"Bukankah seharusnya kamu senang jika kakakmu akan menikah dengan laki-laki lain? Itu tandanya dia sudah bisa melupakan mantan sumaminya." Namira mengulangi pertnyaannya pada Bonita. "Pokoknya aku tidak setuju, Bu. Aku tidak setuju jika kakak menikah dengan laki-laki hidung belang tadi. Aku punya calon yang lebih baik untuk Kakak." Melani bersikukuh. "Kamu pikir kakakmu setuju saat kamu berhubungan dengan mantan suaminya?" Namira balik bertanya. Dia meletakkan barang belanjaan di atas meja, lalu menatap Bonita. "Jika kakakmu tidak pernah melarangmu untuk menikah dengan siapapun, bahkan kakakmu sudah merelakan mantan suaminya untukmu, apakah masih pantas kamu menghalangi hubungan kakakmu dengan laki-laki lain? Apa jangan-jangan kamu iri, karena Deon lebih kaya dari Johan?" Namira menyipitkan mata menatap Bonita. Pertanyaan Namira membuat Bonita bermuka masam. Dia berdecak kesal, lalu meninggalkan dapur menuju ruang tamu. "Kamu serius akan menikahi Kak Melani?" Bonita bertanya ketu
"Bagaimana jika pertemuan ini kita tunda dulu?" Melani memohon. Dia menatap Deon dengan memelas. Tidak siap bertemu dengan kedua orangtua Deon. Apalagi menurut cerita para rekan kerjanya, kedua orangtua Deon memiliki temperamen yang buruk. Mereka tidak ragu-ragu untuk memecat karyawan jika diketahui membuat kesalahan atau tidak becus dalam bekerja."Kamu mau aku menundanya? Tidak akan!" Deon menjawab tegas. "Sudah lama kedua orangtuaku ingin bertemu dengan calon istriku. Mereka akan menyukaimu," bujuknya pada Melani.Melani menghembuskan napas pasrah. Dia tidak bisa menolak keinginan tuannya."Satu lagi. Jangan panggil aku "tuan". Kamu adalah calon istriku, maka panggil aku sesuai dengan status hubungan kita," tegas Deon pada Melani."Dia benar, Melani. Menurutlah pada calon suamimu." Namira tersenyum seraya mengedipkan mata pada Melani."Baiklah." Melani berkata pasrah. Tidak ada pilihan lagi selain menuruti keinginan Deon. Lagi pula, semakin cepat mereka menikah, semakin baik pula u
Nafisa merasa panik. Di kolam sedangkal itu, seharusnya dia tidak tenggelam, tapi kenyataannya dia telah meminum entah berapa teguk air. Dia hampir saja tenggelam, untung saja Deon lebih dulu menyelamatkannya. Dia berlari cepat, terjun ke dalam kolam dan meraih tubuh Nafisa yang hampir menyentuh dasar kolam.Nafisa menangis dan memeluk erat Deon. Melani bergegas lari menghampiri mereka."Nafisa, anakku, kamu tidak apa-apa, Nak?" Air mata sudah membasahi pipi Melani. Meski begitu, dia tetap cantik dengan riasan wajah yang tidak luntur.Deon mengangkat tubuh Nafisa dan membawanya ke atas. "Dia hanya masih terkejut," ucapnya pada Melani.Tubuh Deon dan Nafisa yang basah kuyup mengingatkan Melani pada kejadian saat mereka jatuh dan hampir tenggelam di laut. Dia masih merasa trauma. Jika dia saja masih merasa trauma, bagaimana dengan Nafisa? Anak itu terlihat sangat ketakutan."Tidak apa-apa, Nafisa. Semua akan baik-baik saja. Kemarilah," bujuk Melani menenangkan Nafisa. Dia merengkuh dan
Melani, Nafisa, dan Deon sudah kembali ke restoran. Bonita yang sejak tadi mengikuti mereka meremas-remas tangan dengan kesal. Dia tidak suka melihat Melani tampak tertawa-tawa bersama Deon dan Nafisa."Ayo kita memesan makanan lebih dulu. Mungkin sebentar lagi orangtuaku akan datang," ujar Deon pada Melani dan Nafisa. Dia melambaikan tangan untuk memanggil pelayan.Saat pelayan menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan Deon, diam-diam Bonita menyusup ke dapur restoran. Dia melihat segelas kopi, segelas jus stroberi, dan segelas jeruk hangat sudah berada di atas meja dan siap untuk di sajikan, sementara pelayan pengantar makanan belum mengambil minuman itu. Melani mengambil bubuk berwarna putih dari dalam dompetnya. Dia menaburkan bubuk putih itu ke dalam minuman warna oranye. "Rasain kamu, Melani," ujarnya sambil tersenyum sinis. Dia sangat yakin minuman jeruk itu adalah minuman untuk Melani. Bonita berjalan pelan dan bersembunyi di balik tiang dekat tempat duduk Melani. Dia suda
