Bertemu dengan Luna membuat hati Jeffrey kembali menghangat, walaupun ia dan istri pertamanya itu tak banyak berbincang, namun sudah cukup untuk menjadi pelepas segala penat selama seharian ini.
Setelah memastikan bahwa Luna tidur dengan pulas, Jeffrey bangun dari duduknya, ia bermaksud mengemasi beberapa barang yang akan ia bawa untuk ditaruh di apartemen.
Apartemen yang ditempati Kania cukup jauh dari Mansionya, jarak yang harus ia tempuh sekitar 40 menit lamanya. Setelah selesai berkemas Jeffrey keluar dari kamar dan kembali menuju apartemen istri rahasianya.
Ada perasaan bersalah ketika tadi ia tak sengaja meninggikan suaranya dihadapan Kania, tapi mau bagaimana lagi, Jeffrey sangat cemburu setiap kali melihat wanita cantik itu diganggu oleh para pria tampan di kantornya.
Langkah kakinya memasuki ruang tamu apartemen, terasa sangat sunyi, mungkin Kania sudah tidur lelap, mengingat sekarang sudah hampir tengah malam. Tangannya memutar gagang pintu kamar, dan dapat ia lihat istri cantiknya tengah tertidur pulas dibawah selimut tebal yang membungkusnya, wajahnya terlihat sayu dengan jejak air mata yang sudah membekas. Kania terlihat sudah mengganti bajunya dengan piyama tidur berwarna merah muda, terlihat manis sekali dipakai oleh si wanita cantik ini.
Sebelum menyentuh Kania, Jeffrey memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Ia menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk mandi. Kini pria Pratama itu hanya memakai kaus putih polos dan celana panjang bahan berwarna abu-abu, badannya sudah kembali segar setelah dihujani air hangat dari shower.
Langkahnya kembali mendekati sang istri, dengkuran halus terdengar, sepertinya tidur Kania sangat nyenyak sekali. Jeffrey mulai mengambil posisi untuk berbaring disebelah Kania, matanya menatap lekat pahatan wajah cantik yang sedang terpejam itu, tangan Jeffrey terulur untuk membelai surai lembut Kania. Dipandanginya dengan lekat wajah cantik itu. Yang Jeffrey tau, Kania adalah orang yang ceria dan sangat berisik, walaupun pembawaannya tidak seanggun Luna. Namun sifat ceria dan senyuman tulusnya mampu membuat setiap orang yang melihat akan terkesan padanya.
Namun kini wanita cantik itu lebih banyak diam dengan wajah dinginnya, Jeffrey sangat merindukan senyuman hangat yang dulu selalu wanita cantik itu tunjukkan kepadanya.
“Kania, maafkan aku.” bisiknya tepat di telinga Kania, ia kecup dengan lembut pipi putihnya.
“Maafkan aku sudah memaksamu menikah denganku.” lanjutnya lagi dan kembali menciumi wajah Kania. Harum vanilla khas si wanita cantik ini memasuki indera penciumannya.
Katakanlah bahwa Jeffrey sangat terobsesi pada Kania, sampai ia tak memperdulikan bagaimana perasaan Kania, yang Jeffrey inginkan hanyalah menjadikan Kania sebagai istrinya dan kelak akan melahirkan anak-anaknya.
Sebenarnya Jeffrey sangat ingin sekali menyentuh Kania lebih dari sekedar ciuman, mereka berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Namun sayangnya istri cantiknya itu sudah tertidur pulas, Jeffrey harus kembali meredam keinginannya.
***
Dering alarm dari handphone Kania berbunyi, tepat pukul 6 pagi. Tangannya mengarah ke nakas yang ada di sisi tempat tidurnya, mencari handphone yang semalaman ia taruh di situ.
Mematikan alarm yang berbunyi nyaring. Matanya mengerjap perlahan, mengumpulkan kesadarannya yang masih terasa enggan untuk bangun pagi, terlebih lagi hari ini adalah hari senin, tugas kantor yang menumpuk sudah menantinya di depan mata.
