"Setelah divonis hukuman mati 3 bulan yang lalu. Hari ini tiba waktunya eksekusi mati Peter Aldimor dan Paul Welbert. Mereka ditetapkan sebagai penjahat perang yang membuat ribuan orang kehilangan nyawa. Kabarnya, setelah eksekusi mati, jenazah mereka akan dimakamkan di tempat yang dirahasiakan dan tidak akan diberi nisan dan juga nama." Reporter berita di televisi melaporkan berita dan di layar terlihat Peter dan Paul dengan tangan terborgol, sedang berjalan menuju ke mobil tahanan. Mobil tahanan itu akan membawa mereka ke tempat eksekusi rahasia milik pemerintah Albain. Elisa memberikan secangkir teh ke tangan Alice yang matanya sedari tadi tertuju ke layar televisi "Hati-hati Alice, ini sangat panas." "Terimakasih, Elisa." Alice tersenyum menatap Elisa yang sudah kembali normal lagi. Elisa dapat berbicara dan berjalan. Justru sekarang Alice lah yang hanya bisa duduk di kursi roda. Kakinya lumpuh setelah terkena ledakan di rumah utama kediaman Welbert. Bahkan kulit kedua kaki Al
Wajah Sera dan Alice terlihat senang setelah keluar dari ruang praktek Dokter Hans. "Sepertinya kalian mendapatkan kabar baik," ujar Gavin. "Hmmm, ya. Putriku akan dioperasi 5 hari lagi. Kata dokter, setelah operasi dia akan bisa kembali berjalan seperti sediakala." Mata Sera berkaca-kaca karena senang. "Benarkah? Kalau begitu, ini benar-benar kabar baik." 'Ya, syukurlah. Aku mengira akan berakhir di kursi roda ini selamanya,' batin Alice. "Bagaimana jika kita makan siang bersama?" ajak Gavin. "Tapi_kami_" Sera terlihat bingung harus menolak dengan alasan apa. "Bu, aku akan kembali sore ini juga ke Albain. Aku mungkin membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali mengunjungi kalian. Jadi kuharap Ibu tidak akan menolak untuk sekedar makan siang." Sera melihat ke arah Alice, putrinya sangat mencintai pria di hadapannya ini, pasti tidak nyaman baginya berlama-lama bersama dengannya. Tapi dia juga sering mengamati, bagaimana mata Alice tidak lepas dari layar televisi seti
"Maaf Bu, tapi aku harus segera kembali ke Albain. Ada hal yang harus aku lakukan." Gavin berpamitan pergi kepada Sera. "Tidak mengapa, Nak. Tentu saja aku mengerti." "Elisa, semoga nanti operasimu berjalan dengan lancar. Kabari aku tentang hasil operasimu nanti. Oke?" Gavin berpamitan kepada Alice. Alice mengangguk dan memperlihatkan iPadnya, "Ya, terimakasih. Aku pasti akan sembuh seperti sediakala." Gavin tersenyum hangat padanya, "Tentu, kamu pasti akan sembuh dan kembali seperti sediakala. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku pamit dulu." Gavin kemudian masuk ke dalam mobilnya. "Sampai jumpa Nyonya Sera, Nona Elisa." James juga berpamitan pergi. "Sampai jumpa, James." Sera dan Alice melambaikan tangan pada James yang duduk di samping supir. Sera menatap ke arah mobil yang semakin jauh dan mengecil dari jarak pandang mereka, namun dia sesekali melihat kepada Alice. Tatapan Alice melekat ke arah mobil yang ditumpangi Gavin, hingga tidak terlihat lagi. "Begitu tidak r
"Kumohon jawab aku!” Suara itu bergetar, sekalipun terdengar keras. Ekspresi panik tampak jelas di wajah Alice saat melihat darah yang bercucuran di kepala saudara kembarnya. Tampak keadaan Elisa yang memprihatinkan. Seluruh wajahnya berlumuran darah karena hidung dan pelipisnya yang terluka. Beberapa saat lalu, Alice melihat sendiri mobil yang dikendarai adik kembarnya menabrak pembatas jalan tol dengan keras. “El–” Ucapan Alice terhenti saat ia melihat kelopak mata Elisa yang kini ada di dekapannya perlahan terbuka. “A-Alice ….” Suara Elisa nyaris tidak terdengar. Dengan lemah, wanita itu mengangkat tangannya yang berlumur darah untuk mengusap wajah Alice. “Maafkan aku … karena sudah merebut t-tempatmu ….” Usai mengatakan kalimat yang membuat Alice bingung tersebut, Elisa jatuh tidak sadarkan diri, meninggalkan Alice begitu saja. Beberapa saat yang lalu …. “Kamu sekarang sudah menikah?” Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Alice meninggalkan rumahnya untuk mengejar mimpi,
Alice Welbert.Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amar
Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil. Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya. "Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai. Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan. "Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya. Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini,
"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. Duk! Duk! Duk! Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. "Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar."Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura."Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung."Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan d
"Alice, pergilah kemakam keluarga. Kamu harus berlutut pada leluhur selama seharian,"perintah Laura tepat setelah terdengar mobil Gavin meninggalkan halaman rumah. "Kenapa aku harus berlutut? Memangnya apakesalahanku?""Tidak usahmembantah, ikuti saja perintah Mama kalau kamu tidak ingin mendapat hukumanlebih berat!" perintah Selena.Tanpa belas kasihan,Alice diseret ke sebuah area pemakaman leluhur yang ada di belakang resort itu.Makam leluhur terletak di kawasan perumahan keluarga Welbert dan paling dekatdengan rumah utama.Keluarga Welbert membuatresort perumahan khusus untuk ditinggali seluruh anggota keluarga Welbertdengan tanah seluas 10.000 hektar. Laura dan Selena pun tinggal di rumah milikmereka sendiri yang masih berada di salah satu resort milik keluarga Welbert.Hanya saja mereka sangatsenang mengganggu Alice. Sehingga hampir setiap hari mereka akan mengunjungirumah Gavin untuk mengerjainya."CEPAT KAMUBERLUTUT!" perintah Laura sambil memaksa Alice berlutut