"Apakah saya terlambat, Tuan? Apa seharusnya hari ini saya datang ke rumah Anda lebih pagi?" Melani menemui Deon setelah dia membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Deon menatap Melani dari atas sampai bawah. Dia tidak bergerak di kursi ruang tamu. "Kenapa memakai pakaian seperti itu? Hari ini, kamu tidak perlu bekerja. Aku datang ke sini membawa orang yang akan meriasmu. Bersiap-siaplah. Aku juga akan bersiap-siap." Deon mengibaskan jas yang dia pakai, lalu berdiri dan menganggukkan kepala. "Aku permisi," ucapnya seraya tersenyum pada Melani dan Namira.Melani hanya bisa terbengong-bengong. Dia tidak sempat bertanya lebih lanjut pada Deon. Untuk apa Deon membawa orang untuk meriasnya? Saat dia hendak bertanya, Deon sudah tidak ada di tempatnya."Mari ikut saya, Nona," ucap seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian rapi. Wanita itu membawa kotak rias berisi beberapa peralatan untuk merias. Dia menggandeng Melani dan mendudukkannya di salah satu kursi.Wan
"Melani tidak boleh menikah dengan laki-laki itu." Johan berkata sambil menunjuk ke arah Deon. "Sayang sekali, Tuan Johan. Tapi kami sudah menikah." Deon tersenyum, melirik Johan penuh kemenangan. Beberapa orang berpakaian pengawal menghadang Johan dan melemparnya ke luar ruangan. "Nyonya Melani sudah menikah. Jadi sebaiknya jangan mengganggunya lagi," ucap seorang pengawal yang melemparnya. Deon menggendong Nafisa yang juga berpakaian cantik. Dia menggandeng Melani dan membawanya meninggalkan tempat pernikahan mereka dengan menaiki volkswagen beetle warna kuning. Namira menatap mereka dengan senyum bahagia. Sementara, Bonita menyusul Johan yang berdiri mematung menatap mobil kuning itu menjauh. "Kak Melani sudah menikah dengan laki-laki kaya itu. Sekarang giliran Kak Johan," ujar Bonita ketus. Dia menatap sinis mobil kuning yang membawa Melani. "Apa maksudmu?" Johan bertanya tidak mengerti. Bonita tersenyum miring. Dia mencebik melihat Johan yang merasa begitu kehilangan. "Sehar
Di dalam mobil volkswagen beetle, Deon tersenyum lembut pada Melani. Dia terus menatap Melani tanpa berkedip. "Kenapa menatap saya seperti itu, Tuan Deon?" Melani bertanya ragu-ragu. "Kamu sangat cantik, istriku," puji Deon membuat Melani tersipu. "Tapi bisakah Kamu berhenti memanggilku dengan sebutan "tuan"? Sekarang kita sudah menjadi suami istri," lanjutnya tegas. "Lalu saya harus memanggil Anda apa?" tanya Melani ragu. Dia merasa canggung dengan pernikahan mendadak ini. "Apapun, asal bukan "tuan". Aku tidak menyukai panggilan itu," ujar Deon tegas. "Baiklah, Deon." Melani berkata terbata-bata. Dia merasa sangat canggung. Deon terkesiap mendengar ucapan Melani barusan. "Apa? Kamu memanggilku apa barusan?" Dia melebarkan mata tidak percaya. "Deon." Melani berkata tanpa berani menatap Deon. Dia memalingkan muka dan menunduk. "Hanya seperti itu? Kamu hanya menyebutkan namaku?" Deon mengerutkan kening. Dia tidak suka Melani memanggilnya "tuan", tapi dia lebih tidak suka Melani h
"Jadi Ibu sudah merestui hubunganku dengan Kak Johan?" Bonita tersenyum ceria, diikuti dengan anggukan Namira. "Tapi, Bu! Bonita berbohong. Dia tidak ha...." Johan hendak menjelaskan yang sebenarnya, tetapi Bonita memotong pembicaraannya. "Ibu bisakah meninggalkan kami berdua? Aku ingin bicara empat mata dengan Kak Johan," pinta Bonita. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Duduklah di teras. Ibu akan menyiapkan minuman untuk kalian," ujar Namira tanpa menjawab pertanyaan Bonita. Dia bergegas pergi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bonita dan Johan yang masih berdiri mematung. "Bukankah Kak Johan bilang akan menikahiku jika aku tidak hamil? Apa Kak Johan mau ingkar janji?" Bonita segera menodong Johan dengan pertanyaan begitu Namira sudah tidak terlihat dari pintu rumah. "Iya, aku memang mengatakan seperti itu. Tapi bukan begini juga caranya," jawab Johan lugas. Dia mengambil napas panjang, lalu melepaskannya kembali. "Aku tidak ingin hubungan yang diawali dengan kebohong
