Hera berusaha sekuat tenaga untuk mencakar lengan Aron. Berusaha melepaskan diri dari maut yang Aron bawa lewat cekikannya.
Hal yang lebih menyakitkan dari itu adalah tatapan tajam suaminya yang kini beralih menatap kedua putrinya. "Ja-ngan sa-ki-ti ke-dua a-nakku!" Pekik Hera di sisa nafasnya yang mulai terasa berat. Tak sanggup jika harus mati meninggalkan kedua putrinya di tangan bedebah seperti Aron.Lily yang melihat Hera di antara hidup dan mati tidak mau tinggal diam. Meminta Zea untuk kabur, "Pergilah, Zea. Selamatkan dirimu. Aku yang akan menyelamatkan Ibu," ucap Lily yakin,lalu dengan sekuat tenaga menyerang balik Aron."Ayah tolong lepaskan! Ibu bisa mati!" Jerit Lily tak kuasa menahan tangis. Memegangi tangan Aron berusaha melepaskan cengkraman yang membuat Hera mulai kehilangan kesadaran. Melihat Lily yang berusaha ingin menyelamatkan Zea, membuat amarah Aron kembali meledak. "Dasar anak tidak tidak tau diuntung! Kau sama bodohnya dengan Ibumu!"Brak!Dengan satu tangan yang lain Aron mendorong Lily hingga terpelanting ke lantai. Membuat tubuh ringkih itu tidak bergerak dan pingsan seketika.Zea yang sudah berlari di depan pintu merasa seperti pengecut yang menyedihkan. Ibunya bisa benar-benar mati jika dia tidak ikut menolongnya. Sementara Aron yang tahu kelemahan Zea adalah ibunya, langsung menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Tahu jika Zea tidak mungkin kabur meski sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk melakukannya."Lepaskan Ibuku!" Jerit Zea murka. Berlari sekencang mungkin menghampiri Aron. Zea tidak tahu jika itu memanglah sebuah siasat, untuk membuatnya datang menghampirinya. Bahkan sebelum gadis itu sampai kehadapannya, tangannya yang masih mencengkeram Hera segera ia lepaskan begitu saja. Beralih meraih gadis di depannya yang termakan jebakan."Hap! Aku dapat tangkapan besar hahaha," gelegar Aron girang. Mendekap Zea dengan sekuat tenaga dengan kedua tangannya."Apa yang kau lakukan. Lepaskan aku!" teriak Zea kencang. Meronta di pelukan ayah tirinya yang kembali menggila."Kali ini aku bisa pastikan kau tidak akan bisa lolos lagi. Aku sudah tidak sabar merasakan sensani liarmu, sayang hahaha." Mengangkat tubuh Zea ke atas pundaknya dengan posisi terbalik menuju kamarnya.Hera yang melihat bagaimana putrinya diangkut paksa tak kuasa menahan tangis. Nafasnya yang belum kembali sempurna bahkan tidak mampu membuat tubuhnya berdiri tegak. Hanya bisa menangisi nasib putri yang begitu malang. Berharap datangnya malaikat penolong dari iblis yang berusaha merenggut kesucian Zea.~~~~Udara hangat bercampur aroma terapi mewah perlahan membangunkan Zea. Tubuhnya terasa remuk di beberapa bagian. Terutama kedua paha dan kakinya. Gadis itu tidak langsung membuka matanya. Dia terlalu takut untuk melihat apa yang ada di hadapannya. Ada trauma kuat yang menggelayuti hatinya. Membayangkan wajah terakhir orang yang dilihatnya sebelum pingsan, sudah cukup membuat dadanya sesak.Rasanya aku ingin mati saja! Pekik Zea di dalam hati."Kau sudah bangun, Nak?" tanya seseorang dengan suara lembut nan berat.Zea merasa belum pernah melihat wajah ataupun mengetahui siapa pemilik suara itu. Masih belum berani membuka matanya. Takut hal buruk