Ucapan Zea untuk sesaat mampu membuat Tuan Wilson kebingungan. Namun karena gadis di depannya memasang wajah serius, dirinya berubah tertawa terpingkal-pingkal.
"Kau? Menikah denganku? Bhahaha... Apa aku tidak salah dengar?" tanya Tuan Wilson terkekeh.Zea mengerutkan alisnya. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya, tapi kenapa semua orang menertawakannya. Termasuk ketiga pelayan yang mendampingi Tuan Wilson, meski secara diam-diam."Kenapa Bapak tertawa, adakah sesuatu yang salah dengan ucapan saya?" tanya Zea mulai kesal bercampur malu."Tidak tidak. Ucapanmu memang tidak salah, tapi sepertinya ada yang perlu diluruskan dari otakmu hahaha," imbuh Tuan Wilson masih tertawa senang tanpa mempedulikan raut wajah Zea yang mulai berubah masam."Dengar Nak. Usiaku sudah tidak mengizinkanku untuk melangkah ke arah sana. Jangankan menikah lagi, membawa tubuhkku sendiri saja aku kesulitan. Ada-ada saja kau ini," imbuh Tuan Wilson mulai bisa mengendalikan tawanya."Tapi Ibuku bilang... .""Dia pasti salah dengar. Bukan aku yang akan menjadi suamimu. Tapi seseorang yang amat sangat spesial yang akan melakukannya."Zea mengernyitkan dahi. Merasa bingung dengan ucapan Tuan Wilson yang sedikit berbelit. Pikiran buruk kembali memenuhi isi kepala Zea. Sudah bagus dia mau dinikahkan dengan seorang pria tua dan sekarang harus berganti lagi."Siapa orang itu? Apa dia juga tinggal di sini?" tanya Zea pasrah bercampur penasaran.Tuan Wilson tersenyum kecil. Ada sebuah harapan yang tersembunyi yang coba ia limpahkan kepada gadis di depannya. Sangat yakin jika pilihannya kali ini tidak mungkin salah."Mari ikut denganku. Aku akan mempertemukanmu dengannya," ajak Tuan Wilson ramah. Memberikan siku kanannya ke hadapan Zea yang langsung menautkan tangan kirinya dan berjalan beriringan dengan si pemilik rumah.Sepanjang menyusuri rumah mata Zea dibuat takjub dengan interior rumah itu. Rumah megah nan mewah yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar besar dan barang-barang mahal yang menakjubkan tak henti membuat Zea berdecak kagum. Zea juga merasa terhormat bisa berada di istana megah itu."Ada berapa banyak manusia yang tinggal di rumah ini, Pak?" tanya Zea polos. Penasaran dengan banyaknya pelayan yang sejak tadi selalu ada di setiap sudut rumah itu."Entahlah, yang jelas aku tinggal bersama kedua putraku di sini," jawab Tuan Wilson tak henti tersenyum senang. "Kau akan segera bertemu dengan salah satu dari mereka. Itu dia salah satunya." Mengangkat dagunya perlahan ke arah sisi kanan tangga yang tengah mereka pijak.Mata Zea seketika langsung menoleh kilat. Matanya menangkap punggung lebar sesosok pria yang duduk tegak di atas meja makan tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Menikmati sarapannya dengan khidmat tanpa terganggu sedikitpun dengan kegaduhan yang ia buat barusan.Saat di sudah sampai di ujung tangga, tangan Zea cekatan menahan langkah Tuan Wilson untuk berhenti sesaat. Merasa ada yang aneh dengan sikap acuh putra tuan rumah yang bahkan tidak peduli dengan kedatangan ayahnya."Kenapa lagi? Apa ada yang ingin kau katakan lagi?" tanya Tuan Wilson menghela nafas perlahan. Sudah tidak sabar membawa Zea kehadapan putranya yang seperti patung hidup."Maaf mungkin ini terdengar lancang. Apa putramu sedikit tuli?" tanya Zea dengan suara pelan. Tuan Wilson sontak melirik Zea sambil mengangkat satu alisnya. Bingung harus menjawab apa pertanyaan konyol Zea yang semakin aneh.Zea tidak sadar jika ucapannya terdengar di telinga pria yang sedang dibicarakan. Seketika menghentikan sarapannya dan mengusap bibirnya dengan sapu tangan layaknya bangsawan."Aish, duduklah dengan tenang. Kau akan segera mengetahui apa kurangnya dia," jawab Tuan Wilson lugas. Berjalan menuju ujung meja makan yang dikelilingi delapan kursi itu. Tiga di sisi kanan dan kiri yang memanjang, serta dua lagi berada di ujung yang saling berlawanan.Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan tuan rumah. Zea cukup kagok, karena dilayani seperti Nona muda di keluarga ningrat. Terakhir kali dia mendapatkan pelayanan istimewa semacam itu, saat menginap di hotel bersama ibu dan ayahnya saat masih sangat kecil. Membangkitkan ingatan lama Zea yang sudah sangat lama terkubur dan membuat hatinya haru. "Kau tidak ingin menyapa Ayahmu, Leon?" tanya Tuan Wilson memecah keheningan.Zea seketika sadar dari lamunannya. Dia hampir lupa dengan tujuannya duduk di meja itu. Matanya sontak menatap pria dewasa yang duduk tidak jauh dari Tuan Wilson itu.Pria itu nampak sangat dingin. Matanya bahkan sama sekali tidak menatap ke ayahnya. Hanya fokus dengan piring yang ada di hadapannya.Zea memperhatikan dengan seksama wajah Leon. Paras wajahnya nampak sempurna dari sisi kiri. Hanya satu yang mengganggu penglihatan Zea. Ada sebuah benda yang menutupi mata kanan Leon. Berbentuk persegi dengan tali yang bertaut ke telinga, persis seperti yang pernah Zea lihat di rumah sakit.Digunakan oleh orang yang memiliki gangguan penglihatan sesaat karena virus, maupun cacat permanen alias buta."Aku sudah selesai," terang Leon acuh. Berdiri dari kursinya. Terlihat tidak tertarik bertatap mata dengan ayahnya sendiri maupun orang lain.Tuan Wilson menghela nafas panjang. Dia sudah terlalu sering menerima penolakan dari putra sulungnya itu, tapi tetap saja dadanya masih selalu saja sakit."Kau tidak ingin menyapa calon istrimu?" tanya Tuan Wilson lagi. Menahan kepergian Leon untuk sesaat.Mata Leon akhirnya menatap sosok gadis yang duduk di ujung meja. Wajahnya seperti mengeluarkan aura penolakan yang suram pada Zea. Membuat gadis itu sadar diri, jika keberadaannya seperti tak diindahkan oleh Leon."Namanya Zea. Kenapa menatapnya seperti itu. Kau membuatnya takut," omel Tuan Wilson. "Bersikap baiklah padanya. Aku yakin dia jauh lebih baik dari wanita jalang itu."Sindiran Tuan Wilson jelas membuat putranya seketika mengeratkan gigi. Menahan diri agar tidak membuat keributan di rumah itu."Bagaimana, Nak? Apa kau bersedia menikah dengannya?" tanta Tuan Wilson beralih bertanya ke Zea.Untuk pertama kalinya Zea saling beradu pandang dengan Leon. Meski tanpa mengatakannya, Zea tahu bagaimana ditolak bahkan sebelum membuat keputusan.Pertanyaan yang diberikan Tuan Wilson juga menjadi sulit untuk Zea jawab. "Perjodohan ini sepertinya terlalu cepat, Pak. Aku bahkan belum lulus SMA. Dan juga," Menatap Leon lagi. "Kami sepertinya tidak memiliki ketertarikan satu sama lain." Ujar Zea berusaha bijak.Tuan Wilson terlihat tidak begitu puas dengan jawaban Zea. Wajahnya yang cerah penuh harapan, seketika meredup. Matanya beralih menatap Leon yang tersenyum kecil. Terlihat puas dengan jawaban Zea yang jelas menguntungkannya."Kau juga merasa begitu?" tanya Tuan Wilson pada Leon langsung.Leon merubah posisi tubuhnya hingga menghadap ke ayahnya. Ada helaan nafas yang coba dia keluarkan di hadapan ayahnya itu. "Berhentilah mencarikan pendamping untukku. Hanya wanita gila yang mau menikah dengan pria cacat sepertiku, "ujar Leon dengan suara lugas. Melangkah pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya di lantai atas.Zea yang mendengar ucapan Leon sontak merasa bersalah. Tak ada sedikitpun niatnya untuk merendahkan fisik Leon. Dia hanya berusaha untuk berbicara jujur. Tak disangka