“Selamat pagi Kania, aku membawakanmu kopi, agar kau tidak mengantuk.” ucap seorang pria tampan berkulit tan, saat ini mereka bertemu di pintu masuk gedung kantor J.Inc. Tangannya mengulur satu cup kopi hangat untuk Kania.
“Terimakasih, Johnny.” Kania menerima kopi pemberian dari Johnny dengan tersenyum cerah kerah pria di sebelahnya ini, orang yang selalu gemar mendekati dirinya di kantor.
“Ku lihat tadi kau turun dari bus yang bukan biasanya, Kania. Apa apartemenmu sudah pindah?” pertanyaan Johnny langsung membuat Kania terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa.
“Emm ... aku menginap di rumah pamanku.” Kania menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dirinya jelas berbohong karena Ashila tidak mempunyai paman maupun bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
“Ah, begitu. Aku kira apartemenmu sudah pindah.” mereka berdua pu masuk ke dalam lift dan menekan tombol 27. Sebelum pintu tertutup, sebuah kaki menahan pintu lift, pintu pun kembali terbuka, dan nampaklah seorang pria tampan yang merupakan CEO J.Inc.
“Pak Jeffrey, lift ini untuk para staf dan karyawan, lift untuk para petinggi ada di sebelah.” ucap Kania yang merasa heran melihat Jeffrey menghalangi pintu lift.
“Saya sedang ingin naik lift ini.” jawab Jeffrey dan langsung mengambil posisi ditengah antara Kania dan Johnny.
Kania kembali merasa kesal, masih pagi tapi Jeffrey sudah membuat ia kesal berkali-kali.
“Johnny Suh, kenapa kau tidak memencet tombol lantai 26?” tanya Jeffrey kepada pria berdarah Amerika itu.
“Hmmm ... saya bermaksud ingin mengantar Kania terlebih dahulu keruangannya, Pak.” jawab Johnny dengan suara pelan.
“Tidak perlu. Kania akan tetap aman walaupun tidak diantar olehmu. Lebih baik kau fokuslah pada pekerjaanmu, berhenti mengganggu Kania.” Jeffrey berucap dengan suara tegasnya.
“Baik, Pak.” Johny membungkuk ke arah Jeffrey, sebelum akhirnya ia tersenyum ke arah Kania dan disambut senyuman manis dari wanita cantik itu.
“Ekhm ...” Jeffrey berdehem kala ia dapati istrinya tersenyum pada pria lain.
“Kania, setelah ini kau langsung ke ruanganku.” suara Jeffrey terdengar sangat dingin.
“Baik, Pak.” jawab Kania dengan terpaksa, ingin sekali rasanya ia pukul dari belakang kepala bos nya ini.
Pintu lift terbuka di lantai 26, tempat dimana ruangan Johnny sebagai staf keuangan berada.
“Semangat, Kania ...!” sebelum turun pria berkulit tan itu menyemangati Kania, senyum merekah diwajah tampannya.
“Semangat kembali, Johnny ...!” Kania pun membalas dengan sedikit gaya cute, yang mana membuat Johnny lansung merasa gemas.
“Sedang apa kalian? Johnny Suh! Berani-beraninya kau mengganggu sekretarisku, cepat sana keluar!” Jeffrey merasa geram ketika ia lihat bagaimana interaksi mereka berdua.
“Baik, Pak.” Johnny keluar dari lift setelah sebelumnya ia membungkukkan badannya kepada Jeffrey
“Menyebalkan sekali, Johnny Suh itu.” gerutu Jeffrey ketika pintu lift sudah kembali tertutup, kini hanya ia dan Kania yang berada di dalam lift.
“Kau yang menyebalkan, ini lift khusus untuk staf dan karyawan, dan lift mu bukan di sini.” balas Kania tidak mau kalah.
“Terserah aku mau naik lift manapun, ini perusahaanku.” Jeffrey membalas dengan sombongnya.