Sebuah dengkuran halus terdengar ditelinganya, membuat kesadaran Kani langsung terisi penuh. Kepalanya menoleh ke arah sebelah, didapatinya seorang pria tampan sedang tertidur pulas dengan posisi terlentang.
Tubuh Kania langsung menegang, ia baru ingat bahwa kemarin mereka berdua sudah menikah, wanita cantik itu baru sadar bahwa kamar yang ia tempati bukanlah apartemen lamanya, melainkan kamar apartemen baru yang Jeffrey berikan padanya selepas upacara pernikahan kemarin.
Semalam ia terlalu lelah menangis, sampai Kania tertidur dengan pulasnya. Seingatnya sebelum Kania tertidur, Jeffrey belum kembali ke apartemen, sangat pulas tidurnya sampai tak mengetahui bahwa pria Pratama itu sudah pulang.
Diliriknya ke dalam selimut, kemudian Kania menghela nafas lega. Pakaiannya masih utuh, dan tidak ada rasa sakit yang membekas pada tubuhnya sama sekali, berarti Jeffrey tidak menodainya ketika ia tertidur.
Kania bangun dan mulai melangkahkan kakin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dinyalakan shower yang menghujaninya dengan air hangat, terasa sangat segar. Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit, Kani keluar dari kamar mandi, sabun beraroma vanilla menguar memenuhi seisi ruangan. Tangannya masih sibuk mengeringkan dengan handuk kecil. Dilihatnya Jeffrey masih tertidur pulas. Sebenarnya Kania sangat ingin membangunkan Jeffrey. Namun ia urungkan niatnya karena ketika pria itu bangun maka segala sifat menyebalkannya harus kembali Kania hadapi.
Langkahnya ia bawa menuju lemari, memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk pergi bekerja. Jeffrey memberikan banyak pakaian-pakaian baru. Pilihannya jatuh pada kemeja berwarna biru muda dengan rok span berwarna cream yang melekat di pinggul rampingnya.
Kemeja lengan panjangnya ia gulung sepertiga, dengan gelang silver yang ia sematkan di lengan kiri. Rambut panjangnya ia ikat dengan kuncir kuda andalannya. Sedikit riasan ia berikan di wajah cantiknya, membuatnya semakin anggun dengan hanya riasan tipis. Dengan sepatu high heels yang senada dengan rok spannya, serta tas selempang kecil senada dengan kemejanya. Membuatnya semakin cantik dan anggun. Kania sudah sangat siap untuk kembali bergelung dengan berkas-berkasnya di kantor.
“Kau sudah bangun?” sebuah suara membuat jantung Kania serasa langsung lepas dari tempatnya, ia terlonjak kaget. Kani reflek menoleh ke arah asal suara, pria yang sedari tadi tertidur lelap, terlihat sudah bangun dan memamerkan senyuman menyebalkannya.
Namun Kani memilih diam, ia sangat malas mengeluarkan suaranya untuk bercakap dengan Jeffrey, buang-buang energi saja. Masih terlalu pagi untuk meladeni segala sifa menyebalkan Kania.
“Kau wangi sekali Kania, sangat wangi sampai masuk ke dalam mimpiku.” pria Pratama itu kembali meracau, suara khas bangun tidur terdengar sangat seksi. Namun Kania justru sebal dengan suara itu, Kania hanya memutar bola matanya malas.
“Astaga ... jam berapa sekarang?” Jeffrey langsung panik, dilihatnya jam yang menggantung di dinding kamar.
Kania hanya menatap Jeffrey. Ada apa dengan pria itu? Mengapa terlihat begitu panik?
“Sudah jam setengah 7 pagi. Kania, maaf aku harus pulang ke Mansion, aku terbiasa menyuapi Luna setiap paginya. Kita bertemu di kantor ya.” Jeffrey langsung menyambar jaket miliknya dan langsung berlari keluar apartemen.
Kania menghela nafasnya. Sakit hati? Jujur iya. Sekali lagi Kania ingat akan posisinya yang hanya sebagai istri kedua Jeffrey, tentu sang istri pertama adalah prioritas pria Pratama itu. Kania hanyalah cadangan, yang hanya didekati ketika pria Pratama itu membutuhkannya.
Tak mau berlarut dalam kekesalan dan rasa sakit, Kania memilih menuju dapur untuk membuat sarapan. Hanya ada beberapa lembar roti tawar dan selai strawberry, mereka tak mempunyai bahan makanan lain, karena belum sempat belanja bahan makanan kemarin.
Wanita cantik itu menggigit roti panggangnya, tangannya sambil memainkan ponsel. Dilihatnya banyak pesan masuk dari Vita, Jessie, dan beberapa pria yang selama ini mendekatinyaㅡ seperti, Jackson, Alan dan Johnny. Tiga pria tampan itu tak ada yang tau tentang pernikahan Kania dan Jeffrey, mereka bertiga kerap mengirim Kania pesan, menghujani Kania dengan banyak perhatian, dan beberapa kali mengirimi Kania hadiah.
Senyuman tipis terukir kala membaca pesan mereka satu persatu. Pesan grup dari Vita dan Jessie yang mengatakan bahwa mereka sangat merindukan Kania dan merasa sangat sepi ketika apartemennya hanya dihuni oleh mereka berdua. Ketiganya memang tinggal bersama dalam satu apartemen, sudah bukan hal aneh lagi dengan ketiga wanita cantik itu. Mereka setiap harinya akan berbagi tugas, entah untuk memasak atau beres-beres apartemen itu hal yang wajar bagi ketiganya. Dan sekarang tidak adanya Kania di apartemennya, membuat keduanya merasa sangat kesepian. Tidak ada celotehan dari Kania yang sering membangunkannya, ataupun teriakan darinya ketika membuat sarapan.
Ah benar, Kania merindukan kedua sahabatnya itu. 10 menit berlalu, sarapan Kania sudah habis, dan kini saatnya wanita cantik itu siap-siap untuk pergi bekerja.
Jeffrey Pratama sungguh sangat menyebalkan, pria Pratama itu memindahkan Kania ke apartemen yang sangat mewah. Namun jaraknya sangat jauh dari kantor tempat ia bekerja. Butuh waktu sekitar 35 menit untuk ke kantor J.Inc dengan mengendarai bus umum. Apartemen lamanya walaupun bukan apartemen mewah, namun hanya berjarak 15 menit dari tempat kerjanya. Kania berdecak kesal. Nampaknya pria Pratama itu sangat ingin menyembunyikan dirinya.
***
Jeffrey mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, ia harus sampai di Mansion utama sebelum pukul 7 pagi, karena jam 7 biasanya waktu sarapan Luna. Jalanan pagi sudah mulai ramai, para pekerja yang menuju tempat mereka mencari nafkah dan murid yang akan menuju sekolah mulai keluar dan memadati jalanan. Jeffrey harus menyalip banyak sekali mobil demi sampai tepat waktu di Mansionya.
Mobil mulai memasuki halaman Mansion, dilihatnya sudah pukul 7 lebih sepuluh menit, Luna pasti sudah sarapan pagi.
Langkah panjangnya berlari memasuki Mansion, nafasnya terangah, ia langsung menuju kamar sang istri. Dan benar sesuai dugaannya, Luna sedang menikmati sarapan paginya, dengan seorang maid yang menyuapi Luna.
“Jeffrey? Aku kira kau tidak akan pulang.” suara lembut wanita berwajah kelinci itu menyapa sang suami yang baru saja masuk ke dalam kamar.
“Maafkan aku terlambat.” Jeffrey mengatur nafasnya, ia mendekati Luna.
