depan meja pria yang menjadi bosnya.
“Anda memanggil saya, Tuan?” ucapnya.
“Kamu bilang jalang itu sedang mencari pekerjaan? Apa dia sudah mendapatkannya?”
Orang itu mulai menjelaskan apa yang terjadi di rumah selama dua minggu belakangan, terutama hari ini. Kisah menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut, bahkan orang-orang yang tidak sedang di rumah tahu kalau Evan datang siang tadi.
Jeremy tidak masalah dengan yang lain, tapi dia benci saat Evan datang ke rumahnya. Entah apa yang direncanakan Evan. Jeremy yang sangat mengenal Evan tentu tahu kalau ada yang aneh saat ini.
“Beritahu yang lain agar mengawasi Evan kalau dia datang lagi ke sini,” perintah Jeremy, dibalas kesiapan oleh sang anak buah.
Jeremy tidak tahu kalau ternyata Hana dekat dengan adiknya. Ia bahkan tidak tahu kalau mereka sudah saling mengenal. Dan tampaknya Hana penasaran soal hubungan kakak beradik ini, Jeremy tidak sengaja dengar pertanyaan Hana di dapur tadi.
“Menurutmu berapa lama jalang itu akan bekerja di restoran bergaji kecil?” Jeremy bertanya, anak buahnya berpikir untuk beberapa saat.
Menurutnya, karena ini masih awalan tentu Hana akan memberikan performa terbaik. Namun, tidak ada orang yang bisa bertahan dengan gaji kecil sementara ada utang besar yang harus segera dilunasi. Ia berbagi pikirannya ini dan sang bos tersenyum simpul setelahnya.
‘Itu dia! Aku tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Evan, tapi aku setuju dengan penawaran yang dia berikan,’ ucap Jeremy dalam hati.
Hana akan segera menjual dirinya jika dia hanya menerima gaji yang sangat kecil, bahkan untuk dibayarkan ke utang saja tidak mampu. Gajinya mungkin akan langsung habis untuk biaya hidup sehari-hari. Apalagi dia memiliki tanggungan anak kecil sekarang.
Padahal ada pekerjaan lain dengan gaji yang sangat besar. Jika memilihnya, dia pasti akan berpisah dengan Jeremy lebih cepat. Sayangnya dia memilih pekerjaan dengan gaji kecil.
‘Yah, mungkin dia suka berlama-lama hidup bersamaku,’ pikir Jeremy.
“Sepertinya Anda mulai beri perhatian pada wanita itu, Tuan,” ceplos sang anak buah tanpa berpikir. Sekilas lewat di kepala dan langsung mengungkapkannya. Buru-buru minta maaf, tidak mau si bos salah paham karena dikira ikut campur.
Sesaat Jeremy menatap kejam anak buahnya, seakan mengucap kalau dia akan membunuhnya kalau mengatakan hal sama.
“Bahkan orang naif perlu diperhatikan, jadi jangan bicara omong kosong lagi, sialan! … Aku hanya ingin dia melunasi utangnya dan segera pergi dari hidupku.”
Pokoknya cepat atau lambat, Hana akan segera menyadari apa yang seharusnya dia lakukan sejak awal. Hana yang sudah rapuh akan perlahan hancur, Jeremy hanya perlu memberikan sedikit tekanan lagi.
Evan tidak bilang kalau restorannya juga disertai bar! Tapi tidak apalah, beruntung sejauh ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan bos. Hana hanya perlu menerima dan mengantar pesanan, serta membersihkan meja seusai digunakan pelanggan. Meskipun begitu, dia masih merasakan keanehan bekerja di rooftop bar dan restoran ini. Suasana di restoran ini terasa sangat santai dengan pemandangan luar biasa cakrawala kota. Saking santainya, Hana bisa dengar berbagai kata buruk yang dilontarkan para pelanggan. Yah, sebenarnya itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Hal terburuk adalah Hana melihat banyak pasangan yang saling berpagut bibir ketika suasana restoran mulai sepi pelanggan. Hana mungkin bisa bersabar dengan hal itu, tetapi kesabarannya hilang saat perlahan tangan pria mulai menjamah tubuh si wanita. Saat di mana Hana ingin menghentikan aksi tak senonoh di tempat umum itu, pegawai restoran lain malah menghentikannya. Mereka memperingati Hana untuk tidak ikut campur kalau tidak mau dip
Lelah. Ada banyak hal yang harus Jeremy urus hari ini dan tidak semuanya selesai. Persetan dengan mereka yang sudah pinjam uang, tetapi hilang saat ditagih. Beribu alasan dibuat untuk menghindar, padahal Jeremy hanya melakukan apa yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Mobil mewah yang dinaiki Jeremy berhenti tepat di depan anak tangga menuju pintu utama. Seorang datang dan membukakan pintu, kemudian Jeremy turun dan masuk ke dalam rumah miliknya. Pintu lebar yang sedari awal sudah terbuka menampilkan pemandangan anak kecil bernetra biru indah. Pandangannya yang berbinar menatap lurus Jeremy yang baru datang. “Apa lihat-lihat?!” tanya Jeremy galak. Anak lelaki yang baru tinggal beberapa minggu di sana nyaris menangis ketakutan. “Kakak—” Alan merengek memanggil-manggil kakaknya. Namun, dia hanya sendirian di situ. Entah di mana orang-orang yang bertugas menjaga anak kecil tersebut. Jeremy menurunkan egonya saat melihat Alan hampir menangis. Ia menepuk jidat, tidak habis pikir kare
“BERANI SEKALI KAMU MENINGGALKAN ANAK ITU SENDIRIAN DI RUMAH SAMPAI MALAM!!”Melihat Jeremy marah hebat membuat Hana benar-benar tidak bisa berkata apa pun lagi. Ia tahu dirinya salah, tetapi tidak biasanya Jeremy peduli tentang dirinya dan Alan. Tidak berhenti di sana, Jeremy bahkan membawa nama Evan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.Jeremy segara mendekat ke Hana dan mengangkat sebelah tangan tinggi. Tahu akan ditampar, wanita itu tetap memandang lurus pria yang marah di depannya tanpa rasa takut.Senyum cemooh tersungging di bibir Jeremy, tanda penghinaan secara dingin. Kaget sekaligus tidak percaya, seharusnya sejak awal dia tidak bersikap lunak kepada wanita tersebut. Sekarang Hana mirip pemberontak yang siap melayangkan bendera merah kepadanya.“Kamu mengabaikan anak itu seharian. Bukannya sulit bekerja di restoran sampai malam?”“Urus saja urusanmu sendiri.” Hana tahu arah pembicaraan ini.“Kalau saja kamu mau bekerja dengan tubuhmu. Kamu bisa dapat uang yang kamu p
Tidak terasa satu jam telah berlalu, Hana telah terbangun dari tidurnya yang tidak sengaja dan langsung duduk tegap. Di sampingnya ada anak lelaki tampan yang entah sejak kapan terus menatap handphone barunya. Layar mati, hanya tampak pantulan diri.Hana tidak bisa menahan rasa yang menggelitik di hati, kemudian tertawa terbahak saat melihat wajah lucu Alan yang kebingungan. Padahal Hana sudah beritahu tombol apa saja yang ditekan agar panggilan terhubung dengannya. Namun, sepertinya dia masih agak kaget dengan benda baru canggih itu.Sungguh menggemaskan. Tidak seperti anak lainnya yang antusias dengan handphone, dia justru sangat hati-hati.“Kenapa? Apa ada yang bikin kamu bingung?” tanya Hana sembari menyisir surai sang adik lembut.“Apa aku benar-benar butuh ini, Kak?”Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Namun, Hana tetap tenang dan angguk kepala tanda mengiyakan pertanyaan Alan.Setelah berulang kali memikirkannya, Hana sadar bahwa di rumah ini mereka bukanlah siapa-siapa selai
‘Beginilah akhir dari kehidupanku, mati tenggelam bersama seorang anak kecil!’ Sebuah tangan mungil menarik ujung baju yang dikenakan Hana. Sontak kepala menoleh, menatap seorang anak laki-laki tampan dengan netra biru bersinar. Wajah anak kecil itu tampak lesu, menatap sendu wanita dewasa di sampingnya yang nyaris gila. Kepala melengok ke arah jendela mobil kala terdengar suara ombak. Kedua mata Hana menatap lekat namun bergetar. Ia melihat hamparan laut yang luas, membentang indah dengan air berisi jutaan ikan. “Tolong hentikan mobilnya di sini, Pak.” Angin laut langsung menyambut mereka. Memeluk mesra tubuh Hana yang kaku, meningkatkan rasa sesak dan panas yang menjalar di dada. Pening dan gemetar yang semula mendera tubuh perlahan hilang ketika lihat deburan ombak kian menggila. Hana tidak lagi mendengar deburan ombak menggulung, maupun cuitan burung camar yang terbang di langit. Kesunyian menjadi musik yang menemani wanita berambut panjang tersebut. Sakit yang dirasakan telah
Akhirnya Hana menjadi seorang istri dari pria yang sama sekali tidak dicintai, bahkan tidak dikenalnya. Hana itu penakut, polos, dan rendah diri. Sementara Jeremy brutal, sombong, dan bos yang kejam. Dua kepribadian yang sangat kontras satu sama lain kini terikat oleh nasib yang tragis. Hidupnya menjadi lebih buruk dari hari ke hari. Jika saja hari itu Hana kabur lebih cepat, dia mungkin tidak akan merasakan perasaan ini, rasa cinta dan dendam yang berisi kebahagiaan dan penyiksaan. “Pastur pernah bertanya apa aku bersedia mencintai dan melindungimu, sekarang aku beritahu padamu jawabanku yang sebenarnya … .” Jeremy menjeda ucapannya. Perlahan mendekati Hana yang mematung di hadapannya. Mulut mendekati telinga Hana untuk berbisik, “… Aku tidak bersedia, sialan!” Setidaknya kini Hana tahu alasan Jeremy menawarkan pernikahan sebagai bentuk pembayaran utang adalah karena persyaratan warisan dari sang kakek, di mana dalam kurun waktu yang ditentukan Jeremy sudah harus menikah. Ia memil
Mereka bilang Hana sangat beruntung dan iri akan hal itu. Menikah dengan CEO sekaligus pewaris perusahaan besar menjadikan Hana sebagai wanita terberuntung yang mereka kenal, terlebih di mata mereka Jeremy adalah pria paling sempurna. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau Jeremy bahkan tidak pernah tersenyum di depan Hana setelah pernikahan. Yang ada hanya kekerasan verbal dan fisik, hanya … rasa sakit. “Wajahmu sudah jelek jadi tambah buruk rupa. Kamu tidak melakukan apa pun pada bengkak parah di wajahmu itu? Tidak pernah dengar yang namanya obat?” Hana menunduk sedih atas perkataan pria yang duduk di hadapannya. Sama sekali dia tak bertanya tentang kondisi Hana, apakah terasa sangat sakit atau nyeri, tidak sekali pun. Padahal semua luka yang diderita muncul karena pria tersebut. “Maaf, aku sudah menggunakan es batu untuk mengecilkan bengkaknya. Aku akan segera baik-baik saja,” balas Hana dengan nada suara rendah. Tidak seharusnya dia berpikir akan ada hal baik, dua menit
Sejak hari itu, Hana menjadi canggung tiap kali bertemu dengan Evan. Jangankan bertukar pandang, menatap wajah dari kejauhan saja sulit dilakukan oleh Hana. Padahal tidak ada hal besar yang Evan lakukan, namun seluruh kalimat yang pria itu lontarkan di taman terus terulang di benak Hana. “Apa … kamu butuh bantuan? Aku bisa membantumu keluar dari penderitaanmu.” Ah, Hana benar-benar dibuat bingung. Entah kenapa Evan mengatakan hal seperti itu dipertemuan kedua mereka. Bahkan tetangga Hana yang sudah 15 tahun kenal tidak pernah mengucapkannya. “HEI, AKU BICARA PADAMU!” Bentakan sekaligus dorongan di bahu menyadarkan Hana dari lamunan. Ia tersentak saat lihat Jeremy sudah ada tepat di hadapannya. Beruntung pria itu mendorong bahunya dengan satu jari dan tidak pakai kekuatan besar, kalau sebaliknya dia pasti sudah terduduk di lantai. “BERANI SEKALI KAMU MENGABAIKANKU!” PLAKK Lagi. Untuk kesekian kalinya Hana harus merasakan perih di pipi. Saking seringnya ditampar,
Tidak terasa satu jam telah berlalu, Hana telah terbangun dari tidurnya yang tidak sengaja dan langsung duduk tegap. Di sampingnya ada anak lelaki tampan yang entah sejak kapan terus menatap handphone barunya. Layar mati, hanya tampak pantulan diri.Hana tidak bisa menahan rasa yang menggelitik di hati, kemudian tertawa terbahak saat melihat wajah lucu Alan yang kebingungan. Padahal Hana sudah beritahu tombol apa saja yang ditekan agar panggilan terhubung dengannya. Namun, sepertinya dia masih agak kaget dengan benda baru canggih itu.Sungguh menggemaskan. Tidak seperti anak lainnya yang antusias dengan handphone, dia justru sangat hati-hati.“Kenapa? Apa ada yang bikin kamu bingung?” tanya Hana sembari menyisir surai sang adik lembut.“Apa aku benar-benar butuh ini, Kak?”Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Namun, Hana tetap tenang dan angguk kepala tanda mengiyakan pertanyaan Alan.Setelah berulang kali memikirkannya, Hana sadar bahwa di rumah ini mereka bukanlah siapa-siapa selai
“BERANI SEKALI KAMU MENINGGALKAN ANAK ITU SENDIRIAN DI RUMAH SAMPAI MALAM!!”Melihat Jeremy marah hebat membuat Hana benar-benar tidak bisa berkata apa pun lagi. Ia tahu dirinya salah, tetapi tidak biasanya Jeremy peduli tentang dirinya dan Alan. Tidak berhenti di sana, Jeremy bahkan membawa nama Evan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.Jeremy segara mendekat ke Hana dan mengangkat sebelah tangan tinggi. Tahu akan ditampar, wanita itu tetap memandang lurus pria yang marah di depannya tanpa rasa takut.Senyum cemooh tersungging di bibir Jeremy, tanda penghinaan secara dingin. Kaget sekaligus tidak percaya, seharusnya sejak awal dia tidak bersikap lunak kepada wanita tersebut. Sekarang Hana mirip pemberontak yang siap melayangkan bendera merah kepadanya.“Kamu mengabaikan anak itu seharian. Bukannya sulit bekerja di restoran sampai malam?”“Urus saja urusanmu sendiri.” Hana tahu arah pembicaraan ini.“Kalau saja kamu mau bekerja dengan tubuhmu. Kamu bisa dapat uang yang kamu p
Lelah. Ada banyak hal yang harus Jeremy urus hari ini dan tidak semuanya selesai. Persetan dengan mereka yang sudah pinjam uang, tetapi hilang saat ditagih. Beribu alasan dibuat untuk menghindar, padahal Jeremy hanya melakukan apa yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Mobil mewah yang dinaiki Jeremy berhenti tepat di depan anak tangga menuju pintu utama. Seorang datang dan membukakan pintu, kemudian Jeremy turun dan masuk ke dalam rumah miliknya. Pintu lebar yang sedari awal sudah terbuka menampilkan pemandangan anak kecil bernetra biru indah. Pandangannya yang berbinar menatap lurus Jeremy yang baru datang. “Apa lihat-lihat?!” tanya Jeremy galak. Anak lelaki yang baru tinggal beberapa minggu di sana nyaris menangis ketakutan. “Kakak—” Alan merengek memanggil-manggil kakaknya. Namun, dia hanya sendirian di situ. Entah di mana orang-orang yang bertugas menjaga anak kecil tersebut. Jeremy menurunkan egonya saat melihat Alan hampir menangis. Ia menepuk jidat, tidak habis pikir kare
Evan tidak bilang kalau restorannya juga disertai bar! Tapi tidak apalah, beruntung sejauh ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan bos. Hana hanya perlu menerima dan mengantar pesanan, serta membersihkan meja seusai digunakan pelanggan. Meskipun begitu, dia masih merasakan keanehan bekerja di rooftop bar dan restoran ini. Suasana di restoran ini terasa sangat santai dengan pemandangan luar biasa cakrawala kota. Saking santainya, Hana bisa dengar berbagai kata buruk yang dilontarkan para pelanggan. Yah, sebenarnya itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Hal terburuk adalah Hana melihat banyak pasangan yang saling berpagut bibir ketika suasana restoran mulai sepi pelanggan. Hana mungkin bisa bersabar dengan hal itu, tetapi kesabarannya hilang saat perlahan tangan pria mulai menjamah tubuh si wanita. Saat di mana Hana ingin menghentikan aksi tak senonoh di tempat umum itu, pegawai restoran lain malah menghentikannya. Mereka memperingati Hana untuk tidak ikut campur kalau tidak mau dip
Semua ini masalah ayah Hana. Jika orang itu bisa ditemukan, maka Hana tidak perlu menanggung semua utang seperti sekarang. Namun, sebuah pertanyaan baru timbul jika orang itu berhasil ditemukan. Apakah ayah Hana bisa melunasi seluruh utangnya? Firasat Hana mengatakan bahwa pada akhirnya dialah yang akan membayar utang. BAKK! Gelas ditaruh keras ke atas meja. Napas terengah karena berhasil menghabiskan air dalam sekali minum. Sorot kedua mata menatap tajam lurus ke luar jendela. Dalam hati tidak berhenti memaki karena rasa kesal yang sulit tertahan. “Anda baik-baik saja, Nona?” Kepala pelayan yang peduli bertanya pada Hana. “Aku harus berhasil menemukan ayahku, setidaknya aku bisa mengambil organnya dan menjualnya,” ucap Hana yang berbicara pada dirinya sendiri. Kepala pelayan langsung bergidik ngeri kala dengar perkataan tersebut. Ia pikir mereka tidak perlu berbuat sejauh itu, mengambil dan menjual organ bukanlah sesuatu yang bisa mereka lakukan. Kalaupun hanya candaan, itu tid
“Oke. Pilihannya adalah pelayan kafe dengan gaji sedikit atau … gaji besar dengan tinggal di rumah bordil dan hidup menghibur om-om pakai tubuhmu. Kamu … serius mau gaji yang besar?” Hana langsung melotot lebar dan menutup telinga Alan rapat-rapat. Pilihan pertama masuk akal, tetapi pilihan keduanya sangat gila. Ini sama saja seperti perkataan Jeremy hari itu! Pertama bekerja di kafe. Ini tempat yang cukup aman dan tidak ada yang namanya pelayanan khusus untuk menghibur om-om. Yang perlu Hana lakukan hanya menghidangkan pesanan lalu membersihkannya. Bayarannya kecil, tetapi Hana tidak akan kelelahan karena jam kerjanya sudah ditentukan. Tetapi kalau memilih pekerjaan ini, akan sulit bagi Hana untuk melunasi utang, apalagi bayar bunganya. Berbeda dengan pilihan kedua, di mana Hana akan dapat uang banyak dari mereka yang membayar. Hana bisa menyesuaikan harga dan melakukan apa yang pelanggan suka. Rumah bordil yang dicari oleh Evan adalah tempat yang cukup menjanjikan. Tempat itu tida
Sejak hari itu, Hana menjadi canggung tiap kali bertemu dengan Evan. Jangankan bertukar pandang, menatap wajah dari kejauhan saja sulit dilakukan oleh Hana. Padahal tidak ada hal besar yang Evan lakukan, namun seluruh kalimat yang pria itu lontarkan di taman terus terulang di benak Hana. “Apa … kamu butuh bantuan? Aku bisa membantumu keluar dari penderitaanmu.” Ah, Hana benar-benar dibuat bingung. Entah kenapa Evan mengatakan hal seperti itu dipertemuan kedua mereka. Bahkan tetangga Hana yang sudah 15 tahun kenal tidak pernah mengucapkannya. “HEI, AKU BICARA PADAMU!” Bentakan sekaligus dorongan di bahu menyadarkan Hana dari lamunan. Ia tersentak saat lihat Jeremy sudah ada tepat di hadapannya. Beruntung pria itu mendorong bahunya dengan satu jari dan tidak pakai kekuatan besar, kalau sebaliknya dia pasti sudah terduduk di lantai. “BERANI SEKALI KAMU MENGABAIKANKU!” PLAKK Lagi. Untuk kesekian kalinya Hana harus merasakan perih di pipi. Saking seringnya ditampar,
Mereka bilang Hana sangat beruntung dan iri akan hal itu. Menikah dengan CEO sekaligus pewaris perusahaan besar menjadikan Hana sebagai wanita terberuntung yang mereka kenal, terlebih di mata mereka Jeremy adalah pria paling sempurna. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau Jeremy bahkan tidak pernah tersenyum di depan Hana setelah pernikahan. Yang ada hanya kekerasan verbal dan fisik, hanya … rasa sakit. “Wajahmu sudah jelek jadi tambah buruk rupa. Kamu tidak melakukan apa pun pada bengkak parah di wajahmu itu? Tidak pernah dengar yang namanya obat?” Hana menunduk sedih atas perkataan pria yang duduk di hadapannya. Sama sekali dia tak bertanya tentang kondisi Hana, apakah terasa sangat sakit atau nyeri, tidak sekali pun. Padahal semua luka yang diderita muncul karena pria tersebut. “Maaf, aku sudah menggunakan es batu untuk mengecilkan bengkaknya. Aku akan segera baik-baik saja,” balas Hana dengan nada suara rendah. Tidak seharusnya dia berpikir akan ada hal baik, dua menit
Akhirnya Hana menjadi seorang istri dari pria yang sama sekali tidak dicintai, bahkan tidak dikenalnya. Hana itu penakut, polos, dan rendah diri. Sementara Jeremy brutal, sombong, dan bos yang kejam. Dua kepribadian yang sangat kontras satu sama lain kini terikat oleh nasib yang tragis. Hidupnya menjadi lebih buruk dari hari ke hari. Jika saja hari itu Hana kabur lebih cepat, dia mungkin tidak akan merasakan perasaan ini, rasa cinta dan dendam yang berisi kebahagiaan dan penyiksaan. “Pastur pernah bertanya apa aku bersedia mencintai dan melindungimu, sekarang aku beritahu padamu jawabanku yang sebenarnya … .” Jeremy menjeda ucapannya. Perlahan mendekati Hana yang mematung di hadapannya. Mulut mendekati telinga Hana untuk berbisik, “… Aku tidak bersedia, sialan!” Setidaknya kini Hana tahu alasan Jeremy menawarkan pernikahan sebagai bentuk pembayaran utang adalah karena persyaratan warisan dari sang kakek, di mana dalam kurun waktu yang ditentukan Jeremy sudah harus menikah. Ia memil