malah dianggap lain oleh pria yang sudah menyelamatkannya dari maut itu."Baiklah jika itu keputusanmu. Aku tidak memaksakan kehendakku padamu. Mungkin akulah yang terlalu banyak berharap." Menatap Zea dengan wajah muram. Berusaha menutupi kekecewaannya.Tuan Wilson lalu meminta pelayan untuk mengantarnya ke kamar. Baru juga beberapa langkah tubuhnya seakan sempoyongan. Membuat semua orang panik termasuk Zea yang langsung berlari mendekat ke arahnya."Apa yang terjadi Pak, apa Bapak baik-baik saja?" tanya Zea panik. Berusaha membantu memegangi lengan Tuan Wilson, namun ditolak dengan halus."Tidak perlu, Nak. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Orang tua sepertiku memang sangat ringkih. Nikmatilah harimu disini sampai kau merasa lebih baik." Ujar Tuan Wilson masih berusaha tersenyum meski satu tangannya memegangi dadanya yang nyeri. Menyembunyikan kekecewaannya pada Zea yang baru saja menolak putra kesayangannya.Dua hari sudah berlalu. Zea sudah kembali pulang ke rumah lamanya. Beruntung Ibu dan adik perempuannya baik-baik saja. Berkat bantuan Tuan Wilson keduanya cepat dilarikan ke rumah sakit. Hanya Zea yang dirawat di rumahnya. Untuk alasannya sendiri Zea belum mengetahuinya. Yang Zea tahu, berhasil diselamatkan oleh anak buah Tuan Wilson.Mengenai Aron. Setelah dihajar hingga babak belur, dia berhasil kabur lewat jendela kamar. Beruntung Zea berhasil diselamatkan sebelum hal mengerikan menimpanya.Tuan Wilson tidak lepas tangan. Dia tetap berbaik hati menepati janjinya untuk melindungi keluarga Hera. Terbukti dari adanya beberapa pria yang siaga mengawasi rumahnya hingga hari ini. Berjaga-jaga jika si brengsek Aron kembali dan membuat ulah lagi.Zea pun sudah mulai bisa beraktifitas secara normal. Melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sesaat karena insiden mengerikan yang menimpanya itu.Tet tet teeeet!Bel istirahat berbunyi juga. Rasanya kepala Zea sudah seperti ingin meledak. Se
Tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit, saat ditinggal pergi oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.Siap tidak siap, mau tidak mau, Zea harus menghadapi takdirnya sebagai seorang yatim piatu.Hera benar-benar telah pergi. Meninggalkan dunia yang bahkan tidak memberinya senyum di sisa akhir kematiannya yang tragis.Di atas pusara lahat Hera, Zea tidak henti meratap. Rasanya hatinya belum bisa merelakan kepergian Ibunya itu.Ada rasa marah yang perlahan membakar hatinya. Berubah menjadi kobaran dendam, pada bedebah yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ibunya."Malang sekali nasibnya. Seandainya suami pertamanya tidak mati, mungkin dia tidak akan semenderita ini.""Benar, apa gunanya memiliki anak yang bahkan tidak bisa melindungi Ibunya sendiri.""Ya ya ya, aku bahkan beberapa kali melihat Hera babak belur setelah ribut dengan mantan suaminya itu.""Tapi kenapa? Bukannya dulu mereka hidup rukun dan baik-baik saja?""Itu pasti karena... .""Ehem!"Suara dehama
Kepergian Tuan Wilson tak ubahnya nuklir yang menyasar tepat ke Boby. Wajahnya yang putih seketika memerah mendengar ucapan pria tua yang secara tidak langsung, baru saja meremehkannya.Beruntung tangan Zea cepat menariknya. Mencegahnya melakukan hal konyol yang mungkin akan membuat suasana pemakaman semakin kacau."Lepaskan! Kenapa malah menghentikanku? Akan kuberi pelajaran pria tua bangka yang lancang itu!" Umpat Boby geram. Menatap kesal Zea yang masih berusaha kuat menghentikannya."Cukup, lagi pula kau tidak akan bisa mengalahkannya!" ujar Zea meninggikan suara. Menghentikan amukan kekasihnya yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.Usaha Zea pada akhirnya memang bisa menghentikan tingkah Boby. Hanya saja, karena ukuran otak Boby yang kecil emosinya justru semakin meningkat."Apa maksudmu? Kenapa aku tidak bisa mengalahkannya? Ada apa ini, Zea. Atau jangan-jangan kalian memiliki hubungan lebih dibelakangku?" sergah Boby berucap asal. Menatap tajam ke Zea kembali kehilang
Tubuh Zea bergetar hebat tatkala melihat siluet sepasang manusia yang memantul di dinding. Kakinya bahkan terasa kaku untuk diajak melangkah lebih dekat ke ruang tengah.Selama ini Zea selalu menyangkal tentang kedekatan Gwen dan Bobby yang sudah melewati batas. Terus menerus menganggap jika kecurigaan yang dia rasakan hanyalah omong kosong yang tidak mendasar. Dan sekarang di depan mata kepalanya sendiri, Zea melihat pengkhianatan itu.Keduanya bahkan terlihat begitu luwes menautkan bibir. Saling merangkul erat, seolah ini bukan kali pertama Gwen dan Bobby melakukannya.Hati Zea sudah sangat hancur. Tak bisa lagi diam melihat pemandangan menjijikkan itu di depan matanya. Menekan saklar lampu ruang tengah meski dengan tangan yang masih bergetar.Gwen dan Bobby jelas langsung kelabakan. Melepaskan diri dari dekapan erat masing-masing dari atas sofa. Terlihat salah tingkah menatap Zea yang mematung memandangi keduanya."Zea aku bisa jelaskan," ucap Gwen memulai pembelaan. Ingin mendekat
Suara langkah kaki yang terdengar lalu lalang, perlahan memaksa Zea membuka mata.Zea cukup kaget saat melihat keadaan di sekitarnya. Terlebih dengan adanya bantalan leher yang melingkar menempel membungkus lehernya."Anda sudah bangun Nona?" tanya seorang perawat wanita dengan suara lembut. Menyambut Zea yang langsung mengangguk melalui kedipan matanya."Kenapa aku disini, dan siapa yang membawaku ketempat ini?" tanya Zea tanpa basa-basi. Merasa harus berhutang budi pada orang yang sudah menyelamatkannya.Sratt! Tirai yang membatasi tempat Zea berbaring ditarik kasar dari luar oleh seseorang. Membuat Zea. Kaget dengan keberadaan pria langsung tajam menatap matanya."Aku yang membawamu kesini. Kenapa, apa ada masalah? Atau kau ingin aku menyeretmu kembali ke rumahmu?" Zea menghela nafas kesal. Tidak menyukai cara bicara Leon yang kasar."Apa aku memintamu untuk membawaku ke rumah sakit? Jangan bicara seolah-olah aku berhutang budi padamu!" balas Zea ketus. Memasang wajah masam pada
Wajah Leon benar-benar berada lekat di depan mata Zea. Menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa lapar sedang mengintimidasi mangsanya yang tidak berdaya.Namun, bukan hanya paras Leon yang menjadikan mulut Zea bungkam. Meski sempat terpesona melihat kulit mulus tanpa cela itu. Zea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari benda yang membungkus salah satu mata Leon. Mengusik rasa penasarannya tentang apa yang terjadi dengan mata itu."Aku tidak akan segan menebas lehermu, jika kau mengkhianatiku. Camkan itu!" Dengus Leon kasar. Membuyarkan pikiran Zea yang mungkin akan mengolok-olok kekurangan fisiknya. Sama seperti wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.Kata-kata mengerikan itu sepertinya juga menjadi awal Zea mengenal sosok asli Leon sebenarnya. Pria angkuh dan sombong, yang bahkan tidak memiliki nurani sedikitpun. Bagi Zea saat ini, Leon tidak jauh berbeda dengan Tuan Wilson. Keduanya sama-sama mencari keuntungan di musibah yang sedang dia hadapi. Yang jadi permasalah
