"Hai, selamat pagi." Narin berjalan dengan gemulai ke arah Gavin dan Alice yang sedang berdiri di depan pintu. Alice mengantarkan Gavin yang akan berangkat kerja. 'Tumben, dia hari ini tepat waktu datangnya. Biasanya berlagak di meja makan,' cibir Alice dalam hati. "Selamat pagi," balas Alice datar. Sedangkan Gavin hanya diam. "Alice, bagaimana kalau mulai hari ini kita berlatih di Dojo? Kebetulan ada beberapa gadis muda yang juga berlatih bela diri mulai hari ini. Pasti lebih seru kalau latihan bersama. Bagaimana?" Alice menatap ke arah Gavin, tapi Gavin justru salah memaknai tatapan Alice. "Tidak, lebih baik Alice tetap latihan privat di rumah ini saja dan..." "Gavin, aku tidak keberatan. Aku juga jenuh di rumah terus. Lebih baik aku yang pergi ke Dojo, pasti lebih seru." Senyum Narin mengembang cerah seketika setelah mendengar jawaban Alice. 'Dasar bodoh, kamu justru akan menderita di Dojo,' sorak Narin dalam hatinya. Gavin menatap Alice, sedikit tidak percaya.
"A_aku belum ma_ti? Huhuhu..aku belum mati." Lutut Narin lemas setelah lemparan Alice benar-benar mengenai apel di atas kepalanya. Dia takut setengah mati sampai terkencing di celana. "Hmmm, aku mau cari sasaran baru lagi," ujar Alice yang kemudian berdiri setelah memungut pisau dan apelnya. Dia mendekati Tania, Selena, Melly dan Lina. "Cap..cip..cup..kem..bang..kun..cup..si.." Alice kembali bernyanyi dan menunjuk mereka dengan pisau yang di pegangnya. "A_Alice, kumohon jangan lakukan ini lagi," Selena ketakutan. "Hmmm? Jangan lakukan? Tapi kalian akan mengadukan aku kepada Gavin, dan Perdana Menteri. Tadi kalian mengancamku," ujar Alice memasang wajah sedih. "Alice..kami berjanji..kami berjanji tidak akan mengatakan kejadian hari ini," ujar Melly. "Aku tidak perlu janji kalian!" TANK Alice melempar tas yang dibawanya tadi, dan isinya keluar di hadapan mereka semua. Isinya adalah kapak, gergaji kecil, pisau berbagai jenis dan ukuran. Semuanya terlihat baru dan tajam
"Aku pinjam mobilmu, mana kuncinya?" tanya Alice pada Narin. Tap Alice menangkap lemparan ringan dari Narin, sebuah kunci mobil. "Kamu mau kemana Alice? Bagaimana jika nanti Gavin mencari dan menanyakanmu?" "Jam segini dia sibuk di perusahaan. Jika dia meneleponmu, buatlah alasan yang masuk akal. Kamu pandai membuat alasan." ujar Alice, mengingat mulut Narin yang pandai berbohong. Narin hanya mengangguk. Alice melajukan mobil milik Narin di jalan raya, sedangkan Maybach yang biasa digunakannya, dia tinggalkan di Dojo. Alice mengikuti alamat yang diberikan Jake kepadanya kemarin. Dan setelah beberapa saat, Alice sampai di sebuah bangunan rumah sakit yang cukup besar, tertulis 'Rumah Sakit Jiwa Albain' pada plang namanya. Alice melangkah ke dalam, melihat sekeliling. Dia mendatangi ruang informasi. "Elisa? Sudah lama aku tidak melihatmu. Ingin menjenguk ibumu, ya?" ujar seorang wanita paruh baya dengan baju perawat, sebelum Alice sampai di ruang informasi. "Ehm, iya,"
"Elisa dimana? Kenapa dia lama tidak mengunjungi ibu? Apa kamu pernah bertemu dengannya?" tanya Sera penasaran. Alice menceritakan tentang Elisa, dan bagaimana Alice kemudian bisa masuk ke keluarga Welbert untuk menggantikan Elisa. "Oh, Tuhan, Elisaku. Hiks hiks," hati Sera merasa sakit setelah mendengar keadaan Elisa yang beberapa waktu lalu mengalami kecelakaan. Alice menatap ibunya dengan heran, "Ibu, sepertinya Ibu tidak_ Emm, maksudku_" Alice takut mengatakan kalimat yang tidak tepat pada ibunya. Sera tersenyum dengan santai dan tidak tampak marah. Dia mengerti maksud kalimat Alice. "Kenapa Alice? Kamu ingin berkata 'kenapa sepertinya ibu tidak terlihat seperti orang gila?' Itu kan yang kamu maksud?" "Hmmm, iya Bu," Alice mengangguk. "Ibu tidak gila, sayang. Ibu sangat sehat dan normal. Ibu di sini, agar Gerard dan Laura tidak menggunakan ibu untuk mengancam Elisa dan kamu. Tuan Berti Welbert yang sengaja menyembunyikan ibu di sini, karena di sini lebih aman diban