"Tante gak mungkin bohong, Nafisa? Apa Nafisa pikir Tante bohong sama Nafisa? Tante sangat sayang sama Nafisa, kayak Papa Johan yang menyayangi Nafisa, mana mungkin Tante bohong?" Bonita mendekati Nafisa dan memeluknya."Lepasin aku, Tante. Aku gak suka sama Tante Bonita!" ujar Nafisa ketus seraya mendorong tubuh Bonita.Seorang pelayan datang dengan membawa makanan dan minuman yang dipesan oleh Bonita. Spaghetti bolognese, kentang goreng, dan es jeruk yang sangat menggoda selera."Tante Bonita makannya banyak," ketus Nafisa seraya melirik makanan dan minuman yang dibawa pelayan untuk Bonita."Nafisa, tidak boleh begitu sama Tante Bonita. Mungkin tantemu sedang lapar," sahut Melani menasehati Nafisa. Dia menoleh ke arah Bonita, lalu berkata, "Kamu juga Bonita. Kenapa memesan makanan seperti itu? Kamu sedang hamil, seharusnya kamu memesan makanan yang lebih sehat.""Memangnya kenapa? Semua makanan sama saja," bantah Bonita seraya menyuapkan spaghetti ke mulutnya. Dia makan dengan sanga
"Ayo, angkat teleponnya, Kak Johan." Bonita mulai tidak sabar. Dia mulai berdiri dan berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba, panggilan yang dia tujukan pada Johan dialihkan. "Apa-apaan ini. Dia bahkan tidak mau mengangkat teleponku." Bonita menutup ponsel dengan kesal. Memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan menjauh. Dia berdiri di pinggir jalan, berharap ada taksi yang lewat. Namun, sampai beberapa menit dia menunggu, tidak ada taksi yang lewat.Bonita melambaikan tangan setiap kali ada mobil yang melintas. Pakaian Bonita yang seksi seperti wanita panggilan, justru membuat pengemudi mobil ketakutan. Tidak ada satu pun mobil yang mau berhenti. Bonita menendang-nendang tanah karena kesal.Pada saat Bonita sudah merasa frustasi dan ingin melangkah pergi, Ferrari LaFerrari berhenti tepat di sampingnya. Dia berbinar senang manatap mobil mewah yang berhenti. Berharap sang pemilik mobil mau memberinya tumpangan untuk pulang. Namun, binar matanya meredup begitu jendela mobil terbuka dan kepala
"Aku tidak akan melepaskanmu, Melani. Aku suamimu. Sudah seharusnya kamu ikut dengan suamimu." Johan mencengkeram lengan tangan Melani dengan kuat. "Dasar gila! Kamu sudah menyakiti tanganku." Melani terus memberontak. Dia meringis kesakitan. Namun, Johan semakin kuat mencengkeram tangan Melani. "Lepaskan dia, atau kamu berhadapan denganku." Suara berat lelaki diiringi suara langkah kaki yang mendekat. Deon berjalan dengan tenang dan penuh wibawa. "Siapa kamu berani melarangku menyentuh istriku? Ini urusan rumah tanggaku, jadi sebaiknya kamu tidak ikut campur." Johan tertawa sambil terus mencengkeram tangan Melani. Dia menyeret Melani menjauh dari rumah Namira. Namun, tiba-tiba Deon melemparkan sesuatu di wajah Johan. "Terimalah! Itu surat perceraian kalian. Melani bukan lagi istrimu. Dia adalah calon istriku. Jadi, aku berhak melarangmu untuk menyentuhnya," ucap Deon, menatap Johan dengan aura mematikan. Dia menjentikkan jari tangannya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Dua
"Kamu bilang apa barusan? Aku wanita jahat?" Bonita berteriak nyaring dan menatap lebar Deon. "Apa karena aku mendorong Nafisa, lalu kamu bilang aku jahat?" lanjutnya penuh amarah "Jadi akhirnya kamu mengakui? Karena ulahmu, Nafisa hampir saja tenggelam." Deon manatap tajam Bonita. "Lebay! Kolam itu kecil. Tidak mungkin membuat Nafisa tenggelam," ketus Bonita. Namira dan Melani ikut menatap tajam Bonita. Mereka sseolah-olah hendak menerkam Bonita karena sudah melakukan kesalahan yang fatal. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa kalian juga menyalahkanku?" protes Bonita yang merasa tidak nyaman dengan tatapan mata mematikan Namira dan Bonita. "Beraninya kamu mencelakai Nafisa, Bonita." Namira berkata dengan suara berat dan penuh amarah. "Siapa yang mencelakai Nafisa? Seharusnya Ibu menyalahkan Kak Melani. Kak Melani sudah lalai menjaga anaknya. Dia membiarkan Nafisa berjalan sendirian di kolam, sementara dia sendiri malah bersenang-senang dengan laki-laki lain," celoteh Bonita panja