Melani melebarkan mata karena terkejut. Hanya beberapa detik, kemudian dia menutupi tangannya dengan telapak tangan dan membalikkan badan menghadap ke pintu. Dia baru saja melihat apa yang seharusnya dilihat. "Kamu kenapa, Melani?" Deon berjalan mendekati Melani. Dia merasa heran dengan sikap Melani yang seperti baru saja melihat hantu. Apakah dirinya begitu menyeramkan bagi Melani? "Seharusnya Anda berpakaian terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi," ucap Melani terbata-bata. Dia mash memejamkan mata menghadap pintu kamar yang telah tertutup. Deon melebarkan mata, lalu menundukkan kepala melihat tubuhnya yang hanya terlilit handuk kecil. "Apa Anda sengaja memamerkan roti sobek?" tanya Melani membuat Deon semakin melebarkan mata. "Tetaplah di situ. Aku akan memakai bajuku." Deon segera berbalik hendak pergi ke ruang ganti. Namun, saat dia mulai melangkah, tiba-tiba lilitan handuk di pinggangnya terlepas. Pada saat yang sama, Melani melihatnya dan berteriak. Deon segera m
"Baju kurang bahan? Apa maksudnya? Aku tadi hanya asal mengambil baju di lemari." Deon bergumam bingung. Dia kembali mengambil baju dari dalam lemari dan memberikannya pada Melani. Kali ini piyama longgar yang lebih sopan untuk dipakai. Melani keluar kamar mandi dengan bibir ditekuk ke bawah. Dia menatap Deon dengan menyipitkan mata, lalu bertanya, "Jadi Anda sengaja ingin menggoda saya?" "Sengaja? Itu tidak mungkin. Aku hanya asal mengambil pakaian yang ada di sana," ucap Deon seraya menunjuk ke sebuah lemari yang sangat besar. Melani terkesima menatap lemari yang besar dan luas. Dia berjalan mendekati lemari yang telah terisi penuh oleh pakaian wanita dewasa. Deon telah meminta pelayan menyiapkan pakaian-pakaian itu untuk Melani. "Apa semua pakaian ini milikku?" tanya Melani yang dijawab Deon dengan anggukan kepala. Mata Melani tertuju pada beberapa pakaian kurang bahan. Melani melirik sinis Deon. "Apa pria itu sengaja membeli pakaian kurang bahan ini untukku? Aku tidak akan m
“Aku akan menepati janjiku. Karena kamu bersedia menikah denganku. Seluruh aset milikku akan kuubah menjadi namamu,” ucap Deon pasti. Melani melebarkan mata tidak percaya. Apa lelaki di depannya ini sudah gila? Atau jangan-jangan lelaki yang telah menjadi suaminya itu sedang terlibat pencucian uang dan ingin menyembunyikan kekayaannya di balik nama istri? Melani menggelengkan kepala. “Aku tidak menginginkan semua aset itu,” ujarnya. “Baiklah, jika kamu tidak menginginkannya, lalu apa yang bisa aku berikan sebagai hadiah untukmu? Katakan kepadaku. Apa yang kamu inginkan saat ini?” Deon menatap lekat Melani. Dia tidak menyangka, Melani akan menolak pemberiannya yang berharga. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu? Apa ada yang lebih berharga dari aset-aset bernilai miliaran miliknya? “Tidak perlu memberikan apa pun. Saya tidak menginginkan apa pun dari Anda. Lagi pula, kita tidak pernah tau, apakah pernikahan ini akan bertahan lama?” ujar Melani ragu. Perceraiannya dengan Johan b
“Desy, apa kamu benar-benar tidak mengenal siapa orang yang membeli semua pakaian di butik kita?” Melani merasa penasaran. Jangan-jangan Deon memang membeli di butiknya? Sejak bercerai dengan mantan suami, diam-diam Melani mendirikan butik kecil bekerja sama dengan Desy. Pada hari pernikahannya dengan Deon, dia meminta tolong Desy untuk mengurus semua keperluan di butik karena dia tidak bisa datang ke butik. “Aku benar-benar tidak tahu. Dia tidak menjawab saat aku menanyakan namanya. Ah, tunggu dulu.” Desy membuka daftar riwayat transaksi dan membuka mata lebar-lebar saat membaca nama si pemilik rekening yang melakukan transaksi virtual sejumlah satu miliar rupiah. “Deon Alvarendra. Bukankah dia pria kejam itu? “Bukan pria kejam, dia lelaki yang baik, Desy,” ujar Melani tegas. “Jadi benar Tuan Deon yang membeli semua pakaian di butik kita?” Melani melebarkan mata tidak percaya. Pantas saja dia merasa tidak asing dengan pakaian-pakaian yang di lemari besar pemberian Deon. “Kamu sela