Hampir seharian Alice menghabiskan waktu bersama Sera dan Elisa dirumah. Alice mempercayakan Jake dan bawahannya untuk menjaga Sera dan juga Elisa. Alice segera melajukan mobil Narin yang dipinjamnya dan kembali ke Dojo. Narin menggelengkan kepalanya melihat Alice yang baru pulang hampir sore hari. "Alice, kamu dari mana saja? Tadi, Gavin meneleponku dan menanyakan dirimu." "Hmmm, kamu bilang apa padanya?" tanya Alice. "Aku bilang kamu sedang berlatih pertarungan bebas." "Oke, terimakasih." Alice mengambil Maybach miliknya dan melajukannya ke arah rumah utama keluarga Welbert. Sesampainya dirumah, Alice bergegas masuk ke dalam rumah dan betapa kagetnya dia ketika melihat seseorang sedang duduk dan bersuara diruang tengah. "Kamu sudah pulang?" tanya Gavin. "Hmmfff, kamu mengagetkan aku saja!" protes Alice. "Aku mau ke kamar dulu dan mandi. Tubuhku sudah tidak nyaman karena keringat." * * * Alice menatap layar ponselnya, 'Berti Welbert' kini tengah memanggil Alice
Tak "SKAKMAT!" ujar Alice meletakkan anak catur miliknya dan menggeser jatuh milik Berti Welbert. "Kali ini kamu tidak mengalah sama sekali kepada pria tua ini Alice?" "Untuk apa mengalah kalau bisa menang?" ujar Alice dengan seringai licik di wajahnya. "Kamu memang selalu menonjol sejak kecil, kakek tahu itu. Gavin tidak salah memilih dirimu dulu untuk jadi calon istrinya." "Tuan Besar, ini sudah putaran ketiga dan anda sudah aku kalahkan tiga kali. Sekarang katakan, ada apa anda memanggilku kemari?" Tuk Tongkat yang berada di sisi tubuh Berti dia angkat dan gunakan untuk menggetuk kepala Alice. "Panggil aku 'Kakek', kamu harus sopan! Elisa saja memanggilku seperti itu!" marah Berti. "Aish, iya Kek." Alice mengelus kepalanya, karena pukulan Berti cukup kuat. "Kenapa kamu membawa ibumu pergi dari rumah sakit jiwa? Disana adalah tempat yang aman untuknya bersembunyi." "Jangan khawatir, aku bisa melindungi keluargaku Kek. Mereka berada di tempat yang aman." "Lalu,
"Jika ayahku dibunuh, dan ini semua konspirasi, siapa yang paling diuntungkan? Peter Aldimor? Raja Paul Welbert?" gumam Alice. Alice seharian tidak bisa berpikir jernih setelah bertemu dengan Berti Welbert hari ini. Dia termenung di dalam kamarnya. Setelah mengambil sebuah buku tentang perang di perpustakaan rumah, dia tetap tidak bisa fokus untuk membaca. Alice mengeluarkan jam bandul dari sakunya, dia membukanya dan menatap foto di dalamnya. "Ayah, benarkah kamu dibunuh? Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuntut balas untukmu? Ataukah aku harus membawa pergi ibu dan juga Elisa dari sini." gumamnya. "Segel! Ya, aku harus segera menemukan segel." Alice mendekatkan telinganya di telepon selulernya, dan setelah beberapa nada panggil terdengar suara Sera. "Ada apa Alice?" "Bu, apa Ibu tahu seperti apa bentuk segel keluarga Rayes itu?" "Benda itu hanya sebesar ibu jari Alice. Dan segel itu terkunci, kuncinya Ibu sembunyikan di sebuah vas bunga." Vas bunga? Ya, Alice s
"Waaaa...." Alice mempunyai kebiasaan membuka jendela mobil ketika memasuki wilayah desa tempat tinggalnya. Dia menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkan tangannya, merasakan sejuknya udara kaki pegunungan. "Kamu senang kembali kemari?" tanya Gavin menoleh ke arah Alice sejenak sambil mengemudikan mobilnya. Hari ini, Gavin memutuskan menghabiskan waktu hanya dengan berdua dengan Alice, dia tidak meminta James untuk ikut. "Tentu saja. Udara di sini sangat nyaman. Sungguh sangat berbeda dengan di kota," ujarnya. "Hmmm, apa kamu lebih suka tinggal di sini daripada di kota?" tanya Gavin lagi. "Bisa dikatakan seperti itu," jawab Alice. "Bagaimana kalau kita membangun sebuah rumah di sini. Dan kita akan berlibur sesekali," ujar Gavin. "Hmmm, rumah kami di sini cukup besar, dan tanah yang kami miliki juga sangat luas. Semua yang ada disini di wariskan oleh kakekku turun temurun. Lebih baik membersihkan dan mengurus yang sudah ada. Untuk apa membangun yang baru." Gavin hanya
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me