"Jujur saja, aku sangat menyukai kakakmu. Dia begitu galak dan sedikit misterius, membuatku tertantang untuk menaklukkannya," jelas Bertha dengan santainya."Apa kau serius atau hanya sekadar bermain-main denganku?" Marten mendorong pelan tubuh Bertha agar berdiri dari pangkuannya. Marten lalu ikut berdiri dan memandang Bertha tajam."Tentu saja aku serius. Bertha jarang sekali bercanda. Apalagi kalau itu menyangkut uang," seloroh wanita cantik nan seksi tersebut."Lalu, apa yang ingin kau rencanakan selanjutnya?" pancing Marten."Aku ...." Bertha maju dengan sikapnya yang begitu menggoda. Dia lalu memainkan ujung jarinya di dagu dan leher Marten. "Beri aku sedikit lebih banyak dari yang sudah Carlen berikan, maka aku akan menjadi pelayanmu sepenuhnya." "Berapa yang kau minta?" tanya Marten. "Entahlah, mungkin tiga ratus ribu Euro?" cetus Bertha. "Dengan harga sebanyak itu, kau harus siap menjadi pesuruhku. Apapun yang kuminta, kau harus menurutinya," tegas Marten. "Oh, tentu saja
Hari itu adalah pagi kedua Anike menghirup udara kota Berlin. Dia bangun tidur dengan penuh semangat. Anike langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setengah jam kemudian, Anike yang sudah tampil rapi dengan busana formal, duduk manis di meja makan. Dia mengamati Marten yang asyik menyiapkan sarapan. Pria itu tak memperbolehkan Anike untuk membantunya. "Karena ini rumahku, maka aku wajib menyuguhkan yang terbaik untukmu, sama seperti kau yang memberikan masakan terbaikmu untukku sewaktu di rumah kakakmu." Begitu alasan Marten. "Tapi masakan anda jauh lebih mewah dari yang kubuat saat itu," kilah Anike. "Bukan masalah mewah tidaknya. Namun, semua dinilai dari ketulusan ketika kau memasak dan memberikan makananmu pada orang lain," sahut Marten sambil membawa dua piring makanan beraroma lezat. "Guten appetit," ucapnya. "Apa itu artinya?" Kening Anike berkerut. "Masa kau tidak tahu? Sampai mana pelajaranmu kemarin?" Marten balik bertanya. "Masih di tahap menghafalkan
Dengan muka merah padam, Carlen meraih ponselnya kembali dan mencoba menghubungi Pandu. Cukup lama sampai akhirnya Pandu mengangkat telepon Carlen. “Bagaimana bisa kau tidak memberitahukan padaku informasi sepenting itu?” cercanya. “Maaf, Tuan. Saya tidak mengerti maksud anda,” ujar Pandu. “Marten hendak menikah dengan Anike. Apa benar?” tanya Carlen dengan nada tinggi. “Wah, saya malah baru mendengar berita itu dari anda,” sahut Pandu tanpa rasa bersalah. “Ck! Bagaimana kau ini? Bukankah aku sudah memerintahkan padamu untuk mengawasi Anike?” Carlen mendengkus kesal. “Maaf, Tuan. Pekerjaan di kantor pusat sedang banyak-banyaknya. Saya sedikit kesulitan mengatur jadwal,” dalih Pandu. “Ah, sudahlah!” sentak Carlen. “Aku berangkat ke Jerman sekarang! Carikan tiket pesawat kelas satu hari ini!” “Eh, Tuan ….” Pandu belum selesai berbicara ketika Carlen mengakhiri panggilan. Kini dia beralih menghubungi Marten. Akan tetapi, h
"Tunggu, Tuan. Sebentar lagi. Saya ada satu pertanyaan untuk Nyonya Anike. Satu saja," pinta Pandu sedikit memaksa. "Ah, kamu sama persis dengan majikanmu! Tukang memaksa, " gerutu Marten seraya berlalu. Pria asli Jerman itu mengambil posisi agak jauh dari tempat Pandu dan Anike berdiri. Namun, sorot matanya tak lepas dari mereka berdua. "Anda mau bertanya apa?" ujar Anike ketus. "Apakah anda mencintai Tuan Carlen?" Pandu langsung menembak Anike dengan pertanyaan tepat sasaran, membuat Anike gugup lalu memalingkan muka. "Apa itu penting?" Anike balik bertanya. "Itu pasti, Nyonya. Jika memang anda mencintai Tuan Carlen, saya akan membantu sekuat tenaga untuk menyatukan kalian. Namun jika tidak, saya tidak akan lagi memaksa. Anda bebas memutuskan segala sesuatunya," terang Pandu. "Aku ...." Dada Anike bergemuruh. Dua sisi hatinya kembali berperang antara mengakui perasaan cinta atau menutupinya. Yang jelas, dirinya merasa malu setiap kali membayangkan penolakan Carlen. "Aku tidak