“Berikan mangkuknya, Bi. Biar aku saja yang menyuapi istriku.” ucap Jeffrey kepada sang maid, lalu maid itu pun menyerahkan mangkuk kepada tuannya.
“Jeffrey, harusnya kau tidak perlu repot-repot untuk menyuapiku.” ucap Luna.
“Aku tidak mau melewatkan satu hari pun melakukan kebiasaanku ini, aku ingin memastikan kau memakan sarapanmu dan meminum obatmu.” Jeffrey tersenyum kearah istrinya, tangannya mulai menyuapi Luna.
“Apa semalam tidurmu nyenyak?” tanya Jeffrey lagi.
Dan Luna hanya menganggukkan kepalanya.
“Iya, sangat nyenyak. Walaupun rasanya ada yang kurang.” kekehnya.
“Maafkan aku yang tidak bisa memelukmu sampai pagi.” Jeffrey menunjukkan wajah sedihnya.
“Tidak apa-apa, jangan meminta maaf. Ini bukanlah salah mu.”
“Lalu kau sendiri? Apa kau tidur dengan nyenyak?” tanya Luna lagi.
“Hemm ... aku tidur sangat nyenyak semalam.” tangan Jeffrey terulur untuk menyeka bibir Luna yang belepotan karena terkena bubur.
“Aku sudah kenyang, Jeff.” ucap Luna ketika suaminya hendak menyuapinya kembali.
“Kau tadi sudah makan berapa suap?”
“Pagi ini aku makan empat suap, Jeffrey. Perutku kenyang sekali.”
“Kalau begitu minum obatnya, Luna.” Jeffrey menyerahkan butiran-butiran obat kepada istrinya.
“Terimakasih karena kau sudah menjadi suami yang sangat perhatian.” Luna tersenyum manatap suaminya.
“Apapun akan aku lakukan untukmu.” Jeffrey mengecup kening istrinya lama.
“Aku mandi dulu, ya.” pria tampan itu bangun dari duduknya, dan segera masuk ke dalam kamar mandi.
“Selamat pagi Kania, aku membawakanmu kopi, agar kau tidak mengantuk.” ucap seorang pria tampan berkulit tan, saat ini mereka bertemu di pintu masuk gedung kantor J.Inc. Tangannya mengulur satu cup kopi hangat untuk Kania.“Terimakasih, Johnny.” Kania menerima kopi pemberian dari Johnny dengan tersenyum cerah kerah pria di sebelahnya ini, orang yang selalu gemar mendekati dirinya di kantor.“Ku lihat tadi kau turun dari bus yang bukan biasanya, Kania. Apa apartemenmu sudah pindah?” pertanyaan Johnny langsung membuat Kania terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa.“Emm ... aku menginap di rumah pamanku.” Kania menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dirinya jelas berbohong karena Ashila tidak mempunyai paman maupun bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.“Ah, begitu. Aku kira apartemenmu sudah pindah.” mereka berdua pu masu
Setelah kejadian tadi pagi, Jeffrey lebih lembut dalam memperlakukan Kania, wanita cantik itu sudah sering menangis dihadapannya. Namun entah mengapa tangisannya tadi pagi jauh memilukan, sampai rasanya hati Jeffrey ikut tersayat ketika mendengarnya.Belum lagi ketika istri kecilnya itu mengatakan bahwa ia takut dengan perlakuan Jeffrey, dengan tangisan yang terisak Kania mengutarakan ketakutannya. Secara perlahan, emosi yang sudah memenuhi rongga dada Jeffrey pun semakin meredam.Namun tetap saja, Kania masihlah mendiamkannya. Sampai ketika makan siang pun Kania bersikeras mengatakan bahwa ia akan makan siang bersama kedua sahabatnya.Kali ini Jeffrey harus lebih sabar memang, jika ia gegabah sedikit sajaㅡ bisa jadi istri cantiknya itu akan pergi meninggalkan dirinya dari hidupnya, dan mengacaukan semua rencana yang nyaris akan berhasil itu.Di sebuah meja cafetariaㅡ lebih tepatnya kantor J.inc. Kan
