"Gavin, aku malu. Mengapa kamu mengatakan semua itu di depan semua orang?" Alice kini berada di tempat tidur, terkunci dalam kungkungan Gavin. "Tidakkah kamu marah? Wanita lain menggoda suamimu di hadapanmu, tapi kamu makan dengan lahap." Gavin menahan dagu Alice dengan jarinya agar terus menatapnya. "Bagaimana selir ini harus marah, dia kan 'Calon Sang Ratu' di masa depan?" Alice tersenyum dan mengejek dirinya sendiri. "Hentikanlah pemikiran itu. Sudah aku katakan kamu harus percaya padaku. Hanya kamu satu-satunya milikku, dan hanya kamu lah yang akan menjadi Ratuku." Tangan Gavin mulai bergerak nakal dan bergerilya ke dalam baju Alice. "Tapi aku sudah mempelajari silsilah keluargaku dengan benar, tidak ada kemungkinan bahwa aku adalah keturunan bangsawan." "Sudah aku katakan, ibumu masih memerlukan waktu untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Bersabarlah!" Gavin menciumi seluruh wajah dan bibir Alice, sementara tangannya meraba-raba seluruh tubuh Alice. "Uh..ini masih sangat pag
"Elisa, sayangku. Ibu ingin memelukmu dan berlama-lama di sini, namun Ibu harus segera kembali. Maafkan Ibu, Elisa." Sara memeluk Elisa dengan erat, sebelum kemudian ia melepaskan pelukannya dan pergi dari rumah Sera. Sara memakai kacamata hitam untuk menutup genangan airmatanya yang sulit untuk dibendung. Sejak melahirkan keduanya, tidak sekalipun ia berkesempatan merawat kedua putri kembarnya. Terkadang ia hanya melihat mereka sesekali dari kejauhan. Hatinya sakit harus berpisah dari kedua putrinya, namun apa daya, keselamatan keduanya jauh lebih penting daripada kebersamaan mereka. Sejak lama Sara mengetahui bahwa Logan adalah pria yang berambisi dan punya niat jahat terhadap tahta kerajaan Yustan. Itu sebabnya Sara tidak pernah ingin melahirkan seorang anakpun selama pernikahannya dengan Logan. Sera merangkul pundak Elisa. "Dengar Elisa, kami melakukan ini semua demi keselamatan kalian." "Aku mengerti Bu, dan aku sangat bersyukur dibesarkan bersama Ibu dan keluarga Rayes.
"Sayang, apa kamu lelah?" ujar Gavin dengan seringai licik. Alice memelototi Gavin, "Mengesalkan sekali! Apa kamu tahu bahwa ini sangat menyakitkan? Huh!" Alice sangat kesal. "Maafkan aku, kalau Brigitta tidak mendengar auara desahanmu, dia tidak akan pergi dari depan pintu kamar dan akan terus menerus mengganggu kita." "Apa? Jadi kamu sengaja membuatku menjerit?Huh dasar kamu, Gavin! Rasakan ini!" Alice mencubit pinggang Gavin karena kesal. "Au, ampun Sayang. Hentikan, ini terasa geli dan sakit." "Sudahlah, aku mau melihat ponselku, siapa tahu tadi itu telepon penting." Alice beranjak dari tempat tidur sambil memegang selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia mengambil ponselnya di sofa. Setelah Alice melihat ponselnya, alisnya agak berkerut. "Siapa yang meneleponmu?" tanya Gavin penasaran. "Panggilan dari Ibu, dan sebuah nomor ponsel yang tidak aku kenal juga menelepon berkali-kali." Alice kemudian memainkan jarinya diatas layar ponselnya dan menelepon Sera. Setelah beb
Alice menatap heran pada wanita yang saat ini duduk di ruang keluarga. Jika saja ia tidak memperhatikan dengan seksama wanita itu, dia akan berlari dan memeluknya karena mengira dia adalah ibunya, Sera.Wanita itu memiliki rambut sebahu berwarna coklat dengan tatanan rambut bergelombang dan wajahnya dirias dengan sangat terampil. Sedangkan Sera, dia tidak begitu mahir berdandan. Ibunya seringkali tampil natural tanpa riasan apa pun di wajahnya.Bahkan semakin mendekat Alice padanya, semakin dia dapat melihat perbedaan wanita paruh baya itu dengan Sera. Warna iris matanya persis seperti warna mata Alice, yakni berwarna hazel. Tubuh wanita itu juga cukup tinggi jika dibandingkan dengan Sera yang bertubuh mungil."Alice_ Putriku, akhirnya aku dapat berjumpa denganmu, Nak." Sara mendekat dan memegang kepala Alice dengan lembut."Maafkan aku, tapi Anda adalah_?" Alice merasa bingung dengan panggilan 'putriku' yang disematkan wanita itu padanya."Aku adalah Ibu kandungmu, Ansara Anabel. Aku
