"Tante gak mungkin bohong, Nafisa? Apa Nafisa pikir Tante bohong sama Nafisa? Tante sangat sayang sama Nafisa, kayak Papa Johan yang menyayangi Nafisa, mana mungkin Tante bohong?" Bonita mendekati Nafisa dan memeluknya."Lepasin aku, Tante. Aku gak suka sama Tante Bonita!" ujar Nafisa ketus seraya mendorong tubuh Bonita.Seorang pelayan datang dengan membawa makanan dan minuman yang dipesan oleh Bonita. Spaghetti bolognese, kentang goreng, dan es jeruk yang sangat menggoda selera."Tante Bonita makannya banyak," ketus Nafisa seraya melirik makanan dan minuman yang dibawa pelayan untuk Bonita."Nafisa, tidak boleh begitu sama Tante Bonita. Mungkin tantemu sedang lapar," sahut Melani menasehati Nafisa. Dia menoleh ke arah Bonita, lalu berkata, "Kamu juga Bonita. Kenapa memesan makanan seperti itu? Kamu sedang hamil, seharusnya kamu memesan makanan yang lebih sehat.""Memangnya kenapa? Semua makanan sama saja," bantah Bonita seraya menyuapkan spaghetti ke mulutnya. Dia makan dengan sanga
"Ayo, angkat teleponnya, Kak Johan." Bonita mulai tidak sabar. Dia mulai berdiri dan berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba, panggilan yang dia tujukan pada Johan dialihkan. "Apa-apaan ini. Dia bahkan tidak mau mengangkat teleponku." Bonita menutup ponsel dengan kesal. Memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan menjauh. Dia berdiri di pinggir jalan, berharap ada taksi yang lewat. Namun, sampai beberapa menit dia menunggu, tidak ada taksi yang lewat.Bonita melambaikan tangan setiap kali ada mobil yang melintas. Pakaian Bonita yang seksi seperti wanita panggilan, justru membuat pengemudi mobil ketakutan. Tidak ada satu pun mobil yang mau berhenti. Bonita menendang-nendang tanah karena kesal.Pada saat Bonita sudah merasa frustasi dan ingin melangkah pergi, Ferrari LaFerrari berhenti tepat di sampingnya. Dia berbinar senang manatap mobil mewah yang berhenti. Berharap sang pemilik mobil mau memberinya tumpangan untuk pulang. Namun, binar matanya meredup begitu jendela mobil terbuka dan kepala
"Aku tidak akan melepaskanmu, Melani. Aku suamimu. Sudah seharusnya kamu ikut dengan suamimu." Johan mencengkeram lengan tangan Melani dengan kuat. "Dasar gila! Kamu sudah menyakiti tanganku." Melani terus memberontak. Dia meringis kesakitan. Namun, Johan semakin kuat mencengkeram tangan Melani. "Lepaskan dia, atau kamu berhadapan denganku." Suara berat lelaki diiringi suara langkah kaki yang mendekat. Deon berjalan dengan tenang dan penuh wibawa. "Siapa kamu berani melarangku menyentuh istriku? Ini urusan rumah tanggaku, jadi sebaiknya kamu tidak ikut campur." Johan tertawa sambil terus mencengkeram tangan Melani. Dia menyeret Melani menjauh dari rumah Namira. Namun, tiba-tiba Deon melemparkan sesuatu di wajah Johan. "Terimalah! Itu surat perceraian kalian. Melani bukan lagi istrimu. Dia adalah calon istriku. Jadi, aku berhak melarangmu untuk menyentuhnya," ucap Deon, menatap Johan dengan aura mematikan. Dia menjentikkan jari tangannya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Dua
"Kamu bilang apa barusan? Aku wanita jahat?" Bonita berteriak nyaring dan menatap lebar Deon. "Apa karena aku mendorong Nafisa, lalu kamu bilang aku jahat?" lanjutnya penuh amarah "Jadi akhirnya kamu mengakui? Karena ulahmu, Nafisa hampir saja tenggelam." Deon manatap tajam Bonita. "Lebay! Kolam itu kecil. Tidak mungkin membuat Nafisa tenggelam," ketus Bonita. Namira dan Melani ikut menatap tajam Bonita. Mereka sseolah-olah hendak menerkam Bonita karena sudah melakukan kesalahan yang fatal. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa kalian juga menyalahkanku?" protes Bonita yang merasa tidak nyaman dengan tatapan mata mematikan Namira dan Bonita. "Beraninya kamu mencelakai Nafisa, Bonita." Namira berkata dengan suara berat dan penuh amarah. "Siapa yang mencelakai Nafisa? Seharusnya Ibu menyalahkan Kak Melani. Kak Melani sudah lalai menjaga anaknya. Dia membiarkan Nafisa berjalan sendirian di kolam, sementara dia sendiri malah bersenang-senang dengan laki-laki lain," celoteh Bonita panja
"Apakah saya terlambat, Tuan? Apa seharusnya hari ini saya datang ke rumah Anda lebih pagi?" Melani menemui Deon setelah dia membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Deon menatap Melani dari atas sampai bawah. Dia tidak bergerak di kursi ruang tamu. "Kenapa memakai pakaian seperti itu? Hari ini, kamu tidak perlu bekerja. Aku datang ke sini membawa orang yang akan meriasmu. Bersiap-siaplah. Aku juga akan bersiap-siap." Deon mengibaskan jas yang dia pakai, lalu berdiri dan menganggukkan kepala. "Aku permisi," ucapnya seraya tersenyum pada Melani dan Namira.Melani hanya bisa terbengong-bengong. Dia tidak sempat bertanya lebih lanjut pada Deon. Untuk apa Deon membawa orang untuk meriasnya? Saat dia hendak bertanya, Deon sudah tidak ada di tempatnya."Mari ikut saya, Nona," ucap seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian rapi. Wanita itu membawa kotak rias berisi beberapa peralatan untuk merias. Dia menggandeng Melani dan mendudukkannya di salah satu kursi.Wan
"Melani tidak boleh menikah dengan laki-laki itu." Johan berkata sambil menunjuk ke arah Deon. "Sayang sekali, Tuan Johan. Tapi kami sudah menikah." Deon tersenyum, melirik Johan penuh kemenangan. Beberapa orang berpakaian pengawal menghadang Johan dan melemparnya ke luar ruangan. "Nyonya Melani sudah menikah. Jadi sebaiknya jangan mengganggunya lagi," ucap seorang pengawal yang melemparnya. Deon menggendong Nafisa yang juga berpakaian cantik. Dia menggandeng Melani dan membawanya meninggalkan tempat pernikahan mereka dengan menaiki volkswagen beetle warna kuning. Namira menatap mereka dengan senyum bahagia. Sementara, Bonita menyusul Johan yang berdiri mematung menatap mobil kuning itu menjauh. "Kak Melani sudah menikah dengan laki-laki kaya itu. Sekarang giliran Kak Johan," ujar Bonita ketus. Dia menatap sinis mobil kuning yang membawa Melani. "Apa maksudmu?" Johan bertanya tidak mengerti. Bonita tersenyum miring. Dia mencebik melihat Johan yang merasa begitu kehilangan. "Sehar
Di dalam mobil volkswagen beetle, Deon tersenyum lembut pada Melani. Dia terus menatap Melani tanpa berkedip. "Kenapa menatap saya seperti itu, Tuan Deon?" Melani bertanya ragu-ragu. "Kamu sangat cantik, istriku," puji Deon membuat Melani tersipu. "Tapi bisakah Kamu berhenti memanggilku dengan sebutan "tuan"? Sekarang kita sudah menjadi suami istri," lanjutnya tegas. "Lalu saya harus memanggil Anda apa?" tanya Melani ragu. Dia merasa canggung dengan pernikahan mendadak ini. "Apapun, asal bukan "tuan". Aku tidak menyukai panggilan itu," ujar Deon tegas. "Baiklah, Deon." Melani berkata terbata-bata. Dia merasa sangat canggung. Deon terkesiap mendengar ucapan Melani barusan. "Apa? Kamu memanggilku apa barusan?" Dia melebarkan mata tidak percaya. "Deon." Melani berkata tanpa berani menatap Deon. Dia memalingkan muka dan menunduk. "Hanya seperti itu? Kamu hanya menyebutkan namaku?" Deon mengerutkan kening. Dia tidak suka Melani memanggilnya "tuan", tapi dia lebih tidak suka Melani h
"Jadi Ibu sudah merestui hubunganku dengan Kak Johan?" Bonita tersenyum ceria, diikuti dengan anggukan Namira. "Tapi, Bu! Bonita berbohong. Dia tidak ha...." Johan hendak menjelaskan yang sebenarnya, tetapi Bonita memotong pembicaraannya. "Ibu bisakah meninggalkan kami berdua? Aku ingin bicara empat mata dengan Kak Johan," pinta Bonita. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Duduklah di teras. Ibu akan menyiapkan minuman untuk kalian," ujar Namira tanpa menjawab pertanyaan Bonita. Dia bergegas pergi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bonita dan Johan yang masih berdiri mematung. "Bukankah Kak Johan bilang akan menikahiku jika aku tidak hamil? Apa Kak Johan mau ingkar janji?" Bonita segera menodong Johan dengan pertanyaan begitu Namira sudah tidak terlihat dari pintu rumah. "Iya, aku memang mengatakan seperti itu. Tapi bukan begini juga caranya," jawab Johan lugas. Dia mengambil napas panjang, lalu melepaskannya kembali. "Aku tidak ingin hubungan yang diawali dengan kebohong