kembali menimpanya lagi dan lagi."Kau pasti merasa sangat ketakutan sampai tidak berani membuka matamu. Baiklah, tidak masalah. Kau hanya perlu mendengarkan ucapanku. Namaku Wilson."Deg. Ingatan Zea seakan diputar cepat saat bertemu Ibunya kemarin. Sebuah wajah di dalam selembar foto kini terlihat jelas di kepala Zea."Kau pasti belum mengetahui siapa aku. Mengingat pertemuanku dengan Ibumu Hera sangatlah singkat. Hemtt... aku berharap kau tidak merasa sungkan berada di istanaku yang sederhana ini."Entah kenapa Zea merasa tenang meski tidak mengenal pria itu. Suaranya terdengar begitu penyayang dan bijaksana di telinganya. Membuatnya bingung harus berbuat apa sekarang. Membuka mata, atau terus memejamkan mata. "Ahh sepertinya aku terlalu banyak bicara. Sebaiknya aku kembali membiarkanmu beristirahat. Temui aku jika kau sudah merasa lebih baik," tutur Tuan Wilson sebelum beranjak dari tempatnya duduk. Dibantu dengan tiga orang pelayan wanita. Dua berdiri selangkah di sisinya seperti sayap dan satu lagi di belakang.Zea perlahan membuka matanya saat pria itu sudah membalikkan tubuhnya, yang ternyata dibantu sebuah tongkat berwarna coklat mengkilat di tangan kirinya. Memperlihatkan seberapa jauh rentang usia yang Zea miliki dengannya."Terima kasih sudah menolongku, meskipun aku tidak ingat apa yang sudah terjadi, Pak." Ucap Zea lirih.Tuan Wilson membalikkan tubuhnya ke arah Zea lagi. Melempar senyum ramahnya ke gadis yang tak berdaya itu dengan penuh iba.Langkahnya yang sedikit gemetar berusaha mendekat ke Zea yang tengah terbaring di atas kasur mewah miliknya. Tangan halusnya tanpa ragu membelai rambut kepala Zea dengan lembut, lalu mengecup kening Zea penuh kasih sayang."Kau anak yang baik. Aku yakin tidak salah memilihmu, Nak." Menatap Zea dengan mata berkaca-kaca. Seperti menghidupkan harapan baru yang sudah lama mati di hidupnya.Entah kenapa Zea sama sekali tidak merasa risih dengan perlakuan Tuan Wilson. Mungkin itu semua karena kurangnya kasih sayang dari sosok ayah kandung yang selama ini Zea rindukan.Semenjak ibunya menikah dengan sosok Aron, Zea tidak sekalipun mendapatkan perhatian layaknya ayah dan anak. Sikap Aron yang awalnya ramah berubah acuh tatkala berhasil mendapatkan hati Hera. Terlebih saat Lily lahir. Jangankan menggendong Zea, menyentuh Zea pun rasanya tidak pernah Aron lakukan. Belum ditambah saat bisnisnya bangkrut. Zea yang tidak tahu apa-apa dianggap membawa sial dihidupnya. Hera jelas tidak terima dengan tuduhan tidak masuk akal itu. Toh Zea bukan gadis dengan banyak tuntutan yang suka meminta kemewahan apapun. Selalu mengalah jika itu demi kebaikan Lily.Akibatnya hubungan suami istri itu menjadi semakin kacau setiap harinya. Harta peninggalan mantan suami Hera juga ludes untuk menutupi hutang Aron. Judi, mabuk, dan hura-hura menjadi teman akrab Aron. Membuat keluarga itu kelabakan untuk mendapatkan uang. Baik untuk hidup, atau pengobatan Lily yang kesehatannya berbeda dengan gadis lainnya sejak lahir."Kau bisa memanggil pelayan jika butuh sesuatu. Mereka akan berjaga di depan pintu kamarmu. Kau paham, Nak?" Goda Tuan Wilson menyentuh hidung mancung Zea sambil tersenyum riang.Zea membalas dengan anggukan pelan. Membalas senyum tulus itu dengan hati sedikit lebih tenang. Entah apa yang dipikirkan Zea saat itu. Dia sepertinya lupa bagaimana kemarin dia menolak dengan tegas perjodohan yang direncanakan ibunya sambil menangis terisak. Dan sekarang dengan mudahnya ia tersenyum pada calon suami pilihan ibunya, yang lebih pantas dia panggil sebagai kakek itu."Apa ada yang ingin kau tanyakan lagi?" tanya Tuan Wilson sebelum benar-benar pergi.Untuk sesaat Zea terdiam. Ingin rasanya dia bertanya tentang apa yang terjadi kemarin sebelum dia pingsan? bagaimana bisa dia berada di rumah itu? Kemana si bedebah Aron? Tapi Zea mengurungkan niat. Dibanding itu semua, keadaan Ibu dan adik perempuannya lebih penting dari apapun sekarang."Aaaa kau pasti mencemaskan Ibu dan saudaramu. Mereka baik-baik saja. Kau bisa menemuinya jika fisikmu sudah lebih baik. Mengerti?" Melebarkan pupil matanya ke arah Zea namun masih dengan garis senyum yang lebar. Menghangatkan suasana ruangan yang terasa akrab lewat senyum para pelayan yang ikut mengembang.Zea kembali tersenyum lebar. Dia mulai memahami kenapa Ibunya meyakini pria tua di depannya adalah sosok yang tepat untuknya. Paling tidak dia tidak jatuh ke tangan ke pria brengsek seperti ayah tirinya."Arghh aku benar-benar sudah terlalu cerewet, jika sudah merasa nyaman dengan seseorang. Aku harus segera mengunci mulutku, agar kau bisa beristirahat. Pelayan seret aku pergi!" Canda Tuan Wilson melambaikan tangan ke Zea. Berjalan meninggalkan Zea yang sebenarnya masih ingin berbincang lebih lama dengannya.Kaki Zea turun dari atas kasur. Dengan cekatan mengejar rombongan Tuan Wilson yang sudah berjalan meninggalkan kamar yang ditempatinya. "Pak, tunggu!" Panggil Zea cukup kencang. Berdiri di hadapan Tuan Wilson dengan kedua tangan terlentang lebar. Menghadang langkah empunya rumah dan ketiga pelayan yang terlihat kebingungan dengan tingkahnya."Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Tuan Wilson dengan wajah sedikit cemas. Zea menggelengkan kepalanya cepat. Matanya menatap yakin pria tua di hadapannya itu dengan percaya diri. "Lalu apa?" tanya Tuan Wilson semakin penasaran."Aku bersedia menikah denganmu, Pak!" Ungkap Zea kencang menatap semua orang yang langsung syok ke arahnya.Ucapan Zea untuk sesaat mampu membuat Tuan Wilson kebingungan. Namun karena gadis di depannya memasang wajah serius, dirinya berubah tertawa terpingkal-pingkal."Kau? Menikah denganku? Bhahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Tuan Wilson terkekeh.Zea mengerutkan alisnya. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi kenapa semua orang menertawakannya. Termasuk ketiga pelayan yang mendampingi Tuan Wilson, meski secara diam-diam."Kenapa Bapak tertawa, adakah sesuatu yang salah dengan ucapan saya?" tanya Zea mulai kesal bercampur malu."Tidak tidak. Ucapanmu memang tidak salah, tapi sepertinya ada yang perlu diluruskan dari otakmu hahaha," imbuh Tuan Wilson masih tertawa senang tanpa mempedulikan raut wajah Zea yang mulai berubah masam."Dengar Nak. Usiaku sudah tidak mengizinkanku untuk melangkah ke arah sana. Jangankan menikah lagi, membawa tubuhkku sendiri saja aku kesulitan. Ada-ada saja kau ini," imbuh Tuan Wilson mulai bisa mengendalikan tawanya."Tapi Ibuku bilang... .
Dua hari sudah berlalu. Zea sudah kembali pulang ke rumah lamanya. Beruntung Ibu dan adik perempuannya baik-baik saja. Berkat bantuan Tuan Wilson keduanya cepat dilarikan ke rumah sakit. Hanya Zea yang dirawat di rumahnya. Untuk alasannya sendiri Zea belum mengetahuinya. Yang Zea tahu, berhasil diselamatkan oleh anak buah Tuan Wilson.Mengenai Aron. Setelah dihajar hingga babak belur, dia berhasil kabur lewat jendela kamar. Beruntung Zea berhasil diselamatkan sebelum hal mengerikan menimpanya.Tuan Wilson tidak lepas tangan. Dia tetap berbaik hati menepati janjinya untuk melindungi keluarga Hera. Terbukti dari adanya beberapa pria yang siaga mengawasi rumahnya hingga hari ini. Berjaga-jaga jika si brengsek Aron kembali dan membuat ulah lagi.Zea pun sudah mulai bisa beraktifitas secara normal. Melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sesaat karena insiden mengerikan yang menimpanya itu.Tet tet teeeet!Bel istirahat berbunyi juga. Rasanya kepala Zea sudah seperti ingin meledak. Se
Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit, saat ditinggal pergi oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.Siap tidak siap, mau tidak mau, Zea harus menghadapi takdirnya sebagai seorang yatim piatu.Hera benar-benar telah pergi. Meninggalkan dunia yang bahkan tidak memberinya senyum di sisa akhir kematiannya yang tragis.Di atas pusara lahat Hera, Zea tidak henti meratap. Rasanya hatinya belum bisa merelakan kepergian Ibunya itu.Ada rasa marah yang perlahan membakar hatinya. Berubah menjadi kobaran dendam, pada bedebah yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ibunya."Malang sekali nasibnya. Seandainya suami pertamanya tidak mati, mungkin dia tidak akan semenderita ini.""Benar, apa gunanya memiliki anak yang bahkan tidak bisa melindungi Ibunya sendiri.""Ya ya ya, aku bahkan beberapa kali melihat Hera babak belur setelah ribut dengan mantan suaminya itu.""Tapi kenapa? Bukannya dulu mereka hidup rukun dan baik-baik saja?""Itu pasti karena... .""Ehem!"Suara dehama
Kepergian Tuan Wilson tak ubahnya nuklir yang menyasar tepat ke Boby. Wajahnya yang putih seketika memerah mendengar ucapan pria tua yang secara tidak langsung, baru saja meremehkannya.Beruntung tangan Zea cepat menariknya. Mencegahnya melakukan hal konyol yang mungkin akan membuat suasana pemakaman semakin kacau."Lepaskan! Kenapa malah menghentikanku? Akan kuberi pelajaran pria tua bangka yang lancang itu!" Umpat Boby geram. Menatap kesal Zea yang masih berusaha kuat menghentikannya."Cukup, lagi pula kau tidak akan bisa mengalahkannya!" ujar Zea meninggikan suara. Menghentikan amukan kekasihnya yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.Usaha Zea pada akhirnya memang bisa menghentikan tingkah Boby. Hanya saja, karena ukuran otak Boby yang kecil emosinya justru semakin meningkat."Apa maksudmu? Kenapa aku tidak bisa mengalahkannya? Ada apa ini, Zea. Atau jangan-jangan kalian memiliki hubungan lebih dibelakangku?" sergah Boby berucap asal. Menatap tajam ke Zea kembali kehilang
Tubuh Zea bergetar hebat tatkala melihat siluet sepasang manusia yang memantul di dinding. Kakinya bahkan terasa kaku untuk diajak melangkah lebih dekat ke ruang tengah.Selama ini Zea selalu menyangkal tentang kedekatan Gwen dan Bobby yang sudah melewati batas. Terus menerus menganggap jika kecurigaan yang dia rasakan hanyalah omong kosong yang tidak mendasar. Dan sekarang di depan mata kepalanya sendiri, Zea melihat pengkhianatan itu.Keduanya bahkan terlihat begitu luwes menautkan bibir. Saling merangkul erat, seolah ini bukan kali pertama Gwen dan Bobby melakukannya.Hati Zea sudah sangat hancur. Tak bisa lagi diam melihat pemandangan menjijikkan itu di depan matanya. Menekan saklar lampu ruang tengah meski dengan tangan yang masih bergetar.Gwen dan Bobby jelas langsung kelabakan. Melepaskan diri dari dekapan erat masing-masing dari atas sofa. Terlihat salah tingkah menatap Zea yang mematung memandangi keduanya."Zea aku bisa jelaskan," ucap Gwen memulai pembelaan. Ingin mendekat