"Gavin, kamu tidak harus ikut menemaniku. Bukankah beberapa hari lagi akan ada konferensi di Paris. Itu adalah acara yang sangat dinantikan seluruh pemimpin mancanegara." Alice khawatir mengganggu pekerjaan Gavin. "Masih beberapa hari lagi kan? Aku masih punya waktu untuk menemanimu." "Baiklah, yang jelas bukan aku yang memaksamu." Ketika Alice dan Gavin hendak masuk ke dalam mobil milik Sara, Brigitta yang baru datang entah darimana, berlari dan menghampiri Gavin. "Gavin, kamu mau pergi kemana lagi? Aku ikut!" ujarnya bergelayut manja di tangan Gavin. Sara menatap kepada gadis itu dan kemudian menatap Alice, "Alice, siapa gadis ini?" Alice melihat dengan malas ke arah Brigitta yang bergelayut manja pada suaminya, "Konon katanya, dia adalah calon Ratu untuk Gavin Welbert, Bu." Alice memutar bola matanya. "APA?!" Sara merasa tidak terima dengan sikap Gavin pada putrinya. "Alice, mengapa kamu hanya diam saja?" Sara bertanya dengan nada agak tinggi. Alice tersenyum, "Bu,
"Gavin, lihatlah Alice. Ada keributan dari arah belakang." Sara merasa khawatir mendengar suara gaduh di bagian belakang pesawat. Gavin bergegas mendatangi Alice. Tidak disangka, Alice kini bertarung dengan 11 orang sekaligus. Gavin datang dan membantu Alice. Sekarang lebih baik, pertarungan ini lebih adil. Alice agak kewalahan juga menangani 11 orang sekaligus. BAK BUK "Argh" Suara pukulan dan erangan terdengar terus menerus. Untungnya, erangan kesakitan tidak keluar dari mulut Alice dan Gavin. Meski sesekali tubuh dan wajah Alice, juga Gavin terkena pukulan yang tidak bisa terelakkan. Namun semua orang itu akhirnya tumbang dan babak belur, bahkan sebagian pingsan karena dipukul sangat kuat. Wanita berseragam pramugari itu hendak berlari keluar dengan parasut yang sudah terpasang pada tubuhnya. Ketika ia nyaris membuka pintu darurat pesawat, Alice menendangnya hingga terkapar. Alice merobek tas parasut yang ada di punggung wanita itu dengan sekali tarikan. Alice duduk
"Alpha, lama tidak berjumpa!" Seorang pria berkulit agak gelap, bertubuh kekar, dan tinggi menyapa Alice yang baru saja turun dari pesawat pribadi kerajaan Yustan. "Matheo, lama tidak berjumpa." Alice mengulurkan tangannya berjabat tangan untuk menyapa pria itu. Matheo menjabat tangan Alice, "Alpha, aku memikirkan alasan kamu tiba-tiba mengundurkan diri sebagai jenderal pasukan elit Casia. Banyak berita yang beredar, termasuk bahwa kamu telah_ Yah, sekarang aku percaya berita itu tidak terbukti." "Hahaha, aku hanya merasa lelah dan ingin fokus pada satu hal." "Dimana orang-orang itu?" tanya Matheo. "Mereka ada di pesawat, 10 pria dan 1 wanita. Matheo, korban-korban itu, tolong bantu untuk mengurus mereka dengan layak." Yang dimaksud Alice adalah jenazah Pilot, Kopilot, dan juga para pengawal Sara. "Ya, aku akan melakukannya," jawab pria bermata besar dan berhidung mancung itu. Dia menatap para bawahannya, melambaikan tangannya dan menunjuk pesawat. Mereka mengikuti petunju
Sara berjalan menuju ke pintu kamar dan berbicara setelah membuka pintunya dengan benar, "Iya Bu, ini aku." "Apa Gavin Welbert dan Alice Welbert ikut bersamamu? Bawa lah mereka kemari, aku ingin berbicara dengan mereka, hanya kami bertiga. Kamu dan Logan boleh pergi." "Iya, Bu." Sara kemudian berbalik keluar dan mempersilahkan Gavin dan Alice untuk masuk, "Yang Mulia, silahkan masuk. Ibuku ingin bertemu dengan kalian." Gavin dan Alice melangkah masuk ke dalam kamar. Sedangkan Sara menutup pintu kamar dari luar dan mengajak Logan pergi. "Ayo, kita pergi dari sini. Ibu sepertinya tidak ingin pembicaraannya didengar oleh kita." Biar bagaimanapun, Logan tidak bisa untuk bertindak lancang melawan titah Sang Ratu. Dia pun dengan tidak rela pergi dari area kamar Ratu Isabela. Alice dan Gavin masuk ke dalam kamar Isabela. Sungguh tidak terduga, suara yang sangat tegas dan berwibawa yang didengar mereka tadi, berasal dari seorang wanita yang sudah sangat tua. Tubuhnya sangat ku