Leon tertawa riang sambil menggendong Louis masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya yang sebelumnya masam nampak berseri setelah bertemu dengan putranya itu.Begitu juga dengan Louis. Bocah berusia lima tahun itu bahkan tidak berhenti tertawa. Merangkul lengan Leon cukup erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Ayah, aku sangat merindukanmu," ucap Louis lirih. Menautkan dagunya ke pundak ayahnya. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.Leon semakin erat memeluk putranya. Dia sendiri tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Louis lagi."Ayah juga sangat merindukanmu. Ayah bahkan hampir gila kemarin," ucap Leon lembut. Tak henti menciumi putranya itu. Mengobati kerinduannya yang sudah sebulan lebih dipaksa berpisah dengan putranya itu.***Sementara itu, Zea masih terlihat syok dengan pengakuan Tuan Wilson tentang status Leon yang ternyata tidak jelas."Maafkan Aku, Zea. Louis dan Leon tidak bersalah. Akulah yang seharusnya dipersalahkan atas semua yang terjadi di hidup mereka," tu
Mata Leon menatap jauh ke halaman depan rumahnya. Memperhatikan detail gerak tubuh ayahnya yang sesekali menyeka wajah dengan sapu tangannya. Ada. Kesedihan yang tergambar jelas lewat penglihatannya yang sudah mulai kabur itu. Leon tahu jika Tuan Wilson sedang membicarakan hidupnya. Membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, mau tidak mau kini harus diungkap lagi.Beberapa kali Leon juga menatap Zea. Gadis aneh pilihan ayahnya yang menurutnya sama sekali tidak layak untuk menjadi pendamping hidupnya. Selain karena usia mereka yang terpaut cukup jauh selisihnya, Leon merasa Zea bukanlah ibu yang pantas untuk putranya. Tangan lembut menyentuh jemari Leon. Louis yang sebelumnya sedang bermain di atas kasur mendadak berdiri di sebelah Ayahnya. Ikut menatap ke luar jendela kamar yang terbuka lebar."Ayah, apakah setelah ini wanita itu akan menjadi ibuku?"Leon menoleh lembut ke putranya. Sadar jika putranya sudah mulai bisa membaca situasi meski tanpa dijelaskan dengan detail."Apa Aya
"Aaaaasaaa!" jerit Zea sekeras mungkin. Memperlihatkan wajah syok saat bertemu penampakkan yang tak biasa itu.Tanpa Zea sadari, suara jeritan Zea yang melengking kencang itu menggema hingga ke setiap sudut sekolah. Membuat seisi penghuni sekolah ikut panik dan penasaran dengan apa terjadi.Beberapa murid yang berada dekat dengan ruang perpustakaan bahkan tanpa ragu berlari masuk ke ruangan itu. Meninggalkan pelajaran yang masih berlangsung tentunya.Tak berselang lama, sosok yang ada tepat di hadapan Zea itu mendadak tertawa terkekeh. Zea yang sebelumnya sudah siap berlari untuk kabur, malah menjadi ragu dengan suara tawa sosok yang dia kira hantu itu."Kau han-tu kan?" tanya Zea polos. Memperhatikan detail ujung kaki, hingga kepala pria di depannya itu. Membaca papan name tag milik si pria yang kelihatan asli. "Alan.""Hahaha mana ada hantu yang doyan salak. Dasar gadis bodoh," ucap pria itu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai Zea yang langsung menelan ludah seketika.Akib
Wajah Zea sudah sangat memerah. Ingin rasanya ia menjerit sekencang mungkin, tapi semua itu terasa sia-sia. Lumatan ganas pria di depannya benar-benar membuatnya tak bisa menghindar. Bahkan untuk sekedar menghindar pun, rasanya itu seperti mustahil.Hanya air mata yang akhirnya mampu menyelamatkannya. Mengalir membasahi pipinya yang bersentuhan langsung dengan wajah seorang Leon.Pria yang masih bertindak brutal itu perlahan membuka matanya. Merasakan tetesan air yang mendadak melenyapkan nafsunya. Memundurkan wajahnya perlahan sembari melepaskan cengkraman tangannya yang sebelumnya mengekang kuat tangan Zea.Leon tidak tahu kenapa dia bisa senekat itu. Seolah menjilat ludahnya sendiri yang selama ini selalu menyebut Zea sebagai seorang gadis rendahan yang tak akan mungkin ia sentuh, bahkan seujung kukunya sekalipun."Maafkan aku, aku...." ujar Leon tak mampu melanjutkan ucapannya sendiri. Menatap Zea yang memilih membuang muka sambil menangis sedih.Sebagai seorang wanita Zea meras
Alis Zea mengerut kencang. Menatap pantulan wajahnya yang sedang kesal di depan cermin toilet. Bisa-bisanya dia mengakui sebagai calon istri si brengsek Leon. Mengingat wajahnya saja rasanya Zea mual."Arghh! Jika bukan karena Ayahnya, aku juga tidak sudi berada disini bertemu dengannya. Dia pikir dia bisa merendahkan orang lain dengan uangnya. Dasar manusia angkuh!" Gerutu Zea acuh. Tak mempedulikan orang-orang lalu lalang di sekitarnya yang mungkin menganggapnya aneh.Tangan Zea cepat memutar kepala kran. Membasuh wajahnya dengan air yang langsung mendinginkan amarahnya. Paling tidak air itu bisa membuat mulutnya berhenti mengomel barang sejenak.Tanpa Zea sadari seorang wanita yang sejak tadi mengamati tingkahnya, perlahan berdiri di sebelah Zea. Menyodorkan sapu tangan berwarna merah muda ke hadapan Zea."Pakailah ini untuk mengeringkan wajahmu yang basah," ujar wanita itu dengan suara lembut. Tersenyum ramah pada Zea yang sedikit ragu untuk menerima pemberiannya.Mata Zea seperti
Mata Leon jelas terbelalak mendengar permintaan putranya yang menurutnya tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya mencari ibu baru untuk Louis, sedangkan hatinya masih terpaku pada mantan istrinya.Louis yang biasanya selalu bersikap mandiri, bahkan tak segan merengek di depan ayahnya sendiri. Menarik-narik tangan Leon, agar mau mewujudkan keinginannya untuk memiliki ibu baru."Ayolah Ayah, aku ingin Ibu baru. Kenapa Ayah tidak mau mewujudkan keinginanku!" Renggek Louis layaknya anak kecil yang tengah menginginkan mainan baru.Tentu saja Leon bingung untuk memenuhi keinginan anaknya itu. Wajahnya bahkan mulai terlihat panik seketika. Pusing bagaimana harus menjelaskan pada Louis tentang sulitnya mencari ibu baru untuknya.Jangankan mencari istri, untuk dekat dengan Leon sebagai seorang kekasih saja pria itu kesulitan setengah mati. Apalagi harus mencari istri di waktu yang sesingkat ini.' Mustahil.' Ucap Leon dalam hati. Menatap lekat putranya sambil menghela nafas panjang."Louis
Tak ada jawaban pasti dari mulut Tuan Wilson. Sekali lagi pria tua itu, seperti memberi teka-teki baru pada Zea.Entah berapa banyak rahasia yang ada di keluarga itu. Terutama tentang hidup Leon yang mau tidak mau akan Zea tahu cepat atau lambat seiring berjalannya waktu.Kondisi Tuan Wilson yang kian memucat, tidak memungkinkan untuk berbicara lebih banyak pada Zea. Beruntung mobil medis yang beberapa saat lalu dihubungi oleh salah satu pelayan Tuan Wilson sigap datang ke rumah itu. Dua orang perawat pria yang datang pun, cekatan melakukan pertolongan pertama pada Tuan Wilson. Zea dan para pelayan yang sama sekali tidak mengerti tentang pekerjaan medis hanya bisa pasrah melihat kondisi Tuan Wilson yang memprihatinkan.Ada rasa kesal yang mendadak memenuhi kepala Zea, saat melihat kondisi Tuan Wilson. Terutama saat perawat mulai memakaikan selang infus dan juga alat bantu pernafasan pada pria tua yang seperti tidak berdaya itu.Di usia Tuan Wilson yang sekarang sudah memasuki masa pe