Suara langkah kaki yang terdengar lalu lalang, perlahan memaksa Zea membuka mata.Zea cukup kaget saat melihat keadaan di sekitarnya. Terlebih dengan adanya bantalan leher yang melingkar menempel membungkus lehernya."Anda sudah bangun Nona?" tanya seorang perawat wanita dengan suara lembut. Menyambut Zea yang langsung mengangguk melalui kedipan matanya."Kenapa aku disini, dan siapa yang membawaku ketempat ini?" tanya Zea tanpa basa-basi. Merasa harus berhutang budi pada orang yang sudah menyelamatkannya.Sratt! Tirai yang membatasi tempat Zea berbaring ditarik kasar dari luar oleh seseorang. Membuat Zea. Kaget dengan keberadaan pria langsung tajam menatap matanya."Aku yang membawamu kesini. Kenapa, apa ada masalah? Atau kau ingin aku menyeretmu kembali ke rumahmu?" Zea menghela nafas kesal. Tidak menyukai cara bicara Leon yang kasar."Apa aku memintamu untuk membawaku ke rumah sakit? Jangan bicara seolah-olah aku berhutang budi padamu!" balas Zea ketus. Memasang wajah masam pada
Wajah Leon benar-benar berada lekat di depan mata Zea. Menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa lapar sedang mengintimidasi mangsanya yang tidak berdaya.Namun, bukan hanya paras Leon yang menjadikan mulut Zea bungkam. Meski sempat terpesona melihat kulit mulus tanpa cela itu. Zea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari benda yang membungkus salah satu mata Leon. Mengusik rasa penasarannya tentang apa yang terjadi dengan mata itu."Aku tidak akan segan menebas lehermu, jika kau mengkhianatiku. Camkan itu!" Dengus Leon kasar. Membuyarkan pikiran Zea yang mungkin akan mengolok-olok kekurangan fisiknya. Sama seperti wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.Kata-kata mengerikan itu sepertinya juga menjadi awal Zea mengenal sosok asli Leon sebenarnya. Pria angkuh dan sombong, yang bahkan tidak memiliki nurani sedikitpun. Bagi Zea saat ini, Leon tidak jauh berbeda dengan Tuan Wilson. Keduanya sama-sama mencari keuntungan di musibah yang sedang dia hadapi. Yang jadi permasalah
Leon tertawa riang sambil menggendong Louis masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya yang sebelumnya masam nampak berseri setelah bertemu dengan putranya itu.Begitu juga dengan Louis. Bocah berusia lima tahun itu bahkan tidak berhenti tertawa. Merangkul lengan Leon cukup erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Ayah, aku sangat merindukanmu," ucap Louis lirih. Menautkan dagunya ke pundak ayahnya. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.Leon semakin erat memeluk putranya. Dia sendiri tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Louis lagi."Ayah juga sangat merindukanmu. Ayah bahkan hampir gila kemarin," ucap Leon lembut. Tak henti menciumi putranya itu. Mengobati kerinduannya yang sudah sebulan lebih dipaksa berpisah dengan putranya itu.***Sementara itu, Zea masih terlihat syok dengan pengakuan Tuan Wilson tentang status Leon yang ternyata tidak jelas."Maafkan Aku, Zea. Louis dan Leon tidak bersalah. Akulah yang seharusnya dipersalahkan atas semua yang terjadi di hidup mereka," tu
"Aaaaasaaa!" jerit Zea sekeras mungkin. Memperlihatkan wajah syok saat bertemu penampakkan yang tak biasa itu.Tanpa Zea sadari, suara jeritan Zea yang melengking kencang itu menggema hingga ke setiap sudut sekolah. Membuat seisi penghuni sekolah ikut panik dan penasaran dengan apa terjadi.Beberapa murid yang berada dekat dengan ruang perpustakaan bahkan tanpa ragu berlari masuk ke ruangan itu. Meninggalkan pelajaran yang masih berlangsung tentunya.Tak berselang lama, sosok yang ada tepat di hadapan Zea itu mendadak tertawa terkekeh. Zea yang sebelumnya sudah siap berlari untuk kabur, malah menjadi ragu dengan suara tawa sosok yang dia kira hantu itu."Kau han-tu kan?" tanya Zea polos. Memperhatikan detail ujung kaki, hingga kepala pria di depannya itu. Membaca papan name tag milik si pria yang kelihatan asli. "Alan.""Hahaha mana ada hantu yang doyan salak. Dasar gadis bodoh," ucap pria itu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai Zea yang langsung menelan ludah seketika.Akib
Wajah Zea sudah sangat memerah. Ingin rasanya ia menjerit sekencang mungkin, tapi semua itu terasa sia-sia. Lumatan ganas pria di depannya benar-benar membuatnya tak bisa menghindar. Bahkan untuk sekedar menghindar pun, rasanya itu seperti mustahil.Hanya air mata yang akhirnya mampu menyelamatkannya. Mengalir membasahi pipinya yang bersentuhan langsung dengan wajah seorang Leon.Pria yang masih bertindak brutal itu perlahan membuka matanya. Merasakan tetesan air yang mendadak melenyapkan nafsunya. Memundurkan wajahnya perlahan sembari melepaskan cengkraman tangannya yang sebelumnya mengekang kuat tangan Zea.Leon tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Seolah menjilat ludahnya sendiri yang selama ini selalu menyebut Zea sebagai seorang gadis rendahan yang tak akan mungkin ia sentuh, bahkan seujung kukunya sekalipun."Maafkan aku, aku...." ujar Leon tak mampu melanjutkan ucapannya sendiri. Menatap Zea yang memilih membuang muka sambil menangis sedih.Sebagai seorang wanita Zea meras
Alis Zea mengerut kencang. Menatap pantulan wajahnya yang sedang kesal di depan cermin toilet. Bisa-bisanya dia mengakui sebagai calon istri si brengsek Leon. Mengingat wajahnya saja rasanya Zea mual."Arghh! Jika bukan karena Ayahnya, aku juga tidak sudi berada disini bertemu dengannya. Dia pikir dia bisa merendahkan orang lain dengan uangnya. Dasar manusia angkuh!" Gerutu Zea acuh. Tak mempedulikan orang-orang lalu lalang di sekitarnya yang mungkin menganggapnya aneh.Tangan Zea cepat memutar kepala kran. Membasuh wajahnya dengan air yang langsung mendinginkan amarahnya. Paling tidak air itu bisa membuat mulutnya berhenti mengomel barang sejenak.Tanpa Zea sadari seorang wanita yang sejak tadi mengamati tingkahnya, perlahan berdiri di sebelah Zea. Menyodorkan sapu tangan berwarna merah muda ke hadapan Zea."Pakailah ini untuk mengeringkan wajahmu yang basah," ujar wanita itu dengan suara lembut. Tersenyum ramah pada Zea yang sedikit ragu untuk menerima pemberiannya.Mata Zea seperti
Mata Leon jelas terbelalak mendengar permintaan putranya yang menurutnya tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya mencari ibu baru untuk Louis, sedangkan hatinya masih terpaku pada mantan istrinya.Louis yang biasanya selalu bersikap mandiri, bahkan tak segan merengek di depan ayahnya sendiri. Menarik-narik tangan Leon, agar mau mewujudkan keinginannya untuk memiliki ibu baru."Ayolah Ayah, aku ingin Ibu baru. Kenapa Ayah tidak mau mewujudkan keinginanku!" Renggek Louis layaknya anak kecil yang tengah menginginkan mainan baru.Tentu saja Leon bingung untuk memenuhi keinginan anaknya itu. Wajahnya bahkan mulai terlihat panik seketika. Pusing bagaimana harus menjelaskan pada Louis tentang sulitnya mencari ibu baru untuknya.Jangankan mencari istri, untuk dekat dengan Leon sebagai seorang kekasih saja pria itu kesulitan setengah mati. Apalagi harus mencari istri di waktu yang sesingkat ini.' Mustahil.' Ucap Leon dalam hati. Menatap lekat putranya sambil menghela nafas panjang."Louis
Tak ada jawaban pasti dari mulut Tuan Wilson. Sekali lagi pria tua itu, seperti memberi teka-teki baru pada Zea.Entah berapa banyak rahasia yang ada di keluarga itu. Terutama tentang hidup Leon yang mau tidak mau akan Zea tahu cepat atau lambat seiring berjalannya waktu.Kondisi Tuan Wilson yang kian memucat, tidak memungkinkan untuk berbicara lebih banyak pada Zea. Beruntung mobil medis yang beberapa saat lalu dihubungi oleh salah satu pelayan Tuan Wilson sigap datang ke rumah itu. Dua orang perawat pria yang datang pun, cekatan melakukan pertolongan pertama pada Tuan Wilson. Zea dan para pelayan yang sama sekali tidak mengerti tentang pekerjaan medis hanya bisa pasrah melihat kondisi Tuan Wilson yang memprihatinkan.Ada rasa kesal yang mendadak memenuhi kepala Zea, saat melihat kondisi Tuan Wilson. Terutama saat perawat mulai memakaikan selang infus dan juga alat bantu pernafasan pada pria tua yang seperti tidak berdaya itu.Di usia Tuan Wilson yang sekarang sudah memasuki masa pe
"Aku cacat. Tidak akan ada wanita manapun yang mau menerima orang sepertiku."Ucapan Leon itu seperti tamparan keras untuk Zea. Dia tidak pernah tahu jika pria yang super angkuh seperti Leon, bisa memiliki ketidak percayaan diri. Merendahkan diri karena memiliki kekurangan yang bahkan selama ini tidak Zea singgung sedikit pun.Wajah Leon bahkan terlihat sangat kesal menatap Zea. Memperlihatkan satu matanya yang memerah marah dan satu lagi putih pucat dengan garis jahitan di tengah bola matanya yang menciut.Entah apa yang pernah terjadi pada mata itu. Zea yakin ada insiden yang membuat mata Leon menjadi seperti itu."Kenapa hanya diam? Kau jijik bukan melihat kondisi mataku yang seperti ini? Jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, lebih baik kau pergi dari sini sekarang juga." Usir Leon cepat. Mengakhiri kemarahannya yang meledak tanpa sebab itu.Leon sama sekali tidak peduli pandangan Zea tentang dirinya. Dia hanya ingin segera mengakhiri drama yang menurutnya hanya akan me
Mata Leon menatap jauh ke halaman depan rumahnya. Memperhatikan detail gerak tubuh ayahnya yang sesekali menyeka wajah dengan sapu tangannya. Ada. Kesedihan yang tergambar jelas lewat penglihatannya yang sudah mulai kabur itu. Leon tahu jika Tuan Wilson sedang membicarakan hidupnya. Membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, mau tidak mau kini harus diungkap lagi.Beberapa kali Leon juga menatap Zea. Gadis aneh pilihan ayahnya yang menurutnya sama sekali tidak layak untuk menjadi pendamping hidupnya. Selain karena usia mereka yang terpaut cukup jauh selisihnya, Leon merasa Zea bukanlah ibu yang pantas untuk putranya. Tangan lembut menyentuh jemari Leon. Louis yang sebelumnya sedang bermain di atas kasur mendadak berdiri di sebelah Ayahnya. Ikut menatap ke luar jendela kamar yang terbuka lebar."Ayah, apakah setelah ini wanita itu akan menjadi ibuku?"Leon menoleh lembut ke putranya. Sadar jika putranya sudah mulai bisa membaca situasi meski tanpa dijelaskan dengan detail."Apa Aya
Leon tertawa riang sambil menggendong Louis masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya yang sebelumnya masam nampak berseri setelah bertemu dengan putranya itu.Begitu juga dengan Louis. Bocah berusia lima tahun itu bahkan tidak berhenti tertawa. Merangkul lengan Leon cukup erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Ayah, aku sangat merindukanmu," ucap Louis lirih. Menautkan dagunya ke pundak ayahnya. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.Leon semakin erat memeluk putranya. Dia sendiri tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Louis lagi."Ayah juga sangat merindukanmu. Ayah bahkan hampir gila kemarin," ucap Leon lembut. Tak henti menciumi putranya itu. Mengobati kerinduannya yang sudah sebulan lebih dipaksa berpisah dengan putranya itu.***Sementara itu, Zea masih terlihat syok dengan pengakuan Tuan Wilson tentang status Leon yang ternyata tidak jelas."Maafkan Aku, Zea. Louis dan Leon tidak bersalah. Akulah yang seharusnya dipersalahkan atas semua yang terjadi di hidup mereka," tu
Wajah Leon benar-benar berada lekat di depan mata Zea. Menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa lapar sedang mengintimidasi mangsanya yang tidak berdaya.Namun, bukan hanya paras Leon yang menjadikan mulut Zea bungkam. Meski sempat terpesona melihat kulit mulus tanpa cela itu. Zea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari benda yang membungkus salah satu mata Leon. Mengusik rasa penasarannya tentang apa yang terjadi dengan mata itu."Aku tidak akan segan menebas lehermu, jika kau mengkhianatiku. Camkan itu!" Dengus Leon kasar. Membuyarkan pikiran Zea yang mungkin akan mengolok-olok kekurangan fisiknya. Sama seperti wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.Kata-kata mengerikan itu sepertinya juga menjadi awal Zea mengenal sosok asli Leon sebenarnya. Pria angkuh dan sombong, yang bahkan tidak memiliki nurani sedikitpun. Bagi Zea saat ini, Leon tidak jauh berbeda dengan Tuan Wilson. Keduanya sama-sama mencari keuntungan di musibah yang sedang dia hadapi. Yang jadi permasalah