Anike terdiam. Dia tak mampu membalas pernyataan Marten."Apa dia tahu kalau aku berangkat ke Jerman?" tanya Anike lirih."Tidak," Marten menggeleng yakin."Jadi dia tidak tahu, ya?" ulang Anike lesu."Mungkin lebih baik begitu. Jadi kau tidak perlu berharap terlalu banyak padanya. Dengan demikian, kau tak akan terlalu tersakiti," tutur Marten bijak.Anike mengangguk. Akan tetapi dalam hati, dia tetap memberikan kesempatan pada Carlen untuk hadir di tempat itu.Namun, hingga setengah jam berlalu, tak juga terdapat tanda-tanda Carlen datang."Kenapa lama sekali sih, panggilannya?" Anike mulai resah. Perutnya terasa melilit."Sabar dulu, baru juga setengah jam," tutur Marten.Anike menanggapinya dengan tersenyum masam. Dirinya tak tahu bahwa ternyata Carlen mengejarnya sampai ke bandara. Dia melewati bagian pemeriksaan dengan begitu mudah setelah menunjukkan kartu identitasnya.Carlen lalu berlari menuju ke pusat informasi dan menanyakan tujuan penerbangan atas nama Marten kepada seorang
Mobil yang ditumpangi Anike berhenti di sebuah rumah dua lantai. Sopir dari maskapai turut membantu menurunkan barang-barang bawaan Marten dan Anike. "Selamat datang di rumahku, Anike." Marten merentangkan tangan di depan pintu rumahnya yang bergaya minimalis, tapi tetap terkesan mewah dan modern.Anike mendongak menatap bangunan dua lantai bercat putih itu, lalu tersenyum. "Rumah anda besar sekali, Tuan," ujarnya dengan sorot mata terpana.“Untuk sementara, kau akan tinggal di sini,” tutur Marten seraya membuka pintu. Dia menunjukkan pada Anike, bagian dalam rumah yang tampak begitu rapi dan bersih.“Aku menyewa seorang pelayan untuk membersihkan rumah selama aku tinggal di Indonesia,” jelas Marten tanpa diminta.“Bagaimana dengan kedua orang tua anda, Tuan?” Anike memberanikan diri untuk bertanya.“Mereka sudah tiada, beberapa tahun yang lalu. Ayah dan ibuku adalah bukti nyata dari sebuah cinta sejati. Mereka sakit di waktu yang sama, dan meninggal pada hari yang sama pula. Cinta m
"Tidak masuk akal," gumam Anike. "Apanya?" "Untuk apa Tuan Carlen begitu bernafsu menjadikanku istri kontrak sampai-sampai harus mengakali semuanya?" tanya Anike curiga. "Entahlah, mungkin anda meninggalkan kesan pertama yang tak biasa bagi atasan saya itu," jawab Pandu ragu. "Malangnya nasibku," keluh Anike seraya mengempaskan napas pelan. "Jadi, tetap mengikatku sebagai seorang istri siri, apakah juga menjadi bagian dari rencananya?" "Sepertinya dia juga tidak sadar kalau anda masih sah menjadi istrinya. Seperti yang saya katakan tadi, ijab kabul dengan anda adalah pengalaman pertama bagi Tuan Carlen," papar Pandu. "Ah, bagaimana ini?" Anike menggigit bibir. Sisi hatinya kembali berperang, antara berjuang merebut cinta Carlen atau melepaskannya. "Ah, ini sudah terlalu siang. Saya harus segera berangkat ke kantor," cetus Pandu. Dia berdiri, lalu beringsut mendekat pada Anike. "Jangan sungkan-sungkan menghubungi saya kalau anda butuh sesuatu," bisiknya, seolah tak ingin Marten
Baru kali ini Anike melihat gedung perkantoran semewah milik Marten. Terdiri dari tujuh lantai dengan arsitektur modern, gedung itu terletak di tengah-tengah kota. "Sepertinya saya akan kerasan kalau bekerja di tempat sebagus ini," celetuk Anike sambil terus mengekor Marten. Namun, tiba-tiba saja Marten segera menghentikan langkahnya. "Sepertinya aku melupakan satu hal," ujarnya seraya menoleh pada Anike. "Apa itu?" tanya Anike tak mengerti. "Kau sama sekali tidak menguasai bahasa Jerman," jawab Marten ragu. "Itu artinya, kau harus belajar dulu!" "Jadi, aku harus mengikuti kursus dulu, Tuan?" "Iya, aku yang akan mengajarimu," Marten mengedipkan sebelah matanya. "Les privat, hanya kau dan aku," ujarnya seraya mendekatkan wajah dan menyentuh ujung rambut Anike. "Oh, kurasa itu ide yang bagus," timpal Anike gugup sambil memaksakan senyum. "Kita mulai kursusnya hari ini, setelah kita sampai di ruanganku." Marten menarik tangan Anike pelan, lalu mengarahkannya masuk ke dalam lift. A
