Melani telah mengantarkan Nafisa ke sekolah. Dia terus memegangi kepalanya yang sakit. Berjalan masuk ke sebuah cafe dekat dengan sekolah Nafisa.
“Kamu kenapa, Melani?” Seorang wanita berambut pendek yang disemir merah muda sudah duduk di dalam cafe.
“Kamu bilang ingin bercerita sesuatu kepadaku. Tapi, kenapa wajahmu pucat sekali? Seharusnya, kamu bilang jika memang sedang tidak enak badan. Aku bisa menjemputmu.” Perempuan itu lalu berdiri, menuntun Melani duduk di sebelahnya.
“Aku butuh pekerjaan, Desy,” ujar Melani. Perlahan duduk di bangku cafe. Masih memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.
“Pekerjaan? Bukankah Johan sudah memberimu segalanya? Apa terjadi sesuatu pada kalian?” Desy, sahabat Melani sejak di bangku sekolah bertanya karena penasaran. Dia sangat mengerti, sejak dulu Melani tidak memiliki keinginan untuk bekerja seperti dirinya. Melani sangat menikmati menjadi ibu rumah tangga. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya dengan mengerutkan kening.
“Aku dan Mas Johan akan bercerai.”
Ucapan Melani membuat Desy terkejut. Selama ini, Melani dan Johan terkenal sebagai pasangan yang kompak dan serasi. Mereka telah berpacaran sejak di bangku sekolah. Keduanya terlihat selalu bersama dan mesra. Bahkan, setelah mereka menikah, Desy tidak pernah mendengar pertengkaran di antara kedua pasangan tersebut.
“Apa aku tidak salah dengar?” Desy bertanya tidak percaya. “Bagaimana dengan Nafisa jika kalian berpisah?” lanjutnya bertanya penuh iba.
“Aku tahu, Nafisa terlalu kecil untuk mengalami semua ini. Dia terlalu kecil untuk melihat orangtuanya berpisah. Tapi, semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Desy. Mas Johan yang ingin menceraikanku,” aku Melani.
Sorot matanya layu saat mengingat Nafisa. Dia benar-benar tidak tega jika Nafisa harus menanggung beban akibat permasalahan yang dialami orangtuanya.
“Serius? Johan ingin menceraikanmu? Bagaimana bisa?” Setahu Desy, Johan sangat mencintai Melani. Laki-laki itu yang lebih dulu mengejar-ngejar Melani ketika di bangku sekolah dulu.
“Oh, iya. Kebetulan sekali, perusahaan kakakku sedang membutuhkan staff bagian administrasi. Aku akan membujuk dia untuk menerimamu bekerja di sana.”
Melani merasa lega. Setidaknya, dengan memiliki pekerjaan, dia bisa menghidupi dirinya sendiri dan juga Nafisa tanpa berharap pada Johan.
“Kabar bagus. Kak Evan sudah menerimamu sebagai karyawannya. Apa kamu bisa pergi ke Hotel Alva malam ini? Dia ingin menemuimu di sana untuk membahas masalah ini.” Seperti biasa, Desy memang teman yang bisa diandalkan. Belum satu jam dia sudah berhasil membujuk kakaknya untuk menerima Melani sebagai karyawannya.
“Tunggu! Tapi kenapa harus di hotel? Apa tidak ada tempat lain?” Melani bertanya bingung.
Desy mengangkat kedua bahu.
“Entahlah. Mungkin, selain bertemu denganmu, Kak Evan juga mempunyai janji dengan rekan bisnisnya di sana. Dia memang selalu begitu,” jawab Desy santai, “tenang saja. Aku akan menemanimu.”
Melani mengembangkan senyum. Desy memang selalu bisa diandalkan. Dia berdiri girang dan memeluk Desy serta mengucapkan terima kasih.
“Nanti saat bertemu Kak Evan, tolong jangan katakan apapun padanya. Jangan bilang padanya kalau aku akan bercerai dengan Mas Johan.” Melani menangkupkan kedua tangan. Memohon pada Desy.
“Tenanglah. Kamu tahu siapa aku? Aku tak akan pernah membocorkan rahasiamu.” Desy mengacungkan jempol tanda setuju.
“Apa kamu takut jika Kak Evan masih menyukaimu? Kamu tenang saja. Kak Evan sudah lama melupakanmu sejak kamu menikah. Lagi pula, sebentar lagi dia akan menikah,” ujar Desy panjang lebar.
Dia teringat dulu saat kakaknya mengejar-ngejar Melani bersaing dengan Johan. Saat itu, Melani memang cantik dan populer di sekolah, wajar jika banyak laki-laki yang menyukainya.
“Meski sebenarnya, aku lebih berharap jika kamu yang menikah dengan Kak Evan. Tapi sepertinya itu mustahil.” Desy tahu persis, Melani tidak akan pernah menyukai kakaknya.
****
Keduanya sudah tiba di Hotel tempat pertemuan mereka. Namun, telepon Desy tiba-tiba berdering. Teman Melani itu ternyata mendapat panggilan mendadak dari kantor.
“Maafkan aku, Melani. Sepertnya kamu harus menemui Kak Evan sendiri. Aku harus ke kantor sekarang.” Desy menunjukkan wajah gusar, kemudian berlari meninggalkan Melani begitu saja.
“Apa ini masuk akal? Dia meninggalkanku begitu saja saat kita sudah sampai di sini.” Melani bergumam lirih. Dia mengedarkan pandakngan ke sekeliling. Hotel yang luas dan besar.
Dia mengambil ponsel dari dalam tas miliknya, ragu-ragu memencet nomor ponsel seseorang. “Apa aku harus membatalkan pertemuan ini? Haruskah aku menundanya? Iya, aku akan mengirim pesan untuk Kak Evan. Aku tidak bisa menemui dia sendirian di hotel ini.”
Saat Melani berbalik hendak pergi, ternyata Kak Evan sudah berada di belakangnya.
“Melani? Kamu Melani, ‘kan?” Suara bariton laki-laki yang memakai setelan jas rapi itu mengagetkan Melani. Sudah lebih dari lima tahun sejak Melani menikah, dia tidak pernah bertemu dengan Evan. Laki-laki itu seperti tahu diri dan menjauh begitu mendengar kabar Melani akan menikah dengan Johan.
Evan dan Melani duduk berdua di kursi restoran yang sudah dipesan oleh Evan. Hanya ada mereka berdua.
“Mengapa hanya ada kita di sini, Kak?” Melani bertanya ragu-ragu. Merasa aneh dengan suasana di restoran itu. Ini adalah jam makan malam. Biasanya, restoran akan ramai pada jam-jam ini.
“Aku sengaja mem-booking tempat ini untuk kita, Melani.” Evan menatap Melani lekat. “Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini bersamamu.” Evan meraih tangan Melani dan menggenggamnya.
Melani menarik tangannya. Menghindar dari genggaman tangan Evan. “Aku wanita beristri, Kak. Kamu tidak boleh melakukan ini,” ucapnya tegas.
Evan adalah pria yang tampan. Apalagi, sekarang dia sudah mapan dan memiliki perusahaan sendiri. Namun, entah mengapa Melani tidak suka dengan perlakuan Evan kepadanya. “Aku dengar dari Desy, Kak Evan juga akan segera menikah,” ucap Melani ragu-ragu.
“Aku akan membatalkan pernikahanku jika kamu mau menikah denganku, Melani. Aku akan melakukan apa pun, asalkan kamu mau bersamaku.” Evan kembali menggenggam tangan Melani, bahkan terkesan memaksa. “Tolonglah! Kali ini jangan menolakku. Aku tahu semuanya tentangmu. Aku tahu, kamu dan Johan akan bercerai.”
“Dari mana Kak Evan tahu?” Melani menepis kasar tangan Evan dan berdiri menghindar.
“Meski aku bercerai dengan Johan, tetap saja aku tidak bisa bersamamu. Maafkan aku, Kak.”
Melani mengambil langkah hendak pergi, tetapi Evan tidak tinggal diam. Dia mengikuti Melani. Evan menarik lengan Melani dan menyeretnya masuk ke sebuah kamar hotel.
“Kali ini kamu tidak akan bisa menolakku lagi, Melani.” Evan mengunci pintu kamar dan mendorong tubuh Melani di atas tempat tidur.
“Apa yang mau kamu lakukan, Kak?” Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, jangan lakukan ini. Biarkan aku pergi.” Melani hendak berdiri, tetapi Evan lebih dulu menindih tubuhnya.
“Kamu tidak bisa ke mana-mana sekarang, Melani.” Mata elang Evan menatap Melani. Dia terlihat seperti seekor elang yang sudah sangat kelaparan, hendak menerkam Melani saat itu juga.
Dia merobek baju Melani. Perlahan, Evan melucuti pakaian Melani dari atas ke bawah. Saat hendak memasukkan sesuatu ke tubuh Melani, tiba-tiba terdengar suara pintu yang didobrak.
"Tolong, aku!"
Seorang laki-laki masuk ke dalam kamar saat Evan berusaha menindih tubuh Melani. Kedatangan laki-laki itu membuat Evan mengurungkan niatnya. Begitu juga Melani, dia membulatkan mata melihat laki-laki itu. Dia adalah laki-laki dingin yang dia jumpai di kantor Johan!“Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke dalam kamarku seperti itu. Pergi, atau aku akan memanggil keamanan untuk melemparmu dari sini.” Evan berdiri mendekati laki-laki dingin yang sudah berani mendobrak pintu kamarnya.“Kamu tidak tahu siapa aku? Aku Deon Alvarendra. Hotel ini milikku. Bukan aku yang akan pergi dari kamar hotel ini. Kamulah yang harus pergi.”Deon menarik lengan Evan, dan memberinya bogem mentah. Melempar Evan ke luar kamar hotel. “Urus laki-laki tidak bermoral itu. Dia sudah berusaha memperkosa seorang wanita di kamar hotel milikku,” titahnya pada dua orang pengawal yang berjaga di luar kamar sambil menatap dingin Evan. Semakin lama, tatapan matanya terasa seperti menusuk. Dia sedang mengancam Evan untuk t
“Gimana keadaanmu, Melani? Maafkan aku. Aku tidak tahu jika Kak Evan akan berbuat nekat.” Pagi-pagi sekali, Desy berkunjung ke rumah Melani. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kakaknya pada Melani kemarin malam. Dia bisa tahu semuanya karena Evan pulang dengan babak belur dan tanpa basa-basi menceritakan semuanya pada adiknya. “Aku sudah memarahi kakakku semalaman. Tolong maafkan dia ya?” mohon Desy. “Aku sudah memaafkan dia, Desy. Untung saja, seseorang menyelamatkanku saat Kak Evan hendak berbuat bej4t. Tapi tolong katakan pada Kak Evan agar tidak menggangguku lagi,” ucap Melani tegas. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Hari ini kamu mulai masuk bekerja di perusahaan kakakku, ‘kan?” tanya Desy. Masih menatap Melani dengan perasaan bersalah. Seandainya semalam dia menemani Melani saat menemui kakaknya, mungkin Kak Evan tidak akan berbuat sampai melampaui batas. Melani menggeleng-gelengkan kepala. “Seseorang yang semalam menyelamatkanku, dia memberiku pekerjaan di rumahnya
Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini. “Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain. “Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani. “Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?” Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi. “Tidak usah, Nona. Ini su
“Melani?” Johan menatap Melani yang sedang berjalan keluar dari butik. Tatapan matanya beralih pada tangan Melani yang sedang digenggam erat oleh Deon. Ada perasaan kesal saat melihat jemari yang dulu pernah dia pasangkan cincin, sedang berada dalam genggaman laki-laki lain. Tanpa menghiraukan Johan, Deon dan Melani terus berjalan mendekati mobil Ferrari LaFerrari hitam yang terparkir di depaan butik. Aldo bergegas membuka pintu mobil untuk Deon. Saat Deon hendak masuk ke dalam mobil, Melani menghentikannya. Sejak keluar dari butik, Melani hanya bengong memikirkan ucapan Deon saat di butik tadi. Dia menatap Deon tidak percaya. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar, Deon menyebutnya sebagai calon istri? "Maaf, Tuan. Saya rasa, tadi itu Anda terlalu berlebihan,” ucapnya terbata-bata. Deon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tidak ada waktu lagi. Masuklah segera ke dalam mobil. Kita bicarakan nanti,” ucapnya dengan wajah serius. Dia segera masuk ke dalam mobil, disu
Melani tertawa lebar tanpa ekspresi. "Apa Anda sedang melucu?" tanyanya pada Deon yang masih berdiri di hadapannya. Dia menelan ludah saat mencium wangi maskulin yang menyeruak bersamaan dengan wajah Deon yang semakin mendekat. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat dilihat dari jarak dekat. Apa mungkin laki-laki yang hampir sempurna bak titisan Dewa Merkurius ini ingin menikahi Melani yang hanya seorang janda?Wajah Deon terus mendekat, hingga jarak mereka kini tidak sampai sejengkal. Ditatap Deon dari jarak begitu dekat membuat jantung Melani bedebar dan serasa ingin meloncat. “Jadi apa jawabanmu? Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” tanya Deon serius.Melani terdiam dan mematung. Apakah Deon serius kepadanya? Dia memundurkan tubuh dan menarik wajah ke belakang untuk menjauhi Deon. Terdiam dan mematung tanpa bisa berkata-kata.Deon berdehem seraya mengatur napasnya. Tersenyum kecil seraya berkata, “Maafkan aku. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan semua ini. Tapi, sem
"Ah, Sial!" Melani menyalakan ponsel, menelepon seseorang untuk meminta bantuan, tetapi sebelum seseorang tersebut menjawab telepon Melani, ponselnya lebih dulu mati. Dia mengumpat lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Evan melirik Melani. "Kamu tidak akan bisa menghubungi siapapun, Melani," ucapnya seraya tersenyum menyeringai. Dia mempercepat laju mobilnya. Di tempat lain, mobil yang dikemudikan Deon melaju dengan kecepatan maksimal. Bak seorang pembalap profesional, dia terus menyalip mobil-mobil yang ada di depannya. Di belakangnya, Aldo mengikuti menggunakan mobil yang berbeda.Evan menghentikan mobil tepat di depan sebuah penginapan di dekat laut. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Menoleh ke arah Melani seraya terseyum licik. "Akhirnya kita sampai, Melani."Melani menatap Evan penuh amarah. Jika dia tidak sedang menggendong Nafisa yang telah terlelap, mungkin dia akan memaki Evan habis-habisan. Dia bahkan tidak sabar ingin memukuli lelaki psikopat tersebut. E
"Ibu?" Melani melihat Namira dari kejauhan. Di samping Namira, Bonita duduk bersama Johan. Mereka sedang berada di rumah sakit. Tepatnya di depan kamar rawat untuk pasien.Melani berjalan sempoyongan. Di sampingnya, wanita berpakaian serba hitam memegangi dan menuntunnya. Wanita itu ditugaskan Deon untuk menjaga Melani. "Pergilah! Aku bisa berjalan sendiri," ujar Melani lirih pada wanita berpakaian serba hitam tersebut."Maaf, Nona. Tuan Deon telah menugaskan saya untuk menjaga Anda. Saya tidak berani menolaknya," ucap wanita berpakaian hitam kepada Melani. "Mari, saya akan mengantar Anda untuk melakukan pemeriksaaan," ucapnya sopan."Tidak. Aku harus menemui anakku lebih dulu," elak Melani. Dia berjalan menghampiri Namira yang telah berada di depan kamar perawatan Nafisa.Sampai di depan kamar rawat Nafisa, Melani berhambur memeluk Namira. "Bagaimana keadaan Nafisa, Bu?" Dia bertanya serius."Kak Melani harus bertanggung jawab. Gara-gara kecerobohan Kak Melani, Nafisa harus mengalami
Menjelang pagi, Evan masih terikat di atas kursi. Tepat di belakang penginapan yang berbatasan langsung dengan laut. Hujan deras mengguyurnya, dan Aldo hanya menatapnya dari jauh.Di rumah sakit, Nafisa mulai menggerakkan jemarinya dan membuka mata. Dokter telah memeriksanya dan memutuskan untuk melepaskan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidung Nafisa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Melani cemas. "Alhamdulillah, karena cepat ditolong, anak Ibu masih selamat. Seandainya anak Ibu terlambat diangkat dari air dalam hitungan beberapa detik saja, mungkin akibatnya sudah fatal. Berterima kasihlah pada orang yang sudah menyelamatkan anak Ibu." Dokter menjelaskan panjang lebar. Melani segera memeluk Nafisa. "Maafkan Mama, Nak," ucapnya lirih. "Mama yang membuatmu seperti ini," lanjutnya, menatap Nafisa penuh penyesalan. "Kamu memang tidak bisa diandalkan, Melani. Itu sebabnya aku ingin Nafisa ikut bersamaku." Tiba-tiba Johan masuk ke dalam kamar rawat Nafisa. Dia tidak m
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Syarat lagi? Apa itu?” Deon bertanya pada mamanya. Dia akan melakukan apa pun, asalkan kedua orangtuanya mau merestui hubungan pernikahan dia dan Melani.“Papa dan Mama tidak hadir di pesta pernikahan kalian dulu. Jadi, Mama mau kalian mengadakan pesta pernikahan lagi. Kali ini harus meriah. Aku mau seluruh teman Mama dan rekan bisnismu diundang di pesta itu.” Mama Deon berkata panjang lebar.Deon dan Melani saling berpandangan. Mereka mengangguk pasti. Keduanya tersenyum bahagia setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Deon. Rasanya, satu beban yang mengganjal di hati mereka telah terbebas dan lepas.“Sekarang, kita tinggal meminta restu pada ayahmu, Melani,” gumam Deon. Melani mengangguk setuju.“Deon, Mela, bolehkah kami meminta bantuan kalian?” ujar Papa Deon memohon. “Aku ingin bertemu dengan Brian Atmajaya, ayah Melani. Bisakah kalian membawaku ke sana?” lanjutnya.Deon dan kedua orangtuanya pergi untuk menjenguk Brian Atmajaya di Lapas. Sementara, Melani akan menyusul set
“Apa kamu tidak bercanda, Deon? Mela, istrimu?” Mama dan Pap Deon bertanya serempak. Mereka saling berpandangan untuk sejenak. Tidak percaya dengan pengakuan Deon barusan.“Kamu pasti berbohong, Deon! Kamu berbohong agar kami merestui hubungan kalian. Sejak kapan kamu mulai berani berbohong?” Papa Deon menatap tajam anaknya.“Aku setuju! Aku juga menyangsikan ucapanmu, Deon. Mana mungkin Mela adalah istrimu? Jelas-jelas mereka adalah orang yang berbeda. Istrimu berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan Mela hanya gadis sederhana yang berasal dari kelas menengah. Mereka sangat berbeda, Deon.” Mama Melani menyangkal.“Pa, Ma, tapi Mela benar-benar telah menjadi istriku istriku. Mela dan Melani adalah orang yang sama. Nama lengkapnya Melani Atmajaya, saat di sekolah dulu, teman-teman kami memanggilnya Mela.” Deon menjelaskan panjang lebar. Dia menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil napas, kemudian kembali me
“Bagaimana Anda akan mengeluarkan Brian Atmajaya dari penjara?” Aldo bertanya pada Deon. “Apa itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku?” lanjutnya.“Itu bukan hal yang sulit.” Deon tersenyum miring. “Kamu tahu, hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sebenarnya aku tidak ingin membeli hukum, tapi jika itu demi kebaikan, kenapa tidak? Lagi pula aku bukan membela orang yang salah. Bukankah Brian Atmajaya tidak bersalah? Dia hanya dijebak,” ujarnya panjang lebar.“Lalu, apakah menurut Anda Brian Atmajaya akan menepati janjinya? Apa dia berani mengambil tindakan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaannya, sementara tindakan itu mendapatkan pertentangan dari banyak pihak?” Aldo bertanya penasaran. Dia khawatir Brian Atmajaya akan mengingkari janjinya.“Jangan khawatir, Aldo. Aku tidak peduli dengan langkah apa yang akan diambil ayah mertuaku s
Maaf semuanya, dua bab terakhir yang berjudul Direktur Baru dan Ayah Mertua terbalik karena kesalahan teknis saat posting. Seharusnya baca bab Ayah Mertua lebih dulu baru kemudian baca bab Direktur Baru. Sekali lagi mohon maaf ya. Akan segera diperbaiki.Oh ya, kalian juga bisa membaca karya aku lainnya di Good Novel yang berjudul "Dicerai Setelah Malam Pertama" (Nama pena Norasetyana), hanya 40 bab yaFollow juga sosmed-ku juga yaF* Norasetya (Mommykhaa)I* NuurahmaaSelamat malam. Selamat berakhir pekan. Semoga cerita-ceritaku ini bisa menghibur bagi kalian. Semoga kita semua dilancarkan rejekinya dan diberi kesehatan, aamiin.Menjadi Janda Tajir Melintir akan segera tamat di bab 130-an. Selamat membaca. Ikuti terus ceritaku ya.
“Ayah tenang saja. Aku akan mengusahakan Ayah agar segera keluar dari penjara ini,” ujar Deon pasti. “Ayah tidak akan mengingkari janji, ‘kan? Ayah akan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol?” Dia bertanya memastikan. Brian hendak mengangguk pasti, tapi Nenek Karmila memelototinya. “Itu tidak akan terjadi. Apa kamu pikir aku tidak tahu, mengapa kamu meminta kami menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaan kami?” Nenek Karmila menghentikan kalimatnya sejenak. “Itu karena perusahaan kalian sedang merencanakan untuk membangun bidang usaha yang sama. Kalian ingin menyingkirkan pesaing berat yang akan mengganggu penjualan perusahaan kalian,” lanjutnya. Deon hendak membela diri, tetapi tiba-tiba dua orang sipir datang menghampiri mereka. “Waktu jenguk sudah habis. Sekarang, sebaiknya kalian pulang. Kami akan mengantar narapidana kembali ke tahanan.” Mereka menangkap kedua tangan Brian dan membawanya masuk ke sel tahanan. Sementara itu
“Siapa kalian?” Brian Atmajaya bicara dengan terbata-bata. Dia terus menatap dua orang laki-laki di depannya. Laki-laki yang berusia jauh lebih muda darinya. “Apakah kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Pasti orang perusahaan yang menyuruh kalian menemuiku. Pulanglah! Aku tidak ingin membahas pekerjaan selama di sini,” ujarnya seraya memalingkan muka. “Kami tidak ingin membahas pekerjaan, Pak. Kami ke sini karena ingin membantu Anda keluar dari tempat ini,” ujar Deon meyakinkan. Dia tidak mengungkapkan identitas dia yang sebenarnya kepada laki-laki yang mengenakan baju tahanan. “Sungguh?” Brian melebarkan mata tidak percaya. Dia tertawa keras. “Bagaimana kamu bisa membebaskan aku dari sini? Sementara keluargaku yang kaya saja tidak bisa melakukannya?” Dia turus tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, Anda masih harus menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Aku mau membantu Anda untuk mengurangi masa tahanan Anda. Bukankah lebih baik jika Anda lebih cepat
“Papa janji akan menjemput Mama dan Nafisa secepatnya, ‘kan?” Nafisa memelas. “Jangan sampai Papa Johan yang menjemput kami lebih dulu,” ujarnya dengan melengkungkan bibir ke bawah.“Papa Johan?” Deon mengerutkan keningnya. “Kenapa Papa Johan menjemput kalian? Itu tidak mungkin terjadi.” Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia pikir, Nafisa hanya bercanda.“Papa Johan menginap di sini kemarin malam,” ujar Nafisa polos.“Apa? Papa Johan menginap di sini? Kamu, Mama, dan Papa Johan tidur di kamar ini bertiga?” Deon melebarkan mata. Tiba-tiba terasa panas di dadanya.Nafisa menggelengkan kepala. “Hanya Nafisa dan Papa Johan. Mama tidur di kamar Nenek.” Nafisa menjelaskan. Dia sama sekali tidak menyadari jika papa sambungnya itu mulai cemburu.“Kenapa nenekmu dan mamamu mengizinkan Papa Johan menginap di sini?” Deon meminta penjelasan. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika mantan suami Melani bisa tinggal d rumah ini dan bertemu Melani, sementara dia tidak bisa. Bagaim