"Ada apa? Dari tadi kamu seolah sedang memikirkan sesuatu?" Jake menatap alis dan dahi Alice yang sedari tadi sebentar-sebentar berkerut. "Jake, sebaiknya kita kembali ke Bandara. Aku ingin memastikan sesuatu." Alice dan Jake tadinya sudah sampai di pusat kota Lugano dan hendak berjalan-jalan menikmati pemandangan kota yang terletak di pegunungan dan pinggir laut itu. Namun Alice baru menyadari sesuatu keanehan. Mereka memanggil sebuah taksi mobil dan bergegas kembali ke Bandara. "Alice, bisakah kamu menjelaskan kepadaku ada apa sebenarnya?" Jake bertanya dengan penuh rasa penasaran. Jake berbicara dengan bahasa Casia agar supir taksi tidak memahami apa yang mereka bicarakan. Alice pun berbicara pada Jake dalam bahasa Casia, "Aku rasa mereka menyadari bahwa kita mengawasi mereka Jake. Entah sejak kapan, bisa saja karena mereka mengenalimu. Atau mungkin_ Mario memang sudah tahu bahwa yang bertemu dengannya di bandara waktu itu adalah aku." "Maksudmu adalah Sonia, rekanmu ya
Alice dan Jake memang berjalan-jalan di kota Laguna, namun mereka lebih fokus untuk membahas rencana yang akan mereka lakukan selanjutnya. "Jake, sudah waktunya untuk kembali ke bandara." Alice melihat pada jam tangannya, saat ini sudah pukul 17.30. "Oke, kita kembali sekarang." Jake kemudian menghentikan sebuah taksi mobil. Dalam beberapa menit, Alice dan Jake telah tiba di Bandara Laguna. "Apa ada kabar dari Wella dan Henry, Jake?" tanya Alice pada Jake sambil mereka berjalan beriringan. "Seharusnya mereka saat ini telah tiba diruang transit. Mereka akan ikut penerbangan dari Laguna menuju Paris bersama kita." "Baguslah. Aku akan ke ruang ganti kru maskapai. Sampai jumpa, Jake." "Ya, hati-hatilah." Alice masuk ke dalam ruang ganti khusus wanita dan disana telah ada Katy dan Sonia. "Wajahmu sangat ceria, Alice. Apakah kamu bersenang-senang?" tanya Sonia. "Ya, kota ini cukup indah dan menyenangkan untuk berwisata." Alice menjawab sekenanya. Katy mengeluarkan sebu
Pukul 18.00 di Bandara Laguna, "Jake, aku akan ke ruang ganti sekarang. Sampai jumpa." "Ya, berhati-hati lah!" Jake menatap punggung Alice hingga dia masuk dan tidak terlihat di balik pintu masuk ruang ganti kru maskapai. "Apa kamu akan terus menerus mengikutinya seperti bayangan, Gavin Welbert? Jake menatap ke arah pria berhoodie dan berkacamata hitam yang sedang membaca koran di sebuah kursi. "Aku tidak ingin kehilangan jejaknya lagi." Gavin berdeham."Sampai kapan kamu hanya akan mengikutinya? Tidakkah sebaiknya kamu bertemu dan membicarakannya dengannya?""Aku memang akan melakukannya!" jawab Gavin datar. "Tapi saat sekarang ini Alice sedang melakukan misi berbahaya dan_" Jake mendadak terdiam, dia fokus dengan alat pendengar yang terpasang di telinganya. Dia berdiri di hadapan Gavin dengan wajah tegang. "Ada apa?" tanya Gavin, namun Jake tidak menghiraukannya. Setelah beberapa saat, Jake berjalan menuju ke ruang ganti kru maskapai. "HEI, JAKE! ADA APA?" Gavin mera
Jake berpikir berulang kali sebelum naik ke pesawat. Sudah pukul 19.20, saatnya boarding bagi penumpang penerbangan menuju ke Paris. Jake mencoba menghubungi ponsel Alice. Sekali panggilan, tidak diangkat. Yang kedua kali, juga demikian. Dia kemudian memutuskan untuk berbalik pergi menuju pintu keluar, namun belum sampai di pintu keluar, ponsel miliknya berbunyi. Jake menatap pada layar ponselnya, panggilan itu berasal dari 'Alice'. Jake mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Alice?" "Bukan, ini aku. Aku mendengar ponselnya terus menerus berbunyi di saku celananya." "Gavin? Bagaimana Alice?" "Dia kini bersamaku, dia masih tidak sadarkan diri." "Baguslah, jika begitu aku serahkan dia padamu. Aku harus kembali ke Paris, ada hal yang harus aku urus." "Ya," jawab Gavin singkat. Setelah menutup panggilannya, Jake bergegas melangkah ke pesawat penerbangan menuju Paris. Di pintu masuk pesawat, Katy dan Sonia berdiri memeriksa tiket penumpang dan mengarahkan mereka ke tempa
