Saat ini di ruang kedatangan di Bandara Paris pukul 22.00, Wella duduk bersebelahan dengan Henry, sedangkan Jake duduk agak jauh dari mereka. Wella dan Henry duduk berdekatan, mereka bersikap seolah mereka adalah sepasang kekasih. Henry menerima sebuah pesan di ponselnya, "Henry, kalian ikuti pramugari yang bernama Sonia itu. Aku akan mengikuti Katy." Henry menunjukkan isi pesan itu kepada Wella dan kemudian membalas, "Ya, Jenderal!". Sonia menarik tas berwarna hitam pekat itu dan berjalan menuju ke parkiran. Dia masuk ke dalam mobil miliknya, dan mengemudi perlahan meninggalkan Bandara Paris. Dia mengemudi selama 20 menit dan sampai di sebuah perusahaan. Sonia turun dari dalam mobil dan juga menarik tasnya masuk ke dalam perusahaan itu. Henry dan Wella mengendap-endap mengikuti Sonia. Mereka dengan gesit masuk dan menyelinap ke dalam perusahaan yang berlogo GW. "Mengapa hari ini kamu yang membawa paket itu?" suara seorang pria paruh baya terdengar. "Katy hari ini tidak
Jake mengikuti Katy hingga tiba di sebuah gudang yang sangat sepi. Sedari tadi wanita itu terus berada dalam pengawasannya, namun entah bagaimana dia tiba-tiba menghilang dari pandangannya. "Sial, kemana perginya wanita itu?" Jake melihat ke sekeliling, namun tidak menemukannya. Ketika dia melangkah semakin jauh, Jake tiba-tiba dikelilingi banyak orang. Semua dari mereka menggunakan pakaian berwarna hitam. "Hmmm, kalian orang-orang dunia bawah tidak bisakah melanjutkan visi misi ke arah yang lebih baik setelah Peter Aldimor dihukum mati? Ck, bukankah melelahkan bekerja di dunia hitam?" celetuk Jake. "Jangan membawa-bawa nama Ayahku yang sudah mati, Jenderal Jake!" Katy keluar dan menodongkan senjatanya ke arah Jake. "Ayah? Ternyata kamu adalah putri Peter Aldimor? Hahaha." "Apa yang membuatmu tertawa Jake?" Katy agak geram setelah mendengar Jake tertawa. "Aku hanya menertawakan kebodohanmu dan Mario. Kalian sesungguhnya orang-orang cerdas dan harusnya memiliki masa depan yang
"Ugh.." Alice terbangun ketika matahari telah terbit dan hampir berada diatas kepala. Matanya berkedip-kedip mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menyilaukan melewati kaca jendela. Semalam Gavin hanya memborgolnya sesaat, dia segera melepaskannya ketika melihat tangan Alice lecet dan terluka karenanya. Dia melihat pria yang masih memeluk pinggangnya ditempat tidur. Alice perlahan memindahkan tangan Gavin dari atas pinggangnya. Dia berhati-hati beranjak dari tempat tidur dan mengambil pakaiannya yang berserakan. Alice menuju ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sejenak, kemudian mengenakan pakaian secepatnya. Dia membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati agar tidak membangunkan Gavin. Dia mengendap-endap berjalan ke arah pintu kamar. Tangannya memutar kunci yang telah terpasang di pintu. Klek klek ceklek 'Yeay, pintunya telah terbuka!' sorak Alice dalam hati. Alice melangkah keluar pintu dan menarik perlahan pintu agar tertutup kembali. Sayangnya sebelu
"Alice, kita telah mendarat di Albain." Gavin memegang pipi Alice dan membangunkannya."Emm, kita sudah tiba di Albain?" Alice membuka matanya perlahan."Ya, ayo kita kembali ke rumah!" Gavin menautkan jemarinya dan jemari Alice.Sepanjang perjalanan dari Bandara Albain hingga mereka tiba di kediaman utama Welbert, tidak sekalipun Gavin melepaskan genggamannya pada jemari Alice."Rumah ini sudah dibangun kembali?" Alice takjub menatap bangunan rumah utama Welbert yang telah dibangun sama persis seperti sediakala."Ya, aku telah memerintahkan untuk membangun rumah ini sama persis seperti sebelumnya."Gavin menuntun Alice masuk ke rumah, seluruh pelayan menunduk hormat pada keduanya. Weni baru saja datang dari arah dapur, langkahnya terhenti ketika melihat Alice.Dia mematung, antara percaya dan tidak dengan apa yang dilihatnya saat ini."Tu_Tuan? Wanita yang di sebelah Anda adalah_?" Weni berkata dengan gagap dan matanya mulai berkaca-kaca.Gavin tersenyum, "Dia adalah Alice Welbert. I
"Gavin, aku malu. Mengapa kamu mengatakan semua itu di depan semua orang?" Alice kini berada di tempat tidur, terkunci dalam kungkungan Gavin. "Tidakkah kamu marah? Wanita lain menggoda suamimu di hadapanmu, tapi kamu makan dengan lahap." Gavin menahan dagu Alice dengan jarinya agar terus menatapnya. "Bagaimana selir ini harus marah, dia kan 'Calon Sang Ratu' di masa depan?" Alice tersenyum dan mengejek dirinya sendiri. "Hentikanlah pemikiran itu. Sudah aku katakan kamu harus percaya padaku. Hanya kamu satu-satunya milikku, dan hanya kamu lah yang akan menjadi Ratuku." Tangan Gavin mulai bergerak nakal dan bergerilya ke dalam baju Alice. "Tapi aku sudah mempelajari silsilah keluargaku dengan benar, tidak ada kemungkinan bahwa aku adalah keturunan bangsawan." "Sudah aku katakan, ibumu masih memerlukan waktu untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Bersabarlah!" Gavin menciumi seluruh wajah dan bibir Alice, sementara tangannya meraba-raba seluruh tubuh Alice. "Uh..ini masih sangat pag
"Elisa, sayangku. Ibu ingin memelukmu dan berlama-lama di sini, namun Ibu harus segera kembali. Maafkan Ibu, Elisa." Sara memeluk Elisa dengan erat, sebelum kemudian ia melepaskan pelukannya dan pergi dari rumah Sera. Sara memakai kacamata hitam untuk menutup genangan airmatanya yang sulit untuk dibendung. Sejak melahirkan keduanya, tidak sekalipun ia berkesempatan merawat kedua putri kembarnya. Terkadang ia hanya melihat mereka sesekali dari kejauhan. Hatinya sakit harus berpisah dari kedua putrinya, namun apa daya, keselamatan keduanya jauh lebih penting daripada kebersamaan mereka. Sejak lama Sara mengetahui bahwa Logan adalah pria yang berambisi dan punya niat jahat terhadap tahta kerajaan Yustan. Itu sebabnya Sara tidak pernah ingin melahirkan seorang anakpun selama pernikahannya dengan Logan. Sera merangkul pundak Elisa. "Dengar Elisa, kami melakukan ini semua demi keselamatan kalian." "Aku mengerti Bu, dan aku sangat bersyukur dibesarkan bersama Ibu dan keluarga Rayes.
"Sayang, apa kamu lelah?" ujar Gavin dengan seringai licik. Alice memelototi Gavin, "Mengesalkan sekali! Apa kamu tahu bahwa ini sangat menyakitkan? Huh!" Alice sangat kesal. "Maafkan aku, kalau Brigitta tidak mendengar auara desahanmu, dia tidak akan pergi dari depan pintu kamar dan akan terus menerus mengganggu kita." "Apa? Jadi kamu sengaja membuatku menjerit?Huh dasar kamu, Gavin! Rasakan ini!" Alice mencubit pinggang Gavin karena kesal. "Au, ampun Sayang. Hentikan, ini terasa geli dan sakit." "Sudahlah, aku mau melihat ponselku, siapa tahu tadi itu telepon penting." Alice beranjak dari tempat tidur sambil memegang selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia mengambil ponselnya di sofa. Setelah Alice melihat ponselnya, alisnya agak berkerut. "Siapa yang meneleponmu?" tanya Gavin penasaran. "Panggilan dari Ibu, dan sebuah nomor ponsel yang tidak aku kenal juga menelepon berkali-kali." Alice kemudian memainkan jarinya diatas layar ponselnya dan menelepon Sera. Setelah beb
Alice menatap heran pada wanita yang saat ini duduk di ruang keluarga. Jika saja ia tidak memperhatikan dengan seksama wanita itu, dia akan berlari dan memeluknya karena mengira dia adalah ibunya, Sera.Wanita itu memiliki rambut sebahu berwarna coklat dengan tatanan rambut bergelombang dan wajahnya dirias dengan sangat terampil. Sedangkan Sera, dia tidak begitu mahir berdandan. Ibunya seringkali tampil natural tanpa riasan apa pun di wajahnya.Bahkan semakin mendekat Alice padanya, semakin dia dapat melihat perbedaan wanita paruh baya itu dengan Sera. Warna iris matanya persis seperti warna mata Alice, yakni berwarna hazel. Tubuh wanita itu juga cukup tinggi jika dibandingkan dengan Sera yang bertubuh mungil."Alice_ Putriku, akhirnya aku dapat berjumpa denganmu, Nak." Sara mendekat dan memegang kepala Alice dengan lembut."Maafkan aku, tapi Anda adalah_?" Alice merasa bingung dengan panggilan 'putriku' yang disematkan wanita itu padanya."Aku adalah Ibu kandungmu, Ansara Anabel. Aku