“Cih ... sombong sekali kau. Pagi-pagi sudab membuat orang lain kesal.” Kania melangkahkan kakinya keluar, karena kini lift yang mereka naiki sudah sampai di lantai tujuan.
“Ke ruanganku sekarang, Kania.” ucap Jeffrey dengan suara tegasnya.
“Baik, Pak.” Kania menunjukkan senyuman terpaksanya. Ia berjalan mengekori Jeffrey, kemudian masuk ke dalam ruangan CEO
Di dalam ruangan, Jeffrey langsung menaruh tas nya di atas meja, Kania pun menaruh tas nya di atas kursi.
“Ikut aku ke dalam.” perintah Jeffrey terdengar mutlak, pria tampan itu melangkah menuju kamar pribadinya.
“Oh? Untuk apa?” tanya Kania yang masih tidak paham.
“Jangan banyak tanya. Ikut saja.”
Dengan langkah terpaksa, Kania menuruti saja apa yang Jeffrey perintahkan.
Sesampainya di kamar pribadi, Jeffrey langsung mendorong tubuh Kania ke tembok, lalu ia kunci tangan Kania dengan dasi yang sudah Jeffrey persiapkan.
“Apa-apaan ini, Jeffrey?!” pekik Kania.
“Kau harus ku hukum karena sudah bersikap centil kepada pria lain!” Jeffrey masih berusaha mengikat tangan Kania.
“Lepaskan tanganku, Jeffrey! Lepaskan!!” Kania terus meronta, pergelangan tangannya mulai terasa sakit.
“Diam! Kau ingat kan tujuan pernikahan kita untuk apa?! Untuk mempunyai anak darimu. Jadi sekarang diamlah, karena aku akan melakukannya.” Jeffrey menatap tajam kearah mata Kania, sementara wanita cantik di hadapannya itu sudah meronta ketakutan.
Dengan sekali tarikan, Jeffrey langsung melempar tubuh Kania diatas ranjang, dan Jeffrey langsung mengukung tubuh istrinya.
“Tolong jangan lakukan itu, Jeff.” Kania terus meronta dibawah kukungan Jeffrey, tangannya diikat kencang diatasi kepalanya.
“Diamlah! Kita sudah menikah. Aku berhak melakukan ini kepada istriku sendiri. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi.” Jeffrey mulai menciumi leher jenjang Kania, menghirup aroma vanilla yang menguar dari tubuh wanita itu.
“Hiks ... jangan, Jeff.” Kania mulai menangis, ia kembali tersiksa dengan perlakuan Jeffrey.
“Tadinya aku tidak mau melakukan ini. Tapi kau yang membuatku emosi, Kania Pratama. Jadi kau harus menerima hukumanku.” Jeffrey mulai melepaskan kancing kemeja Kania satu persatu, dan melepaskan ikatan bra yang menutupi gunung kembarnya, hingga terpampang jelas di hadapan pria tampan itu.
“Jeffrey ...!” pekik Kania ketika mulut suaminya itu mulai menyapa permukaan dadanya, menimbulkan sengatan aneh yang belum pernah Kania rasakan sebelumnya. Harusnya ia merasakannya dengan seseorang yang ia sayangi dan juga menyayanginya, bukan dengan pria yang amat sangat Kania benci di dunia ini.
“Sshh ... Kania, tubuhmu sangat harum. Aku sangat menyukai tubuhmu.” Jeffrey terus meracau dengan mulutnya yang masih bermain-main dengan dada Kania.
“Jeff, ku mohon hentikan.” tangisan Kania semakin pecah, tubuhnya masih terus meronta.
“Aku bilang diam! Apa kau lupa dengan surat perjanjian kita yang kau sepakati? Kita sudah tanda tangan diatas materai.” ucap Jeffrey, suaranya sedikit meninggi.
Dan Kania langsung terdiam mendengar ucapan Jeffrey, wanti cantik itu masih terisak. Namun sudah tidak lagi memberontak.
***
*Flashback
Jeffrey dan Kania masih tetap terdiam di dalam mobil, mereka berdua belum melanjutkan kembali perjalanan menuju Jakarta.
Keduanya masih sama-sama dipenuhi fikiran masing-masing. Sedangkan Kania, wanita cantik itu lebih tenang, ia sudah tidak lagi menangis.
“Saya akan menikah dengan, Bapak. Tapi harus dengan perjanjian diatas materai.” ucap Kania memecah suasana.
“Apa yang kau inginkan? Tulis saja, saya akan menyetujuinya. Saya juga akan meminta beberapa poin perjanjian.” sahut Jeffrey.
“Baik, besok saya akan menunjukkan padamu apa saja syarat perjanjiannya. Sekarang antarkan saya pulang ke apartemen, saya ingin istirahat.”
Jeffrey kembali memacu mobilnya menuju Jakarta, perjalanan dari Bandung harusnya tidak memakan waktu terlalu lama seperti sekarang. Namun ada sedikit pertengkaran antara ia dan Kania, hingga memakan waktu sekitar satu jam berdiam di dalam mobil.
Keesokan paginya, sebelum Jeffrey dan Kania berangkat menuju butik untuk melakukan fitting gaun dan jas pengantin, mereka berdua diharuskan menandatangani terlebih dahulu selembar kertas yang berisikan perjanjian.
Beberapa poin yang Kania ajukan antara lain; bahwa Jeffrey tidak akan meninggalkan Kania setelah anaknya lahir, Jeffrey tidak akan lepas tanggung jawab untuk selalu mencukupi kebutuhan hidup Kania dan Jeffrey tidak akan melakukan kekerasan fisik.
Sementara poin yang Jeffrey ajukan antara lain; Kania tidak menolak ketika diajak berhubungan intim, kecuali ada alasan yang tepat, seperti sedang sakit atau kelelahan.
Kania mengerutkan keningnya membaca poin yang diajukan oleh Jeffrey.
“Apa-apaan ini? Anda seperti seenaknya sendiri, Pak Jeffrey.” Kania jelas menolak poin yang dituliskan oleh Jeffrey.
“Kita impas kan? Kau akan selamanya menjadi istri saya, dan saya akan memenuhi semua kebutuhanmu, saya juga tidak akan melakukan kekerasan fisik padamu selama kita menikah, poin yang kau ajukan lebih banyak daripada yang saya ajukan. Saya hanya minta itu saja, Kania.” sebuah seringaian tercetak diwajah Jeffrey.
“Lagi pula tujuan pernikahan kita memang untuk memiliki anak bukan? Ingat kedua orangtuamu. Mereka sangat menyukaiku dan sangat berterimakasih dengan bantuan yang sudah saya berikan.” lanjutnya lagi.
“Jika bukan karena sikap sok pahlawanmu, orangtuaku tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini!” balas Kania dengan mata memerah menahan amarah.
“Terserah kau mau mengatakan apa. Tapi yang jelas, kalau saja waktu itu saya tidak datang tepat waktu. Mungkin sekarang keluarga mu sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi.”
Kania mengepalkan tangannya kesal, kalau bukan karena pria brengsek itu yang sudah menolong keluarganya. Tentu saja Kania akan menolaknya mentah-mentah pernikahan sialan ini.
“Baiklah ... berikan bolpoinnya, biar saya tandatangani.” Kania mendesah kesal, emosinya sudah memenuhi rongga dadanya sampai terasa sesak.
“Semoga anda tidak pernah lupa dengan perjanjian kita ini, Kania Pratama.” Jeffrey tersenyum. Namun itu justru terlihat sangat memuakkan dimata Kania.
“Namaku Kania Rahma, kalau anda lupa!”
“Tapi sebentar lagi kau akan menjadi Kania Pratama.”
Kania memutar bola matanya malas, sungguh lelah berdebat dengan pria kurang ajar seperti Jeffrey tak akan bisa untuk dilawan.
*Flashback off
***
“Bagaimana? Kau sudah ingat?”
Namun Kania tak bergeming, ia masih terisak. Sentuhan Jeffrey pada tubuhnya yang terkesan memaksa serasa sedang melecehkannya.
“Aku tidak pernah ada niatan untuk menghukummu seperti ini Kania. Aku sangat kesal ketika melihat melihatmu menggoda pria lain. Kau istriku! Kita sudah bersumpah di hadapan Tuhan. Pernikahan kita ini nyata terjadi. Aku marah sampai ingin rasanya segera menghabisimu.” ucap Jeffrey dengan emosi yang menyulut.
“Tolong jangan perlakukan aku dengan kasar, hiks ... aku takut.” tangisan Kania terdengar semakin pilu. Perlahan emosi Jeffrey pun mulai mereda, ia tak tega melihat istrinya menangis akibat perbuatannya.
Tangan Jeffrey kembali terulur untuk menutupi kancing kemeja Kania. Ia buka ikatan dasi yang membelit lengan istrinya. Dan segera Jeffrey bawa Kania kedalam pelukannya.
“Maafakn aku yang membuatmu takut, Kania.” Jeffrey mengusap surai panjang kecoklatan Kania.
“Tolong jangan sakiti aku, Jeff. Aku mohon.” wanita cantik itu semakin kencang didalam pelukan Jeffrey, ia tumpahkan segala rasa sesak di dadanya.
“Maafkan aku ... tolong jangan menggoda pria lain lagi atau menunjukkan senyuman manismu ke mereka, aku sangat cemburu.” ucap Jeffrey dengan suara yang lembut, tangannya masih menepuk pelan punggung Kania.
“Maafkan aku, Kania Pratama ... aku tidak akan memaksamu lagi. Aku akan melakukannya ketika kau siap.”
Setelah kejadian tadi pagi, Jeffrey lebih lembut dalam memperlakukan Kania, wanita cantik itu sudah sering menangis dihadapannya. Namun entah mengapa tangisannya tadi pagi jauh memilukan, sampai rasanya hati Jeffrey ikut tersayat ketika mendengarnya.Belum lagi ketika istri kecilnya itu mengatakan bahwa ia takut dengan perlakuan Jeffrey, dengan tangisan yang terisak Kania mengutarakan ketakutannya. Secara perlahan, emosi yang sudah memenuhi rongga dada Jeffrey pun semakin meredam.Namun tetap saja, Kania masihlah mendiamkannya. Sampai ketika makan siang pun Kania bersikeras mengatakan bahwa ia akan makan siang bersama kedua sahabatnya.Kali ini Jeffrey harus lebih sabar memang, jika ia gegabah sedikit sajaㅡ bisa jadi istri cantiknya itu akan pergi meninggalkan dirinya dari hidupnya, dan mengacaukan semua rencana yang nyaris akan berhasil itu.Di sebuah meja cafetariaㅡ lebih tepatnya kantor J.inc. Kan
Jeffrey mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi saat ini, dirinya benar-benar sangat khawatir dengan keadaan istrinya itu. Jika Luna sedang demam tinggi, maka bukanlah pertanda yang baik untuknya, karena bisa saja istrinya sedang kritis.Namun sayangnya, jalanan Ibukota Jakarta tengah macet saat sore hari seperti ini, hingga membuat Jeffrey mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan.“Aarrghh...! Sial! Jalanan sangat macet. Aku harus segera sampai Penthouse saat ini.” geram Jeffrey, pria tampan itu tengah menahan kekesalannya saat ini.Tin! Tin!“Ayolah... Aku harus melihat keadaan istriku!” Jeffrey berkali-kali memukul stir mobilnya dengan kesal, dirinya sangat takut jika terlambat sampai rumah nanti.Emosinya memuncak ketika jalanan masih dalam keadaan macet, diambilnya benda pipih itu dari dalam saku jas mahalnya, untuk kemudian mendial nomo
Seorang wanita cantik terus menerus sedang menatap keluar jendela bus yang ia tumpangi, dirinya berkali-kali menghela nafasnya dalam. Entah apa yang ia fikirkan saat ini.Johnny, lelaki tampan yang mengantarkan dirinya juga ikut menatap ke luar jendela bus yang mereka tumpangi. Namun bukannya menatap kearah jalan, melainkan menatap wanita cantik pujaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Beberap kali lelaki keturunan Amerika itu mendengar helaan nafas yang keluar dari ranum merah muda Kania. Meskipun Johnny meminta dirinya untuk curhat kepadanya, namun dengan tegas wanita cantik itu menolaknya dengan halus, dan Johnny menghargai keputusannya. Dan ia memutuskan sendiri untuk mengantarkan Kania pulang, meskipun awalnya ditolak. Namun karena Johnny khawatir, Kania mengiyakan ajakannya, Johnny hanya takut saja kalau terjadi sesuatu kepada wanita cantik itu. Johnny hanya ingin memastikan bahwa Kania pulang dengan selamat.“Umm... apa kau mau jalan-jalan?&rdq
Membeli ice cream rupanya membuat perasaan Kania sedikit lebih tentram. Memang, ketika kita sedang merasa marah pada seseorang, makanan manis memanglah membuatnya meredam kemarahan tersebut.Kania dan Johnny baru saja keluar dari kedai ice cream itu dengan membeli lagi ice cream cone rasa coklat untuk keduanya, dan berjalan menuju apartemen yang ditinggali Kania bersama teman-temannya. Keduanya tidak mengobrol lebih saat ini, keduanya masih senantiasa menikmati makanan manis milik mereka.“Mau duduk di taman dulu.” tanya Johnny ketika melewati taman dekat apartemen.“Boleh, aku juga ingin menikmati angin sore hari ini.” jawab Kania, dan keduanya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke taman itu, serta duduk di bangku taman dengan cone ice cream yang masing-masing mereka genggam.Sebenarnya terbesit rasa bersalah yang Kania rasakan saat ini, walau bagaimanapun statusnya masihlah
Di dalam kamarnya, Kania merebahkan tubuh lelahnya ke kasur yang tidak sebesar dari apartemennya yang baru. Namun cukuplah untuk merilekskan tubuhnya yang lelah.Entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah lelah baginya. Pekerjaan yang memang begitu menumpuk, rivisi berkas-berkas yang akan datang, persiapan meeting lusa, dan juga masalah hati. Ah, ngomong-ngomong masalah hati. Kania tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.Kadang Kania merasa kesal saat Jeffrey berlaku seenaknya, kadang dirinya tidak suka jika Jeffrey berbohong kepadanya, kadang juga Kania merasa iri dengan istri pertamanya, Luna. Jeffrey begitu sangat perhatian kepada Luna, sedangkan dirinya? Bukankah Kania hanya sebatas seorang istri rahasia saja? Tapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Walaupun sesaat?Saat di tanam tadi sore bersama Johnny, Kania ingat handphone miliknya berbunyi karena panggilan dari lelaki Pratama di sana.Dengan perlahan, Kania merogoh benda pipi
“Selamat Pagi ...”Sapaan itu keluar dari wanita bersurai pendek, dengan kemeja lengan panjang juga rok span yang membalut tubuh kecilnya nampak sangat menggemaskan.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang kerasukan?” sindir Jessie merasa khawatir kepada sahabatnya ini.Vitaㅡ wanita yang menyapanya di Pagi hari yang cerah ini mengerucutkan bibirnya sebal, “Kau ini ... tidak bisa melihatku bahagia, ya?” selanya seraya mengambil nasi goreng yang sudah siap dihidangkan oleh sahabatnya.Jessie hanya bisa menggelengkan kepalanya bosan melihat tingkah dari Vita.“Tunggu ... ini, kenapa ada tiga piring? Apa kau makan dengan dua porsi? Bukankah kau bilang ingin diet, Jess?” tanya Vita merasa aneh dengan sarapan Pagi kali ini, terdapat tiga piring?“Tidak, itu buat Kania.” jawaban dari Jessie berhasil m
Sedangkan Pagi hari ini tepatnya di Penthouse Pratama, kedua sepasang suami-istri itu tengah berdiri di balkon kamarnya, dengan sang istri yang duduk di kursi roda, dan sang suami yang senantiasa menemaninya di belakang.“Kau tidak ke kantor, Jeff?” tanya Luna pada Jeffrey, merasa heran karena Jeffrey tidak berpakaian rapi layaknya hari kerja. Padahal 'kan sekarang bukan hari weekend pikirnya.“Aku akan izin tiga hari untuk menemanimu.” jawab Jeffrey dengan senyum tampannya.Luna menghela nafasnya pelan, “Jeff, aku tifak apa-apa. Kemarin hanya deman biasa saja, kau tidak usah pikirkan aku.”Jeffrey bertumpu dengan lututnya di hadapan Luna.“Bagaimana aku tidak memikirkan mu, Luna. Kau masihlah istriku, dan akan seperti itu.” ucap Jeffrey sambil menggenggam tangan pucat istrinya.Hati Luna menghangat seketika, Je
Seorang pria tampan bertubuh atletis itu berjalan dengan gagahnya, matanya memandang lurus ke depan dengan angkuhnya.Dibalut dengan tuxedo mewahnya, pria tampan itu berjalan dengan langkah besar. Di setiap langkahnya sering terdengar sapaan dari para karyawan juga para staffnya.“Selamata pagi, Pak Jeffrey.” sapa sang sekretaris ketika melihat bos nya itu sudah berada di hadapannya.“Pagi, Kania. Ada jadwal apa hari ini?” tanya Jeffrey to the point.“Hari ini, Bapak ada meeting bersama klien dari Singapura pukul 2 siang, Pak.” jawab Kania dengan suara lembutnya.“Okay... Segera kamu urus persiapannya nanti, ya.” titahnya kemudian.“Dan, kamu ikut saya ke dalam. Ada berkas yang harus kamu kerjakan.” lanjut pria tampan itu dengan perintahnya pada sang sekretaris.Wanita cantik itu
Seorang pria tampan bertubuh atletis itu berjalan dengan gagahnya, matanya memandang lurus ke depan dengan angkuhnya.Dibalut dengan tuxedo mewahnya, pria tampan itu berjalan dengan langkah besar. Di setiap langkahnya sering terdengar sapaan dari para karyawan juga para staffnya.“Selamata pagi, Pak Jeffrey.” sapa sang sekretaris ketika melihat bos nya itu sudah berada di hadapannya.“Pagi, Kania. Ada jadwal apa hari ini?” tanya Jeffrey to the point.“Hari ini, Bapak ada meeting bersama klien dari Singapura pukul 2 siang, Pak.” jawab Kania dengan suara lembutnya.“Okay... Segera kamu urus persiapannya nanti, ya.” titahnya kemudian.“Dan, kamu ikut saya ke dalam. Ada berkas yang harus kamu kerjakan.” lanjut pria tampan itu dengan perintahnya pada sang sekretaris.Wanita cantik itu
Sedangkan Pagi hari ini tepatnya di Penthouse Pratama, kedua sepasang suami-istri itu tengah berdiri di balkon kamarnya, dengan sang istri yang duduk di kursi roda, dan sang suami yang senantiasa menemaninya di belakang.“Kau tidak ke kantor, Jeff?” tanya Luna pada Jeffrey, merasa heran karena Jeffrey tidak berpakaian rapi layaknya hari kerja. Padahal 'kan sekarang bukan hari weekend pikirnya.“Aku akan izin tiga hari untuk menemanimu.” jawab Jeffrey dengan senyum tampannya.Luna menghela nafasnya pelan, “Jeff, aku tifak apa-apa. Kemarin hanya deman biasa saja, kau tidak usah pikirkan aku.”Jeffrey bertumpu dengan lututnya di hadapan Luna.“Bagaimana aku tidak memikirkan mu, Luna. Kau masihlah istriku, dan akan seperti itu.” ucap Jeffrey sambil menggenggam tangan pucat istrinya.Hati Luna menghangat seketika, Je
“Selamat Pagi ...”Sapaan itu keluar dari wanita bersurai pendek, dengan kemeja lengan panjang juga rok span yang membalut tubuh kecilnya nampak sangat menggemaskan.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang kerasukan?” sindir Jessie merasa khawatir kepada sahabatnya ini.Vitaㅡ wanita yang menyapanya di Pagi hari yang cerah ini mengerucutkan bibirnya sebal, “Kau ini ... tidak bisa melihatku bahagia, ya?” selanya seraya mengambil nasi goreng yang sudah siap dihidangkan oleh sahabatnya.Jessie hanya bisa menggelengkan kepalanya bosan melihat tingkah dari Vita.“Tunggu ... ini, kenapa ada tiga piring? Apa kau makan dengan dua porsi? Bukankah kau bilang ingin diet, Jess?” tanya Vita merasa aneh dengan sarapan Pagi kali ini, terdapat tiga piring?“Tidak, itu buat Kania.” jawaban dari Jessie berhasil m
Di dalam kamarnya, Kania merebahkan tubuh lelahnya ke kasur yang tidak sebesar dari apartemennya yang baru. Namun cukuplah untuk merilekskan tubuhnya yang lelah.Entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah lelah baginya. Pekerjaan yang memang begitu menumpuk, rivisi berkas-berkas yang akan datang, persiapan meeting lusa, dan juga masalah hati. Ah, ngomong-ngomong masalah hati. Kania tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.Kadang Kania merasa kesal saat Jeffrey berlaku seenaknya, kadang dirinya tidak suka jika Jeffrey berbohong kepadanya, kadang juga Kania merasa iri dengan istri pertamanya, Luna. Jeffrey begitu sangat perhatian kepada Luna, sedangkan dirinya? Bukankah Kania hanya sebatas seorang istri rahasia saja? Tapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Walaupun sesaat?Saat di tanam tadi sore bersama Johnny, Kania ingat handphone miliknya berbunyi karena panggilan dari lelaki Pratama di sana.Dengan perlahan, Kania merogoh benda pipi
Membeli ice cream rupanya membuat perasaan Kania sedikit lebih tentram. Memang, ketika kita sedang merasa marah pada seseorang, makanan manis memanglah membuatnya meredam kemarahan tersebut.Kania dan Johnny baru saja keluar dari kedai ice cream itu dengan membeli lagi ice cream cone rasa coklat untuk keduanya, dan berjalan menuju apartemen yang ditinggali Kania bersama teman-temannya. Keduanya tidak mengobrol lebih saat ini, keduanya masih senantiasa menikmati makanan manis milik mereka.“Mau duduk di taman dulu.” tanya Johnny ketika melewati taman dekat apartemen.“Boleh, aku juga ingin menikmati angin sore hari ini.” jawab Kania, dan keduanya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke taman itu, serta duduk di bangku taman dengan cone ice cream yang masing-masing mereka genggam.Sebenarnya terbesit rasa bersalah yang Kania rasakan saat ini, walau bagaimanapun statusnya masihlah
