"Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" ujar Laura dengan nada rendah kepada Alice. "Berikan dukunganmu kepada Gavin! Atau..." Alice kembali membuat sebuah panggilan video saat ini dengan satu alat pendengar di telinganya dan satu lagi masih di telinga Laura. "Perlihatkan gadis itu!" perintah Alice kepada seseorang di ujung telepon. "MAMA! TOLONG AKU MA! TOLONG!" tampak Selena diikat pada kaki dan tangan dengan digantung terbalik. Kepalanya tepat mengarah ke atas lautan. Selena terikat pada ujung dek kapal ditengah lautan. "Kamu gila, Alice!" Laura benar-benar sangat marah saat ini, namun dia tidak mengeraskan suaranya sedikitpun. Gavin dan Gerard melihat keanehan pada kedua wanita itu. Namun mereka tidak dapat mengalihkan pembicaraan mereka saat ini. Gavin dan Gerard berdiri di depan melanjutkan voting suara pemegang saham utama, setelah perolehan suara untuk dewan direksi berakhir seimbang untuk mereka berdua. "Sekarang, kita akan menggunakan hak pemegang saham utama peru
Fokus Gavin terbagi. Meskipun dia dengan sangat senang menerima ucapan satu persatu dari dewan direksi, matanya selalu mengarah kepada Alice. Dia sudah tidak sabar untuk menghampiri istrinya. Alice berdiri dengan tenang di tempatnya, menatap Gavin dari sana. Ketika semua orang telah pergi dari ruang rapat, hanya tersisa mereka berdua di sana. Gavin sudah tidak sabar lagi, dan melangkah besar ke arah Alice. Ketika pria itu berdiri di depannya, "Kenapa? Sudah merindukanku?" tanya Alice dengan merentangkan tangannya. Gavin memeluk tubuh Alice, menghirup aroma dari tubuhnya. "Syukurlah. Aku mengira bahwa kamu_" "Mati? Ya, aku memang hampir mati. Koma selama satu bulan, benar-benar tidak enak." Gavin menatap dalam kepada Alice mendengar perkataannya. "Pasti kamu sangat ketakutan waktu itu. Maaf karena aku lalai menjagamu." "itu bukan kesalahanmu, sudahlah!" ujar Alice. "Aku merindukanmu, Alice." Gavin memeluk erat Alice. "Hmmm, tapi kenapa pelukan ini terasa kurang nyama
"Berhentilah berjalan mondar mandir tidak karuan, Laura!" Gerard yang sudah merasa kesal karena gagal terpilih sebagai presiden direktur utama perusahaan Welbert, menjadi semakin kesal melihat Laura yang dari tadi gelisah dan berjalan kesana kemari. "Apa maksudmu Gerard? Biar bagaimana pun Selena adalah putri kandungmu. Bagaimana bisa kamu tidak mengkhawatirkan dia?" Jika bisa memilih, Laura benar-benar berharap Selena adalah putri kandung Josh dibandingkan Gerard. Josh adalah pria yang bertanggung jawab dan perhatian, meskipun dia tidak mencintai Laura. Sejak Laura mengandung hingga Selena lahir, Josh tidak pernah membedakan kasih sayangnya, baik kepada Gavin ataupun Selena. "Sayang sekali, aku memiliki putri yang ceroboh, dia membuatku kehilangan kesempatan menjadi pemimpin dalam keluarga Welbert. Jika saja Alice tidak menangkapnya, mungkin hari ini aku sudah_" "GERARD! BISA-BISANYA KAMU BERKATA BEGITU!" Laura menjadi sangat marah. "Bagaimanapun juga, apa kamu tidak takut jika
"ALICE! ALICE!" Laura datang ke kediaman utama dan berteriak-teriak memanggil Alice. "Nyonya, Nyonya Alice masih tidur. Tuan Gavin tadi sebelum berangkat berpesan kepada kami untuk tidak mengganggunya. Kalau Nyonya berteriak-teriak seperti itu, Nyonya Alice nanti terbangun." Weni mencoba menghalangi Laura yang akan naik ke tangga menuju ke kamar Tuannya. "PERSETAN DENGAN KALIAN SEMUA! ALICE! TURUN KAMU!" Laura masih berteriak dengan marah. Alice yang masih tertidur di kamar, terbangun mendengar suara Laura. "Ugh, siapa itu? Mengganggu saja." Alice mencoba mencari kesadarannya untuk segera bangun dengan meregangkan tubuh dan menggosok-gosok kedua matanya. Ketika dia turun dari tempat tidur, dan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, Alice merasakan tubuhnya kedinginan. "Astaga!" Alice lupa jika dia sekarang tidak mengenakan apapun. Alice segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan menggunakan pakaian. Di depan wastafel dia memandangi keseluruhan dirinya deng
Laura berlari dengan cepat, bagaimanapun dia tidak ingin berakhir di penjara. Apalagi Selena juga terlibat hari itu. Laura tidak ingin masa depan putrinya terancam. Laura masuk ke dalam mobilnya dan memerintahkan supirnya, "Kita ke rumah Gerard. Cepat!" Dalam 5 menit, Laura sampai ke rumah Gerard. Dia masuk ke dalam rumah dan menemukan Gerard saat ini sedang berada di ruang tamu bersama dengan tiga orang pria. Yang seorang adalah Mario Aldimor, sedangkan kedua pria lainnya, dia tidak mengenalnya. Yang satu berbadan besar dan berotot. Yang lainnya seorang pria bertinggi badan sekitar 178 sentimeter, tubuhnya tidak gemuk dan juga tidak kurus. "Gerard..hiks..hiks.." Laura mengadu dan menangis kepada Gerard. "Ada apa denganmu, Laura? Kenapa dengan wajahmu?" Gerard sedih melihat wajah Laura yang sangat merah, sepertinya bekas tamparan. "Alice memukulku." "Apa? Akan aku beri pelajaran dia." Gerard hendak pergi, namun Laura segera menahannya. "Jangan Gerard, dia mempunyai bukti pe
"Emm, Alice.." "Hmmm, ada apa?" tanya Alice yang saat ini sedang mengeringkan rambutnya di depan meja rias, dia menatap pantulan Gavin di kaca meja. Gavin saat ini sedang di tempat tidur sambil membaca buku. "Seandainya aku mengajakmu pergi ke Thurad dan kita berlibur ke wahana bermain, apa kamu mau?" Gavin bertanya dengan ragu. "Benarkah? Kapan? Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku melihatnya di televisi sepertinya wahana itu bagus sekali." Alice nampak bersemangat. "Kamu..apa baik-baik saja jika kita pergi ke sana? Apa kamu tidak merasa takut atau trauma?" Gavin khawatir Alice masih merasa trauma setelah kejadian terakhir kali. Biasanya orang yang mengalami kejadian mengerikan seperti Alice, pasti akan trauma pergi ke tempat dimana dia mengalaminya. "Takut? Trauma? Tidak. Aku baik-baik saja." Alice tersenyum dengan lebar. "Betulkah? Mari kita berangkat lusa. Bagaimana?" "Aku mau. Senang sekali. Thurad adalah tempat yang sangat indah." Alice telah selesai mengeringkan rambutnya
Di meja makan, Alice sarapan dengan malas. Dia menyuap makanan ke dalam mulutnya dengan perlahan dan tanpa semangat. Setelah Gavin memarahinya karena memakan pil kontrasepsi itu, dia pergi keluar dan belum kembali hingga sekarang. "Kenapa memangnya kalau belum mau punya anak? Hanya menunda beberapa waktu, apa dia begitu kolot? Huh!" Alice mengomel-ngomel sendiri sambil mengunyah makanannya. Ketika Weni datang dan memberikan segelas susu untuknya, Alice bertanya. "Weni, apa Gavin memberitahumu dia pergi kemana?" "Tidak, Nyonya. Tuan cuma bilang, dia langsung pergi ke kantor dan tidak perlu membuatkan sarapan untuknya." "Oke, terimakasih Weni." Alice beranjak pergi dari meja makan menuju ke garasi rumah. Weni melihatnya akan pergi, buru-buru menyusulnya dan bertanya. "Nyonya, mau pergi kemana? Maaf, siapa tahu tuan nanti bertanya ketika pulang." "Bilang saja aku pergi ke Dojo," jawab Alice kemudian masuk ke garasi dan mengambil mobil yang biasa dipakai Elisa sebelumnya.
"Aku bilang LEPASKAN!" Gavin memberikan penekanan lebih keras di akhir kalimatnya. Mario yang sempat terpana melihat mata Alice dan menghirup aroma dari tubuhnya, melepaskan Alice dan berdiri dari tempatnya. Gavin mendekat dan menjulurkan tangannya untuk membantu Alice berdiri. "Maaf, aku hanya mengajarkan beberapa trik bela diri kepadanya." Mario memasang raut wajah tidak bersalah. Gavin menatap tajam ke arahnya, "Aku pikir, Alice mulai besok tidak perlu kemari lagi untuk berlatih. Aku sendiri yang akan mengajarinya." "Gavin, apa kamu melarang Alice berlatih karena cemburu?" Mario tiba-tiba berkata. "Aku bukan cemburu, tapi menjaga istriku. Sebaiknya kamu tidak menggoda wanita yang sudah bersuami." "Ya, kamu harus menjaganya. Di luar dia bisa dengan mudah mendapatkan penggemarnya." Kali ini komentar Mario terdengar aneh, seperti sengaja memancing kemarahan Gavin. "Kamu?! Apa maksud perkataanmu?" Gavin hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. "Sudahlah Gavin, ayo kita pulang