Jeffrey mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi saat ini, dirinya benar-benar sangat khawatir dengan keadaan istrinya itu. Jika Luna sedang demam tinggi, maka bukanlah pertanda yang baik untuknya, karena bisa saja istrinya sedang kritis.Namun sayangnya, jalanan Ibukota Jakarta tengah macet saat sore hari seperti ini, hingga membuat Jeffrey mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan.“Aarrghh...! Sial! Jalanan sangat macet. Aku harus segera sampai Penthouse saat ini.” geram Jeffrey, pria tampan itu tengah menahan kekesalannya saat ini.Tin! Tin!“Ayolah... Aku harus melihat keadaan istriku!” Jeffrey berkali-kali memukul stir mobilnya dengan kesal, dirinya sangat takut jika terlambat sampai rumah nanti.Emosinya memuncak ketika jalanan masih dalam keadaan macet, diambilnya benda pipih itu dari dalam saku jas mahalnya, untuk kemudian mendial nomo
Seorang wanita cantik terus menerus sedang menatap keluar jendela bus yang ia tumpangi, dirinya berkali-kali menghela nafasnya dalam. Entah apa yang ia fikirkan saat ini.Johnny, lelaki tampan yang mengantarkan dirinya juga ikut menatap ke luar jendela bus yang mereka tumpangi. Namun bukannya menatap kearah jalan, melainkan menatap wanita cantik pujaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Beberap kali lelaki keturunan Amerika itu mendengar helaan nafas yang keluar dari ranum merah muda Kania. Meskipun Johnny meminta dirinya untuk curhat kepadanya, namun dengan tegas wanita cantik itu menolaknya dengan halus, dan Johnny menghargai keputusannya. Dan ia memutuskan sendiri untuk mengantarkan Kania pulang, meskipun awalnya ditolak. Namun karena Johnny khawatir, Kania mengiyakan ajakannya, Johnny hanya takut saja kalau terjadi sesuatu kepada wanita cantik itu. Johnny hanya ingin memastikan bahwa Kania pulang dengan selamat.“Umm... apa kau mau jalan-jalan?&rdq
Membeli ice cream rupanya membuat perasaan Kania sedikit lebih tentram. Memang, ketika kita sedang merasa marah pada seseorang, makanan manis memanglah membuatnya meredam kemarahan tersebut.Kania dan Johnny baru saja keluar dari kedai ice cream itu dengan membeli lagi ice cream cone rasa coklat untuk keduanya, dan berjalan menuju apartemen yang ditinggali Kania bersama teman-temannya. Keduanya tidak mengobrol lebih saat ini, keduanya masih senantiasa menikmati makanan manis milik mereka.“Mau duduk di taman dulu.” tanya Johnny ketika melewati taman dekat apartemen.“Boleh, aku juga ingin menikmati angin sore hari ini.” jawab Kania, dan keduanya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke taman itu, serta duduk di bangku taman dengan cone ice cream yang masing-masing mereka genggam.Sebenarnya terbesit rasa bersalah yang Kania rasakan saat ini, walau bagaimanapun statusnya masihlah
Di dalam kamarnya, Kania merebahkan tubuh lelahnya ke kasur yang tidak sebesar dari apartemennya yang baru. Namun cukuplah untuk merilekskan tubuhnya yang lelah.Entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah lelah baginya. Pekerjaan yang memang begitu menumpuk, rivisi berkas-berkas yang akan datang, persiapan meeting lusa, dan juga masalah hati. Ah, ngomong-ngomong masalah hati. Kania tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.Kadang Kania merasa kesal saat Jeffrey berlaku seenaknya, kadang dirinya tidak suka jika Jeffrey berbohong kepadanya, kadang juga Kania merasa iri dengan istri pertamanya, Luna. Jeffrey begitu sangat perhatian kepada Luna, sedangkan dirinya? Bukankah Kania hanya sebatas seorang istri rahasia saja? Tapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Walaupun sesaat?Saat di tanam tadi sore bersama Johnny, Kania ingat handphone miliknya berbunyi karena panggilan dari lelaki Pratama di sana.Dengan perlahan, Kania merogoh benda pipi
“Selamat Pagi ...”Sapaan itu keluar dari wanita bersurai pendek, dengan kemeja lengan panjang juga rok span yang membalut tubuh kecilnya nampak sangat menggemaskan.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang kerasukan?” sindir Jessie merasa khawatir kepada sahabatnya ini.Vitaㅡ wanita yang menyapanya di Pagi hari yang cerah ini mengerucutkan bibirnya sebal, “Kau ini ... tidak bisa melihatku bahagia, ya?” selanya seraya mengambil nasi goreng yang sudah siap dihidangkan oleh sahabatnya.Jessie hanya bisa menggelengkan kepalanya bosan melihat tingkah dari Vita.“Tunggu ... ini, kenapa ada tiga piring? Apa kau makan dengan dua porsi? Bukankah kau bilang ingin diet, Jess?” tanya Vita merasa aneh dengan sarapan Pagi kali ini, terdapat tiga piring?“Tidak, itu buat Kania.” jawaban dari Jessie berhasil m
Sedangkan Pagi hari ini tepatnya di Penthouse Pratama, kedua sepasang suami-istri itu tengah berdiri di balkon kamarnya, dengan sang istri yang duduk di kursi roda, dan sang suami yang senantiasa menemaninya di belakang.“Kau tidak ke kantor, Jeff?” tanya Luna pada Jeffrey, merasa heran karena Jeffrey tidak berpakaian rapi layaknya hari kerja. Padahal 'kan sekarang bukan hari weekend pikirnya.“Aku akan izin tiga hari untuk menemanimu.” jawab Jeffrey dengan senyum tampannya.Luna menghela nafasnya pelan, “Jeff, aku tifak apa-apa. Kemarin hanya deman biasa saja, kau tidak usah pikirkan aku.”Jeffrey bertumpu dengan lututnya di hadapan Luna.“Bagaimana aku tidak memikirkan mu, Luna. Kau masihlah istriku, dan akan seperti itu.” ucap Jeffrey sambil menggenggam tangan pucat istrinya.Hati Luna menghangat seketika, Je
Seorang pria tampan bertubuh atletis itu berjalan dengan gagahnya, matanya memandang lurus ke depan dengan angkuhnya.Dibalut dengan tuxedo mewahnya, pria tampan itu berjalan dengan langkah besar. Di setiap langkahnya sering terdengar sapaan dari para karyawan juga para staffnya.“Selamata pagi, Pak Jeffrey.” sapa sang sekretaris ketika melihat bos nya itu sudah berada di hadapannya.“Pagi, Kania. Ada jadwal apa hari ini?” tanya Jeffrey to the point.“Hari ini, Bapak ada meeting bersama klien dari Singapura pukul 2 siang, Pak.” jawab Kania dengan suara lembutnya.“Okay... Segera kamu urus persiapannya nanti, ya.” titahnya kemudian.“Dan, kamu ikut saya ke dalam. Ada berkas yang harus kamu kerjakan.” lanjut pria tampan itu dengan perintahnya pada sang sekretaris.Wanita cantik itu
Sedangkan Pagi hari ini tepatnya di Penthouse Pratama, kedua sepasang suami-istri itu tengah berdiri di balkon kamarnya, dengan sang istri yang duduk di kursi roda, dan sang suami yang senantiasa menemaninya di belakang.“Kau tidak ke kantor, Jeff?” tanya Luna pada Jeffrey, merasa heran karena Jeffrey tidak berpakaian rapi layaknya hari kerja. Padahal 'kan sekarang bukan hari weekend pikirnya.“Aku akan izin tiga hari untuk menemanimu.” jawab Jeffrey dengan senyum tampannya.Luna menghela nafasnya pelan, “Jeff, aku tifak apa-apa. Kemarin hanya deman biasa saja, kau tidak usah pikirkan aku.”Jeffrey bertumpu dengan lututnya di hadapan Luna.“Bagaimana aku tidak memikirkan mu, Luna. Kau masihlah istriku, dan akan seperti itu.” ucap Jeffrey sambil menggenggam tangan pucat istrinya.Hati Luna menghangat seketika, Je
“Selamat Pagi ...”Sapaan itu keluar dari wanita bersurai pendek, dengan kemeja lengan panjang juga rok span yang membalut tubuh kecilnya nampak sangat menggemaskan.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang kerasukan?” sindir Jessie merasa khawatir kepada sahabatnya ini.Vitaㅡ wanita yang menyapanya di Pagi hari yang cerah ini mengerucutkan bibirnya sebal, “Kau ini ... tidak bisa melihatku bahagia, ya?” selanya seraya mengambil nasi goreng yang sudah siap dihidangkan oleh sahabatnya.Jessie hanya bisa menggelengkan kepalanya bosan melihat tingkah dari Vita.“Tunggu ... ini, kenapa ada tiga piring? Apa kau makan dengan dua porsi? Bukankah kau bilang ingin diet, Jess?” tanya Vita merasa aneh dengan sarapan Pagi kali ini, terdapat tiga piring?“Tidak, itu buat Kania.” jawaban dari Jessie berhasil m
Di dalam kamarnya, Kania merebahkan tubuh lelahnya ke kasur yang tidak sebesar dari apartemennya yang baru. Namun cukuplah untuk merilekskan tubuhnya yang lelah.Entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah lelah baginya. Pekerjaan yang memang begitu menumpuk, rivisi berkas-berkas yang akan datang, persiapan meeting lusa, dan juga masalah hati. Ah, ngomong-ngomong masalah hati. Kania tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.Kadang Kania merasa kesal saat Jeffrey berlaku seenaknya, kadang dirinya tidak suka jika Jeffrey berbohong kepadanya, kadang juga Kania merasa iri dengan istri pertamanya, Luna. Jeffrey begitu sangat perhatian kepada Luna, sedangkan dirinya? Bukankah Kania hanya sebatas seorang istri rahasia saja? Tapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Walaupun sesaat?Saat di tanam tadi sore bersama Johnny, Kania ingat handphone miliknya berbunyi karena panggilan dari lelaki Pratama di sana.Dengan perlahan, Kania merogoh benda pipi
Membeli ice cream rupanya membuat perasaan Kania sedikit lebih tentram. Memang, ketika kita sedang merasa marah pada seseorang, makanan manis memanglah membuatnya meredam kemarahan tersebut.Kania dan Johnny baru saja keluar dari kedai ice cream itu dengan membeli lagi ice cream cone rasa coklat untuk keduanya, dan berjalan menuju apartemen yang ditinggali Kania bersama teman-temannya. Keduanya tidak mengobrol lebih saat ini, keduanya masih senantiasa menikmati makanan manis milik mereka.“Mau duduk di taman dulu.” tanya Johnny ketika melewati taman dekat apartemen.“Boleh, aku juga ingin menikmati angin sore hari ini.” jawab Kania, dan keduanya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke taman itu, serta duduk di bangku taman dengan cone ice cream yang masing-masing mereka genggam.Sebenarnya terbesit rasa bersalah yang Kania rasakan saat ini, walau bagaimanapun statusnya masihlah
Seorang wanita cantik terus menerus sedang menatap keluar jendela bus yang ia tumpangi, dirinya berkali-kali menghela nafasnya dalam. Entah apa yang ia fikirkan saat ini.Johnny, lelaki tampan yang mengantarkan dirinya juga ikut menatap ke luar jendela bus yang mereka tumpangi. Namun bukannya menatap kearah jalan, melainkan menatap wanita cantik pujaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Beberap kali lelaki keturunan Amerika itu mendengar helaan nafas yang keluar dari ranum merah muda Kania. Meskipun Johnny meminta dirinya untuk curhat kepadanya, namun dengan tegas wanita cantik itu menolaknya dengan halus, dan Johnny menghargai keputusannya. Dan ia memutuskan sendiri untuk mengantarkan Kania pulang, meskipun awalnya ditolak. Namun karena Johnny khawatir, Kania mengiyakan ajakannya, Johnny hanya takut saja kalau terjadi sesuatu kepada wanita cantik itu. Johnny hanya ingin memastikan bahwa Kania pulang dengan selamat.“Umm... apa kau mau jalan-jalan?&rdq
Jeffrey mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi saat ini, dirinya benar-benar sangat khawatir dengan keadaan istrinya itu. Jika Luna sedang demam tinggi, maka bukanlah pertanda yang baik untuknya, karena bisa saja istrinya sedang kritis.Namun sayangnya, jalanan Ibukota Jakarta tengah macet saat sore hari seperti ini, hingga membuat Jeffrey mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan.“Aarrghh...! Sial! Jalanan sangat macet. Aku harus segera sampai Penthouse saat ini.” geram Jeffrey, pria tampan itu tengah menahan kekesalannya saat ini.Tin! Tin!“Ayolah... Aku harus melihat keadaan istriku!” Jeffrey berkali-kali memukul stir mobilnya dengan kesal, dirinya sangat takut jika terlambat sampai rumah nanti.Emosinya memuncak ketika jalanan masih dalam keadaan macet, diambilnya benda pipih itu dari dalam saku jas mahalnya, untuk kemudian mendial nomo
Setelah kejadian tadi pagi, Jeffrey lebih lembut dalam memperlakukan Kania, wanita cantik itu sudah sering menangis dihadapannya. Namun entah mengapa tangisannya tadi pagi jauh memilukan, sampai rasanya hati Jeffrey ikut tersayat ketika mendengarnya.Belum lagi ketika istri kecilnya itu mengatakan bahwa ia takut dengan perlakuan Jeffrey, dengan tangisan yang terisak Kania mengutarakan ketakutannya. Secara perlahan, emosi yang sudah memenuhi rongga dada Jeffrey pun semakin meredam.Namun tetap saja, Kania masihlah mendiamkannya. Sampai ketika makan siang pun Kania bersikeras mengatakan bahwa ia akan makan siang bersama kedua sahabatnya.Kali ini Jeffrey harus lebih sabar memang, jika ia gegabah sedikit sajaㅡ bisa jadi istri cantiknya itu akan pergi meninggalkan dirinya dari hidupnya, dan mengacaukan semua rencana yang nyaris akan berhasil itu.Di sebuah meja cafetariaㅡ lebih tepatnya kantor J.inc. Kan
“Selamat pagi Kania, aku membawakanmu kopi, agar kau tidak mengantuk.” ucap seorang pria tampan berkulit tan, saat ini mereka bertemu di pintu masuk gedung kantor J.Inc. Tangannya mengulur satu cup kopi hangat untuk Kania.“Terimakasih, Johnny.” Kania menerima kopi pemberian dari Johnny dengan tersenyum cerah kerah pria di sebelahnya ini, orang yang selalu gemar mendekati dirinya di kantor.“Ku lihat tadi kau turun dari bus yang bukan biasanya, Kania. Apa apartemenmu sudah pindah?” pertanyaan Johnny langsung membuat Kania terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa.“Emm ... aku menginap di rumah pamanku.” Kania menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dirinya jelas berbohong karena Ashila tidak mempunyai paman maupun bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.“Ah, begitu. Aku kira apartemenmu sudah pindah.” mereka berdua pu masu