"Aku cacat. Tidak akan ada wanita manapun yang mau menerima orang sepertiku."Ucapan Leon itu seperti tamparan keras untuk Zea. Dia tidak pernah tahu jika pria yang super angkuh seperti Leon, bisa memiliki ketidak percayaan diri. Merendahkan diri karena memiliki kekurangan yang bahkan selama ini tidak Zea singgung sedikit pun.Wajah Leon bahkan terlihat sangat kesal menatap Zea. Memperlihatkan satu matanya yang memerah marah dan satu lagi putih pucat dengan garis jahitan di tengah bola matanya yang menciut.Entah apa yang pernah terjadi pada mata itu. Zea yakin ada insiden yang membuat mata Leon menjadi seperti itu."Kenapa hanya diam? Kau jijik bukan melihat kondisi mataku yang seperti ini? Jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, lebih baik kau pergi dari sini sekarang juga." Usir Leon cepat. Mengakhiri kemarahannya yang meledak tanpa sebab itu.Leon sama sekali tidak peduli pandangan Zea tentang dirinya. Dia hanya ingin segera mengakhiri drama yang menurutnya hanya akan me
Mata Leon menatap jauh ke halaman depan rumahnya. Memperhatikan detail gerak tubuh ayahnya yang sesekali menyeka wajah dengan sapu tangannya. Ada. Kesedihan yang tergambar jelas lewat penglihatannya yang sudah mulai kabur itu. Leon tahu jika Tuan Wilson sedang membicarakan hidupnya. Membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, mau tidak mau kini harus diungkap lagi.Beberapa kali Leon juga menatap Zea. Gadis aneh pilihan ayahnya yang menurutnya sama sekali tidak layak untuk menjadi pendamping hidupnya. Selain karena usia mereka yang terpaut cukup jauh selisihnya, Leon merasa Zea bukanlah ibu yang pantas untuk putranya. Tangan lembut menyentuh jemari Leon. Louis yang sebelumnya sedang bermain di atas kasur mendadak berdiri di sebelah Ayahnya. Ikut menatap ke luar jendela kamar yang terbuka lebar."Ayah, apakah setelah ini wanita itu akan menjadi ibuku?"Leon menoleh lembut ke putranya. Sadar jika putranya sudah mulai bisa membaca situasi meski tanpa dijelaskan dengan detail."Apa Aya
Leon tertawa riang sambil menggendong Louis masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya yang sebelumnya masam nampak berseri setelah bertemu dengan putranya itu.Begitu juga dengan Louis. Bocah berusia lima tahun itu bahkan tidak berhenti tertawa. Merangkul lengan Leon cukup erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Ayah, aku sangat merindukanmu," ucap Louis lirih. Menautkan dagunya ke pundak ayahnya. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.Leon semakin erat memeluk putranya. Dia sendiri tidak menyangka bisa kembali bertemu dengan Louis lagi."Ayah juga sangat merindukanmu. Ayah bahkan hampir gila kemarin," ucap Leon lembut. Tak henti menciumi putranya itu. Mengobati kerinduannya yang sudah sebulan lebih dipaksa berpisah dengan putranya itu.***Sementara itu, Zea masih terlihat syok dengan pengakuan Tuan Wilson tentang status Leon yang ternyata tidak jelas."Maafkan Aku, Zea. Louis dan Leon tidak bersalah. Akulah yang seharusnya dipersalahkan atas semua yang terjadi di hidup mereka," tu
Wajah Leon benar-benar berada lekat di depan mata Zea. Menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa lapar sedang mengintimidasi mangsanya yang tidak berdaya.Namun, bukan hanya paras Leon yang menjadikan mulut Zea bungkam. Meski sempat terpesona melihat kulit mulus tanpa cela itu. Zea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari benda yang membungkus salah satu mata Leon. Mengusik rasa penasarannya tentang apa yang terjadi dengan mata itu."Aku tidak akan segan menebas lehermu, jika kau mengkhianatiku. Camkan itu!" Dengus Leon kasar. Membuyarkan pikiran Zea yang mungkin akan mengolok-olok kekurangan fisiknya. Sama seperti wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.Kata-kata mengerikan itu sepertinya juga menjadi awal Zea mengenal sosok asli Leon sebenarnya. Pria angkuh dan sombong, yang bahkan tidak memiliki nurani sedikitpun. Bagi Zea saat ini, Leon tidak jauh berbeda dengan Tuan Wilson. Keduanya sama-sama mencari keuntungan di musibah yang sedang dia hadapi. Yang jadi permasalah