"Berapa lama kau menggeluti usahamu ini?" tanya Carlen dengan memasang raut serius."Setelah aku bercerai dari suamiku," jawab Diana sambil menunduk dalam-dalam."Pernahkah kau berpikir matang-matang sebelum memulai sesuatu? Bisnis itu membutuhkan perencanaan."Iya, aku tahu itu. Hanya saja aku salah dalam mempercayai seseorang," keluh Diana."Jangan berikan kepercayaanmu sepenuhnya. Sama halnya dengan tidak memberikan cinta seutuhnya pada seseorang, sebab jika seseorang itu pergi, maka kau akan kehilangan seluruh hatimu." Tatapan Carlen mendadak kosong. Matanya menerawang ke permukaan meja yang sudah penuh oleh hidangan."Apa ... kamu tidak apa-apa?" tanya Diana ragu saat memerhatikan sikap Carlen yang berbeda."Oh, tidak apa-apa." Carlen seketika tertegun, lalu memaksakan senyumnya. "Berapa yang kau butuhkan?" tanyanya tiba-tiba, membuat Diana sontak mendongak. "Apa kamu yakin?" Wanita cantik itu memandang Carlen ragu-ragu."Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan datang kemari," sahu
"Memangnya hati saya papan tulis? Bisa dihapus dan ditulis ulang seenaknya?" balas Anike."Oh, jadi sekarang kau mengakui bahwa di dalam hatimu ada Carlen?" pancing Marten."Bisa tidak, kita tidak usah membicarakan dia?" pinta Anike lesu. Setiap kali dia mengenang punggung lebar dan tegap Carlen yang berjalan menjauh, hatinya selalu terasa perih."Aku tahu, kemarin dia datang ke sini untuk menemuimu," ujar Marten."Iya, dia mengucapkan selamat atas rencana pernikahan kita," sahut Anike seraya berdiri. Didorongnya tubuh Marten perlahan sampai tersedia cukup ruang baginya untuk beringsut menjauh. Anike berniat untuk meninggalkan ruang kerja Marten."Bagaimana menurutmu?" Marten sedikit berseru karena saat itu Anike sudah sampai di ambang pintu."Apanya?" Anike menoleh, lalu menghentikan langkahnya."Tentang rencana pernikahan kita." Marten tersenyum lebar."Bukankah itu hanya sekadar candaan saja, Tuan? Anda tidak serius, kan?" timpal Anike."Apa maksudmu sekadar candaan?" Nada bicara M
Hari-hari Carlen terasa berlalu begitu cepat. Dua bulan telah terlewati sejak dia terakhir bertemu dengan Anike. Kesibukan barunya dalam mempersiapkan toko perhiasan Diana, dapat membuatnya sedikit melupakan rasa tak nyaman dalam dada akibat hubungannya dengan istri kontraknya itu.Selama itu pula Carlen tak berniat untuk menghubungi Marten ataupun Anike. Dirinya bahkan membayangkan bahwa dua orang itu telah menikah."Bagaimana menurutmu dengan soft opening hari ini?" tanya Diana, membuyarkan lamunan Carlen."Kurasa semuanya berjalan sesuai yang kita rencanakan. Omset dalam sehari ini juga termasuk tinggi," jawab Carlen."Ini semua berkat dirimu. Entah dengan cara apa aku harus membalas kebaikanmu," tutur Diana lirih. Sorot matanya terlihat begitu mendamba saat menatap wajah tampan Carlen."Kau tidak harus membalas apa-apa, karena apa yang kulakukan ini juga sudah memberikan keuntungan. Fokuslah hanya pada strategi pemasaranmu supaya penjualanmu semakin baik," saran Carlen. "Aku ...."
"Tidak ada yang gratis di dunia ini, Sayang." Marten terbahak. "Sudah berulang kali kau kuberi pilihan, menjadi kekasih atau tawanan. Namun, kau selalu memilih tawanan. Sebesar itukah cintamu untuk Carlen?" desisnya. "Itu sama sekali bukan urusan anda!" Sekuat tenaga, Anike melepaskan cengkeraman tangan Marten dari dagunya. "Tentu saja ini menjadi urusanku, Anike!" sentak Marten. Sikapnya semakin tak terkendali. Kedua tangannya yang kekar, mencengkeram lengan Anike kuat-kuat. "Hentikan, Tuan. Sakit," rintih Anike lirih. "Biar saja! Biar kau tahu bahwa kau adalah milikku! Selama kau belum bisa mengembalikan lima ratus juta beserta bunganya, maka kau akan tetap menjadi tawananku," tegas Marten. "Anda jahat!" Mata Anike berkaca-kaca. Jika bisa, rasanya dia ingin menerjang pria tinggi tegap di depannya ini, lalu melarikan diri. Akan tetapi, cengkeraman tangan Marten yang semakin erat, menyadarkan Anike bahwa sungguh tidak mungkin mengalahkan pria itu. "Sebenarnya aku bisa bersikap ja
Anike duduk meringkuk dengan punggung bersandar di tembok gedung sambil memeluk erat ranselnya. Dadanya berdebar mengingat peristiwa yang baru saja terjadi padanya. Anike menggeleng pelan. Sungguh dia sama sekali tak menyangka bahwa Marten akan tega berbuat demikian. Anike menangis sesenggukan. Ingin sekali dirinya menelepon sang kakak. Namun, Anike tahu bahwa hari itu kakaknya tengah melangsungkan pernikahan. Dia tak ingin mengganggu hari bahagia Tiara dengan segala kesialannya. "Maaf, sedikit lama, Nyonya! Saya harus membereskan pekerjaan lebih dulu," ujar Pandu sambil menepuk pelan pundak Anike. Sontak, Anike berjingkat saking terkejutnya. Dia bahkan hampir terjatuh. Untung saja Pandu segera merengkuh lengan dan membantunya untuk berdiri. "Aduh, kukira anda suruhan Tuan Marten." Anike mengembuskan napas lega ketika Pandu tersenyum lembut kepadanya. "Tuan Marten sudah pergi, Nyonya. Menurut firasat saya, sepertinya dia akan membuktikan ancamannya. "Memangnya dia mengancam apa
Anike berkali-kali menarik napas panjang demi menetralkan debaran dalam dada. Jantungnya seperti mau meledak saat menatap iris mata biru yang juga tengah memandangnya dengan sorot penuh arti itu. "Apa kabar, Tuan?" sapa Anike dengan suara yang tak terlalu nyaring. "Di mana Marten?" Bukannya menanggapi Anike, Carlen malah mengedarkan pandangan ke sekitar. "Aku melarikan diri darinya," jawab Anike lirih. "Melarikan diri?" ulang Carlen tak percaya. "Kamu kan yang dulu pernah mendatangi rumahku?" sela Diana. Telunjuknya terarah tepat ke arah Anike. "Dia asistenmu itu yang waktu itu ya, Carlen?" tanya Diana sembari mengalihkan pandangan pada kekasihnya. "Bisakah kau menunggu di mobil? Ada hal yang harus kubicarakan dulu dengan Anike," ujar Carlen datar. Namun demikian, punggung tangannya bergerak membelai pipi Diana. Sementara Anike hanya bisa terpaku melihat adegan manis itu. Kedua bola matanya sama sekali tak lepas dari sikap Carlen yang begitu lembut dan penuh perhatian. Sangat ja
"Ayo, kuantar." Tanpa permisi, Carlen menggandeng tangan Anike dan menuntunnya sampai tiba di depan pintu kamar yang pernah ditempati oleh Anike."Mana barang-barangmu yang lain?" tanyanya setelah melirik tas ransel yang sedari tadi didekap oleh Anike, seakan itu adalah barang berharga."Tidak ada, Tuan. Aku hanya sempat membawa ini saja waktu melarikan diri," jawab Anike lesu."Oh." Carlen mengangguk. Dia tampak salah tingkah melihat raut wajah Anike yang memelas sekaligus tampak menggemaskan."Masuklah." Carlen kemudian membuka pintu kamar lebar-lebar. "Awalnya, aku berniat menggunakan kamar ini sebagai tempat menginap untuk Diana. Namun, sepertinya dia lebih senang tidur di kamarku.""Oh." Anike tersenyum kecut. Sebisa mungkin dia menyembunyikan rasa sakit hati dan kecewanya.Ragu-ragu Anike melangkah masuk ke dalam kamar. Kenangan indah atas adegan panas yang pernah dirinya lakukan bersama Carlen kembali menyeruak, membuat matanya berkaca-kaca.Carlen bukannya tak tahu saat Anike m
"Mengajari Anike cara makan yang benar," seloroh Carlen. "Duduk dulu, Di," ajaknya santai.Diana tak segera mengiyakan. Dia menatap kekasihnya dan Anike secara bergantian. Setitik rasa curiga dan cemburu mulai menyerang sisi hati. "Kenapa harus kamu yang mengelap bibirnya? Asistenmu kan sudah besar, bisa melakukan semuanya sendiri," protes Diana."Memangnya kamu siapa? Seenaknya memerintah Tuan Carlen? Asal kamu tahu, ya! Aku adalah istrinya!" teriak Anike sambil berdiri dan berkacak pinggang. Dia juga menarik krah kemeja Carlen, lalu mencium bibirnya dengan buas.Sayangnya, adegan itu hanya terjadi dalam pikiran Anike. Tentu saja dia tak mungkin melakukan hal tersebut, atau Carlen akan mengusirnya keluar."Apa Tuan mau berangkat sekarang?" tanya Anike tanpa memedulikan keberatan Diana.Carlen melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya, lalu menjawab, "Ya, ini sudah siang. Aku harus meninjau pabrik hari ini.""Ingat, Carlen. Kamu sudah berjanji akan mengantarku menemui Bu Siska
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar