Hari ini adalah jadwal Rere pergi ke toko bunga. Seperti biasa, orang-orang berdatangan ke toko. “Permisi,” ujar seorang pria di depan Rere.
Rere mengalihkan pandanganya, sedikit terkejut melihat pria di depannya itu karena merasa tidak asing dengan wajahnya. “Ya. Ada yang bisa kubantu?”“Aku ingin membeli bunga, hanya saja aku tidak paham bunga apa yang cocok.”“Bunganya ingin kamu berikan untuk siapa?”“Kekasihku, dia sedang sakit dan aku berniat untuk menjenguknya.”“Bagaimana dengan bunga krisan? Aku akan memadukannya dengan mawar merah.”Pria itu mengangguk setuju. “Jika boleh tau, apa artinya dari bunga krisan?”“Bunga krisan memiliki warna cerah yang melambangkan rasa empati dan juga harapan umur panjang,” ujar Rere. “Jadi, memberikannya bunga krisan adalah pilihan yang tepat karena memberikan harapan orang yang sedang sakit akan segera sembuh dan berumur panjang.”“Lalu mawar, karena bunga itu melambanAres terbangun dari tidurnya, merasakan sedikit pening di kepala. Ia meraih ponselnya yang berada di atas meja. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, saat melihat banyak notif panggilan tidak terjawab dari Rere. Lalu 1 pesan dari gadis itu.Rere: Kak Ares, bisakah kamu ke toko bunga sekarang? Pesan itu ditujukan padanya pukul 22.00, itu di saat dirinya sudah tidur. Tapi yang menjadi pertanyaannya, apakah Rere masih di toko bunga selarut itu? Lalu, di mana Pras dan juga bodyguard yang ia pekerjakan. Tanpa banyak bicara, Ares langsung saja turun dari kasur. Ia melirik ke arah Raisa yang masih terlelap. Nanti ia akan mengabari kekasihnya itu melalui pesan singkat saja. Yang terpenting sekarang adalah mengecek toko bunga. Ares melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Untung saja, keadaan jalan masih sangat sepi karena pagi baru menunjukkan pukul 04.30. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai. Saat sudah turun dari mobil, Ares tid
Seperti yang diusulkan oleh Steven, tiga hari setelah Rere merasa lebih baik, Ares langsung mengajak gadis itu itu pergi berlibur sekalian menyembuhkan dirinya. Mereka sudah sampai di Mürren, Swiss. Ares juga sudah menyewa satu rumah untuk mereka tinggali selama mereka di sini. "Kak ... bagaimana dengan pekerjaanmu? Kamu meninggalkannya.""Tidak perlu memikirkan pekerjaanku, Re," ujar Ares mengusap-usap kepala Rere. "Nikmati saja waktu kita di sini. Jangan biarkan pikiran-pikiran jelek atau tidak berguna, mengganggu."Rere mengangguk, tersenyum hangat. "Sejak dulu aku ingin sekali ke Swiss," ujarnya curhat. "Akhirnya, keinginan itu tercapai sekarang.""Kenapa ingin ke Swiss?" tanya Ares menanggapi."Karena keindahan alamnya. Negara ini sangat-sangat cantik, tenang, nyaman, dan membuat damai," balas Rere. "Aku bahkan juga ingin, suatu saat nanti tinggal di sini." Ares mengangguk setuju dengan kalimat Rere. "Swiss memang cocok dengan kepri
Sebenarnya, Ares ingin mengajak Rere bermain ski. Tetapi, melihat kondisi wanita itu yang agak sulit untuk berjalan lama-lama membuat Ares tidak tega. Alhasil, sekarang mereka hanya bermain salju di depan rumah. Rere masih sibuk dengan aktivitasnya membuat boneka salju, sedangkan Ares—pria itu memperhatikan Rere dengan mengabadikan momen yang ada di depannya dengan kamera yang ia pegang. “Lihatlah ke sini, Re.” Ares memberi instruksi. Rere langsung mendongak, ia tersenyum lebar saat Ares mengarahkan kamera di hadapannya. Beberapa jepretan sudah Ares dapatkan dengan Rere yang selalu berganti gaya. Setelah itu, Rere melanjutkan aktivitasnya membuat boneka salju yang hampir selesai.“Ayo, foto bersamaku. Lihatlah ke sini!” ujar Ares. Ia mendekat ke arah Rere, lalu mengarahkan kameranya ke mereka dan mengambil foto. Sembari menunggu Rere bermain salju, Ares memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang jaraknya tidak jauh dari Rere. Ia melihat-lihat foto
“Kak Ares, tangkap aku!” Rere berselancar di atas tumpukan salju. Sesuai yang dikatakan oleh Ares jika mereka akan bermain ski. Wanita itu tertawa lebar, membuat Ares yang berada di bawah ikut tersenyum hangat melihat tawa Rere. Lalu dengan sigap, Ares merentangkan tangannya saat jarak Rere dengannya sudah dekat. Hingga beberapa detik kemudian, tubuh Rere menubruk tubuh Ares membuat mereka terjatuh. Ares langsung memeluk Rere, melindungi wanita itu. Menyadari apa yang baru saja terjadi, mereka tertawa bersama. Rere benar-benar menikmati momen bersama Ares setiap detiknya. Entah kapan semua ini akan terjadi lagi. “Woah, ini sangat menyenangkan!” seru Rere dengan senyum lebarnya.Mereka terlentang di atas salju. Sembari menatap ke arah langit yang terlihat cerah. “Kak ... kita sudah menikah selama tujuh tahun. Aku ingin mengetahui tentang dirimu lebih jauh, apakah boleh?” Rere membuka percakapan, setelah mereka hening untuk beberapa saat. Mendengar pertanyaan Rere,
Seorang wanita sedang menikmati rokoknya, sembari duduk di salah satu bangku yang ada di taman. Ia sedang menunggu seseorang. "Excuse me. Kau Nyonya Admaja?" tanya seorang gadis kecil dengan rambut pirangnya. Wanita itu tersenyum, mengangguk. Ia melepas kaca matanya. "Kau Josephine?""Ya, Nyonya.""Bagaimana Josephine, sudah memberikannya?" tanya Nyonya Admaja itu pada gadis kecil di depannya.Gadis kecil bernama Josephine itu mengangguk. Ia tersenyum lebar, lalu menodongkan kedua tangannya pada wanita dewasa di depannya. "Aku sudah melakukan sesuai apa yang kau perintahkan. Lalu mana upahnya, Nyonya?" Wanita itu terkekeh, mengangguk. Tangannya merogoh tas untuk mengambil dompet, membukanya. Ia mengambil beberapa lembar uang berjumlah 350 Franc Swiss, lalu memberikannya pada Josephine. "Ini untukmu," ujarnya.Josephine menerima, lalu tersenyum. "Thanks." "Your welcome. Ah, jika aku membutuhkan bantuanmu lagi
Kavita dan pak Gio sudah sampai di rumah yang Ares dan Rere tinggali selama di Swiss. "Silakan diminum dan dinikmati makanannya, Paman, Kavita." Rere datang dengan membawa beberapa makanan dan juga minuman untuk dihidangkan pada kedua tamu Ares. "Terima kasih, nak Rere," ujar pak Gio."Terima kasih, Re," ujar Kavita bersamaan dengan pak Gio.Rere tersenyum, mengangguk. Setelah itu ia pamit undur diri dan tidak berselang lama, Ares datang ikut bergabung dengan pak Gio dan Kavita."Bagaimana keadaan kantor, semua baik-baik saja?" tanya Ares. Meskipun sedang berada di negara yang berbeda, tentu saja Ares tetap mengurus semua pekerjaan-pekerjaan kantor secara online atau mengutus pak Gio dan Kavita untuk datang ke Swiss. Lalu bagaimana jika ada rapat? Tentu dilakukan secara daring. Mereka berdiskusi membahas masalah pekerjaan dengan serius. Sesekali menikmati hidangan yang sudah disediakan oleh Rere. Tidak terasa, sudah 4 jam berlalu, Ares
“Hai, siapa namamu?” Seorang wanita dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya itu menyapa seorang gadis kecil yang sedang berjaga di tempat penjual permen kapas. “Ya? Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis kecil itu tanpa menjawab siapa namanya.“Aku membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu. “Panggil saja aku Kirana.”“Oke, baiklah Nona Kirana. Apa yang perlu kubantu?”“Perkenalkan terlebih dulu, siapa namamu, cantik?”“Josephine.”“Ah, Josephine. Nama yang cantik,” ujar wanita itu berbasa-basi. “Thank you.”“Bisakah kau memberi coklat ini pada seseorang?” tanya wanita itu pada Josephine. “Siapa?” “Temanku, kau bisa menemuinya di mini market dekat taman. Yang ada di seberang sana,” ujarnya menjelaskan sembari menunjuk salah satu mini market yang dimaksud.“Kenapa tidak memberikannya sendiri, kau bilang dia adalah temanmu?”Wanita itu tersenyum ramah. “Dia belum menge
Akhirnya, jadwal ke Zürich diundur karena permintaan Rere yang ingin bertemu dengan Josephine. Namun sayangnya, mereka belum bisa bertemu karena gadis kecil itu ternyata sedang pergi ke Bern untuk beberapa waktu yang tidak bisa dipastikan. Lalu Pak Gio dan Kavita juga sudah pulang dua hari yang lalu, setelah berada di sini selama satu minggu, bekerja sekalian berlibur. “Bagaimana jika kita ke Zurich terlebih dulu, Re?”“Nanti saat mendekati jadwal pulang, kita bisa kembali lagi ke sini untuk menemui Josephine.” Lanjut Ares mengusulkan.“Haruskah begitu?” Rere balik bertanya. “Kupikir begitu lebih baik, Re. Karena kita juga belom tau kapan Josephine akan kembali dari Bern.”Rere mengangguk setuju dengan kalimat Ares. “Oke. Jika begitu, kita ke Zurich terlebih dulu, kak.”“Jika begitu, besok kita berangkat.” “Besok?” tanya Rere memastikan. “Ya, besok. Tidak mungkin jika tahun depan, bukan?” Ares terkekeh kecil. Karena i