"Ngghhh.." Alice perlahan sadar. Matanya membuka perlahan, namun sedikit menyipit karena menyesuaikan dengan pencahayaan di dalam ruangan. "Bos? Kamu sudah sadar?" Jake kemudian menekan bel untuk memanggil dokter, di sisi tempat tidur Alice. "Di_mana_ aku_?" Alice sedikit bingung ketika dirinya tersadar di sebuah ruangan yang dominan berwarna serba putih, dengan aroma khas karbol. Tap tap tap Seorang dokter datang ke ruangan itu. "Kamu berada di rumah sakit. Aku akan menjelaskan nanti. Biar dokter memeriksamu terlebih dahulu." Jake kemudian menjauh dan memberikan ruang bagi dokter itu untuk memeriksa Alice. Dokter itu memeriksa mata, mulut, dan juga detak jantung Alice. Dia menekan telapak kaki Alice, anehnya tidak ada reaksi apapun. Wajah dokter terlihat serius, dia memeriksa kaki Alice sekali lagi. "Apa kamu tidak merasakan ketika aku mencubit di bagian ini?" Dokter mencubit jari-jari kaki Alice. Alice juga heran, dia tidak merasakan apapun pada kakinya. Bahkan be
"Setelah divonis hukuman mati 3 bulan yang lalu. Hari ini tiba waktunya eksekusi mati Peter Aldimor dan Paul Welbert. Mereka ditetapkan sebagai penjahat perang yang membuat ribuan orang kehilangan nyawa. Kabarnya, setelah eksekusi mati, jenazah mereka akan dimakamkan di tempat yang dirahasiakan dan tidak akan diberi nisan dan juga nama." Reporter berita di televisi melaporkan berita dan di layar terlihat Peter dan Paul dengan tangan terborgol, sedang berjalan menuju ke mobil tahanan. Mobil tahanan itu akan membawa mereka ke tempat eksekusi rahasia milik pemerintah Albain. Elisa memberikan secangkir teh ke tangan Alice yang matanya sedari tadi tertuju ke layar televisi "Hati-hati Alice, ini sangat panas." "Terimakasih, Elisa." Alice tersenyum menatap Elisa yang sudah kembali normal lagi. Elisa dapat berbicara dan berjalan. Justru sekarang Alice lah yang hanya bisa duduk di kursi roda. Kakinya lumpuh setelah terkena ledakan di rumah utama kediaman Welbert. Bahkan kulit kedua kaki Al
Wajah Sera dan Alice terlihat senang setelah keluar dari ruang praktek Dokter Hans. "Sepertinya kalian mendapatkan kabar baik," ujar Gavin. "Hmmm, ya. Putriku akan dioperasi 5 hari lagi. Kata dokter, setelah operasi dia akan bisa kembali berjalan seperti sediakala." Mata Sera berkaca-kaca karena senang. "Benarkah? Kalau begitu, ini benar-benar kabar baik." 'Ya, syukurlah. Aku mengira akan berakhir di kursi roda ini selamanya,' batin Alice. "Bagaimana jika kita makan siang bersama?" ajak Gavin. "Tapi_kami_" Sera terlihat bingung harus menolak dengan alasan apa. "Bu, aku akan kembali sore ini juga ke Albain. Aku mungkin membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali mengunjungi kalian. Jadi kuharap Ibu tidak akan menolak untuk sekedar makan siang." Sera melihat ke arah Alice, putrinya sangat mencintai pria di hadapannya ini, pasti tidak nyaman baginya berlama-lama bersama dengannya. Tapi dia juga sering mengamati, bagaimana mata Alice tidak lepas dari layar televisi seti
"Maaf Bu, tapi aku harus segera kembali ke Albain. Ada hal yang harus aku lakukan." Gavin berpamitan pergi kepada Sera. "Tidak mengapa, Nak. Tentu saja aku mengerti." "Elisa, semoga nanti operasimu berjalan dengan lancar. Kabari aku tentang hasil operasimu nanti. Oke?" Gavin berpamitan kepada Alice. Alice mengangguk dan memperlihatkan iPadnya, "Ya, terimakasih. Aku pasti akan sembuh seperti sediakala." Gavin tersenyum hangat padanya, "Tentu, kamu pasti akan sembuh dan kembali seperti sediakala. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku pamit dulu." Gavin kemudian masuk ke dalam mobilnya. "Sampai jumpa Nyonya Sera, Nona Elisa." James juga berpamitan pergi. "Sampai jumpa, James." Sera dan Alice melambaikan tangan pada James yang duduk di samping supir. Sera menatap ke arah mobil yang semakin jauh dan mengecil dari jarak pandang mereka, namun dia sesekali melihat kepada Alice. Tatapan Alice melekat ke arah mobil yang ditumpangi Gavin, hingga tidak terlihat lagi. "Begitu tidak r