Seorang wanita cantik terus menerus sedang menatap keluar jendela bus yang ia tumpangi, dirinya berkali-kali menghela nafasnya dalam. Entah apa yang ia fikirkan saat ini.Johnny, lelaki tampan yang mengantarkan dirinya juga ikut menatap ke luar jendela bus yang mereka tumpangi. Namun bukannya menatap kearah jalan, melainkan menatap wanita cantik pujaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Beberap kali lelaki keturunan Amerika itu mendengar helaan nafas yang keluar dari ranum merah muda Kania. Meskipun Johnny meminta dirinya untuk curhat kepadanya, namun dengan tegas wanita cantik itu menolaknya dengan halus, dan Johnny menghargai keputusannya. Dan ia memutuskan sendiri untuk mengantarkan Kania pulang, meskipun awalnya ditolak. Namun karena Johnny khawatir, Kania mengiyakan ajakannya, Johnny hanya takut saja kalau terjadi sesuatu kepada wanita cantik itu. Johnny hanya ingin memastikan bahwa Kania pulang dengan selamat.“Umm... apa kau mau jalan-jalan?&rdq
Jeffrey mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi saat ini, dirinya benar-benar sangat khawatir dengan keadaan istrinya itu. Jika Luna sedang demam tinggi, maka bukanlah pertanda yang baik untuknya, karena bisa saja istrinya sedang kritis.Namun sayangnya, jalanan Ibukota Jakarta tengah macet saat sore hari seperti ini, hingga membuat Jeffrey mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan.“Aarrghh...! Sial! Jalanan sangat macet. Aku harus segera sampai Penthouse saat ini.” geram Jeffrey, pria tampan itu tengah menahan kekesalannya saat ini.Tin! Tin!“Ayolah... Aku harus melihat keadaan istriku!” Jeffrey berkali-kali memukul stir mobilnya dengan kesal, dirinya sangat takut jika terlambat sampai rumah nanti.Emosinya memuncak ketika jalanan masih dalam keadaan macet, diambilnya benda pipih itu dari dalam saku jas mahalnya, untuk kemudian mendial nomo
Setelah kejadian tadi pagi, Jeffrey lebih lembut dalam memperlakukan Kania, wanita cantik itu sudah sering menangis dihadapannya. Namun entah mengapa tangisannya tadi pagi jauh memilukan, sampai rasanya hati Jeffrey ikut tersayat ketika mendengarnya.Belum lagi ketika istri kecilnya itu mengatakan bahwa ia takut dengan perlakuan Jeffrey, dengan tangisan yang terisak Kania mengutarakan ketakutannya. Secara perlahan, emosi yang sudah memenuhi rongga dada Jeffrey pun semakin meredam.Namun tetap saja, Kania masihlah mendiamkannya. Sampai ketika makan siang pun Kania bersikeras mengatakan bahwa ia akan makan siang bersama kedua sahabatnya.Kali ini Jeffrey harus lebih sabar memang, jika ia gegabah sedikit sajaㅡ bisa jadi istri cantiknya itu akan pergi meninggalkan dirinya dari hidupnya, dan mengacaukan semua rencana yang nyaris akan berhasil itu.Di sebuah meja cafetariaㅡ lebih tepatnya kantor J.inc. Kan
“Selamat pagi Kania, aku membawakanmu kopi, agar kau tidak mengantuk.” ucap seorang pria tampan berkulit tan, saat ini mereka bertemu di pintu masuk gedung kantor J.Inc. Tangannya mengulur satu cup kopi hangat untuk Kania.“Terimakasih, Johnny.” Kania menerima kopi pemberian dari Johnny dengan tersenyum cerah kerah pria di sebelahnya ini, orang yang selalu gemar mendekati dirinya di kantor.“Ku lihat tadi kau turun dari bus yang bukan biasanya, Kania. Apa apartemenmu sudah pindah?” pertanyaan Johnny langsung membuat Kania terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa.“Emm ... aku menginap di rumah pamanku.” Kania menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dirinya jelas berbohong karena Ashila tidak mempunyai paman maupun bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.“Ah, begitu. Aku kira apartemenmu sudah pindah.” mereka berdua pu masu