"Berani juga rupanya kau, ya," desis Marten seraya mengamati wanita cantik nan seksi di hadapannya itu. Sesaat kemudian, dia beralih pada Anike. "Bagaimana pertemuannya?" "Em ...." Anike melirik ke arah Bertha sebelum menjawab. "Tidak berjalan lancar. Anak buah anda tidak ada yang menyukaiku," jawabnya ragu-ragu. "Apa maksudnya?" Marten tak menghiraukan Bertha yang masih menunggu keputusannya. Dia berfokus sepenuhnya pada Anike. Diam-diam, Bertha mengawasi interaksi keduanya sambil tersenyum penuh arti. "Mereka mengolok-olok dan menghinaku, Tuan," keluh Anike. "Benarkah yang kau katakan itu?" Seketika raut wajah Marten berubah. Dia lalu menoleh pada Bertha dan berkata, "Kita lanjutkan perbincangan ini nanti malam. Datanglah ke rumahku. Kau pasti sudah mengetahui alamatnya." "Tidak bisa. Kau yang datang ke rumahku, atau kau akan kehilangan informasi yang sangat berharga," tolak Bertha. Tanpa sungkan, dia merogoh sesuatu di balik blazer ketat yang membungkus tubuh bagian atas. Sec
"Jujur saja, aku sangat menyukai kakakmu. Dia begitu galak dan sedikit misterius, membuatku tertantang untuk menaklukkannya," jelas Bertha dengan santainya."Apa kau serius atau hanya sekadar bermain-main denganku?" Marten mendorong pelan tubuh Bertha agar berdiri dari pangkuannya. Marten lalu ikut berdiri dan memandang Bertha tajam."Tentu saja aku serius. Bertha jarang sekali bercanda. Apalagi kalau itu menyangkut uang," seloroh wanita cantik nan seksi tersebut."Lalu, apa yang ingin kau rencanakan selanjutnya?" pancing Marten."Aku ...." Bertha maju dengan sikapnya yang begitu menggoda. Dia lalu memainkan ujung jarinya di dagu dan leher Marten. "Beri aku sedikit lebih banyak dari yang sudah Carlen berikan, maka aku akan menjadi pelayanmu sepenuhnya." "Berapa yang kau minta?" tanya Marten. "Entahlah, mungkin tiga ratus ribu Euro?" cetus Bertha. "Dengan harga sebanyak itu, kau harus siap menjadi pesuruhku. Apapun yang kuminta, kau harus menurutinya," tegas Marten. "Oh, tentu saja
Hari itu adalah pagi kedua Anike menghirup udara kota Berlin. Dia bangun tidur dengan penuh semangat. Anike langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setengah jam kemudian, Anike yang sudah tampil rapi dengan busana formal, duduk manis di meja makan. Dia mengamati Marten yang asyik menyiapkan sarapan. Pria itu tak memperbolehkan Anike untuk membantunya. "Karena ini rumahku, maka aku wajib menyuguhkan yang terbaik untukmu, sama seperti kau yang memberikan masakan terbaikmu untukku sewaktu di rumah kakakmu." Begitu alasan Marten. "Tapi masakan anda jauh lebih mewah dari yang kubuat saat itu," kilah Anike. "Bukan masalah mewah tidaknya. Namun, semua dinilai dari ketulusan ketika kau memasak dan memberikan makananmu pada orang lain," sahut Marten sambil membawa dua piring makanan beraroma lezat. "Guten appetit," ucapnya. "Apa itu artinya?" Kening Anike berkerut. "Masa kau tidak tahu? Sampai mana pelajaranmu kemarin?" Marten balik bertanya. "Masih di tahap menghafalkan
Dengan muka merah padam, Carlen meraih ponselnya kembali dan mencoba menghubungi Pandu. Cukup lama sampai akhirnya Pandu mengangkat telepon Carlen. “Bagaimana bisa kau tidak memberitahukan padaku informasi sepenting itu?” cercanya. “Maaf, Tuan. Saya tidak mengerti maksud anda,” ujar Pandu. “Marten hendak menikah dengan Anike. Apa benar?” tanya Carlen dengan nada tinggi. “Wah, saya malah baru mendengar berita itu dari anda,” sahut Pandu tanpa rasa bersalah. “Ck! Bagaimana kau ini? Bukankah aku sudah memerintahkan padamu untuk mengawasi Anike?” Carlen mendengkus kesal. “Maaf, Tuan. Pekerjaan di kantor pusat sedang banyak-banyaknya. Saya sedikit kesulitan mengatur jadwal,” dalih Pandu. “Ah, sudahlah!” sentak Carlen. “Aku berangkat ke Jerman sekarang! Carikan tiket pesawat kelas satu hari ini!” “Eh, Tuan ….” Pandu belum selesai berbicara ketika Carlen mengakhiri panggilan. Kini dia beralih menghubungi Marten. Akan tetapi, h
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar