Keesokan harinya, Raccel meminta pada Nicholas untuk diantarkan ke tempat toko bunga milik Elsa. Mereka berdua masuk ke dalam toko bunga itu. Kedatangan Raccel disambut dengan sangat hangat oleh Elsa. "Ya ampun Raccel, kau sampai repot-repot datang ke tokoku. Maaf ya, tempatku sangat berantakan. Pesanan bungaku baru saja datang," ujar Elsa mengangkat beberapa kerdus berisi kertas bouquet bunga. "Iya Elsa, tidak papa kok..." Raccel tersenyum manis dan duduk di sebuah kursi. "Elsa bekerja di sini dengan siapa?" tanya Raccel. "Aku sendirian saja, Raccel." Elsa tersenyum manis memberikan sebotol air mineral di hadapan Raccel. "Raccel mau aku pesankan kue di depan? Atau mau makan yang lainnya?" "Ohh ... tidak usah repot-repot, aku ke sini hanya ingin berkunjung saja," jawab Raccel. "Sejak semalam aku masih ingin mengobrol denganmu.""Ya ampun Raccel ... maaf ya, semalam aku ada urusan mendadak," ungkap Elsa, meskipun dia sebenarnya berbohong. Raccel hanya diam dan menundukkan kepala
Raccel dan Elsa menghabiskan waktu bersama dengan bercerita. Dan Raccel di sana merasa tidak bosan sama sekali. Dia asyik membantu Elsa merapikan bunga-bunga. Raccel bagian merapikan kelopak bunga. Sambil duduk dan bersantai, sedangkan Elsa mondar-mandir meladeni para pelanggan. "Raccel, aku pesankan makanan lagi," ujar Elsa masuk ke dalam toko membawa dua hamburger dan sebuah pizza di dalam box. Raccel langsung menoleh dengan kedua mata berbinar-binar. Setelah siang tadi Elsa mentraktir salad dan makanan lainnya, sore ini dia membeli lagi untuk Raccel. "Ya ampun Elsa, kenapa kau harus repot-repot seperti ini, sih?" tanya Raccel menatap teman barunya tersebut. Elsa terkekeh gemas. "Tidak papa, Raccel. Justru aku merasa senang dengan kedatanganmu di sini, kau membantuku memetik kelopak bunga yang layu, dan mau menemaniku seharian ini," ujar Elsa meletakkan makanan itu di hadapan Raccel. Senyuman hangat terukir di bibir Raccel, barulah gadis itu mengambil sepotong pizza setelah El
"Daddy ingin kau segera menikahi Elsa dalam waktu dekat ini, Cassel!" Kata-kata penuh perintah itu terucap dengan tegas dari bibir Damien, pada Cassel yang tengah duduk di hadapannya. Jelas saja, putranya itu langsung berdecak dan menggelengkan kepala. "Dad, aku sama sekali tidak menyukai Elsa, Dad! Yang aku sukai itu Luna, Kakaknya! Bukan Elsa!" pekik Cassel dengan wajah kesal. "Cassel ... dengarkan Daddy-mu bicara dulu," ujar Dalena menatap lekat wajah putra yang sudah bingung membangkang. Barulah Cassel diam menatap sang Daddy, pemuda itu siap mendengarkan apapun, meskipun hatinya tetap kuekeh menolak. Damien mengembuskan napas panjang. "Dengar Cassel, wanita yang kau cintai ... Luna itu berusia lima tahun lebih tua darimu! Dia juga bercerai dengan suaminya dan sampai detik ini belum tuntas!" "Daddy, tapi cinta tidak dipaksakan, Dad!" seru Cassel mengusap wajahnya kasar. "Terserah!" sentak Damien seketika. Laki-laki itu langsung memasang wajah marah dan berdiri dengan tanga
Keesokan harinya, Elsa pergi untuk bertemu dengan Mamanya di sebuah rumah makan. Gadis itu benar-benar dipaksa oleh Vania untuk menemaninya makan siang. Hingga Elsa bisa tidak datang ke tempat di mana mereka membuat janji.Elsa yang sedang tenang berjalan, tiba-tiba gadis itu melihat Mamanya di dalam rumah makan itu bersama dengan seorang wanita dan juga pemuda dengan balutan kemeja biru yang sedang duduk di sana."Sayang! Mama di sini!" pekik Vania melambaikan tangannya pada Elsa. Laki-laki tampan itu pun menoleh. Cassel benar-benar sosok tampan sempurna. Elsa yang menatap mereka, gadis itu meremas tas yang dia pakai dan berjalan mendekati mereka semua di sana. Vania pun tersebar dengan kedatangan Elsa. Wanita itu menatap Dalena dan Cassel di depannya. "Ini Elsa sudah datang," ujar Vania tersenyum. "Wahh, cantik sekali, Elsa ... rambutmu bagus sekali, Nak," ujar Dalena memuji rambut cokelat terang milik Elsa.Gadis itu tersenyum manis sambil menarik kursi dan duduk berhadapan d
Sepulang dari bertemu dengan Mamanya Cassel, saat itu juga Vania mengajak Elsa pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Vania mengajak Elsa duduk bersama Teddy juga di sana. Mereka benar-benar sangat berharap besar pada Elsa untuk mau menerima lamaran dari Keluarga Escalante. "Sayang, apa tadi Cassel benar-benar pergi ke rumah sakit?" tanya Vania menatap putri angkatnya yang hanya diam sejak tadi. "Iya Ma, Cassel sangat sibuk, jadi dia berpamitan untuk pergi." "Kau tidak bohong pada Mama kan, Elsa?" tanya Vania sekali lagi. Elsa menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu selalu menundukkan kepalanya dan dia sangat menghormati kedua orang tua angkatnya ini. "Bagus kalau kalian berdua sudah sangat dekat, Papa akan bicara dengan Om Damien mengenai pernikahan kalian berdua ke depannya," ujar Teddy tersenyum senang. "Pe-pernikahan?" cicit Elsa menatap Papanya. "Iya. Kalian akan menikah, kalau kalian semakin dekat, kemungkinan bulan depan kalian harus menikah, Nak," jelas Teddy.Elsa
Sesampainya di rumah sakit, Elsa menangis memeluk Mamanya. Sedangkan Papanya dibawa masuk ke dalam ruang perawatan oleh dokter. Gadis itu tidak berhenti meminta Mamanya untuk tenang, meskipun Elsa sendiri juga sangat takut dan cemas akan kondisi Papanya. "Mama jangan menangis lagi, Ma ... kita berdoa supaya Papa cepat sembuh ya, Ma," ujar gadis itu. "Iya Sayang." Vania memeluk putrinya dengan erat.Hingga tak berselang lama, seorang dokter suster muncul di sana. "Apa ada anggota keluarga? Boleh minta tanda tangannya sebentar untuk mengurus berkas rumah sakit," ujar seorang suster. "Saya dok, saya anaknya!" seru Elsa. "Baiklah, mari silakan..." Elsa berjalan ke depan mengikuti suster, sementara Mamanya sendiri dan membiarkan Elsa yang mengurus semuanya. Gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisik para dokter di dalam sana. "Silakan mengisi beberapa biodata pasien, dan juga Nona tanda tangan di sini," ujar suster itu sebelum meninggalkan Elsa yang tengah mengisi lampir
Elsa tertidur di ruang tunggu dan menyandarkan kepalanya di pundak sang Mama. Bahkan Vania juga terlihat sangat kelelahan menunggu berjam-jam. Hingga akhirnya Cassel muncul dari dalam ruang operasi dan berjalan mendekati Elsa. Laki-laki itu menatap Elsa yang tertidur memeluk Mamanya, hal ini membuat Cassel kembali mengingat adik kembarannya, Raccel. Perlahan Cassel mendekati Elsa, dokter muda itu menyentuh pundak Elsa dengan lembut."El—""Hah..!" Elsa memekik kaget, gadis itu mendongak menatap Cassel yang kini berdiri di hadapannya. "Cassel, bagaimana dengan Papa?" Cassel mengembuskan napasnya pelan. Dia memperhatikan wajah lelah Elsa dengan tatapan lekat. Sedangkan Vania hanya diam dan menunggu jawaban Cassel, setelah wanita itu juga ikut ketiduran. "Operasinya berjalan dengan lancar, sekarang tinggal menunggu Papamu sadar dan pemulihannya," jelas Cassel pada Elsa. Gadis itu menatap sang Mama dan mereka langsung berpelukan. "Syukurlah ... terima kasih banyak, Cassel. Tante sa
Cassel masih bersama dengan Luna pagi ini, laki-laki itu diminta untuk mengobati luka memar di sudut bibir Luna akibat tamparan keras yang Teddy berikan pada putrinya tersebut. Karena ini masih terlalu pagi untuk jadwal bekerja mereka, hingga mereka menyempatkan waktu untuk mengobrol. "Kenapa?" tanya Luna tiba-tiba, dia terdiam menatap Cassel. "Hei..." Cassel menatap wajah cantik Luna lekat-lekat, tidak berbohong Cassel sangat menyukai dan mencintai wanita ini, namun kesalnya kenapa Luna justru memiliki sifat seperti itu?Kenapa dia berbohong? Kenapa dia mabuk? Kenapa dia membuat Papanya sampai masuk rumah sakit dan hampir meregang nyawa? Kenapa dia juga menyalahkan Elsa atas semua kesalahannya?!Cassel meletakkan bola-bola kapas di dalam sebuah wajah, dia menghela napasnya pelan. "Semalam kau dari mana? Kenapa telfonku tidak kau jawab?" tanya Cassel. "Aku ... aku ada di tempat Jessy," dusta Luna. "Kau mabuk-mabukan di sana?" tanya Cassel merapikan beberapa botol obat. "Atau kei