Selama satu bulan lebih Gavin disibukkan dengan segala urusan kenegaraan. Mengurus sebuah negara adalah urusan yang tidak mudah, apalagi menata ulang segala kekacauan yang dibuat oleh Peter Aldimor dan Paul Welbert. Di ruang kerjanya di dalam istana, Gavin mengurut pelipisnya yang agak nyeri karena kelelahan. "James, aku telah memikirkannya berulang kali. Aku rasa, saat ini hanya satu orang yang aku bisa percayai untuk menduduki posisi Perdana Menteri." "Siapa orang itu, Yang Mulia?" Gavin menatap ke arah James dan menunjuknya. "Aku?" James menunjuk hidungnya. "Aku rasa aku tidak layak Yang Mulia." James menggelengkan kepalanya. "Dari semua orang, kamu adalah pilihan terbaik, James." "Aku_ lalu siapa yang akan mengurusi perusahaan?" "Perusahaan Welbert akan aku serahkan pada Manager Profesional, kamu tidak perlu khawatir. Selain itu, sekarang saham 20 persen perusahaan Welbert adalah milikmu." Gavin menyodorkan lembar kertas berharga, berupa pengalihan saham senilai
"Waahh, akhirnya aku bisa melihat menara Eiffel juga!" Alice melihat menara Eiffel dari dalam taksi mobil. Karena saat ini sudah pukul 7 malam, seluruh menara terang benderang karena dipasangi lampu-lampu. Terlihat sangat megah dan menjulang tinggi di tengah kota Paris. Setelah penerbangan selama 9 jam yang sangat melelahkan, akhirnya Alice sampai juga di tempat ini. Dari dulu Alice memang bermimpi pergi ke banyak negara untuk melihat dunia luar, itu sebabnya dia rajin berlatih banyak bahasa asing. Alice adalah seorang Poliglot, dia menguasai 8 bahasa. Selain bahasa negara Casia, Albain dan Inggris, dia menguasai Bahasa Prancis, Jerman, Italia, Indonesia, Mandarin, dan Rusia. Drrrt drrrtttt "Alice, apa kamu sudah tiba di Paris?" suara hangat Liam terdengar di seberang setelah Alice menerima panggilan di ponselnya. "Sensei, aku telah tiba di Paris. Tempat ini luar biasa." Suara Alice terdengar riang di telepon. "Alice, kamu sepertinya memang sangat senang jika melakukan hal
"Hari ini, kita kedatangan tiga anggota baru. Mari, kita persilahkan Junior-Junior kita memperkenalkan dirinya." Manager maskapai melakukan briefing dan perkenalan singkat pramugari dan pramugara baru. "Halo, perkenalkan saya Junior Marsela Braid, usia 21 tahun." "Selamat berjumpa semua, saya Junior Juna Woodey, usia 21 tahun." "Salam kenal, saya Junior Alicia Hins, usia 21 tahun." Sedikit menggelitik di dalam hati Alice, karena dia sebenarnya telah berusia 28 tahun saat ini. Namun dia menyamar sebagai gadis berusia 21 tahun. "Halo, Sela, Juna, Alice." Sapa para senior pada mereka. "Aku akan mengenalkan Pusher kalian dalam setiap penerbangan, ada Lita, Bram, dan Katy. Total dari 30 pramugara dan pramugari akan mendapat jadwal secara bergantian. Lita, Bram dan Katy akan membimbing kalian dalam setiap jadwal penerbangan." "Salam kenal Pusher Lita, Bram, dan Katy. Mohon bimbingannya." Sela, Juna, dan Alice menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda salam dan hormat. "Bai
Hari ini jadwal penerbangan Alice adalah pukul 07.00 pagi menuju ke Amsterdam. Alice bertugas dengan Olla, Ricky dan Pusher Bram. Mereka telah bersiap sejak pukul 06.00 pagi. Dan kini mereka tengah menarik kopernya untuk masuk ke dalam kabin pesawat. Tiba saatnya boarding, Alice dan Olla menyambut penumpang, dan mengarahkan mereka menuju ke kursi sesuai dengan tiketnya. Ketika penerbangan telah stabil di ketinggian 35.000 kaki, Alice dan Olla berada di dapur kabin menyiapkan sarapan pagi untuk penumpang. Ketika Bram berjalan meninggalkan mereka menuju ke ruang kokpit pesawat, Olla berbisik kepada Alice. "Alice, Pusher Bram sangat tampan kan? Aku mengidolakannya sejak lama. Tapi Pusher Katy itu berusaha untuk memonopolinya untuk diri sendiri. Padahal Pusher Bram tidak pernah menanggapi perasaannya selama ini." "Ya, dia cukup tampan." Alice memuji dengan ekspresi datar. 'Sebenarnya Bram biasa saja, tidak setampan Gavinku. Gavin bahkan berkali-kali lipat tampan,' batin Alice