Saat ini di ruang kedatangan di Bandara Paris pukul 22.00, Wella duduk bersebelahan dengan Henry, sedangkan Jake duduk agak jauh dari mereka. Wella dan Henry duduk berdekatan, mereka bersikap seolah mereka adalah sepasang kekasih. Henry menerima sebuah pesan di ponselnya, "Henry, kalian ikuti pramugari yang bernama Sonia itu. Aku akan mengikuti Katy." Henry menunjukkan isi pesan itu kepada Wella dan kemudian membalas, "Ya, Jenderal!". Sonia menarik tas berwarna hitam pekat itu dan berjalan menuju ke parkiran. Dia masuk ke dalam mobil miliknya, dan mengemudi perlahan meninggalkan Bandara Paris. Dia mengemudi selama 20 menit dan sampai di sebuah perusahaan. Sonia turun dari dalam mobil dan juga menarik tasnya masuk ke dalam perusahaan itu. Henry dan Wella mengendap-endap mengikuti Sonia. Mereka dengan gesit masuk dan menyelinap ke dalam perusahaan yang berlogo GW. "Mengapa hari ini kamu yang membawa paket itu?" suara seorang pria paruh baya terdengar. "Katy hari ini tidak
Jake mengikuti Katy hingga tiba di sebuah gudang yang sangat sepi. Sedari tadi wanita itu terus berada dalam pengawasannya, namun entah bagaimana dia tiba-tiba menghilang dari pandangannya. "Sial, kemana perginya wanita itu?" Jake melihat ke sekeliling, namun tidak menemukannya. Ketika dia melangkah semakin jauh, Jake tiba-tiba dikelilingi banyak orang. Semua dari mereka menggunakan pakaian berwarna hitam. "Hmmm, kalian orang-orang dunia bawah tidak bisakah melanjutkan visi misi ke arah yang lebih baik setelah Peter Aldimor dihukum mati? Ck, bukankah melelahkan bekerja di dunia hitam?" celetuk Jake. "Jangan membawa-bawa nama Ayahku yang sudah mati, Jenderal Jake!" Katy keluar dan menodongkan senjatanya ke arah Jake. "Ayah? Ternyata kamu adalah putri Peter Aldimor? Hahaha." "Apa yang membuatmu tertawa Jake?" Katy agak geram setelah mendengar Jake tertawa. "Aku hanya menertawakan kebodohanmu dan Mario. Kalian sesungguhnya orang-orang cerdas dan harusnya memiliki masa depan yang
"Ugh.." Alice terbangun ketika matahari telah terbit dan hampir berada diatas kepala. Matanya berkedip-kedip mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menyilaukan melewati kaca jendela. Semalam Gavin hanya memborgolnya sesaat, dia segera melepaskannya ketika melihat tangan Alice lecet dan terluka karenanya. Dia melihat pria yang masih memeluk pinggangnya ditempat tidur. Alice perlahan memindahkan tangan Gavin dari atas pinggangnya. Dia berhati-hati beranjak dari tempat tidur dan mengambil pakaiannya yang berserakan. Alice menuju ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sejenak, kemudian mengenakan pakaian secepatnya. Dia membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati agar tidak membangunkan Gavin. Dia mengendap-endap berjalan ke arah pintu kamar. Tangannya memutar kunci yang telah terpasang di pintu. Klek klek ceklek 'Yeay, pintunya telah terbuka!' sorak Alice dalam hati. Alice melangkah keluar pintu dan menarik perlahan pintu agar tertutup kembali. Sayangnya sebelu
"Alice, kita telah mendarat di Albain." Gavin memegang pipi Alice dan membangunkannya."Emm, kita sudah tiba di Albain?" Alice membuka matanya perlahan."Ya, ayo kita kembali ke rumah!" Gavin menautkan jemarinya dan jemari Alice.Sepanjang perjalanan dari Bandara Albain hingga mereka tiba di kediaman utama Welbert, tidak sekalipun Gavin melepaskan genggamannya pada jemari Alice."Rumah ini sudah dibangun kembali?" Alice takjub menatap bangunan rumah utama Welbert yang telah dibangun sama persis seperti sediakala."Ya, aku telah memerintahkan untuk membangun rumah ini sama persis seperti sebelumnya."Gavin menuntun Alice masuk ke rumah, seluruh pelayan menunduk hormat pada keduanya. Weni baru saja datang dari arah dapur, langkahnya terhenti ketika melihat Alice.Dia mematung, antara percaya dan tidak dengan apa yang dilihatnya saat ini."Tu_Tuan? Wanita yang di sebelah Anda adalah_?" Weni berkata dengan gagap dan matanya mulai berkaca-kaca.Gavin tersenyum, "Dia adalah Alice Welbert. I