"Aku sedang tak ingin mendengarkan kabar gembira apapun," sahut Carlen ketus. "Benarkah? Bahkan berita kalau aku akan berlibur ke Indonesia?" timpal Bertha antusias. "Terserah kau mau berlibur ke manapun. Ke segitiga bermuda juga tak masalah, asalkan tak bertemu denganku," tandas Carlen seraya mengakhiri panggilannya. "Siapa, Tuan?" Pandu memberanikan diri untuk mendekat pada Carlen. Carlen segera menoleh ke arah asisten pribadinya itu, lalu tersenyum samar. "Jodohmu, mungkin?" jawab Carlen asal. "Anda jangan bercanda, Tuan." Pandu memaksakan diri untuk tertawa, walaupun dirinya tak menyukai gurauan tersebut. Entah kenapa dirinya saat itu merasa tak ingin dekat dengan wanita manapun, kecuali .... "Anike," gumam Pandu tiba-tiba. "Apa?" tanya Carlen. "Apa?" Pandu malah balik bertanya. "Kau barusan bicara apa?" "Ti-tidak ada, Tuan." Pandu meringis demi menyembunyikan sikap salah tingkahnya. "Ck, baiklah. Aku akan menunggu jadwal penerbanganku di bandara saja," cetus Carlen sera
"Berapa lama kau menggeluti usahamu ini?" tanya Carlen dengan memasang raut serius."Setelah aku bercerai dari suamiku," jawab Diana sambil menunduk dalam-dalam."Pernahkah kau berpikir matang-matang sebelum memulai sesuatu? Bisnis itu membutuhkan perencanaan."Iya, aku tahu itu. Hanya saja aku salah dalam mempercayai seseorang," keluh Diana."Jangan berikan kepercayaanmu sepenuhnya. Sama halnya dengan tidak memberikan cinta seutuhnya pada seseorang, sebab jika seseorang itu pergi, maka kau akan kehilangan seluruh hatimu." Tatapan Carlen mendadak kosong. Matanya menerawang ke permukaan meja yang sudah penuh oleh hidangan."Apa ... kamu tidak apa-apa?" tanya Diana ragu saat memerhatikan sikap Carlen yang berbeda."Oh, tidak apa-apa." Carlen seketika tertegun, lalu memaksakan senyumnya. "Berapa yang kau butuhkan?" tanyanya tiba-tiba, membuat Diana sontak mendongak. "Apa kamu yakin?" Wanita cantik itu memandang Carlen ragu-ragu."Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan datang kemari," sahu
"Memangnya hati saya papan tulis? Bisa dihapus dan ditulis ulang seenaknya?" balas Anike."Oh, jadi sekarang kau mengakui bahwa di dalam hatimu ada Carlen?" pancing Marten."Bisa tidak, kita tidak usah membicarakan dia?" pinta Anike lesu. Setiap kali dia mengenang punggung lebar dan tegap Carlen yang berjalan menjauh, hatinya selalu terasa perih."Aku tahu, kemarin dia datang ke sini untuk menemuimu," ujar Marten."Iya, dia mengucapkan selamat atas rencana pernikahan kita," sahut Anike seraya berdiri. Didorongnya tubuh Marten perlahan sampai tersedia cukup ruang baginya untuk beringsut menjauh. Anike berniat untuk meninggalkan ruang kerja Marten."Bagaimana menurutmu?" Marten sedikit berseru karena saat itu Anike sudah sampai di ambang pintu."Apanya?" Anike menoleh, lalu menghentikan langkahnya."Tentang rencana pernikahan kita." Marten tersenyum lebar."Bukankah itu hanya sekadar candaan saja, Tuan? Anda tidak serius, kan?" timpal Anike."Apa maksudmu sekadar candaan?" Nada bicara M
Hari-hari Carlen terasa berlalu begitu cepat. Dua bulan telah terlewati sejak dia terakhir bertemu dengan Anike. Kesibukan barunya dalam mempersiapkan toko perhiasan Diana, dapat membuatnya sedikit melupakan rasa tak nyaman dalam dada akibat hubungannya dengan istri kontraknya itu.Selama itu pula Carlen tak berniat untuk menghubungi Marten ataupun Anike. Dirinya bahkan membayangkan bahwa dua orang itu telah menikah."Bagaimana menurutmu dengan soft opening hari ini?" tanya Diana, membuyarkan lamunan Carlen."Kurasa semuanya berjalan sesuai yang kita rencanakan. Omset dalam sehari ini juga termasuk tinggi," jawab Carlen."Ini semua berkat dirimu. Entah dengan cara apa aku harus membalas kebaikanmu," tutur Diana lirih. Sorot matanya terlihat begitu mendamba saat menatap wajah tampan Carlen."Kau tidak harus membalas apa-apa, karena apa yang kulakukan ini juga sudah memberikan keuntungan. Fokuslah hanya pada strategi pemasaranmu supaya penjualanmu semakin baik," saran Carlen. "Aku ...."
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar