"Melani!" Johan berteriak begitu melihat Melani yang tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Dia tidak mengira istrinya akan datang di saat dia sedang berada di bawah tubuh wanita lain.
Seorang wanita seksi duduk di atas pangkuan Johan. Wanita itu menoleh ke arah Melani sambil melambaikan tangan dan tersenyum sinis. Tidak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya.
"Bonita?" Melani menjatuhkan kotak makan yang dia bawa.
Niatnya memberi kejutan pada suami, malah dia sendiri yang terkejut. Sia-sia sudah memasak masakan kesukaan suami sepanjang pagi. Wanita yang sedang bersama suaminya, dia sangat mengenalnya. Wanita itu adalah Bonita, adiknya sendiri.
Tiga tahun belakangan, Bonita memang bekerja satu kantor dengan suami Melani. Johan sendiri yang membantu Bonita untuk mendapatkan posisi sebagai staff administrasi di kantor itu.
Melihat Melani yang masih berdiri terpaku di ambang pintu, Johan dan Bonita bukannya saling menjauh dan menghampiri Melani. Mereka malah saling memagut mesra, tanpa merasa malu dengan kehadiran sepasang mata yang sedang mengawasinya.
"Apa yang sedang kalian lakukan? Berani-beraninya kalian melakukan perbuatan menjijikkan di depan mataku." Melani melangkah maju mendekati Johan dan Bonita. Dua pasangan haram yang sedang bercinta itu tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa terganggu oleh ocehan Melani.
Melani menarik kuat Bonita hingga terlepas dari tubuh Johan. Dia sudah mengangkat tangan hendak menampar pipi Bonita, tetapi Johan lebih dulu menjadi perisai bagi Bonita.
Johan menangkap tangan Melani sebelum sampai di pipi Bonita. "Berani-beraninya kamu...." Dia menghentikan kalimatnya, menatap tajam Melani.
"Apa? Berani apa? Aku yang seharusnya mengatakan itu, Mas. Berani-beraninya kalian melakukan perbuatan menjijikkan di depan mataku." Melani membalas tatapan mata Johan dengan lantang.
"Di depanku saja kalian berani berbuat seperti itu. Gimana di belakangku? Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku?" Melani bertanya menggebu-gebu.
"Baguslah. Kamu sudah tau semuanya, 'kan? Jadi, aku dan Bonita tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi." Johan melepaskan tangan Melani dengan kasar. Dia menggenggam erat tangan Bonita sambil mengucapkan, "Aku sangat mencintai Bonita, dan aku tidak akan membiarkan seorang pun menghalangi hubungan kami.”
Johan berkata dengan yakin, tanpa keraguan sedikit pun.
"Apa maksudmu, Mas?" Suara Melani bergetar. Pengakuan Johan membuatnya sangat terkejut sekaligus terpukul.
"Selama ini hubungan kita baik-baik saja. Bagaimana bisa tiba-tiba kamu mencintai wanita lain? Bagaimana denganku? Kamu anggap aku ini apa, Mas?" Melani berkata terbata-bata. Tiba-tiba saja, napasnya terasa sesak. Dia memegangi dadanya yang bergerak naik turun, mencoba mengambil napas sebanyak-banyaknya. Mengetahui fakta suaminya mencintai wanita lain bukanlah hal yang mudah baginya. Apa lagi wanita itu adalah adiknya sendiri.
“Maafkan aku, Melani. Aku harus berkata jujur padamu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga mencintai Bonita. Aku tau, apa yang kulakukan ini tidak benar. Aku harus memilih salah satu di antara kalian, dan aku sudah memutuskan untuk memilih Bonita.” Johan berkata panjang lebar. Kata-kata yang bagai ribuan panah menghujam ke hati Melani hingga menimbulkan rasa nyeri.
“Aku akan segera mengurus surat perceraian kita, Melani.”
"Tidak.” Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Katakan padaku. Itu semua bohong, 'kan? Kamu tidak benar-benar ingin berpisah dariku, 'kan? Bagaimana dengan Nafisa, anak kita? Dia masih membutuhkan kita, Mas. Dia membutuhkanku. Dia juga membutuhkanmu." Melani mencengkeram kerah kemeja Johan dan menggoyang-goyangkan tubuh Johan dengan kuat.
"Hentikan, Melani!" teriak Johan sambil mendorong Melani dengan kuat hingga tubuh Melani terlempar beberapa meter darinya.
"Aku sudah mengatakan semuanya. Jadi sekarang tinggalkan tempat ini. Mengenai Nafisa, aku akan tetap bertanggung jawab dengan mengunjunginya tiap pekan dan memberinya nafkah sesuai kemampuanku." Johan mengibas-ngibaskan kerah kemejanya yang kusut karena cengkeraman tangan Melani bermaksud merapikannya kembali.
Melani mengangkat tubuhnya yang semula terjerembab di atas lantai. Dia menatap tajam Johan dan Bonita. Sekilas, dia bisa menangkap tatapan mengejek dari Bonita.
Bonita tersenyum menyeringai. Dia melipat kedua tangan di depan dada, lalu berucap, "Kak Melani dengar, 'kan? Kak Johan sudah memilih aku."
Bonita kemudian merangkul lengan Johan dengan erat. Menyandarkan kepalanya di bahu Johan. Menatap Melani, dan tersenyum puas.
Melani bergidik jijik melihat kelakuan Bonita. Johan dan Bonita yang melakukan perbuatan asusila, tapi dia yang merasa malu. Dia menatap nyalang Johan sambil mengusap pipinya yang basah.
"Baiklah, jika memang itu keinginanmu, Mas. Mari kita berpisah." Melani segera pergi dari ruangan Johan. Tidak ada gunanya lagi mempertahankan seorang pengkhianat.
Melani berjalan di koridor kantor. Dia terus mengusap pipi dan menahan sekuat hati agar air matanya tidak terjatuh lagi. Tiba-tiba, tubuhnya menabrak seseorang hingga menyebabkan dia terjatuh.
Melani memejamkan mata erat. Dia merasa bersyukur karena tubuhnya tidak terasa sakit meski sedang terjatuh. Saat membuka mata, dia terkejut karena tubuhnya sudah berada di atas tangan kekar seorang lelaki. Jika laki-laki itu tidak menangkapnya, mungkin saat ini Melani sudah kesakitan karena jatuh tersungkur di lantai.
Melani menatap lelaki yang sudah menyelamatkannya. Lelaki yang sama, yang dia tabrak barusan. Melani bergegas turun dari gendongan lelaki itu. Aura dingin lelaki itu membuat hati Melani yang sebelumnya panas menjadi menggigil.
“Maaf,” ucap Melani singkat. Dia segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Melani tidak menyadari, lelaki beraura dingin itu terus menatapnya saat dia berjalan menjauh.
“Aldo, cari tahu tentang wanita itu,” ucap lelaki dingin pada seorang laki-laki berpakaian rapi yang sejak tadi berdiri tegak di sampingnya.
“Siap, Tuan Deon.” Aldo, pengawal pribadi setia Deon Alvarendra, salah satu pewaris di perusahaan tempat Johan bekerja saat ini, selalu siap menjalankan perintah dari sang atasan.
"Kapan Papa pulang, Ma?" Nafisa masih terjaga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gadis kecil itu tidak bisa tidur sebelum melihat wajah papanya. Dia terbiasa tidur setelah mendengarkan dongeng tuan putri yang dibacakan Johan untuknya."Nafisa tidur dulu ya, Nak? Mungkin Papa masih lembur." Melani menenangkan putri kecilnya. "Hari ini biar Mama yang membacakan dongeng untuk Nafisa," lanjutnya.Dia mengambil salah satu buku cerita dari rak buku di kamar Nafisa. Mulai membaca seraya mengusap-usap rambut Nafisa agar gadis kecil itu segera tertidur.Sudah hampir satu jam Melani menemani Nafisa, tetapi gadis kecil itu tidak kunjung tidur. "Nafisa belum mengantuk?" tanya Melani lembut. "Ayo tidur, Sayang. Besok Nafisa harus sekolah," bujuknya.Nafisa menggeleng-gelengkan kepala. "Nafisa nungguin Papa, Ma. Tadi siang, Papa sudah janji mau belikan Nafisa buku cerita baru," rengek bocah kecil itu.Melani mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berkali-kali dia me
Melani telah mengantarkan Nafisa ke sekolah. Dia terus memegangi kepalanya yang sakit. Berjalan masuk ke sebuah cafe dekat dengan sekolah Nafisa.“Kamu kenapa, Melani?” Seorang wanita berambut pendek yang disemir merah muda sudah duduk di dalam cafe.“Kamu bilang ingin bercerita sesuatu kepadaku. Tapi, kenapa wajahmu pucat sekali? Seharusnya, kamu bilang jika memang sedang tidak enak badan. Aku bisa menjemputmu.” Perempuan itu lalu berdiri, menuntun Melani duduk di sebelahnya.“Aku butuh pekerjaan, Desy,” ujar Melani. Perlahan duduk di bangku cafe. Masih memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.“Pekerjaan? Bukankah Johan sudah memberimu segalanya? Apa terjadi sesuatu pada kalian?” Desy, sahabat Melani sejak di bangku sekolah bertanya karena penasaran. Dia sangat mengerti, sejak dulu Melani tidak memiliki keinginan untuk bekerja seperti dirinya. Melani sangat menikmati menjadi ibu rumah tangga. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya dengan mengerutkan kening.“Aku dan Mas Johan akan
Seorang laki-laki masuk ke dalam kamar saat Evan berusaha menindih tubuh Melani. Kedatangan laki-laki itu membuat Evan mengurungkan niatnya. Begitu juga Melani, dia membulatkan mata melihat laki-laki itu. Dia adalah laki-laki dingin yang dia jumpai di kantor Johan!“Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke dalam kamarku seperti itu. Pergi, atau aku akan memanggil keamanan untuk melemparmu dari sini.” Evan berdiri mendekati laki-laki dingin yang sudah berani mendobrak pintu kamarnya.“Kamu tidak tahu siapa aku? Aku Deon Alvarendra. Hotel ini milikku. Bukan aku yang akan pergi dari kamar hotel ini. Kamulah yang harus pergi.”Deon menarik lengan Evan, dan memberinya bogem mentah. Melempar Evan ke luar kamar hotel. “Urus laki-laki tidak bermoral itu. Dia sudah berusaha memperkosa seorang wanita di kamar hotel milikku,” titahnya pada dua orang pengawal yang berjaga di luar kamar sambil menatap dingin Evan. Semakin lama, tatapan matanya terasa seperti menusuk. Dia sedang mengancam Evan untuk t
“Gimana keadaanmu, Melani? Maafkan aku. Aku tidak tahu jika Kak Evan akan berbuat nekat.” Pagi-pagi sekali, Desy berkunjung ke rumah Melani. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kakaknya pada Melani kemarin malam. Dia bisa tahu semuanya karena Evan pulang dengan babak belur dan tanpa basa-basi menceritakan semuanya pada adiknya. “Aku sudah memarahi kakakku semalaman. Tolong maafkan dia ya?” mohon Desy. “Aku sudah memaafkan dia, Desy. Untung saja, seseorang menyelamatkanku saat Kak Evan hendak berbuat bej4t. Tapi tolong katakan pada Kak Evan agar tidak menggangguku lagi,” ucap Melani tegas. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Hari ini kamu mulai masuk bekerja di perusahaan kakakku, ‘kan?” tanya Desy. Masih menatap Melani dengan perasaan bersalah. Seandainya semalam dia menemani Melani saat menemui kakaknya, mungkin Kak Evan tidak akan berbuat sampai melampaui batas. Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Seseorang yang semalam menyelamatkanku, dia memberiku pekerjaan di rumahnya
Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini. “Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain. “Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani. “Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?” Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi. “Tidak usah, Nona. Ini su
“Melani?” Johan menatap Melani yang sedang berjalan keluar dari butik. Tatapan matanya beralih pada tangan Melani yang sedang digenggam erat oleh Deon. Ada perasaan kesal saat melihat jemari yang dulu pernah dia pasangkan cincin, sedang berada dalam genggaman laki-laki lain. Tanpa menghiraukan Johan, Deon dan Melani terus berjalan mendekati mobil Ferrari LaFerrari hitam yang terparkir di depaan butik. Aldo bergegas membuka pintu mobil untuk Deon. Saat Deon hendak masuk ke dalam mobil, Melani menghentikannya. Sejak keluar dari butik, Melani hanya bengong memikirkan ucapan Deon saat di butik tadi. Dia menatap Deon tidak percaya. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar, Deon menyebutnya sebagai calon istri? "Maaf, Tuan. Saya rasa, tadi itu Anda terlalu berlebihan,” ucapnya terbata-bata. Deon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tidak ada waktu lagi. Masuklah segera ke dalam mobil. Kita bicarakan nanti,” ucapnya dengan wajah serius. Dia segera masuk ke dalam mobil, disu
Melani tertawa lebar tanpa ekspresi. "Apa Anda sedang melucu?" tanyanya pada Deon yang masih berdiri di hadapannya. Dia menelan ludah saat mencium wangi maskulin yang menyeruak bersamaan dengan wajah Deon yang semakin mendekat. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat dilihat dari jarak dekat. Apa mungkin laki-laki yang hampir sempurna bak titisan Dewa Merkurius ini ingin menikahi Melani yang hanya seorang janda?Wajah Deon terus mendekat, hingga jarak mereka kini tidak sampai sejengkal. Ditatap Deon dari jarak begitu dekat membuat jantung Melani bedebar dan serasa ingin meloncat. “Jadi apa jawabanmu? Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” tanya Deon serius.Melani terdiam dan mematung. Apakah Deon serius kepadanya? Dia memundurkan tubuh dan menarik wajah ke belakang untuk menjauhi Deon. Terdiam dan mematung tanpa bisa berkata-kata.Deon berdehem seraya mengatur napasnya. Tersenyum kecil seraya berkata, “Maafkan aku. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan semua ini. Tapi, sem
"Ah, Sial!" Melani menyalakan ponsel, menelepon seseorang untuk meminta bantuan, tetapi sebelum seseorang tersebut menjawab telepon Melani, ponselnya lebih dulu mati. Dia mengumpat lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Evan melirik Melani. "Kamu tidak akan bisa menghubungi siapapun, Melani," ucapnya seraya tersenyum menyeringai. Dia mempercepat laju mobilnya. Di tempat lain, mobil yang dikemudikan Deon melaju dengan kecepatan maksimal. Bak seorang pembalap profesional, dia terus menyalip mobil-mobil yang ada di depannya. Di belakangnya, Aldo mengikuti menggunakan mobil yang berbeda.Evan menghentikan mobil tepat di depan sebuah penginapan di dekat laut. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Menoleh ke arah Melani seraya terseyum licik. "Akhirnya kita sampai, Melani."Melani menatap Evan penuh amarah. Jika dia tidak sedang menggendong Nafisa yang telah terlelap, mungkin dia akan memaki Evan habis-habisan. Dia bahkan tidak sabar ingin memukuli lelaki psikopat tersebut. E
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Syarat lagi? Apa itu?” Deon bertanya pada mamanya. Dia akan melakukan apa pun, asalkan kedua orangtuanya mau merestui hubungan pernikahan dia dan Melani.“Papa dan Mama tidak hadir di pesta pernikahan kalian dulu. Jadi, Mama mau kalian mengadakan pesta pernikahan lagi. Kali ini harus meriah. Aku mau seluruh teman Mama dan rekan bisnismu diundang di pesta itu.” Mama Deon berkata panjang lebar.Deon dan Melani saling berpandangan. Mereka mengangguk pasti. Keduanya tersenyum bahagia setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Deon. Rasanya, satu beban yang mengganjal di hati mereka telah terbebas dan lepas.“Sekarang, kita tinggal meminta restu pada ayahmu, Melani,” gumam Deon. Melani mengangguk setuju.“Deon, Mela, bolehkah kami meminta bantuan kalian?” ujar Papa Deon memohon. “Aku ingin bertemu dengan Brian Atmajaya, ayah Melani. Bisakah kalian membawaku ke sana?” lanjutnya.Deon dan kedua orangtuanya pergi untuk menjenguk Brian Atmajaya di Lapas. Sementara, Melani akan menyusul set
“Apa kamu tidak bercanda, Deon? Mela, istrimu?” Mama dan Pap Deon bertanya serempak. Mereka saling berpandangan untuk sejenak. Tidak percaya dengan pengakuan Deon barusan.“Kamu pasti berbohong, Deon! Kamu berbohong agar kami merestui hubungan kalian. Sejak kapan kamu mulai berani berbohong?” Papa Deon menatap tajam anaknya.“Aku setuju! Aku juga menyangsikan ucapanmu, Deon. Mana mungkin Mela adalah istrimu? Jelas-jelas mereka adalah orang yang berbeda. Istrimu berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan Mela hanya gadis sederhana yang berasal dari kelas menengah. Mereka sangat berbeda, Deon.” Mama Melani menyangkal.“Pa, Ma, tapi Mela benar-benar telah menjadi istriku istriku. Mela dan Melani adalah orang yang sama. Nama lengkapnya Melani Atmajaya, saat di sekolah dulu, teman-teman kami memanggilnya Mela.” Deon menjelaskan panjang lebar. Dia menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil napas, kemudian kembali me
“Bagaimana Anda akan mengeluarkan Brian Atmajaya dari penjara?” Aldo bertanya pada Deon. “Apa itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku?” lanjutnya.“Itu bukan hal yang sulit.” Deon tersenyum miring. “Kamu tahu, hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sebenarnya aku tidak ingin membeli hukum, tapi jika itu demi kebaikan, kenapa tidak? Lagi pula aku bukan membela orang yang salah. Bukankah Brian Atmajaya tidak bersalah? Dia hanya dijebak,” ujarnya panjang lebar.“Lalu, apakah menurut Anda Brian Atmajaya akan menepati janjinya? Apa dia berani mengambil tindakan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaannya, sementara tindakan itu mendapatkan pertentangan dari banyak pihak?” Aldo bertanya penasaran. Dia khawatir Brian Atmajaya akan mengingkari janjinya.“Jangan khawatir, Aldo. Aku tidak peduli dengan langkah apa yang akan diambil ayah mertuaku s
Maaf semuanya, dua bab terakhir yang berjudul Direktur Baru dan Ayah Mertua terbalik karena kesalahan teknis saat posting. Seharusnya baca bab Ayah Mertua lebih dulu baru kemudian baca bab Direktur Baru. Sekali lagi mohon maaf ya. Akan segera diperbaiki.Oh ya, kalian juga bisa membaca karya aku lainnya di Good Novel yang berjudul "Dicerai Setelah Malam Pertama" (Nama pena Norasetyana), hanya 40 bab yaFollow juga sosmed-ku juga yaF* Norasetya (Mommykhaa)I* NuurahmaaSelamat malam. Selamat berakhir pekan. Semoga cerita-ceritaku ini bisa menghibur bagi kalian. Semoga kita semua dilancarkan rejekinya dan diberi kesehatan, aamiin.Menjadi Janda Tajir Melintir akan segera tamat di bab 130-an. Selamat membaca. Ikuti terus ceritaku ya.
“Ayah tenang saja. Aku akan mengusahakan Ayah agar segera keluar dari penjara ini,” ujar Deon pasti. “Ayah tidak akan mengingkari janji, ‘kan? Ayah akan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol?” Dia bertanya memastikan. Brian hendak mengangguk pasti, tapi Nenek Karmila memelototinya. “Itu tidak akan terjadi. Apa kamu pikir aku tidak tahu, mengapa kamu meminta kami menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaan kami?” Nenek Karmila menghentikan kalimatnya sejenak. “Itu karena perusahaan kalian sedang merencanakan untuk membangun bidang usaha yang sama. Kalian ingin menyingkirkan pesaing berat yang akan mengganggu penjualan perusahaan kalian,” lanjutnya. Deon hendak membela diri, tetapi tiba-tiba dua orang sipir datang menghampiri mereka. “Waktu jenguk sudah habis. Sekarang, sebaiknya kalian pulang. Kami akan mengantar narapidana kembali ke tahanan.” Mereka menangkap kedua tangan Brian dan membawanya masuk ke sel tahanan. Sementara itu
“Siapa kalian?” Brian Atmajaya bicara dengan terbata-bata. Dia terus menatap dua orang laki-laki di depannya. Laki-laki yang berusia jauh lebih muda darinya. “Apakah kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Pasti orang perusahaan yang menyuruh kalian menemuiku. Pulanglah! Aku tidak ingin membahas pekerjaan selama di sini,” ujarnya seraya memalingkan muka. “Kami tidak ingin membahas pekerjaan, Pak. Kami ke sini karena ingin membantu Anda keluar dari tempat ini,” ujar Deon meyakinkan. Dia tidak mengungkapkan identitas dia yang sebenarnya kepada laki-laki yang mengenakan baju tahanan. “Sungguh?” Brian melebarkan mata tidak percaya. Dia tertawa keras. “Bagaimana kamu bisa membebaskan aku dari sini? Sementara keluargaku yang kaya saja tidak bisa melakukannya?” Dia turus tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, Anda masih harus menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Aku mau membantu Anda untuk mengurangi masa tahanan Anda. Bukankah lebih baik jika Anda lebih cepat
“Papa janji akan menjemput Mama dan Nafisa secepatnya, ‘kan?” Nafisa memelas. “Jangan sampai Papa Johan yang menjemput kami lebih dulu,” ujarnya dengan melengkungkan bibir ke bawah.“Papa Johan?” Deon mengerutkan keningnya. “Kenapa Papa Johan menjemput kalian? Itu tidak mungkin terjadi.” Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia pikir, Nafisa hanya bercanda.“Papa Johan menginap di sini kemarin malam,” ujar Nafisa polos.“Apa? Papa Johan menginap di sini? Kamu, Mama, dan Papa Johan tidur di kamar ini bertiga?” Deon melebarkan mata. Tiba-tiba terasa panas di dadanya.Nafisa menggelengkan kepala. “Hanya Nafisa dan Papa Johan. Mama tidur di kamar Nenek.” Nafisa menjelaskan. Dia sama sekali tidak menyadari jika papa sambungnya itu mulai cemburu.“Kenapa nenekmu dan mamamu mengizinkan Papa Johan menginap di sini?” Deon meminta penjelasan. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika mantan suami Melani bisa tinggal d rumah ini dan bertemu Melani, sementara dia tidak bisa. Bagaim